SAYA tertarik dengan status seorang Facebooker Wes Wesman yang memprihatinkan kualitas pemimpin dan bangsa Indonesia yang semakin lama semakin kehilangan rasionya. Padahal, ribuan tahun yang lalu Socrates, Plato, Herakleitos dan teman-temannya sudah mengajak dan mengajarkan umat manusia untuk berpikir dan bertindak secara rasional.
Tindakan-tindakan tidak rasional
Iya,sih. Coba lihat, hampir tiap hari di televisi kita melihat tayangan adanya tawuran antarapelajar, antarmahasiswa, antarwarga, antara mahasiswa dan polri, antara warga dan polri, antara polri dan TNI, antarsuku, antarparpol dan perbuatan-perbuatan anarkis lainnya.
Ketidakrasionalan bangsa Indonesia sebenarnya sudah lama.
Coba, cari rezeki,kok bersemedi di Gunung Bromo. Cari jodoh, berdoanya di Gunung Tengger. Mandi air sendang karena percaya bisa mendatangkan rezeki. Kalau kraton Yogya mengadakan acara tradisional, maka masyarakat rebutan gunungan buah-buahan supaya dapat barokah. Masyarakat Jawa banyak yang memelihara keris katanya untuk tolak bala.
Bukan hanya itu. Juga ada mitos moderen.
Katanya, kalau nggak pakai gelar sarjana atau gelar haji/hajah, merasa kurang dihargai. Merasa status sosialnya dipandang rendah. Bahkan kalau tidak memakai gelar S-1 dan S-2 sekaligus, merasa kurang hebat.
Sikap dogmatis-pasif
Fatwa haram juga diterima mentah-mentah tanpa mau tahu apa alasan rasionalnya. Tanpa tahu apa kekecualian-kekecualiannya.Pokoknya kalau ada fatwa haram Facebook, ya diikuti saja.Nggak mau menggunakan rasionya untuk mencari jawab apa latar belakang dan alasan fatwa itu. Ada fatwa haram merokok, terus takut merokok.
Pro-kontra kasus Bank Century yang tidak didukung penalaran-penalaran yang logis,benar dan akurat baik secara filosofis maupun secara epistemologi. Hanya memunculkan kebenaran-kebenaran subjektif saja.
Kesalahan berlogika
Tahun 1980 hingga 1990, saya pernah melakukan survei. Hasilnya, saya menemukan 1.000 kesalahan berlogika dari masyarakat Indonesia. Penyebabnya yaitu, sistem pendidikan kita yang hanya bersifat menghafal dan tidak melahirkan lulusan pemikir.
Kalau saya tanya, kenapa kok gelar S-1 dan S-2 dipakai sekaligus, jawabnya karena S-1 dan S-2-nya dari universitas berbeda atau ilmunya berbeda. Sebuah jawaban yang super bodoh, sebab S-1 dan S-2 adalah jenjang pendidikan. Artinya, kalau sudah S-2, maka S-1-nya tidak perlu dipakai walaupun bidang ilmu atau fakultasnya berbeda, Masalahnya adalah, sarjana-sarjana Indonesia banyak yang tak memahami ilmu logika.
Bahkan ketika saya menulis surat pembaca, saya dapat pertanyaan dari sarjana Indonesia lulusan perguruan tinggi ternama di Amerika. Katanya, tulisan saya itu berdasarkan referensi apa, dari hasil survei siapa, menurut pendapat siapa? Ha ha ha…saya cuma tertawa.Memangnya surat pembaca sama dengan skripsi, thesis atau disertasi? Lulusan Amerika, tetapi logikanya tidak jalan.
Perbaiki sistem pendidikan
Kalau kita menginginkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang rasionalis, maka sistem pendidikan kita yang cuma menghasilkan lulusan penghafal, harus diganti sehingga lulusannya menjadi lulusan pemikir. Bayangkan, sudah predikat mahasiswa kok masih disuruh menghafal definisi-definisi manajemen, budaya, politik, rumus Archimedes, rumus PQR, rumus ini rumus itu.
Menghafal penting, tapi bernalar 1,000 kali lebih penting.
Kata Descartes:
Cogito ergo sum
Aku berpikir karena itu aku ada
Nah,sistem pendidikan kita tidak menganut filsafat “cogito ergo sum” itu.
Sumber : http://ffugm.wordpress.com/