Well-Organized, Thankfull, and “Rowdy” Community
Rekam Jejak Kiprah Warga Jambon, Kebosungu II, dan Parangrejo
Oleh: AB.Widyanta[2]
Warga Dusun Jambon memang cukup terorganisir.
Itu bisa dilihat dari organisasi kepemudaannya, juga generasi tuanya.
Kami sangat bersyukur. Bantuan ini sangat besar nilainya bagi kami,
Jika dirupiahkan pasti sudah mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta.
Kami memberikan acungan jempol untuk IRD.
Mereka bekerja tidak mengenal waktu, demi membantu warga kami.
(Mujian, Kebosungu II)
Sebetulnya, kami berada dalam dilema.
Saya sendiri menolak, namun warga terlanjur mau menerima (bantuan).
Karena sudah terlanjur basah, ya kami selesaikan saja, apapun risikonya.
Hanya itu saja keyakinan kami.
(Mujiyono, Parangrejo)
Pengantar
Keanekaragaman adalah kekayaan. Boleh jadi itulah adagium yang paling tepat untuk melukiskan proses implementasi Program Peningkatan Akses Air Bersih, Sarana Sanitasi, dan Promosi Kesehatan Berbasis Asset dan Kekuatan Masyarakat (Community Based Asset –Water Sanitation and Hygiene Promotion Program/CBA-WASH) yang diinisiasi oleh IRD (International Relief and Development) bekerjasama dengan warga masyarakat dan dengan dukungan dana dari Pemerintah Australia melalui YCAP II (Yogyakarta Central Java Community Assistance Program). Tersadari, betapa beragamnya respon dan daya upaya warga dalam implementasi program yang berlangsung selama lebih kurang 8 bulan—Mei-Desember 2009—tersebut. Pelaksanaan program yang tersebar di 10 dusun itu—sembilan di antaranya berada di wilayah Kabupaten Bantul (Dusun Kalidadap I, Kalidadap II, Kebosungu II, Koripan II, Giriloyo, Karangkulon, Jambon, Jaten, dan Pendul, dan 1 dusun lainnya berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul, yaitu Dusun Parangrejo—sungguh telah menyuguhkan oleh-oleh berharga (lesson learned), baik bagi kalangan IRD sendiri, YCAP II, warga masyarakat, pemerintah, maupun bagi siapa saja yang meyakini diri sebagai pembelajar masyarakat. Wujud keanekaragaman respon dan daya upaya warga dalam “laboratorium sosial” bernama CBA-WASH Program itu akan kita kupas dan cernai bersama di sini. Di dalam keanekaragaman itu tersimpan kekayaan, tentu saja bagi para pegiat dan pembelajar masyarakat.
Tulisan ini terlahir dari buah interaksi saya selama 33 hari menjalani “tugas belajar” sebagai Temporary Field Community Mobilization – IRD di tiga komunitas berbeda yaitu Jambon, Kebosungu II, dan Parangrejo yang memang secara khusus mengimplementasikan program Promosi Kesehatan dan Pembangunan berbagai infrastruktur Sarana Air Bersih. Tersadari oleh penulis, waktu belajar sependek itu tak cukup memadai untuk menampilkan potret tiga komunitas itu secara utuh. Kiranya pernyataan itu bukan tanpa alasan. Ditilik dari bubuhan judul tulisan Well-Organized, Thankfull, and Ostensible Rowdy Community kita bisa mengendus kedangkalan motifnya. Terkesan, judul itu simplistis, bahkan tendensius, karena mengandung tindak penghakiman (judgement/labelling), juga generalisir ala common sense. Tak bisa dipungkiri, judul itu memang dipungut ketika benak penulis tengah dihinggapi oleh simptom-simptom luaran yang paling menyolok dari kiprah tiga komunitas, yang sesungguhnya detil dan kompleks, hanya dalam tenggat sebulan sebelum program terselesaikan/berakhir.
Oleh karena itu, agar tidak terlampau terjebak pada pola pikir simplistis ataupun kegandrungan pada tindak stereotipisasi semacam itu, tulisan ini akan memapar lebih lanjut tentang beragam respon, interaksi, kiprah, dan ikhtiar warga Dusun Jambon, Kebosungu II, dan Parangrejo dalam mengimplementasikan CBA-WASH Program. Meski tidak sepenuhnya tepat, bisa dikatakan bahwa tulisan ini adalah hasil rekam jejak kiprah warga merampungkan karya besar mereka dalam CBA-WASH Program dengan segenap rasa suka-dukanya, lebih-kurangnya, juga sukses-cacatnya. Hanya dalam segenap kepenuhan bingkai rasa itulah, CBA-WASH Program – IRD ini bisa dimaknai sebagai keberhasilan dalam arti sejatinya. Kisah sukses tak berarti dan tak bermakna apapun tanpa kiprah sukses. Kisah sukses bisa saja muncul lantaran pengkisahannya yang sukses, bukan kiprahnya. Bagaimanapun juga, jangkar dari kisah sukses adalah kiprah warga itu sendiri dengan seluruh kepenuhan rasa-perasaan yang mereka hidupi. Maka dalam seluruh rekam jejak kiprah warga inilah, penulis hendak mengurai kisah sukses warga maupun kawan-kawan IRD yang telah bersama-sama, bahu-membahu, berbaku-ide-gerak dan kerja, menyumbang pada proses perbaikan peradaban manusia dan menginisiasi penyadaran tentang arti pentingnya menjunjung tinggi harkat manusia sebagai makhluk pembelajar. Spirit dasar dari makhluk pembelajar terletak pada kesadaran untuk memposisikan diri dalam siklus dialektis yang tak pernah usai dari aksi-refleksi–aksi, begitu seterusnya. Tulisan ini sendiri berada dalam proses merefleksikan apa yang telah diimplementasikan oleh IRD bersama dengan warga masyarakat di tiga komunitas tersebut. Oleh karena itu, untuk mereka semualah tulisan ini didedikasikan.
Berbicara mengenai suatu program berbasis masyarakat, sebagaimana CBA-WASH Program ini, ada parameter kunci guna menakar tingkat keberhasilan dalam implementasinya. Dalam tulisan ini, penulis mendasarkan pendekatan pada idealisasi program yang memuat matra keberlanjutan-organis-mandiri dari komunitas penerima manfaat itu sendiri. Dalam ranah akademik pengertian itu merujuk pada konsep tentang program yang lestari, berkesinambungan, atau—yang telah umum disebut sebagai—berkelanjutan (sustainable program). Pada saat kita merancang program, ada tiga prasyarat utama yang perlu kita pertimbangkan agar suatu program yang diinisiasi bersama masyarakat bisa berkelanjutan:
1. Program tersebut dibutuhkan atau paling tidak sesuai dengan kebutuhan warga
2. Program tersebut didukung oleh partisipasi warga masyarakat secara memadai
3. Program tersebut didukung oleh pemerintah (dalam berbagai levelnya) maupun para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam program tersebut.
Berhasil tidaknya sebuah organisasi mengimplementasikan ketiga hal itu tentu saja sangat terkait dengan kepiawaian organsiasi tersebut dalam mengelola cara pendekatan terhadap berbagai komunitas masyarakat dengan segala spesifikasi dan keragaman sistem sosial dan kulturalnya masing-masing. Pengelolaan cara pendekatan itu dibutuhkan juga saat melibatkan peran para pemangku kepentingan yang terkait dengan program tersebut. Secara sederhana, dalam tulisan ini nanti, penulis akan menggunakan seluruh kerangka acuan itu untuk membingkai apresiasi dan refleksi atas implementasi CBA-WASH Program di Dusun Jambon, Kebosungu II, dan Parangrejo.
Di awal tulisan, sekilas kita bisa mencermati nukilan respon warga yang mengapresiasi keseluruhan proses implementasi CBA-WASH Program.Kendati itu hanyalah simptom luaran dari ungkapan segelintir warga penerima manfaat, namun penulis meyakini bahwa itu adalah hasil penilaian obyektif dari kesadaran subyek yang terlibat. Meski teramat mikro, lantaran terbatas dalam bingkai ruang jagad kecil kesadaran subyek saja, namun itu tetaplah lapisan sedimen yang merupakan bagian tak terpisahkan dari jagad besar kesadaran komunitas dimana ia hidup. Dengan kata lain, suara-suara subyektif itu tetap merupakan paparan fakta yang pantas untuk menjadi acuan refleksi kita bersama. Berikut ini adalah paparan lanjut tentang simptom-simptom dari tipe masyarakat yang terorganisir-baik (well-organized), masyarakat yang penuh rasa syukur (thankful), dan masyarakat yang berlagak urakan (ostensible rowdy). Secara beruntun ketiga pencitraan itu merujuk pada simptom-simptom dominan dari warga Jambon, Kebosungu II, dan Parangrejo.
Jambon = Warga yang Terorganisir dengan Baik
Kali pertama memasuki area Balai Desa Bawuran, tak akan ada orang yang menyangka bahwa di wilayah itu terdapat dusun berkekurangan air. Hamparan sawah yang begitu luas dan subur di musim kemarau sekalipun, mengesankan keberadaan air berlimpah bagi penghuninya. Kesan itu ternyata luput. Sejurus saja menempuh perjalanan ke arah timur dari Balai Desa Bawuran, akan kita jumpai perbukitan pendek yang seolah memagari hamparan luas persawahan desa. Ternyata, di punggung sisi barat bukit itulah sekitar 600-an warga Dusun Jambon bermukim. Keluhan warga Dusun Jambon selama puluhan tahun adalah persoalan kelangkaan air.
Jangankan pada musim kemarau, di musim penghujan pun warga yang tinggal di punggung bukit teratas (RT 3 & RT 4) tak mudah mendapatkan sumber mata air dari sumur-sumur sekitar rumah. Meski terdapat sejumlah sumur umum—beberapa di antaranya adalah hasil bantuan pasca gempa dari sebuah INGO—namun toh tetap tak mencukupi kebutuhan sekian banyak warga yang rumahnya saling berpencar jauh. Sebagian besar warga tetap mengandalkan sumber mata air dari sumur-sumur sekitar pelataran bukit yang relatif lebih rendah. Dulu, saat belum terjamah listrik dan jalan cor dua tapak, warga terbiasa berduyun turun-naik berulang mengusung jerigen berisi air dari pangkal bukit. Berdasarkan kesaksian warga, dalam kesehariannya, waktu produktif kaum perempuan tersita separuh hari, sekitar 6 jam, sekadar untuk mendapatkan air.
Perkembangan kelengkapan infrastruktur dusun berupa jaringan listrik dan jalan cor dua tapak, dalam kurun dua dekade terakhir, kian menghemat waktu warga untuk mendapatkan air bersih. Dengan daya listrik, lusinan pompa renteng bisa dioperasikan untuk mengangkat air secara estafet dari pangkal bukit melalui deretan drum-drum kecil penampung air yang ditempatkan di setiap jarak 50-100 meter (sesuai keterjalan medan). Namun dukungan infrastruktur itu ternyata belum sepenuhnya menjawab persoalan. Persoalan dasar tentang kecilnya debit sumber mata air sama sekali belum terpecahkan. Sejumlah sumber mata air tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan 600-an jiwa.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi munculnya kesepakatan dalam musyawarah bersama antara warga dan IRD untuk membangun 1 unit sumur bor, 2 reservoir, dan saluran pipa transmisi dalam bingkai CAB-WASH Program. Pada assessment awal, dengan menimbang terbatasnya budget, jajaran IRD berencana membangun beberapa unit sumur gali dan MCK. Namun dalam perjalanannya, setelah menimbang situasi lapangan dan juga usalan-usulan yang muncul dalam musyawarah, akhirnya warga dan IRD bersepakat atas sumur bor tersebut. Sebagian besar sumur gali Dusun Jambon tidak berfungsi pada musim kemarau. Sia-sia saja menambah sumur gali di sana. Berkat dialog yang intens dalam sederetan pertemuan warga, IRD sebagai fasilitator berhasil mengidentifikasi dan menangkap kebutuhan dasar warga. Tersadari oleh IRD, pergeseran rencana itu cukup signifikan, baik dalam takaran dana maupun kompleksitas aktivitasnya.
Demi amanah dan daulat warga, dengan manakar kapasitas kelembagaan, IRD berbulat tekad mengimplementasikan rencana tersebut. Bersama warga, baku ide dan kerja dirancang matang. Tugas, peran, dan kewenangan mulai dari warga, jajaran pemerintah, YCAP II, internal IRD, dan para mitra kerja (kontraktor sumur bor dan supplier) terbagi dan terinformasikan dengan baik. Lebih jauh, berbagai rembugan warga, serangkaian Pelatihan Kader Kesehatan, Pelatihan Konstruksi untuk para tukang, hingga Pelatihan Operational Maintenancedan Pelatihan Kelembagaan pun terselenggara dengan lancar dan baik. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan peserta pelatihan, warga Jambon bisa menangkap dengan baik muatan nilai dan pengetahuan dari serentetan pelatihan tersebut. Menurut pemahaman mereka, hal terpenting dari pelatihan itu adalah perihal keswadayaan dan kemandirian dusun dalam mengelola program.
Tugas terberat IRD adalah urusan persyaratan/perijinan yang terkait dengan analisa dampak lingkungan dari pembangunan sumur bor. Kendati rumit, berbelit, dan boros waktu, urusan itu menjadi pengalaman baru yang teramat berharga bagi jajaran IRD sendiri. Seakan tak mau kalah gesit, giliran warga Dusun Jambon merapatkan barisan. Di bawah koordinasi Gusmanto (45 tahun), seorang Kepala Dusun tengah baya yang ngemong, bijak, dan demokratis, warga bergegas menggelar rapat secara maraton. Dengan gaya kepemimpinannya yang ugahari, egaliter, dan konsisten, suami dari Puji Astuti (42 tahun) ini memfasilitasi rapat pembentukan Panitia Dusun yang mencakup para Kader Kesehatan dan Tim Inti. Kepanitiaan pun terbentuk dan terkoordinasi dengan cepat. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Gusmanto sendiri menegaskan:
Segala persoalan pasti kami musyawarahkan bersama warga. Kami sudah terbiasa membahas segala sesuatu melalui kepengurusan kelompok terkait”.[3]
Rupanya, kecepatan dan ketepatan itulah yang menjadi spirit dari bapak dua anak ini dalam memimpin warga Jambon, yang hingga kini telah berlangsung selama 19 tahun.
Hasil pembentukan kepanitiaan ternyata cukup mengejutkan, posisi-posisi strategis sebagian besar diamanatkan pada jajaran kaum muda dusun. Sebilangan kaum muda itu di antaranya: Sri Sumarjoko, Wibowo, Kristanto, Ponidi, Supriyanto, Waluyo, dan lain sebagainya. Sesuatu yang jarang terjadi di banyak dusun. Rapat dusun yang lazim dihadiri para tetua, tidak terjadi di Dusun Jambon. Hitungan separoh warga yang hadir dalam setiap rapat adalah wajah-wajah muda. Dari kesepuluh dusun yang jadi mitra dalam CBA-WASH Program IRD ini, Jambon adalah satu-satunya dusun yang memiliki spirit “kaum muda memimpin”. Boleh jadi virus “kaum muda memimpin” di Jambon itulah yang juga telah terinjeksikan di ranah politik Desa Bawuran. Terbukti, secara demokratis, Kepala Desa Bawuran yang terpilih dan menjabat saat ini adalah salah seorang pemuda, warga Jambon pula. Dalam usianya yang masih tergolong muda lagi bujang, Harmawan (30 tahun), mampu menjalankan peran sebagai seorang Kades yang piawai mengimplementasikan spirit kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro: “Ing ngarso asung tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani”. Dari segala penjuru posisi, ia bisa mengambil multi peran seorang pemimpin, di depan memberi contoh, di tengah membangun kebulatan tekad/kehendak, di belakang memberikan dorongan. Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Desa, Harmawan pun tetap berupaya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya, untuk mengikuti rapat maupun kerja-kerja gotong royong yang digelar warga Dusun Jambon. Tanpa rasa sungkan, ia memposisikan diri sebagai warga dari Kepala Dusun, Gusmanto. Lagi-lagi, fenomena yang jarang dijumpai di dusun kebanyakan.
Hasil rekam jejak CBA-WASH Program di Dusun Jambon ini, terasakan sungguh antusiasme warga dalam berpartisipasi. Warga mengangap bahwa program itu adalah hajadan seluruh warga dusun Jambon. Merekalah yang merasa punya kebutuhan dan gawe(hajadan), bukan IRD. Di mata mereka, posisi IRD adalah perantara/ mediator utama atas bantuan sarana air bersih itu. Layaknya orang Jawa yang punya hajad, atas inisiatif dan rembug warga sendiri, dua kali mereka menggelar kenduri dusun (doa bersama dan bertirakat semalam suntuk), yaitu sebelum dan sesudah pengeboran sumur. Pembagian peran baik di dalam kepanitian maupun di antara warga Jambon sangat jelas terlihat. Mereka membentuk Tim Penanggungjawab atau yang biasa mereka sebut sebagai Tim Sembilan. Di dalamnya terdapat beberapa penanggungjawab utama. Misalnya penanggungjawab pengerjaan sumur bor (Gusmanto), penanggungjawab reservoir(Supriyanto), penanggungjawab penerimaan material (Waluyo, Ponidi, Triyoko). Pembagian tugas dan kewenangan secara terpilah di jajaran kepanitian dusun memungkinkan keterlibatan yang maksimal dari semua pemangku kepentingan (kontraktor pengebor sumur, supplier, pemerintah, YCAP, dan juga IRD). Tak dikenal dalam kamus mereka kata iren (ogah-ogahan, saling tunggu untuk merampungkan suatu pekerjaan). Panduan standar konstruksi dari IRD dipelajari, dipahami dan diimplementasikan sepenuhnya oleh Tim Tukang yang telah memperoleh pelatihan. Sesuai kesepakatan pula, setiap KK bergiliran menghidangkan minuman dan penganan untuk Tim Tukang Jambon dan para pengebor sumur (meski sebetulnya tidak ada keharusan karena pekerja sudah menjadi tanggungan kontraktor, Nur Taufik), maupun untuk para warga yang melakukan kerja gotong-royong. Nyaris seluruh KK di Dusun Jambon (200 KK) mendapatkan giliran untuk tugas itu.
Implementasi program yang terkelola dan terorganisir baik oleh kepanitiaan dusun pada akhirnya membuahkan hasil kerja yang memuaskan dan tepat waktu pula. Waktu efektif untuk pengeboran sumur sedalam 92 meter berikut finishing-nya terselesaikan selama 30 hari. Pembuatan 2 reservoir terselesaikan hanya dalam 20 hari kerja, termasuk 4 hari kerja gotong royong oleh warga. Sedangkan untuk penggalian jalur pipa transmisi (antara sumur bor dan 2 bak penampung air) sepanjang 1,2 kilometer berhasil dituntaskan warga hanya dalam hitungan 1 hari saja. Tercatat selama berlangsungnya CBA-WASH Program, warga juga telah melakukan kerja bakti akbar setidaknya 5 kali, serta belasan kali menggelar rapat warga/rapat kepanitiaan.
Ketika penulis menghadiri dan menyimak sejumlah rapat warga secara intens di penghujung program, sebagai bagian dari Rencana Kerja Tindak Lanjut Program secara mandiri, antusiasme warga tetap masih tinggi. Meski sempat terbersit keraguan perihal pembiayaan saluran rumah secara swadaya, namun warga tetap sigap ketika harus menyusun kepengurusan kelompok pemakai air. Paska Pelatihan Operasional Maintenance, tepat pada rapat warga perdana tertanggal 15 Desember 2009, pengurus Kelompok Air Bersih Tirto Agung terbentuk. Kepengurusan merepresentasikan warga dari seluruh RT (empat RT). Rapat-rapat lanjutan membahas penetapan AD/ART kelompok dan agenda kerja selama setahun mendatang (2010). Agenda kerja pengurus pun telah tertuang dalam deretan panjang aktivitas, hingga memenuhi bulan-bulan dalam kalender tahun 2010. Salah satu agenda kerja terberat yang disepakati adalah penghitungan budget pemasangan instalasi saluran rumah. Sebagai dasar perhitungan, panitia harus melakukan aktivitas ekstra khusus, yaitu kerja bakti pemetaan jalur untuk saluran rumah sebanyak 189 titik. Agenda kegiatan itu sendiri jatuh pada akhir bulan Desember 2009, dua minggu setelah kepengurusan terbentuk. Kerja bakti semacam itu memang tak lazim terjadi, pasalnya butuh keahlian teknis layaknya staf Departemen Pekerjaan Umum. Namun lagi-lagi inilah perkecualian warga Dusun Jambon.
Dengan diawaki oleh 6 pemuda dusun lulusan STM, yang juga pengurus Kelompok Air Bersih Tirto Agung, dengan ditemani sejumlah warga, kerja bakti yang membutuhkan ketrampilan dan kecerdasan otak itu terselesaikan secara tuntas, dengan hasil capaian yang sempurna. Rupanya, kerja bakti otak itu tak luput dari keterlibatan dan campur tangan dua punggawa desa mereka yang sangat merakyat, Kadus Gusmanto dan Kades Harmawan. Bermodalkan kebulatan tekad, keguyuban, dan keuletan, warga berhasil merampungkan pemetaan hanya dalam waktu 2 hari saja. Dari pemetaan, teridentifikasi seluruh kebutuhan material dan rancang gambar pengembangan saluran rumah sebanyak 189 titik. Rencana pengembangan saluran rumah itu sendiri dijadwalkan selesai sebelum musim kemarau tiba, sekitar pertengahan 2010. Setelah kepentingan urgen itu terpenuhi, warga juga bermaksud memanfaatkan air yang terbuang dari sumur bor itu untuk perikanan. Warga menyepakati untuk membuat kolam ikan dan kolam renang. Tujuan utamanya adalah terciptanya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan bagi kaum muda. Keduanya akan diintegrasikan pula dengan sentra peternakan sapi yang menjadi matapencaharian andalan warga, terutama para bapak - generasi tua Dusun Jambon.
Faktual apa yang diungkapkan Kades Harmawan kepada penulis, sebagaimana yang tertera dalam kutipan di atas. Dalam pandangan yang cukup visioner, Harmawan menuturkan lebih rinci perihal perencanaan warga ke depan. Berbinar penuh optimisme, ia lebih jauh mengungkapkan: [4]
Terkait dengan pemanfaatan air ini, menurut rencana masyarakat sendiri kedepannya ingin mengembangkan untuk program pemberdayaan masyarakat... Warga nampaknya berfikir tentang bagaimana mereka bisa mendatangkan income dusun melalui bisnis yang mungkin dilakukan di sini. Misalnya kolam renang, kolam perikanan/pemancingan. Paling hanya butuh modal kecil saja mungkin rencana itu sudah bisa berjalan. Misalnya kandang kelompok punya modal berapa, kelompok lainnya punya modal berapa, semua kita kerahkan untuk sesuatu yang bisa mendatangkan income bagi dusun/desa ini.
Nampak jelas, melalui kerja-kerja yang terlembagakan, warga terdorong menggulati berbagai inisiatif cerdas yang tak lazim. Kiranya tak berlebihan jika mereka disebut sebagai kaum cerdik cendikia dusun. Mereka adalah para local genius yang sungguh-sungguh cerdas dan membumi, guyub-rukun dan terorganisir. Pola kepemimpinan formal yang kharismatik dan merakyat pun semakin meneguhkan keberdayaan warganya. Dalam kondisi semacam itu, tak ada yang perlu diragukan. Hampir bisa dipastikan program akan terkelola dan terlestarikan secara otonom oleh mereka sendiri. Sepantasnya jika kita berguru pada mereka tentang program yang berkelanjutan (sustainable program) sebagaimana telah terejawantahkan dalam keseluruhan kiprah/praksis warga Jambon dalam CBA-WASH Programini.
Kebosungu II = Warga yang Penuh Rasa Syukur
Entah legenda apa hingga dusun itu diberi nama Kebosungu. Penamaan berbasa Jawa itu secara harafiah berarti kerbau-(ber-)tanduk. Sudah lazimnya kerbau bertanduk. Namun pasti ada alasan mengapa dinamai kerbau-tanduk. Mungkin saja karena tanduknya super jumbo. Boleh jadi juga karena kerbau itu adalah kerbau aduan, meskipun itu langka. Entah. Tak seorang pun tahu tentang asal muasal sebutan itu, termasuk warga Kebosungu sendiri. Tapi setidaknya, ada kesan yang terlintas di benak orang ketika mendengar sebutan Kebosungu. Di benak penulis sendiri sebutan itu mengimajikan tentang kekokohan, keperkasaan, ketangguhan, kehandalan, dan daya juang. Tanpa bermaksud mematut-matutkan imaji, bagi penulis, gegambaran simbolis itu jumbuh dengan situasi hidup dan karakter warga Kebosungu II yang senyatanya.
Secara geografis, Dusun Kebosungu II terletak di ujung paling tenggara dari peta wilayah Kabupaten Bantul. Dusun satu ini tergolong dusun yang paling terpencil dan terpisah jauh dari dusun-dusun lain di kawasan Desa Dlingo. Kebosungu I adalah satu-satunya tetangga dusun terdekat, bersebelahan persis di sisi utaranya. Dari sisi jarak, Dusun Kebosungu II ini sebenarnya lebih dekat dengan Ibu Kota Kabupaten Gunungkidul ketimbang Ibu Kota Kabupaten Bantul. Untuk pergi ke daerah Gunungkidul, warga biasanya hanya perlu melintasi rute potong kompas, dengan cara menyeberangi sungai di sisi selatan dusun. Perbukitan di seberang sungai sudah termasuk wilayah Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.
Menilik kedekatannya dengan wilayah Gunungkidul, sudah bisa diduga, kondisi medan Kebosungu II tak jauh berbeda dengan dusun-dusun di telatah perbukitan Gunung Seribu. Saat menyusuri satu-satunya jalan aspal menuju dusun terpencil itu, di kanan kiri jalan kita akan jumpai seluasan perbukitan gersang. Hijau dedaunan seakan hanya sehiasan dari latar warna putih bebatuan yang membelasahi sekujur perbukitan. Di sejumlah bukit sekeliling pemukiman, reruas lahan terasering untuk tanaman palawija nampak terbedeng rapi layaknya tumpukan gelang-gelang putih. Di perbukitan tandus itu, sengatan panas musim kemarau tak pernah mengijinkan warga untuk memanen apapun kecuali pakan ternak dan kayu bakar. Nampak jelas, kondisi alam benar-benar tidak memberi kemudahan hidup bagi penghuninya. Menurut warga Kebosungu II yang mayoritas adalah petani, tanaman pangan pun hanya bisa tertuai berkat musim penghujan. Hadirnya musim penghujan adalah dambaan. Itulah satu-satunya peluang warga bisa menikmati hasil panenan.
Ketika mulai memasuki area pemukiman, rumah-rumah warga terlihat berdiri bergerombol sejajar dengan poros jalan aspal dusun. Memanjangnya area pemukiman itu memang tebentuk oleh apitan dua lembah sungai yang cukup curam di kanan kirinya. Lembah Sungai Opak berada di sisi timur, sementara lembah anak Sungai Oya di sisi baratnya. Kedua lembah aliran sungai itu jauh dari jangkauan warga yang memang bermukim di pelataran punggung perbukitan. Letak dusun yang berada di ketinggian punggung perbukitan benar-benar tak menguntungkan warga dari sisi mengakses air. Untuk menuju sumber mata air yang bersandingan persis di bantaran Sungai Opak, warga terlebih dulu harus menuruni lereng bukit yang curam, juga terjal. Setidaknya ada 4 titik sumber mata air di sepanjang bantaran Sungai Opak itu. Dua sumber mata air dimanfaatkan oleh warga Kebosungu I, sementara dua lainnya untuk Kebosungu II. Keempat sumber itu sebenarnya berupa sumur tampungan saja (yang merupakan program bantuan dari Departemen Pekerjaan Umum di era 1980-an). Sumber mata airnya sendiri berada di kawasan hutan Desa Jambe, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.
Air adalah kemewahan, begitulah kira-kira gambaran implisit warga Kebosungu II dalam seluruh kisah di atas. Bisa dikatakan bahwa peradaban Kebosungu II secara eksistensial memang tersusun dari sejarah-panjang perjuangan warga dalam mendapatkan air bersih. Saksi kunci atas perjuangan panjang itu tak lain adalah tetua dusun, Mathori (55 tahun), yang sejak sekitar 25 tahun lalu didaulat warga menjadi Kepala Dusun Kebosungu II. Sosok pemimpin yang ramah, kharismatik, amanah, dan merakyat satu ini memang sangat fasih saat mengisahkan perjuangan warganya untuk bertahan hidup di wilayah yang gersang dan tandus itu. Selama menjabat kepala dusun, Mathori bersama sejumlah tokoh tak ada hentinya berfikir dan “berjempalitan” mensolusikan persoalan warga. Berlarutnya keprihatinan menempa Mathori semakin kreatif, luwes, dan bahkan harus “tidak punya rasa malu”, begitu kelakarnya dalam sebuah wawancara. Warga-lah yang merasakan buah dari sikapnya itu. Banyak sekali bantuan berhasil ia datangkan ke Kebosungu II, seperti dari berbagai kalangan pemerintah, Ornop, perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan lain-lain. Sebagian besar bantuan datang berkat rai gedhek(rasa tak tahu malu) Mathori saat “menodong” bantuan di sana-sini. Warga pun mengakui keluwesan dan kepiawaian kepala dusunnya dalam urusan “menjolok” bantuan semacam itu.
Berkisah tentang kelangkaan air, mendarah daging betul bagaimana rasanya ketika sejak kecil Mathori harus ngangsu (ambil air) dengan menggunakan pikulan selama bertahun-tahun. Kesibukan itu tetap saja berlangsung baik ketika musim kemarau maupun musim penghujan sekalipun. Baru sejak adanya bantuan Penampungan Air Hujan (PAH), akses air sedikit termudahkan, meski hanya bertahan dalam hitungan minggu. Setelahnya, aktivitas ngangsu pun berjalan lagi. Sesekali, saat tersandera kesibukan atau badan tengah butuh dimanja, dan kondisi kocek keluarga memungkinkan, Mathori memilih membeli air dari truk tanki air yang biasa menyambang secara musiman ke Dusun Kebosungu II. Kisah Mathori tak jauh beda dengan kisah warga Kebosungu II pada umumnya.
Kondisi sedikit berubah ketika jaringan kawat PLN masuk dusun, sekitar akhir dekade 1980-an. Sejak itu, warga pun mulai mengenal dan berurusan dengan pompa air. Dana iuran warga digunakan untuk membeli beberapa pompa dan perangkat instalasinya. Mulai dari lembah hingga di pelataran atas punggung bukit, pompa-pompa itu dipasang secara bersambungan. Dengan “pompa renteng”—begitu warga menyebutnya—air bisa terangkat secara estafet hingga ke area pemukiman dan ditampung di bak penampungan air milik bersama. Rupanya ketersediaan alat tak sepadan dengan jumlah warga sebanyak 610 jiwa yang terpencar di 6 RT. Banyak warga belum terlayani kebutuhannya. Seiring berjalannya waktu jumlah pompa bertambah, meski tidak sedikit pula yang rusak karena aus. Jika dirata-rata pompa renteng itu hanya berumur 1 tahun saja lantaran beban kerjanya yang berat. Di setiap tahunnya, tak sedikit dana warga yang terserap untuk menutup kebutuhan pompa itu.
Memasuki tahun 2000, keadaan berubah secara signifikan. Program bantuan untuk Desa Tertinggal (P3DT) dari Pemerintah Kabupaten Bantul, sebesar Rp. 150 juta, jatuh ke Dusun Kebosungu I dan Kebosungu II. Semula dana itu direncanakan warga (kedua dusun) untuk mengaspal jalan. Namun proposal itu tidak disetujui Pemda Bantul. Program yang direkomendasikan adalah pengadaan air bersih. Paket dana dua dusun itu akhirnya teralokasikan untuk pengadaan dan pemasangan 2 pompa air merk Submersible (1.500 Watt), dua meteran listrik (3000 Watt), jalur transmisi utama lintas dusun, dan sejumlah bak panampungan air. Warga di kedua dusun merasa sangat terbantu oleh program tersebut.
Selama hampir satu dekade berjalan, kebutuhan warga atas air jauh lebih tercukupi ketimbang dekade sebelumnya. Meskipun demikan, tetap saja muncul persoalan baru. Lagi-lagi, karena tingginya beban kerja, pompa itu berulangkali rusak. Bagi warga, pompa Submersible memang bukanlah pompa air biasa, tapi pompa yang terkategorikan berteknologi tinggi. Selain biaya perawatan dan perbaikannya sangat mahal, pompa jenis itu juga langka di pasaran. Warga pun tidak memiliki pengetahuan dan skill khusus untuk perawatan maupun perbaikan jika terjadi kerusakan. Berulangkali pula, warga kerepotan mencari teknisi handal. Terhitung sejak pertengahan tahun 2008, pompa Submersible Kebosungu II benar-benar mangkrak, teronggok, tak bisa lagi melayani kebutuhan warga di empat RT (RT 1 s/d RT 4) dari enam RT yang ada. Warga RT 5 dan RT 6 Kebosungu II merasa lebih beruntung, karena masih terlayani air oleh jalur pipa transmisi yang teraliri dari pompa Kebosungu I. Menyikapi kerusakan itu, dari hasil rembug warga, terumuskan agenda bersama tentang perbaikan prasarana air bersih yang rusak, sekaligus penambahan jaringan saluran rumah. Program direncanakan berlangsung dari September 2008 hingga September 2009.
Pucuk dipinta ulam pun tiba. Rejeki tak mau kemana lagi. Delapan bulan agenda warga berjalan, tak disangka-sangka, sebuah program LSM hadir di dusun yang malang itu. Program yang telah dimulai warga akhirnya digabungkan dengan program baru tersebut. Menggenapi sejarah panjang program pengadaan air bersih di Kebosungu II, CBA-WASH Program – IRD mulai masuk dan terimplementasikan sejak kuartal kedua tahun 2009. Sebagaimana yang terjadi di Dusun Jambon, IRD bersama punggawa Dusun Kebosungu II menginisiasi musyawarah warga. Hasil permufakatan berhasil mengidentifikasi kebutuhan dusun. Keinginan warga sebetulnya praktis saja, hanya 1 unit pompa untuk menggantikan pompa yang telah rusak. Namun mengingat infrastruktur yang lama belum mencukupi kebutuhan semua warga, maka akhirnya terputuskan rincian bantuan sebagai berikut: 1 unit pompa Submersible (2.200 Watt), jaringan pipa transmisi, 1 unit bak penangkap air, 1 bak penampungan air. Seluruh infrastruktur itu direncanakan untuk mencukupi kebutuhan warga RT 1 – RT 4 saja.
Sejumlah rapat lanjutan digelar untuk mempersiapkan impelementasi program. Hasil bentukan kepanitian dusun (Tim Inti dan Kader Kesehatan) terdiri dari Mathori (penasehat), Habibullah (Ketua Tim), Wandirin, Bukirwan, Badarudin, dan Mujian. Sementara itu, Kader Kesehatan dikoordinir oleh Siti Sumartini, dan Busrotul Bahriyah. Kepanitiaan dusun didominasi oleh kaum tua. Sedangkan kaum muda hanya diwakili satu orang saja, yaitu Wandirin. Dalam implementasi, kepanitiaan dusun berhasil menjalankan peran, tugas, dan kewenangannya masing-masing. Serentetan program pelatihan seperti pelatihan ibu-ibu Kader Kesehatan, pelatihan konstruksi untuk para tukang, bisa berjalan dengan baik. Warga cukup antusias dalam mengikuti berbagai pelatihan itu. Dari ungkapan beberapa anggota tukang yang mendapat pelatihan, mereka merasa mendapat informasi, pengetahuan, dan ketrampilan yang baru seputar pertukangan, terutama dalam hal pembesian bak penampungan air. Antusiasme warga juga tidak melemah, meski beberapa pelatihan harus diadakan di luar dusun Kebosungu II sekalipun. Tak ada persoalan berarti, hingga aktivitas pelatihan usai.
Di tengah perjalanan program, sekitar bulan Agustus 2009, warga RT 5 dan RT 6 tiba-tiba tertimpa nasib apes. Aliran air macet, lantaran pompa Kebosungu I menyusul menumui ajalnya, selang setahun dari pendahulunya, pompa Kebosungu II. Kawan-kawan IRD rupanya tak bisa tinggal diam saat melihat situasi lapangan berubah secara tak terduga begitu. Kondisi lapangan mendorong kawan-kawan IRD lebih bersikap asertif dan bijak. Setelah berembug matang, penyesuaian program akhirnya ditempuh juga oleh kawan-kawan IRD. Assessmentkilat dan rembug warga digelar lagi. Dari hasil identifikasi, sebanyak 88 KK terancam tak terpenuhi kebutuhan airnya. Pertimbangan yang paling menguatkan adalah bahwa di wilayah RT 5 dan RT 6 terdapat banyak keluarga miskin (Gakin). Setidaknya separoh dari 60 KK miskin di Kebosungu II berada di RT 5 dan RT 6 ini. Berdasar pada pertimbangan itu, proposal program yang baru akhirnya disusulkan dan disetujui oleh YCAP II. Tercantum dalam proposal susulan itu, sejumlah infrastruktur yang akan dibangun meliputi 1 unit pompa Submersible (2.200 Watt), 1 unit meteren listrik (4.000 Watt), 1 bak penangkap air, jaringan pipa transimisi, dan 1 bak penampung air. Dari sisi jumlah dan besaran, infrastruktur air bersih untuk RT 5 dan RT 6 ini lebih besar ketimbang infrastruktur untuk RT 1 – RT 4 Kebosungu II.
Demi kelancaran program, kepanitiaan dusun kemudian dibagi menjadi dua. Kelompok I, yang bertugas untuk pengembangan infrastruktur air bersih RT 1 s/d RT 4, ditangani oleh Mathori, Habibullah, dan Wandirin. Sedangkan Kelompok II, yang bertugas untuk pengembangan infrastruktur air bersih RT 5 dan RT 6, diserahkan kepada Badarudin, Bukirwan, dan Mujian. Karena butuh tenaga tambahan, masing-masing merekruit sejumlah warga untuk menjadi anggota tim tambahan. Selama proses konstruksi berlangsung, keduanya melakukan koordinasi dan kerja-kerja secara terpisah. Kendati demikian, di antara kedua tim itu masih saling berkomunikasi. Secara umum, program terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Menyoal partisipasi warga Kebosungu II, ada hal menarik yang perlu dicatat dari kiprah warga RT 1 s/d RT 4. Di kalangan warga empat RT itu telah terjadi pergeseran pola gotong royong. Setidaknya muncul perbedaan pendapat/pemahaman atas itu. Sebagian warga memahami bahwa hal terpenting dan utama dalam kerja gotong royong adalah kehadiran fisik seluruh warga dusun. Namun sebagian lainnya berargumen bahwa kerja gotong royong tidak harus selalu menekankan perihal kehadiran fisik warga, karena ketidakhadiran warga yang telah tersulihi dengan iuran uang pun bisa dianggap sebagai bentuk gotong-royong juga. Kali pertama kerja gotong royong penggalian saluran pipa digelar, sebagian warga datang terlambat, bahkan ada yang baru datang pada tengah hari. Bagi warga yang datang tepat waktu, keterlambatan semacam itu tidak bisa ditolerir. Jika situasi itu dibiarkan akan terjadi ketidakadilan. Sebuah rapat khusus terpaksa digelar sekadar membahas persoalan itu. Perdebatan dua kubu itu cukup alot. Meski tak memuaskan semua pihak, keputusan akhirnya tetap diberlakukan. Pada intinya, semua warga (calon pengguna air) wajib membayar iuran sebesar Rp. 50.000,-. Seluruh iuran itu akan digunakan untuk membayar upah para tukang, hingga seluruh pekerjaan selesai.
Berbeda dengan Dusun Jambon, individualisme warga Kebosungu II jauh lebih nampak. Tingkat kohesi sosial mengendor oleh karena denominasi uang. Situasi itu terjadi bukan tanpa sebab. Ada konteks yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran pola gotong royong itu. Menurut penuturan Mathori, hal itu terjadi karena matapencaharian warga yang cukup beragam. Meski mayoritas adalah petani, namun tidak sedikit warga yang bekerja di sektor informal perkotaan Kota Yogyakara. Di antaranya seperti berjualan mie ayam, bubur ayam, bakso di seputar kampus Universitas Gadjah Mada. Tidak sedikit pula warga yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hanya dalam lingkup RT 1 dan RT 2 saja, setidaknya terdapat 25 warga yang berprofesi sebagai PNS. Terkait dengan hal itu, dalam sebuah refleksi mendalam, layaknya seorang bapak yang bertutur tentang anak-anaknya, Mathori mengisahkan perjuangan keras warganya sebagai berikut:[5]
Jika ditimbang-timbang, warga Kebosungu II memang sudah terbiasa dengan keadaan yang memprihatinkan. Dalam kondisi yang serba terbatas ini, orang jadi kebal dan berani nekad untuk mengadu nasib. Banyak anak yang sejak kecil ditinggal mati orang tuanya, selain karena memang dilindungi oleh Alloh, mereka itu pada akhirnya bisa hidup lebih layak ketimbang teman-teman sebayanya dulu.
Kisah perjuangan warganya menjadi Pegawai Negeri Sipil pun tak luput dituturkan. Lebih jauh, Mathori mengisahkan:[6]
Jumlah PNS di sini memang cukup banyak. Pada tahun 2006 lalu saja, warga yang lolos saringan dan jadi pegawai negeri (tanpa harus mengeluarkan uang) sebanyak 6 orang. Banyak warga dari dusun lain sekecamatan heran tentang diterimanya 6 warga dari Dusun Kebosungu ini jadi PNS. Tapi orang tidak bisa iri setelah menyadari bahwa 6 orang itu memang layak jadi PNS.
Keterbatasan sumber daya alam Kebosungu II telah melecut semangat para warganya untuk mencari sumber penghidupan di luar dusun. Pekerja sektor informal dan PNS itu hanyalah sebagian dari pilihan alternatif yang potensial untuk bisa bertahan hidup di lingkungan setandus Kebosungu II. Meski berpengaruh pada pola interaksi sosial warga di lingkup dusun, namun dua jenis profesi itulah yang nampaknya memang menjadi primadona matapencaharian bagi warga dusun itu.
Difersifikasi matapencaharian warga ternyata cukup mempengharui pergeseran pola pemaknaan dan praksis kerja gotong-royong. Ketimbang kehilangan waktu jam produktif untuk ikut kerja gotong-royong, warga yang berprofesi sebagai PNS/ pekerja di sektor informal lebih memilih untuk membayarkan sejumlah uang. Dalam konteks komunitas yang profesi warganya sangat beragam, kerja gotong-royong terposisikan sebagai battle ground antara pemenuhan kepentingan individu versus kepentingan publik. Sejauh ini, denominasi uang itulah yang sering dipilih sebagai salah satu peluang solusi atas kontroversi perihal kerja gotong royong tersebut. Analisis sosial kontekstual semacam ini tentu saja teramat penting untuk dipertimbangkan pada saat kita merancang suatu program berbasis masyarakat.
Berbeda dengan kasus di lingkup warga RT 1- RT 4, munculnya persoalan di warga RT 5 dan RT 6 Kebosungu II terjadi karena kurangnya sosialisasi panitia di kalangan warga. Beberapa rapat warga sebenarnya telah diselenggarakan oleh panitia. Telah tergariskan dan termufakati juga dalam rapat warga, bagi warga calon pengguna air yang akan memasang instalasi saluran rumah dan meteran air, wajib membayar sebesar Rp. 400.000,-. Selain itu mereka juga diwajibkan membayar iuran sebesar Rp. 50.000,- kepada panitia, sebagai ganti dari kerja gotong royong. Dijelaskan juga dalam rapat tersebut, iuran warga itu akan digunakan untuk biaya operasional tukang. Tidak ada upah untuk para tukang. Seluruh pekerjaan akan dirampungkan oleh tim tukang yang telah ditunjuk oleh panitia dusun. Terkisah oleh Mujian, Ketua Tim Inti dan Ketua RT 6, bagaimana panitia dusun menjelaskan tentang CBA-WASH Program kepada warga:[7]
Awalnya, kami mengadakan pertemuan warga, dan memberitahukan kalau ada bantuan dari IRD. Bantuan itu segala sesuatunya diserahkan ke warga. Wargalah yang harus mengelola secara mandiri. Jangan sampai bantuan itu nanti mendatangkan konflik di masyarakat. Air itu dingin, tapi tidak jarang air itu terasa panas, jika dirasa-rasakan.
Namun, boleh jadi karena ini adalah program susulan maka kepanitiaan sepertinya tidak memiliki cukup waktu untuk mendialogkan seluruh informasi program secara intens kepada warganya. Karena mengejar tenggat waktu, perhatian Tim Inti lebih banyak terfokus pada pengerjaan konstruksi sarana air bersih. Dalam perjalanannya, semangat keswadayaan warga kurang tergali/terfasilitasi dengan baik. Berkembang rumor, rerasan, dan pergunjingan di kalangan warga tentang panitia dusun yang meraup keuntungan dari CBA-WASH Program ini. Warga mengira, Tim Inti mau bekerja keras karena mereka mendapat kerja borongan. Intinya, terjadi salah paham di kalangan warga.
Tak ingin rumor berkembang liar, sebuah rapat mendadak digelar oleh panitia. Khawatir tidak dipercaya warga, panitia mengundang secara khusus sekaligus mendaulat seorang staf konstruksi IRD, kawan Dayat, untuk menjelaskan serinci-ricinya di hadapan warga yang hadir. Setelah informasi seputar CBA-WASH Program dijelaskan secara gamblang, dan duduk perkaranya dikupas tuntas, barulah warga paham. Beberapa hari paska rapat itu, semangat keswadayaan warga pada akhirnya tergali juga. Antusiasme warga terhadap program bisa terbangkitkan. Muncul bukti akurat, jumlah warga calon pengguna air semakin bertambah banyak, dari yang semula hanya 35 KK akhirnya menjadi 60 KK.
Lebih jauh, atas inisiatif pribadi, sejumlah warga mulai menghidangkan minimuan dan penganan ala kadarnya untuk tim tukang/ panitia pengelola air. Panitia merasa berbangga dan berbesar hati atas bangkitnya kesadaran warga tersebut. Bagi Mujian sendiri, antusiasme warga dan panitia pengelola air pantas mendapat acungan jempol. Tanpa henti tim pengelola air bekerja merampungkan bak selama kurang lebih 25 hari. Dengan ikhlas mereka rela bekerja tanpa mengharapkan imbalan apapun, semata-mata demi memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Terkait hal itu, dalam sebuah refleksi pribadi yang sangat religius, Mujian—yang juga seorang Takmir Masjid—secara khusus mengungkapkan spiritulitas terdalamnya sebagai berikut:[8]
Sejak kecil saya sudah terbiasa bekerja keras... Saya mau bekerja seperti ini demi tercukupinya kebutuhan warga... Sering saya diperingatkan istri untuk tidak terlalu memikirkan orang lain. Dalam kenyataannya, saya sendiri merasa tidak bisa meninggalkan itu. Ada seribu jalan bagi kita untuk mendapatkan rejeki.Gusti Alloh mboten sare (Tuhan Maha Tahu). Jadi tidak perlu khawatir. ..Berjuang untuk orang banyak seperti ini tidak akan membuat kita jadi miskin.
Mendalam sungguh, Mujian menanamkan ajaran hidup mulia Hablum Minallah and Hablum Minannas dari Nabi Muhammad S.A.W. Dalam praksis hidup keseharian, ia telah mengejawantahkan keseimbangan antara relasi vertikal dan relasi horisontal. Mencintai Tuhan dan mencintai sesamanya adalah dua relasi yang tak terpisahkan dalam laku hidupnya, sebagaimana yang diyakini dan dihidupi juga oleh insan-insan tokoh Dusun Kebosungu II lainnya seperti Mathori, Habibullah, Badarudin, Bukirwan, Mbah Mbarji, dan lain sebagainya.
Di tengah kepungan kondisi alam yang serba tandus dan keadaan warga yang serba terbatas, mereka tak pernah berpaling dari rasa syukur atas segala kelimpahan cinta-Nya. Melewati transformasi transendental, segala bentuk penderitaaan yang tak terpermanai sekalipun bisa mereka lalui dengan penuh rasa syukur. Karena pada hakekatnya, hidup itu sendiri adalah berkah yang mesti dimuliakan. Ketak-terdugaan atas datangnya bantuan infrastruktur air bersih ini pun mereka maknai sebagai kelimpahan dan kemewahan hidup. Bantuan hanyalah wujud kasat mata dari perhatian dan cinta dari sesama, yang seluruh jalan dan skenarionya telah diatur oleh Sang Empunya Hidup.
Sebagai bentuk keguyuban, warga menggelar sebuah acara pemaklumatan rasa syukur. Diiringi Hadroh muda-mudi dusun, Tasyakuran sederhana yang digelar di sebuah rumah warga itu, persis di depan bak penampungan air, berlangsung khidmat. Bertubi-tubi rasa syukur itu dimaklumatkan para tetua dusun melalui sederetan kata sambutan. Berlimpah rasa terimakasih mereka sampaikan kepada semua pihak—terutama jajaran IRD dan YCAP II—yang telah membantu terwujudnya sarana air bersih bagi warga Kebosungu II. Semua kerja keras berakhir dengan seluruh suka cita warga. Warga sangat bersyukur dan berterimakasih atas bantuan yang tak terduga itu.[9] Secara spontan dan tulus, sederetan panjang warga berjajar hingga tepi jalan dusun untuk menyalami kepulangan kawan-kawan IRD, sebagai tanda terimakasih. Sebuah peristiwa yang sangat membesarkan hati.
Implementasi CBA-WASH Program di Dusun Kebosungu II memberikan banyak pelajaran berharga. Kebersahajaan, ketulusan, dan kegigihan hidup tokoh-tokoh dusun telah menjadi suri tauladan kepemimpinan yang amanah. Asketisme mereka berandil besar pada peningkatan harkat dan martabat warganya. Paska Pelatihan Operational Maintance, mereka juga telah berhasil menyusun kepengurusan dan agenda kerja masing-masing. Di penghujung program, Kelompok Tirto Mulyo (RT 1 s.d RT 4) dan Kelompok Tirto Nguter (RT 5 & RT 6) telah menyelesaikan pembangunan instalasi saluran rumah untuk mayoritas warga. Dalam harapan mereka, apa yang telah dibangun dengan jerih payah itu semoga bisa terawat dan terlestarikan hingga anak cucu mereka.
Parangrejo = Warga yang Berlagak Urakan
Perbukitan curam yang membenteng di sisi timur laut pantai Parangtritis itu bernama Parangrejo. Di sepanjang jalan utama pariwisata pantai hingga tanjakan pertama pereng bukit, lusinan losmen berjajar seolah menunggui dengan setia para wisatawan yang hendak berteduh dari sengatan sinar matahari pantai. Keriuhan wisatawan beradu deru ombak bibir pantai menjadi ucapan selamat datang terhangat bagi siapa saja yang hendak menuju Dusun Parangrejo. Sudut jalan yang meliuk menanjak mengakhiri lempangnya jalanan pantai. Ucapan “Selamat Datang di Kabupaten Gunungkidul” terpampang di tegapnya tugu gapura perbatasan. Di kanan kiri jalan propinsi menuju Gunungkidul itu, pencaran rumah warga tenggelam oleh curamnya tanjakan. Di sekitarnya, pepohonan jati, kelapa, dan beragam kayu keras lainnya bertumbuh menjulang. Rerimbunan pohon berhimpit semak belukar di sela-sela tonggak bebatuan cadas yang membelasah mempertontonkan raut magis, semagis legenda yang hidup di sana.
Sendang Gembirowati dan Sendang Beji adalah dua situs yang berada di dusun termuda di kawasan Desa Girijati itu. Meskipun situs-situs itu telah sangat dikenal oleh banyak wisatawan domestik dari luar daerah, namun kalangan warga tak sepenuhnya peduli atas legenda dan ritual apapun di dua situs tersebut. Samar terlihat, rasa kepemilikan warga atas aset pariwisata dusun. Hanya segelintir warga saja yang memanfaatkan hasil keuntungan ekonomi dari sektor pariwisata tersebut. Kepedulian mayoritas warga muncul sejauh itu terkait dengan terpenuhinya kebutuhan air mereka, baik untuk konsumsi rumah tangga ataupun irigasi lahan pertanian. Cukup mengherankan memang, di ketinggian perbukitan cadas tersembunyi petak-petak kecil persawahan irigasi yang cukup subur. Boleh jadi, keajaiban alam itulah yang dulunya menginspirasi para leluhur dusun untuk menjuluki wilayah itu sebagai Parangrejo, yakni sebuah pereng bukit yang warganya hidup makmur. Ibaratnya nagari, Parangrejo adalah nagari yang subur kang sarwo tinandur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem, karto raharjo (sebuah perlukisan yang merujuk pada wilayah warga yang tingkat kesuburan dan kemakmurannya sungguh tak terpermanai). Tanaman pangan yang tumbuh beragam di musim kemarau bisa menjadi pertanda bahwa lumbung pangan pasti berlimpah. Tak akan ada kelaparan, juga kelangkaan air.
Terlihat jelas di reruas jalan makadam dusun, jejulur selang plasti warna-warni teraliri air dari sumbernya menuju bak penampungan warga. Sendang Beji dan Sendang Gembirowati yang terletak di pelataran atas bukit telah mengucurkan kelimpahan air bagi warganya. Karena berlebih melimpahnya, sampai-sampai air terbiarkan membludak, terbuang percuma. Sekilas menilik berlimpahnya sumber daya alam Parangrejo, agak sulit diterima akal jika warga dusun yang berkecukupan itu masih membutuhkan program bantuan sarana air bersih.
Menyoal keberadaan CBA-WASH Program–IRD di Dusun Parangrejo ini memang memiliki kisah tersendiri. Sangat berbeda dengan Dusun Jambon dan Kebosungu II, program sarana air bersih di Dusun Parangrejo ini bermula dari sebuah proposal yang dilayangkan oleh Pemerintah Daerah Gunungkidul kepada AUSAID, yang kemudian diserahkan penangannya kepada YCAP II. Tujuan utama Pemda adalah seputar rencana pembangunan Sendang Beji untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gunungkidul. Survei awal atas rencana pembangunan Sendang Beji di Dusun Parangrejo dilakukan oleh Anik, staf Bappeda Gunungkidul, sebagai bentuk afirmasi atas hasil Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) Desa Girijati, Kecamatan Purwosari. Karena pada hakekatnya, YCAP II adalah program kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia, maka proposal Pemda itu pun berpeluang diimplementasikan sebagai program titipan. Selanjutnya, jajaran YCAP II menggulirkan program titipan dengan menawarkannya kepada IRD. Meski terbersit keengganan, namun pada akhirnya tawaran diterima dan diimplementasikan melalui CBA-WASH Program–IRD, berbarengan implementasi program di 9 dusun lainnya di wilayah Kabupaten Bantul.[10]
Ditilik dari besaran program, pembangunan infrastruktur Parangrejo ini adalah yang terbanyak dan terbesar dari sembilan mitra lainnya. Fasilitasi pembangunan infrastrukturnya meliputi; 1 bak penangkap air, 1 bak penyaring (sand filter), 1 bak penampung utama, 5 bak penampung sekunder, dan jalur pipa transmisi sepanjang kurang lebih 850 meter. Karena letak sumber mata airnya, Sendang Beji, berada di pelataran atas perbukitan, maka tenaga gravitasi sudah cukup untuk mengalirkan air dari sumber ke bak-bak panampungan, tanpa perlu daya listrik. Jumlah warga penerima manfaatnya sendiri hanya mencakup dua RT yang terletak perbukitan paling bawah dari Dusun Parangrejo, yaitu RT 13 & RT 14, yang jumlahnya berkisar 72 KK saja. Sedangkan empat RT lainnya tak mampu terjangkau oleh layanan infrastruktur karena letaknya yang sangat terpisah jauh di atas bukit.
Mengulas kembali program sarana air bersih di Dusun Parangrejo tersebut, pihak yang paling berkompeten, Purwono, Kasie PMD Kecamatan Purwosari – Gunungkidul, menjelaskan kronologinya sebagai berikut:[11]
Awalnya, kami menilai keberadaan program di Desa Girijati memang sangat rendah dibandingkan dengan keempat desa lainnya (Giriasih, Giritirto, Giricahyo, dan Giripurwo-red). Sebelumnya, hanya ada program-program resmi dari pemerintah, dan belum ada kemitraan dengan lembaga donor seperti desa lain di Purwosari. Maka pada saat ada survei dari Bappeda, yang dipimpin oleh Ibu Anik, maka terputuskan Desa Girijati menerima program Kemitraan Indonesia- Australia yang programnya dijalankan oleh IRD ini. Sejak awal survei, perencanaan pembangunan khusus untuk Desa Girijati ini memang kami ajukan.
Meski usulan berasal dari bawah (Musrenbang Desa), namun rupanya program sarana air bersih itu lebih didorong oleh motif “pemerataan kue pembangunan”, bukan didasarkan pada urgensi kebutuhan warga. Justifikasinya pun lebih merujuk pada capaian makro jangka panjang, yaitu terdongkraknya Pendapatan Asli Daerah. Tak jumbuhnya keberadaan program dengan tingkat urgensi kebutuhan warga, terpapar dalam ungkapan Suwardi, Kepala Desa Girijati. Lebih jauh, ia menegaskan:[12]
Selama ini, dusun yang paling kesulitan air sebenarnya adalah dusun Dringo. Warga hanya bisa mendapatkan air dari danau di belakang Balai Desa (Girijati-red) ini. Dan kalau kemarau pasti air dari danau ini tidak mencukupi karena mengering. Warga Dringo sendiri pasti sangat terbantu jika ada bantuan seperti itu (CBA-WASH Program-red).
Terulas oleh Suwardi bahwa sebenarnya Parangrejo bukanlah dusun yang tepat bagi terimplementasinya program sarana air bersih.[13] Akan tepat jika program diimpelentasikan di Dusun Dringo, dusun tetangga terdekat yang terletak di sisi utara Parangrejo. Problem kelangkaan air selalu menyambang saat musim kemarau datang. Mayoritas warga Dringo terpaksa harus merogoh kocek dalam-dalam untuk sekadar mendapatkan air bersih. Kendati memunculkan otokritik yang cukup tajam, namun Suwardi rupanya tetap memiliki justifikasi tersendiri maupun visi jangka panjangnya sebagai seorang kepala desa. Ia tidak menampik perihal manfaat jangka panjang dari program pengadaan air bersih di Dusun Parangrejo tersebut. Terangkatnya bisnis air dan potensi pariwisata Parangrejo akan berdampak pada peningkatan pendapatan warga dan tentunya juga Pendapatan Asli Daerah, begitu ia meyakini.
Menimbang konteks kebijakan yang “semi top-down” semacam itu, tak ada pilihan lain bagi IRD selain menggunakan prinsip minus malum (memilih yang terbaik dari yang kurang baik). Tersadari sejak semula, dalam survei awal kawan-kawan IRD, bahwa warga Parangrejo di RT 13 & RT 14 sebenarnya tidak merasa butuh atas air bersih ini. Fakta lapangan membuktikan urgensi kebutuhan warga atas air bersih sudah tercukupi oleh air Sendang Beji yang dialirkan lewat selang hingga ke rumah masing-masing. Artinya, implementasi program itu hanya sekadar mengganti kelayakan infrastruktur saja, bukan memenuhi urgensi kebutuhan warga. Namun apapun bunyi fakta lapangan, program tetap harus diimplementasikan. Berprinsipkan pantang surut langkah, jajaran IRD bersama warga Parangrejo tetap menginisiasi CBA-WASH Program, tentu saja dengan segala risiko dan konsekuensinya. Dalam perjalannya nanti, implementasi program menghadapi berbagai persoalan yang sebagian diantaranya muncul karena opsi kebijakan yang “semi top-down” ini. Salah satu problem yang paling gamblang adalah tingkat partisipasi setengah hati dari warga Parangrejo.
Seiring berjalannya waktu, CBA-WASH Program mulai diimpelentasikan. Sebagaimana ke sembilan dusun lainnya, IRD bersama tokoh-tokoh dusun menggelar musyawarah warga. Setidaknya ada tiga agenda penting dalam setiap musyawarah warga tersebut: pertama, mensosialisasikan seluruh informasi program; dan kedua, menggali bersama kebutuhan warga dusun (dengan menggunakan metode Diskusi Kelompok Terarah/Focus Group Discussion-FGD); ketiga, pembentukan Kader Kesehatan dan Tim Inti (panitia dusun). Namun untuk kasus Dusun Parangrejo, karena rincian infrastruktur yang akan dibangun sudah jelas (terkait kebijakan “semi top-down”), maka agenda penggalian kebutuhan-urgen tidak terjadi dalam musyawarah tersebut.
Sesudah menjelaskan hakekat CBA-WASH Program berikut kronologinya hingga program tertuju di Parangrejo, IRD kemudian mengkonfirmasi kesanggupan warga untuk menjalankan program secara swadaya/gotong-royong. Menimbang banyaknya jumlah infrastruktur yang akan dibangun, IRD secara khusus mengalokasikan paket uang makan sebesar Rp. 17 juta untuk gotong-royong warga, sampai seluruh target pekerjaan terselesaikan. Warga pun menyatakan kesanggupannya. Mereka selanjutnya membentuk kepanitian dusun. Proses penyusunan berjalan lamban dan alot, terutama pada saat penentuan ketua panitia. Saling merasa tidak mampu, warga baku-lempar posisi ketua. Berkat campur tangan dan desakan Kepala Desa Girijati, barulah pada akhirnya kepanitiaan terbentuk, dengan komposisi peran sebagai berikut: Kepala Dusun Murjiyono (penasehat), Mujiyono (ketua), Harjito (sekretaris), Ngadiyono (bendahara), Sudarti dan Sukarti (kader kesehatan).
Satu demi satu aktivitas program mulai diimplementasikan. Rentetan pelatihan Kader Kesehatan berjalan dengan baik dan lancar. Antusiasme ibu-ibu kader menunjukkan tingginya tingkat partisipasi mereka atas program. Jadwal kegiatan mingguan dan bulanan pun tersusun rapi. Promosi kesehatan semakin terkuatkan dan tersinergikan berkat keterlibatan aktif dari jajaran Puskesmas Purwosari. Jalinan kerjasama dengan Puskesmas semakin kuat, ketika IRD mengadvokasi sebuah temuan isu kesehatan yang sangat krusial, yaitu keberadaan limbah kondom yang tidak dikelola dengan baik oleh para pemilik losmen di wilayah Parangrejo. Jajaran Puskesmas Purwosari pun bergerak sigap dalam menindaklanjuti advokasi tersebut. Menurut kabar terakhir, Puskesmas bersama dengan dinas-dinas telah berkoordinasi dan melakukan pendekatan kepada para pemilik losmen untuk mensolusikan masalah tersebut.[14]
Berbeda dengan kegiatan Promosi Kesehatan, implementasi program konstruksi di Parangrejo ini, ternyata harus menghadapi banyak kendala. Terjadi fluktuasi terkait dengan tingkat partisipasi warga. Secara tak terhindarkan, sejumlah kegiatan dusun sedikit banyak telah menimbulkan ketidak-stabilan tingkat partisiapsi warga. Beberapa kategori kegitaan itu di antaranya: (1). Kegiatan sosial kemasyarakatan: ada hajatan, layatan, dll.; (2). Kegiatan program pemerintah desa, misalnya rapat, penyuluhan, kunjungan pejabat, dll; (3). Kegiatan program lembaga lain (kuasi pemerintah), misalnya pembangunan saluran irigasi PNPM; (4). Kegiatan yang terkait dengan mata pencaharian mereka, seperti bercocok tanam, pertukangan, dll
Selain itu, sebagaimana yang telah diperkirakan sejak awal, berbagai kendala muncul lantaran tidak jumbuhnya antara inisiasi program dan kebutuhan warga. Bagaimanapun juga warga merasa bahwa fasilitas infrastruktur sarana air bersih ini bernilai di antara kebutuhan dan bukan kebutuhan. Sisi ambiguitas perasaan, antara butuh dan tidak butuh itulah yang membuat warga merasa enggan, tepatnya ogah-ogahan. Hal itu tentu sangat berakibat pada tingkat partisipasi yang serba setengah-setengah, tanggung (mediocre), dan mengambang (floating). Tinggi tidak, rendah pun juga tidak. Karena serba tanggung, si partisipannya sendiri biasanya bertindak—meminjam istilah anak muda—semau gue (semauku, tergantung susana hatinya/moody) atau meminjam istilah Jawa “sak penake udele dewe” (bertindak seenaknya sendiri). Istilah itu juga merujuk beberapa sifat seperti: mau menang sendiri, keras kepala, suka ngomong serampangan (kasar dan jorok), berbagai tindakan dan ucapannya cenderung tidak menenggang perasaan orang lain. Kalau seluruh sifat itu dirangkum, mungkin ada satu istilah sifat yang bisa mewakilinya yaitu urakan.
Boleh jadi istilah sak penake udele dewe/urakan itulah penggambaran yang paling pas atas warga Parangrejo. Dalam berbagai hal, sepak terjang warga cenderung mengarah ke sifat-sifat itu. Kali pertama berjumpa—belum berkenalan—dengan warga di lokasi kerja konstruksi, penulis sudah dibuat tak berkutik oleh warga. Sembari utak-utik menggarap pembesian bak utama dan bak penyaring, warga diperkenalkan dengan penulis oleh kawan Satya, staf konstruksi IRD. Seolah mendapat garapan baru, mereka bersautan melayangkan komentar dan sindiran kepada penulis. Dianggap sebagai staf IRD yang baru (setidaknya baru muncul dihadapan mereka juga), penulis seolah layak untuk dijadikan sasaran perploncoan uji-mental oleh mereka. Sembari memelintir seutas tali bendrat di anyaman besi, seorang pekerja tiba-tiba melayangkan sindiran pedas kepada penulis:[15]
Nek pegawai anyaran ki mestine ya pangerten. Teko mrene ki mestine ya karo nyangking nasi padang kanggo sing da nyambut gawe. Sukur nek rokoke sisan ya ditukokke, ben rasane cangkem ki ora kecut. Lha ngopo mrene, nek ora nggegawa apa-apa ngono kuwi... [ Jadi pegawai baru semestinya pengertian. Datang ke sini seharunya membawa bungkusan nasi padang untuk para pekerja. Akan lebih baik lagi jika dibelikan rokoknya sekalian, biar mulut tidak terasa kecut begini. Untuk apa datang ke sini jika tak membawa apa-apa seperti itu...]
Sontak gelak tawa belasan warga lainya pun membuncah, hingga terkekeh panjang, tanda setuju. Mengguncang. Baru saja kenal, penulis sudah dipecundangi oleh sindiran yang tak bersahabat itu. Seumur-umur, rasanya baru kali ini penulis “tertampar” oleh sebuah fakta yang tak lazim tentang sebuah komunitas perdesaan Jawa yang benar-benar nyentrik, bahkan sangat nyleneh. Ternyata, penulis bukanlah satu-satu “korban”. Bagi kawan Satya, beragam kesinisan warga Parangrejo adalah makanan kesehariannya, yang sejak Agustus 2009 bertugas khusus sebagai staf konstruksi IRD di dusun itu. Tak jarang, “bogem mentah” celotehan warga pun membuat jajaran staf IRD merasa ciut-mental, tersudut saat melakukan visitasi. Selama proses konstruksi berjalan, pola komunikasi warga tetap menunjukkan konsistensinya. Ternyata siapapun berpotensi untuk menjadi korban celotehan warga, entah itu salah seorang dari mereka atau bahkan orang asing yang tengah lewat sekalipun. Kata-kata yang menusuk—terkadang juga melecehkan—pun begitu gampangnya meluncur dari mulut mereka.Bagi penulis sendiri, warga dusun satu ini benar-benar ganjil, sekaligus fenomenal.
Terkait dengan kerja konstruksi, sepertinya tak ada hari tanpa keluh kesah dan gerutu warga. Di seluruh jajaran warga, mulai dari ketua panitia hingga anggota biasa, mengantongi amunisinya masing-masing untuk diberondongkan dalam keluh kesah. Saban hari, aneka komplain berhambur, hingga daun telinga serasa hendak mengatup, lantaran sudah terlalu sering mendengarnya. Di beberapa kesempatan, warga selalu mengulang pernyataan yang sangat sarkastik berikut ini:[16]
Apa bedane kerja iki karo kerja Rodi? Nek dibandingke, kerja Rodi mungkin malah luweh kepenak tinimbang kerja iki. Seprana seprene kok mung diplenet ora ana hasile apa-apa. Aja meneh nggo mangan, nggo tuku ngombe karo rokok wae ora cukup. [Apa bedanya antara kerja gotong-royong ini dengan kerja Rodi? Jika dibandingkan, kerja Rodi mungkin justru lebih enak ketimbang kerja gotong-royong ini. Sekian lamanya kok hanya diperas, tidak mendapat apa-apa. Jangankan membeli makan, untuk sekadar beli minum dan rokok pun tidak mencukupi.
Tertegaskan dalam ungkapan itu, segala kegiatan program nampak serba membebani dan memberatkan warga. Menimbang menguatnya keluhan warga, dan menghitung juga peningkatan volume kerja lantaran terjadi perubahan gambar konstruksi (bak penyaringan), IRD kemudian melakukan negosiasi ulang dengan warga. Uang makan untuk kerja gotong royong yang semula hanya sebesar Rp 17 juta, akhirnya ditambah lagi hingga menjadi Rp 24 juta.
Menurut hasil kajian jajaran internal IRD, persoalan partisipasi setengah hati itu bukan semata karena program yang tidak tepat sasaran saja. Lebih dari itu, karakter warga Parangrejo yang sangat khas itu telah lama terkonstruksi oleh beberapa faktor berikut ini: Pertama, liminalitas kultur masyarakat yang berkorelasi dengan sektor kepariwisataan Pantai Parangtritis (transisi antara perdesaan dan urban). Pola komunikasi verbal yang blak-blakan, tidak jarang juga sangat vulgar (outspoken/blatant) itu menegaskan bahwa di dusun itu telah terjadi pergeseran norma. Meski tinggal di wilayah perdesaan, dalam beberapa hal warga tidak lagi menghidupi kekhasan norma atau etika perdesaan Jawa pada umumnya. Kedua, minimnya peran/terbatasnya kapasitas kepemimpinan formal di dusun itu. Bagi mayoritas warga, usia jabatan Kepala Dusun, Murjiyono (40 tahun), yang belum ada setahun dianggap masih terlalu muda, belum berpengalaman dalam memimpin. Daya pengaruhnya pun dinilai warga masih lemah dan belum teruji. Pandangan yang mencerminkan ketidakpercayaan semacam itu praktis membuat Murjiyono tidak bisa menempuh kerja-kerja koordinatif di tingkat warganya. Ketiga, minimnya—untuk tidak menyebut ketiadaan—sosok kepemimpinan kharismatik. Situasi ini berdampak pada minimnya motivator/ penggerak di tingkat warga, yang tentu saja akan berdampak pada mudah-limbungnya partisipasi warga. Hasil analisis internal IRD ini semakin terkuatkan oleh pernyataan Kepala Desa Girijati sendiri. Berkomentar seputar partisipasi warga, Suwardi secara khusus mengungkapkan:[17]
Sebagai kepala desa, saya mengerti seberapa besar partisipasi warga dusun Parangrejo. Saya tahu persis mengenai hal itu. Sebenarnya warga Parangrejo yang tingkat partisipasinya cukup besar adalah warga yang berada di wilayah atas, seputar balai dusun. Untuk Parangrejo bagian bawah partisipasinya rendah. Harap maklum saja karena memang mereka sudah dekat dengan iklim pariwisata pantai Parangtritis. Motif ekonominya tinggi.
Terkait dengan problem kerja gotong-royong, Dusun Parangrejo rupanya juga menjumpai persoalan serupa dengan Dusun Kebosungu II, seperti terurai di atas. Keberagaman matapencaharian warga dusun sangat mempengaruhi tingkat partisipasi warganya untuk bergotong-royong. Di sini terjadi juga tarik ulur/tegangan kepentingan, antara kepentingan publik dan kepentingan privat. Muncul dilema besar terutama bagi warga Parangrejo yang berprofesi sebagai tukang, karena tingginya serapan CBA-WASH Program atas tukang, secara tidak langsung telah memperkecil peluang (opportunity) para tukang itu untuk mendapatkan penghasilan yang memadai bagi keluarganya. Mereka menanggung beban ganda.
Mempertimbangkan seluruh konteks persoalan warga dan juga kemendesakan tenggat waktu, jajaran IRD bermufakat menginisiasi dan mengimplementasikan sebuah program percepatan, dengan melibatkan staf Temporary Field Community Mobilization. Pada intinya mereka bertugas melakukan pendekatan kepada warga, menggali masukan terkait persoalan yang dihadapi warga, dan mendorong munculnya inisiasi warga untuk proses percepatan penyelesaian program. Setelah penulis melakukan pendekatan personal ke beberapa tokoh kunci, tergali sejumlah masukan dan kritik dari warga Parangrejo.
Tersingkap dalam pendekatan personal tersebut, bagaimana fluktuasi emosi warga terjadi. Terombang-ambing oleh situasi yang serba tidak menentu, warga jadi bertingkah urakan, sak penake udele dewe (semaunya sendiri), seperti terurai di atas. Berbagai kritik dan masukan warga itu terangkum dalam poin-poin berikut:[18]
1. Model pemberian bantuan infrastruktur sarana air bersih - IRD ini bagi warga Parangrejo dinilai sebagai sesuatu yang asing dan baru. Belum pernah ada program bantuan sebesar itu di Parangrejo. Belum pernah juga dikenal warga, model perpaduan antara bantuan dan tuntutan keswadayaan warga dalam skala besar semacam itu. Sebagai sesuatu yang baru, warga sebetulnya butuh waktu untuk memahami.
2. Pada saat IRD mensosialisasikan program dan menjelaskan hak dan kewajiban, warga belum bisa mencerna informasi program secara utuh berikut mekanisme implementasinya. Misalnya tentang negosiasi uang makan sebesar Rp. 17 juta, tanpa petimbangan yang panjang, warga menyatakan kesanggupannya. Dalam proses perjalannya warga baru sadar bahwa Rp. 17 juta (yang bertambah menjadi Rp. 24 juta setelah negosiasi ulang) ternyata sangat mepet, selain karena banyaknya jumlah dan rincinya infrastruktur yang harus dibangun, juga karena kondisi medan yang sangat berat dan berjauhan. Pada saat menyatakan kesanggupan itu, warga sebenarnya belum punya dasar kalkukasi rasional yang jelas atas detail aktivitas. Misalnya, konstruksi bak penampungan sepengetahuan mereka cukup menggunakan susunan batu bata saja, bukan memakai tulangan besi. Warga merasa dalam dilema. Kesadaran-penuh warga mengenai model bantuan IRD tidak muncul sejak awal, baru muncul di tengah jalan.
- Penjelasan pelatihan konstruksi dirasa para tukang kurang mencapai sasaran. Frekuensi pelatihan di kelas tidak ditindaklanjuti dengan pendampingan yang baik di tingkat lapangan. Hal itulah yang menyebabkan sejumlah teknis konstruksi sulit diserap oleh kapasitas tukang yang kurang memadai. Problem di lapangan menunjukkan bahwa para tukang kurang paham perihal detail pembesian.
- Implementasi program konstruksi tertunda hingga setengah bulan, karena kelambanan dan berlarut-larutnya proses persetujuan gambar konstruksi oleh YCAP II. Berlarut-larutnya proses membuat warga mulai merasa jengkel dan uring-uringan. Selain kehilangan waktu, panitia tetap harus mengeluarkan uang makan karena warga sudah terlanjur datang ke lokasi kerja.
- Mundurnya implementasi kegiatan konstruksi juga terjadi karena kesalahan pengiriman material oleh supplier. Kekesalan warga pun semakin menjadi-jadi. Karena ulah pihak lain (supplier) yang tidak menjalankan perannya dengan baik, panitia lagi-lagi harus menanggung beban inefisiensi, pemborosan waktu dan biaya.
- Terbatasnya peluang rapat koordinatif guna membahas detail rencana kerja harian. Kondisi itu berdampak pada terbatasnya transfer pengetahuan/pemahaman tentang detail gambar arsitektur ke dalam implementasi kerja-kerja konstruksi harian.
Bersama warga, IRD menggelar rapat koordinatif untuk membahas berbagai masukan tersebut. Baik IRD maupun warga sepakat saling berbenah diri. Segala inisiatif percepatan didiskusikan dan dinegosiasikan bersama. Semakin dekatnya batas tenggat, warga dan IRD akhirnya bersepakat mengerahkan seluruh potensinya masing-masing. Alokasi uang makan untuk kerja gotong royong ditambah lagi sebesar Rp. 12 juta, sehingga jumlah totalnya menjadi Rp. 36 juta. Proses percepatan pun terselesaikan warga hanya dalam jangka waktu 10 hari, tepatnya 22 Desember 2009. Sepekan berikutnya, Bupati Gunungkidul, Suharto, didaulat untuk meresmikan karya terbaik warga Parangrejo tersebut.
Kendati dari sisi luarnya terlihat urakan, sak penake udele dewe, namun sebagian besar warga ternyata masih menggenggam janji kesanggupannya menuntaskan program. Terbaca jelas bagaimana para warga mengusulkan berbagai masukan yang konstruktif itu. Di lubuk hati terdalam, mereka masih teguh berkeyakinan “Nek wis wani nyaguhi, aja wani mblenjani” (pantang menjilat ludah sendiri). Kesanggupan dan kerelaan telah dinyatakan adalah janji yang pantang diingkari, bahkan dalam kondisi “terjebak” kesulitan dan ketidakmenentuan sekalipun. Meski dipenuhi kejengkelan lantaran berlarut-larutnya program, Ketua Panitia, Mujiyono, dengan nada tinggi menegaskan prinsipnya berikut ini:[19]
Tentang program IRD, warga sebetulnya sudah terlanjur basah. Jadi kami sudah berkomitmen. Mau dibantu? Warga menjawab mau. Seandainya saja dulu saya tahu akan terjadi problem seperti ini, dan waktu yang semepet ini, saya tidak akan mau.
Ungkapan senada muncul dari Parmanto. Dalam bahasa sederhana, ia menegaskan keyakinannya sebagai berikut:[20]
Jika saya sudah bermufakat dengan orang lain terkait dengan kepentingan umum, saya akan lebih mengutamakan kepentingan umum itu, terkecuali bila ada kepentingan pribadi yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau sudah terlanjur membuat janji kesepakatan, namun saya mengingkarinya berarti saya ini tidak baik. Kepentingan keluarga pun sering saya tinggalkan demi mengutamakan kepentingan umum itu.
Terkait dengan teguhnya komitmen warga Parangrejo dalam CBA-WASH Program tersebut, Purwono, Kasie PMD Kecamatan Purwosari, menyampaikan apresiasinya dalam sebuah ungkapan yang reflektif. Lebih jauh, ia memaparkan:[21]
Di Parangrejo bagian bawah ini, kita sekilas akan tahu, bahwa mereka mungkin cenderung menampakkan cirinya sebagai masyarakat yang berorientasi jangka pendek, yaitu profit. Ada untungnya atau tidak dengan adanya program IRD ini. Dalam perjalanan program, sedikit demi sedikit mereka berhasil menghilangkan sifat itu, bahkan mereka bisa menunjukkan kekompakan dan keguyuban. Modal sosial setempat, dalam pengertian kebersamaan/gotong-royong, ternyata masih bisa dikemas sedemikian rupa sehingga dari 7 orang yang kita libatkan di dalam pelatihan ini ternyata cukup mewakili.
Dalamnyalaut dapat diduga dalamnya hati siapa tahu. Sebuah pepatah yang mungkin pas untuk melukiskan kiprah warga Parangrejo dalam CBA-WASH Program ini. Dalam hal ini, pesan yang tersampaikan adalah bahwa wajah luar ternyata mengecoh. Penampilan di luar, hati di dalam. Dan benar, wajah luar warga Parangrejo telah mengelabui banyak orang. Dari sisi luar nampak urakan, namun hatinya menawan. Di luar nampak semau gue, tapi di dalam hati tersimpan spirit dan tekad untuk kebaikan dan kebajikan. Apa yang kasat mata belum tentu kesejatiannya. Warga Parangrejo telah memberikan pelajaran berharga bahwa permukaan tak bisa jadi ukuran. Sak penake udele deweadalah wajah luar yang semu, mengelabui, mengecoh. Itu perkara lagak, bukan kesejatiannya. Dan pada akhirnya, kita semua tahu, kendati implementasinya tertatih, namun warga Parangrejo mampu mewujudkan kiprah terbaiknya. Dibanding sembilan dusun lainnya, program di Parangrejo adalah yang terbanyak dan terberat. Meskipun demikian, niatan dan upaya yang baik serta jerih payah warga berhasil menuntaskannya, suatu keparipurnaan yang sempurna.
Epilog: Beberapa Pelajaran Berharga
Ada banyak pelajaran berharga yang kita bisa petik dari implementasi CBA-WASH Program di Dusun Jambon, Kebosungu II, dan Parangrejo, seperti terurai di atas. Terpaparkan jelas bagaimana masing-masing dusun memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Tentu saja, keunggulan dan kekurangan itu bukan karena hasil komparasi di antara ketiganya. Namun keunggulan dan kekurangan itu ditentukan oleh berbagai faktor pertimbangan di aras historis dan konteks masing-masing dusun itu sendiri. Kiranya, tidak akan terbahas di sini siapa yang pantas untuk menjadi sang juara, karena ketiganya adalah para juara. Lebih dari itu, bobot kontestasinya justru terletak dalam spirit dan daya upaya warga dalam membangun keberdayaannya sendiri, dengan seluruh bingkai besar yang melingkupinya. Bingkai konteks geografi, demografi, politik dan sosial kemasyarakatan adalah tingkat kerumitan yang relatif bagi ketiga dusun itu. Maka dalam seluruh keunggulan dan kekurangannya masing-masing, merekalah para juara dalam kesejatiannya.
Jika ditilik dari kerangka acuan program berbasis masyarakat yang berkelanjutan, implementasi CBA-WASH Program ini menunjukkan hasil capain yang sangat baik. Berdasarkan implementasi program di setiap dusun, preferensi nilai kuantitatif dan nilai kualitiatif mendapat proporsi bobot yang cukup memadai dan seimbang. Ditetapkannya wilayah dusun sebagai basis program merupakan pilihan yang sangat tepat. Dengan berbasiskan dusun, kedua preferensi nilai program tadi bisa berpeluang untuk tercapai secara optimal. Sebaran program IRD di sembilan dusun itu sendiri merepresentasikan sebaran kuantitas penerima manfaat. Sedangkan cakupan mikro kewilayahan dusun dijadikan tumpuan untuk mengoptimalkan capaian nilai kualitatifnya. Implementasi CBA-WASH Program sudah berhasil memenuhi prasyarat program berbasis masyarakat yang berkelanjutan.
Secara umum, implementasi program sudah memenuhi kategori: tepat tempat, tepat sasaran, tepat kebutuhan/guna, tepat pendekatan, dan juga tepat waktu. Hanya saja kasus khusus di Dusun Parangrejo perlu mendapat catatan tersendiri terkait dengan kategori ketepatan ini. Implikasi dampak dari sebuah program “titipan” ternyata sangat serius. Selain berpotensi tidak tepat sasaran dan tidak tepat kebutuhan, program “titipan” semacam itu membuka peluang bagi terjadinya kesalahan cara pandang/ pemahaman di kalangan warga. Biasnya cara pandang akan memicu munculnya motif yang sangat beragam dari warga. Jika program itu sendiri tidak tepat dengan kebutuhan, maka motif ekonomi warga (profit) cenderung lebih dominan ketimbang motif sosialnya (kegotong-royongan). Motif ekonomi itu akan melaju pesat jika menemukan konteks struktur dan stratifikasi sosial yang relatif heterogen, seperti yang terjadi di Parangrejo. Tingginya motif ekonomi praktis akan melemahkan aspek sosialnya. Interaksi dan kohesi sosial di antara warga tidak akan terjalin dengan baik. Sampai pada titik ini, pelumpuhan mulai terjadi. Karena energi sosialnya lemah, sinergi dan kinerja kelompok pun pasti juga lemah. Ujungnya, kelompok menjadi sekadar kerumunan warga. Kerumunan akan bergerak jika dikendalikan oleh uang.
Adanya dukungan pemerintah terhadap program (prasyarat program berkelanjutan no 3) ternyata tidak jadi jaminan bahwa program bisa berkelanjutan. Dukungan pemerintah yang berlebih biasanya justru menimbulkan dampak yang kontraproduktif. Itu biasa terjadi karena aspek urgensi-kebutuhan warga dan aspek partisipasi warga diabaikan begitu saja oleh pemerintah yang sedang “kebelet” mengimplementasikan program. Itulah pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari implementasi program “titipan” di Parangrejo.
Namun, terlepas dari program titipan atau bukan, dalam implementasi program di Parangrejo ini, nampaknya IRD juga perlu mendapat catatan khusus terkait dengan beberapa kegiatan programnya. Pertama, terkait dengan kegiatan pelatihan konstruksi untuk para tukang, IRD perlu menyiapkan materi-materi pelatihan yang disusun berdasarkan konteks warga di masing-masing dusun. Penyusunan materi itu sendiri membutuhkan pendekatan bottom up. Demi jumbuhnya antara teori dan praktik, IRD perlu menyiapkan sejumlah sarana dan prasarana yang bisa lebih mendekatkan serapan pengetahuan warga dan pemahaman praktik/implementasi teknis di lapangan. Kedua, masih terkait dengan poin pertama di atas, IRD perlu mengoptimalkan kinerja staf konstruksi terutama untuk penguatan aspek koordinasi, supervisi kerja-kerja teknis, dan pemantauan selama proses konstruksi berjalan. Ketiga, terkait dengan penentuan mitra kerja, IRD perlu lebih selektif lagi dalam menentukan mitra kerja, semisal supplier, yang memadai dan terpercaya, agar tidak terjadi pengabaian peran dan tanggungjawab (semisal keterlambatan pengiriman materil, dll) selama proses konstruksi berjalan.
Terkait dengan implementasi program di Dusun Jambon dan Dusun Kebosungu II, tiga prasyarat program yang berkelanjutan telah terpenuhi semuanya. Keduanya mengantongi pemenuhan prasyarat: urgensi kebutuhan warga, adanya partisipasi warga, dan adanya dukungan pemerintah maupun para pemangku kepentingan yang terlibat di sana. Pendekatan IRD terhadap warga berada pada tingkatan yang paling optimal. Hampir bisa dipastikan, program yang berkelanjutan akan terjadi di kedua dusun tersebut. Aspek-aspek seperti tingkat partisipasi warga yang cukup tinggi dan kepemimpinan lokal (formal dan informal) yang kharismatik, amanah, dan merakyat bisa menjadi salah satu jaminan atas keberlangsungan program. Namun ada satu catatan yang penting untuk dikemukakan terkait dengan program di dua dusun ini. Digunakannya fasilitas/sarana berteknologi tinggi dalam sarana air bersih (pompa Submersible) di kedua dusun akan menimbulkan kendala program di kemudian hari. Daya dukung lokal yang tidak memadai (misalnya pengetahuan dan kapasitas untuk perawatan/perbaikan) atas sarana berteknologi tinggi seperti itu nampaknya perlu dipertimbangkan. Tentu saja, itu adalah PR bagi kita semua untuk memikirkan teknologi madya yang lebih sesuai dengan daya dukung lokal.
Menyoal posisi dan peran YCAP II dalam CBA-WASH Program – IRD ini, ada beberapa catatan kritis yang perlu kita kemukakan di sini. Harus diakui, YCAP II melalui mitra-mitranya telah berhasil menginisasi dan mengimplementasikan program pemberdayaan masyarakat secara besar-besaran dan terpadu/holistik. Padu padan peran berbagai pemangku kepentingan, terutama dukungan pemerintah, bisa terwujud berkat YCAP. Selama ini keterlibatan yang intens dari pemerintah, jarang terjadi di banyak program NGO. Itulah prestasi besar yang pantas mendapat apresiasi.
Namun dalam implementasi program, YCAP II seringkali memberlakukan mekanisme yang terlalu rigid. Boleh jadi demi menjaga precautionary principle, mekanisme yang kaku itu tetap diberlakukan. Dari beberapa fakta di lapangan, tak bisa dipungkiri, praktik-praktik yang kaku itu telah menimbulkan implikasi dampak serius di kalangan warga masyarakat. Terlambatnya implementasi kerja-kerja konstruksi warga terjadi lantaran proses YCAP II yang kaku dan bahkan bisa dikatakan berbelit, terutama yang terkait dengan persetujuan cetak biru (blue print) infrastruktur yang diajukan oleh IRD, sebagai mitra program. Jika saja jangka waktu program itu memadai, hal itu tidak akan menimbulkan persoalan. Namun karena jangka waktu program sendiri sangat pendek, hanya 8 bulan, panjangnya proses persetujuan itu tentu akan membuang alokasi kerja-kerja produktif, baik di jajaran mitra program maupun warga.
Kekakuan juga terjadi dalam tahap defact. Tingginya standar penilain yang diberlakukan YCAP II tidak jarang berimplikasi pada terjadinya tindak pengabaian totalitas dan jerih payah warga dalam kerja-kerja konstruksi. Misalnya saja, sekadar perkara estetika bangunan infrastruktur yang kurang memenuhi standar YCAP II, bukannya kualitas, warga tetap harus melakukan kerja-kerja pembenahan. Kerja gotong royong warga distandarisasi seperti layaknya kerja kontraktor. Ada sisi ketidakadilan sekaligus kelatahan di situ. Jika memang YCAP II mengafirmasi program yang berbasis masyarakat, mestinya ia akan mengapresiasi secara khusus kapasitas dan totalitas warga dengan kerja-kerja gotong-royongnya.
Itulah beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik dari implementasi CBA-WASH Program –IRD. Semoga seluruh pelajaran berharga dari hasil totalitas kerja bersama warga ini menyemangati kita semua untuk semakin berdialektika sabagai insan-insan pembelajar yang sejati.[ ]
Yogyakarta, 22 Januari 2009.
ab. widyanta
[1] Tulisan ini merupakan hasil refleksi penulis dalam proses pendampingan warga di tiga komunitas mitra CBA-WASH Program – International Relief and Development yaitu Dusun Jambon, Desa Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DIY; Dusun Kebosungu II, Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DIY; dan Dusun Parangrejo, Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, DIY.
[2] Staf Temporary Field Community Mobilization – IRD, 2009
[3] Wawancara penulis dengan Gusmanto, Kadus Jambon, Desa Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul; Rabu, 2 Desember 2009.
[4] Wawancara penulis dengan Harmawan, Kepala Desa Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul; Senin, 14 Desember 2009.
[5] Wawancara penulis dengan Mathori, Kepala Dusun Kebosungu II, Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul; Kamis, 3 Desember 2009.
[6] Idem
[7]Wawancara penulis dengan Mujian, Ketua RT 6 Dusun Kebosungu II, Desa Dlingo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul; Kamis, 3 Desember 2009
[8]Idem
[9]Dalam sebuah ungkapan yang bersahaja, Mujian, lagi-lagi menjelaskan perihal ketidakterdugaan itu: “Awalnya, kami hanya meminta pompa (merk) Sanyo saja. Kami sudah sangat terbantu dengan itu. Walaupun kami menyadari bahwa pompa Sanyo itu pasti hanya bertahan setahun saja. Tapi namanya saja orang meminta, kami tidak berani meminta barang-barang yang mahal. Ternyata pada akhirnya bantuan IRD jauh lebih besar dari apa yang kami minta. Kami sungguh tidak menduga.” Wawancara penulis dengan Mujian, Ketua RT 6 Dusun Kebosungu; Kamis 3 Desember 2009.
[10] Seluruh uraian ini dirangkum dari kesaksian berbagai nara sumber, di antaranya, Ilma Ilmiawati (Program Manager - IRD Yogyakarta), Murjiyono (Kadus Parangrejo), Suwardi (Kades Girijati), Purwono (Kasie PMD Kecamatan Giripurwo)
[11] Wawancara penulis dengan Purwono, Kasie PMD Kecamatan Purwosari –Gunungkidul; Rabu, 9 November 2009
[12] Wawancara penulis dengan Suwardi, Kepala Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul; Senin, 14 Desember 2009
[13]Kepad penulis, seorang warga Parangrejo dan juga anggota Tim Tukang, Suprihatin, pernah menegaskan pernyataan serupa.
[14]Hasil wawancara penulis dengan Darmanto Aji, Staf Kesehatan Masyarakat, Puskesmas Purwosari, Gunungkidul; Rabu, 9 November 2009.
[15]Perisitiwa ini terjadi pada saat penulis berkunjung untuk pertama kalinya, Rabu 25 November 2009, di lokasi pembangunan bak penyaring dan bak penampungan utama. Belakangan, sore hari setelah para pekerja bubar meninggalkan lokasi konstruksi, penulis baru tahu nama warga tersebut. Kawan Satya menyebutkan nama orang tersebut adalah Suprihono, anggota tim tukang dusun Parangrejo.
[16]Analogi ini sering muncul di sejumlah kesempatan. Beberapa warga selalu mengungkapkan analogi itu saat mereka kecewa dengan aktivitas kerja gotong royong yang uang makannya dianggap tidak layak.
[17] Hasil wawancaran penulis dengan Suwardi, Kepala Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul; Senin, 14 Desember 2009
[18] Seluruh poin masukan warga ini adalah hasil rangkuman wawancara penulis dengan sejumlah warga seperti Murjiyono, Mujiyono, Parmanto, Ngajiyono, Harjito, Suprihono, dll
[19]Hasil wawancara penulis dengan Murjiyono, Ketua Panitia program konstruksi, Dusun Parangrejo, Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul; Sabtu, 28 November 2009.
[20]Pernyataan ini dikutip dari hasil wawancara penulis dengan Parmanto, tim tukang dan juga Ketua RT 14, Dusun Parangrejo, Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul; Minggu 29 November 2009.
[21]Hasil wawancara penulis dengan Purwono, Kasie PMD Kecamatan Purwosari, Gunungkidul; Rabu, 9 November 2009