Obskuriti ::: Merdesa Boeng !!!

Why you ask me???



you`re free, born free, live free, so free Iam dead ashes to ashes dust to dust god bless you all what do you want wanna say there is no answer here what do you gonna do there is nothing lift here all they give got just pain and tear well, I just want to say … Iam dead

Gelombang Pengungsi Erupsi Merapi ( AB.Widyanta )

0 comments

GELOMBANG ERUPSI MERAPI, PENGUNGSI, DAN JEJARING POSKO MANDIRI

Best Practice Penanggulangan Bencana ala Dusun Kadisoka

Oleh: AB.Widyanta[1]

It is not always the case that what seems to be a disaster now is
judged to be one in the future. This is not always a comfort for
those involved at the time, but is worth keeping in mind.[2]

Pengantar
Tak usai-usainya bencana bertubi merundung negeri ini. Dari bulan Oktober hingga November 2010 saja, tidak kurang dari 1200-an nyawa melayang karenanya. Beruntun setelah banjir bandang Wasior dan Tsunami Mentawa, erupsi Merapi menyusul terjadi pada Selasa 26 Oktober 2010 lalu. Belum pulih benar kedukaan atas meninggalnya ribuan korban dan kehancuran massif akibat bencana gempa bumi 4 tahun silam, 27 Mei 2006,[3] kini warga Yogya-Jateng kembali berduka.
Sekilas, kita bisa mencermati dampak-dahsyat dari ketiga bencana yang terjadi secara beruntun tersebut. Banjir bandang terjadi di Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wandoma, Provinsi Papua Barat, pada Senin 4 Oktober 2010 pagi. Berdasarkan data BNPB per 29 November 2010, banjir bandang itu telah mengakibatkan korban meninggal 173 orang, 26 orang luka berat, 2.374 orang luka ringan, 118 orang dilaporkan hilang, dan 9.016 orang mengungsi. Sebanyak 987 unit rumah hancur dan puluhan fasilitas umum rusak. Total biaya pemulihan pasca bencana banjir bandang Wasior diperkirakan mencapai Rp 370,53 miliar. [4]
Belum tuntas penanganan banjir Wasior, selang 21 hari kemudian, gempa besar berkekuatan 7,2 skala Richter yang diikuti tsunami mengguncang Sumatera Barat pada Senin 25 Oktober 2010, pukul 21.42 WIB. Pusat gempa berada pada 3,61 Lintang Selatan-99,93 Bujur Timur dan berkedalaman 10 kilometer serta berlokasi di 78 km barat daya Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera barat. Berdasarkan keterangan BNPB per 29 November 2010, bencana gempa bumi dan tsunami mentawai ini telah mengkibatkan korban meninggal sebanyak 509 orang, luka berat dan ringan 24 orang, 21 orang hilang, dan sebanyak 11.425 orang mengungsi. Rumah rusak sebanyak 749 unit dan fasilitas umum rusak 34 unit. Total kerusakan dan kerugian di Mentawai sebesar Rp 314,96 miliar. Menurut kalkulasi, untuk proses rehabilitasi-rekonstruksi dan relokasi membutuhkan dana Rp 368,773 miliar. [5]
 Selisih satu hari pasa gempa dan tsunami Mentawai, pada Selasa petang 26 Oktober 2010 erupsi Merapi menyusul terjadi di luar kebiasaan dan tabiatnya selama puluhan tahun lalu. Berdasarkan data BNPB yang termutakhirkan per 8 Desember 2010 (44 hari pasca bencana), jumlah korban meninggal karena erupsi Merapi mencapai 379 orang dan 179 orang masih dirawat inap di rumah sakit. Penduduk yang masih berada di pengungsian sebanyak 21.338 orang tersebar di 114 titik.[6] Sementara itu, data kerusakan dan kerugian akibat dampak primer maupun sekunder erupsi Merapi, hingga tulisan ini dirangkai, masih dalam proses penghitungan final oleh Pemerintah Provinsi DIY dan Jawa Tengah.
Sebegitu mudahnya bencana menghempas ribuan nyawa, harta benda, institusi sosial, dan penghidupan warga. Sebegitu instannya bencana tersaji sebagai kelumrahan yang seolah tak terelakkan. Adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan lagi bahwa negeri ini terbentang di the ring of fire kebencanaan. Sebagian besar kita tentu sudah sangat mafhum akan hal itu. Di balik kesuburan, kekayaannya, dan keberlimpahannya, warga negeri ini harus hidup dan tinggal di kawasan yang tingkat ancaman dan risiko bencananya tinggi (living with risk).[7] Beragam bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran, dan kekeringan, senantiasa mengancam kehidupan warga.
Kesenantiasaan mendapati berjibunnya korban, kerusakan, dan kerugian yang diakibatkan oleh beragam bencana itu, boleh jadi benak kita pun menggugat: “Sebegitu lekatkah kemalangan dan kedukaan itu dengan kita? Hingga seberapa banyak lagi korban mesti berjatuhan dalam setiap bencana terjadi? Hingga berapa kali lagi benak kita mesti mengunggah gugatan semacam ini sementara korban selalu saja membelasah di setiap pasca bencana? Adakah ketidakberesan pada kita sebagai entitas masyarakat warga maupun negara bangsa (nation state) ini?
Terasakan benar betapa masa-masa sulit senantiasa menggiring-paksa kita untuk kembali mengunyah dan mencernai kerasnya lapis-lapis “batok” kehidupan. Tanpa berpretensi untuk menjawab langsung gugatan kontemplasi tersebut di atas, tulisan ini akan mendiskripsikan kembali apa yang sudah kita (negeri ini) punya dengan segenap cacat-celanya sekalipun. Tilikan sekilas atas basis paradigma konstitusi penanggulangan bencana (disaster management) di negeri ini akan mengawali tulisan. Setahap kemudian, tulisan ini secara khusus akan memapar fenomena alam, gelombang erupsi eksplosif Merapi, sebagai “agen pemicu” bagi munculnya gelombang bencana yang lebih besar lagi, seakan-seakan hendak menguras habis air mata. Sebagaimana gempa Yogya-Jateng 27 Mei 2006, gelombang modal sosial masyarakat warga Yogya-Jateng kembali berkontribusi teramat besar dalam penanganan penyintas pasca erupsi Merapi. Hadirnya beragam best practice kisah keberdayaan warga di Posko Mandiri dalam menangani pengungsi secara swadaya menjadi oase di tengah kepungan kerangkeng besi (iron cage) rezim kebencanaan. Eksemplar best practicePosko Mandiri Kadisoka hadir menyelamatkan kita dari jurang-gelap pesisme penanganan pasca erupsi Merapi. Di ranah Posko Mandiri itulah, beragam prakarsa lokal yang otentik dari masyarakat sipil secara riil telah menyumbang pada model-model alternatif yang adekuat bagi perbaikan sistem tata kelola kebencanaan (disaster governance). Di jejaring Posko Mandiri itulah potret konstitusionalisme warga dan konstitusionalisasi negara tengah dikontestasikan.[8] Melaui Posko Mandiri, kiprah warga Kadisoka memberikan eksemplar riil perihal kapabilitas warga mengelola “ruang publik” untuk menyemai spirit dan praksis berdemokrasi secara legitimate di tengah himpitan krisis kemanusiaan sekalipun.
Sebagaimana tertera dalam kutipan di atas, ada satu keyakinan kuat dalam tulisan pendek ini bahwa tidak semua kasus yang nampak sebagai bencana pada saat ini, akan nampak demikian juga di masa yang akan datang. Memang tak senantiasa menyenangkan bagi mereka yang terlibat pada saat bencana itu, namun adalah suatu kebernilaian dan keberhargaan untuk mencamkan (best practice) itu di benak kita.[9]

Konstitusionalisasi Penanggulangan Bencana
Menyoal tentang bencana, kita bisa meminjam sebuah kutipan yang mungkin bisa menuntun kita untuk mengupas lebih lanjut perihal disaster management yang adekuat, terutama untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dalam setiap kejadian bencana. Dalam sebuah buku berjudul Catastrophe and Culture: The Anthropology of Disaster, Smith dan Hoffmann berupaya meyakinkan kita bahwa terjadinya bencana pada hakekatnya tergantung pada tingkat kerentanan individu, kelompok, lingkungan, dan institusi yang ada di dalam suatu masyarakat. Secara provokatif, Smith dan Hoffman menyatakan:[10]

Bencana menjadi tak terhindarkan dalam konteks dimana pola “kerentanan”, kejadian di lokasi, infrastruktur, organisasi sosial-politik, sistem produksi dan distribusi, dan ideologi masyarakat terproduksi secara historis. Sebuah pola kerentanan masyarakat merupakan elemen pokok bencana. Dalam kondisi itu,  perilaku individu dan organisasi dalam keseluruhan bencana yang terjadi jauh lebih merusak ketimbang yang akan ditimbulkan oleh kekuatan fisik agen yang merusak itu sendiri. (Oliver Smith dan Hoffman, 2002:3)

Terurai jelas dalam kutipan di atas bahwa pola kerentanan masyarakat adalah elemen utama dari bencana itu sendiri. Kondisi rentan yang melekat pada individu, lingkungan dan institusi itulah yang menyebabkan fenomena alam berubah menjadi bencana bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, kerentanan dan kapasitas perorangan dan kelompok sosial  pada hakekatnya teramat menentukan daya tahan dan kemampuan mereka (individu maupun masyarakat dalam menghadapi bencana dan memulihkan diri pasca bencana. Berbagai kondisi seperti jejaring sosial, modal sosial, hubungan kekuasaan, pengetahuan dan ketrampilan, peran gender, kesehatan, kekayaan, dan lokasi, kesemuanya memiliki derajad risiko dan kerentanan terhadap bencana. Jika derajad kerentannya tinggi sedangkan kapasitas individu dan masyarakat, serta negara (pemerintah) rendah, maka hampir bisa dipastikan bencana dalam bencana tak bisa terelakkan lagi.[11]
Secara tekstual, nilai dan spirit seperti yang terurai di atas sebenarnya telah tertuang dalam UU Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007.[12] Kendati telah berlaku selama hampir 4 tahun, praksis/realisasi UU Penanggulanan Bencana ini masih saja terseok keteteran hingga saat ini. Alih-alih menerapkan, banyak pejabat tinggi Jakarta justru tidak paham (tidak sedikit pula yang buta) terhadap keberadaan dan isi UU Penanggulangan Bencana itu sendiri.[13] Pilihan kata “Penanggulangan Bencana”—yang merupakan translasi dari disaster management—itu sendiri memang cenderung multi tafsir dan masih saja “kontroversial”, meskipun sejatinya konsep dan maknanya pun telah terumuskan di dalam UUPB tersebut.[14]
Untuk lebih jelasnya, marilah kita tengok sekilas nukilan isi UUPB berikut ini. Pada Bab I Keterangan Umum, Pasal 1, butir ke 5, ternyatakan secara jelas bahwa:[15]

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Terartikulasikan pada butir itu bahwa Undang Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 telah menggeser paradigma lama yang lebih berfokus pada “ketergopohan” tanggap darurat (Disaster/Emergency Respon)menjadi paradigma baru Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) yang jauh lebih padu dan komprehensif. Dengan kata lain, UUPB telah mengadopsi sebuah pendekatan sistematis/holistik dalam penanggulangan bencana yang mencakup tiga tahapan dari siklus berikut: pertama, perencanaan prabencana dan kesiapsiagaan (yang mencakup pengurangan risiko bencana, mitigasi, kesiapsiagaan, dan rencana kontingensi); kedua, pelaksanaan tanggap darurat  (mencakup SAR dan distribusi bantuan); dan ketiga, pasca-bencana atau proses pemulihan (mencakup rehabilitasi dan rekonstruksi).[16]
Dengan kata lain, UUPB ini hadir sebagai konstitusi yang memungkinkan berlangsungnya kiprah pendayagunaan segala sumber daya (yang mencakup dimensi alam, fisik, teknis, ekonomi, sosial, budaya, politik, ideologis, dan institusional) untuk mengurangi jumlah korban saat bencana terjadi. Pada hakekatnya, UUPB ini mengartikulasikan sejumlah nilai, prinsip, strategi dan prioritas aksinya HFA (The Hyogo Framework for Action).[17] HFA ini sendiri secara prinsipil dirancang sebagai suatu bentuk tanggapan yang komprehensif dan berorientasi aksi atas kepedulian internasional tentang perkembangan dampak-dampak bencana pada individu, masyarakat dan pembangunan nasional.[18]  
Mencermati capaian-capaian konstitusionalisasi perihal disaster management di negeri ini, sepertinya tak perlu lagi kita berkutat di aras tekstual. Dalam hemat penulis, adalah sebuah ke-mudharat-an untuk membeber dan menghampar beragam teori maupun konsep disaster management di tengah penanganan bencana yang selalu berujung kecarut-marutan sebagaimana terekam dalam berbagai pengalaman sejauh ini. Falsifikasi teori maupun konsep hanya akan menemukan kebermaknannya tatkala itu dibenturkan pada realitas aktual. Uji empiris atas konsep penanggulangan bencana (disaster management) terletak di aras realitas praksis dari penanggulangan bencana itu sendiri.
Tersadari, diskontinuitas memori kita perihal pengalaman masa lalu seringkali tak membuat kita lekas berguru dan belajar pada ragam best practice penanggulangan bencana yang telah ditunjukkan secara riil oleh masyarakat warga. Agar tak tergolongkan sebagai manusia defisit (baca: merugi), maka satu lagi pelajaran berharga mesti kita petik dari penanganan pasca erupsi eksplosif Merapi itu. Karena pada prinsipnya manajemen kebencanaan mencakup tahapan siklus pra-bencana, saat terjadinya bencana, dan pasca bencana, menjadi tidak salah jika kita menempatkan pasca bencana ini sebagai awalan/titik pijak bagi kesiapsiagaan kita untuk melakukan tata kelola kebencanaan yang lebih baik ke depan. Dari Posko Mandiri kita bisa mengawali “think big at the beginning not at the end” itu.

Erupsi Eksplosif Merapi Jilid 1
Sehari pasca gempa dan tsunami Mentawai, erupsi Merapi menyusul terjadi di luar kebiasaan dan tabiatnya selama hampir delapan dekade lalu. Tercatat sejak ditetapkannya status Waspada menjadi Siaga pada Kamis 21 Oktober 2010, dan ditingkatkan lagi menjadi berstatus Awas pada Senin 25 Oktober 2010, erupsi ekplosif Merapi pada akhirnya benar-benar terjadi pada Selasa petang, 26 Oktober 2010.[19]
Berdasarkan pemantauan intensif sejak 21-23 Oktober 2010, sebetulnya sudah terprediksi oleh Balai Penelitan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) bahwa erupsi Merapi bisa berenergi besar. Menurut Kepala BPPTK Subandriyo, indikasi itu menguat dengan adanya gejala pra-erupsi berupa frekuensi gempa vulkanik tinggi—lebih dari 50 kali—jauh melebihi frekuensi gempa vulkanik pada masa praerupsi tahun-tahun sebelumnya. Gempa multifase yang mengindikasikan pembentukan kubah lava justru turun, dari 479 kali (pada Rabu 2010) menjadi 321 kali (sepanjang Kamis 23 Oktober 2010), sementara guguran material semakin meningkat, bahkan mencapai jarak terjauh 3,5 km. Turunnya frekuensi gempa multifase itu mengindikasikan adanya penyumbatan gas. Dan itu berarti erupsi Merapi bisa berenergi besar, lebih besar dari tahun 2006.[20]
Pada Senin 25 Oktober 2010, seiring mulai ditetapkannya status Awas, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Surono, mengatakan secara tegas bahwa tak ada alasan statusnya ditahan-tahan. Tanpa menyebut pihak mana yang sebetulnya “menahan-nahan status”, Surono dalam scientific explanation-nya lebih jauh menandaskan:[21]

Deformasi puncak yang hingga 21 Oktober (2010-pen) hanya 10,5 cm per hari, kini (25 Oktober 2010-pen) mencapai 42 sentimeter perhari. Kondisi itu menunjukkan magma dari perut gunung sudah semakin mendekati puncak. Dari segi energi kegempaan, hal ini sudah jauh melampaui saat erupsi tahun 2006.

Maka sejak hari itu pula, Kepala PVMBG Surono, yang selalu berteguh-prinsip zero tolerance for a safe life,[22]ini menghimbau agar masyarakat dan aparat pemerintah di empat kabupaten, yaitu Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman, meningkatkan kesiapsiagaan. Ia juga menghimbau warga di lereng Merapi untuk tidak beraktivitas di radius 8 km dari badan sungai. Terkait penetapan Kepala PVMBG, maka sekitar 40.000 warga di kawasan rawan bencana III sekeliling Merapi pun mulai diungsikan, terutama anak-anak dan orang lanjut usia. Mereka berasal dari 12 Desa yang tersebar di Sleman (7 Desa), Magelang (2 Desa), dan Klaten (3 Desa). Di DIY, pengungsian dilakukan di 7 barak pengungsian di Glagahharjo, Kepuhharjo, Umbulharjo (Kecamatan Cangkringan); Hargobinangun dan Purwobinangun (Kecamatan Pakem); serta Girikerto dan Wonokerto (Kecamatan Turi).[23]
Sebagaimana telah diprediksikan BPPTK, erupsi Merapi terbukti benar berenergi besar. Pada Selasa 26 Oktober 2010 petang, tepatnya pukul 18.10, 18.15, dan 18.25, erupsi eksplosif Merapi menghantam dan meluluh-lantakkan sejumlah dusun permukiman warga sekitar lereng. Salah satu dusun yang paling parah tersapu awan panas adalah Dusun Kinahrejo. Tercatat per 27 Oktober 2010, korban meninggal sedikitnya 31 orang, termasuk di antaranya seorang wartawan Vivanews.com, Yuniawan Nugroho,[24] dan sosok fenomenal yang sangat kesohor, juru kunci cum bintang iklan minuman suplemen “rosa-rosa”, Mbah Maridjan. Di tengah kemencekaman erupsi Merapi, publik pun terkesiap dan bungkam dalam kedukaan. Kalayak telah kehilangan sosok mengagumkan dari lereng Merapi ini.[25]
Padamnya listrik dan pekatnya abu vulkanik mengakibatkan terkendalanya proses evakuasi tim SAR di daerah Kinahrejo. Spikulasi perihal keberadaan Mbah Maridjan pun menyeruak. Rabu 27 Oktober 2010 dini hari, muncul kabar dari Komandan TNI AL Yogyakarta, Aloysius Pramono, bahwa Mbah Maridjan telah ditemukan dalam kondisi selamat. Kabar sang komandan pun akhirnya terbantahkan ketika jazad Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di rumahnya oleh tim SAR.[26] Di kemudian hari, selama beberapa pekan pasca wafatnya Mbah Maridjan, kalayak ramai membincang “panas” perihal “pertarungan” Surono (Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) yang mewakili alam pikir ilmiah-modern versus Mbah Maridjan yang mewakili alam pikir mitologis. Sampai-sampai atribut kebesaran berupa julukan “Mbah” pun kemudian “disematkan” publik untuk Surono. Maka di samping Mbah Maridjan, “Mbah Surono” adalah sosok fenomenal yang lain. Dan dualisme terlahir pun dari erupsi Merapi kali ini. Kontestasi tafsir mengenai kesahihan rasionalitas modern (teknologi) versus kearifan lokal melanda benak publik dan media, baik di tingkat lokal maupun nasional.[27]
Selain korban meninggal, di DIY, erupsi Merapi juga mengkibatkan korban luka yang masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda, Sardjito, Panti Nugroho, dan Grhasia sebanyak 18 orang, dan memaksa 16.093 warga mengungsi di tujuh barak yang telah disiapkan oleh Pemda Sleman seperti tersebut di atas.[28] Sementara di Jawa Tengah, tercatat korban meninggal 1 orang meninggal, korban luka-luka 28 orang. Jumlah pengungsi di Magelang sebanyak 16.247 jiwa, Boyolali sebanyak 3.621 jiwa, dan Klaten sebanyak 8.368 jiwa. Sehingga jumlah total pengungsi mencapai 44.329 jiwa.[29] Data per 29 Oktober 2010, tiga hari pasca erupsi, korban meninggal tercatat jadi 35 orang,[30] dua puluh di antaranya telah dimakamkan secara massal di Dusun Tangkis, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada Kamis 28 Oktober 2010.[31] Pada hari yang sama, di tempat terpisah, jenazah Mbah Maridjan dikebumikan di pemakaman Dusun Srunen, Glagaharjo, Cangkriman, Sleman.[32]   
            Jatuhnya 35 korban jiwa ini tentu mengundang keprihatinan sekaligus memancing tanggapan publik perihal sosialisasi pengurangan risiko bencana bagi warga yang bermukim di wilayah seputar Merapi.[33] Salah satu tanggapan yang paling lugas muncul dari Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sarwidi. Secara tegas ia mengatakan:[34]

Selama ini evakuasi di lereng Merapi memang masih terhambat kendala kultural... Cara mengatasi kendala kultural tersebut diperlukan pendekatan secara kultural untuk sosialisasi kepada masyarakat.

Pasca eruspsi Merapi, beragam gagasan tentang pengurangan risiko bencana memang semakin mendapati ruangnya yang lebar untuk dibincangkan. Percaturan gagasan itu seolah berpacu dengan hiruk pikuk aktivitas warga yang berjejal mengurusi diri dan kerabatnya dalam himpitan  keserbaterbatasan fasilitas posko pengungsian.[35]
Terdeteksi di hari ketiga pasca erupsi, sebagian warga mulai terserang kebosanan sekaligus kerinduan pada rumah dan sapi yang tak terurus. Kesetiaan pada sapi sebagai gantungan sekaligus pertaruhan hidup, telah mendorong keberanian warga untuk berjibaku menantang maut. Tentu terlebih dulu mereka mesti piawai berkucing-kucingan dengan para petugas penjaga portal radius-bahaya, di poros-poros jalan utama menuju kampungnya. Tak sedikit warga berhasil lolos membawakan rumput untuk sapi kesayangan, berkat kehandalannya menyusur “jalan tikus”. Demi sapi, hidup pun dipertaruhkan. Rupanya, evakuasi sapi tak kalah ruwetnya dari manusia dalam situasi bencana.

Erupsi Eksplosif Merapi Jilid 2
Dari hari ke hari aktivitas Merapi bukannya mereda, bahkan justru menunjukkan tingkat eskalasi yang kian mengkhawatirkan. Selama sepekan lebih gelombang bantuan kemanusiaan dari berbagai kalangan masyarakat sipil Yogya-Jateng mulai merangsek ke sejumlah titik pengungsian yang tersebar di perbatasan lingkar-luar radius bahaya 6 km. Aktivitas relawan-relawan kemanusiaan pun terfokus ke seluruh titik pengungsian di 4 kabupaten sekeliling Merapi (Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali). Mengulang kesejarahan gempa 27 Mei 2006 silam, modal sosial masyarakat Yogya-Jateng tak terpalingkan lagi. Modal sosial kembali mujarab sebagai jejaring pengaman hak-hak dasar para penyintas/pengungsi. Sampai-sampai solidaritas sosial itu tak sekadar menjangkau kebutuhan dasar berupa logistik dan layanan kesehatan untuk pengungsi, namun ternak-ternak pun turut terjamah oleh ketercukupan pakan dan layanan kesehatan.
Lima hari pasca erupsi 26 Oktober 2010, Merapi kembali bergolak. Pada Minggu, 31 Oktober 2010, tiga kali erupsi eksplosif terjadi, tepatnya pada pukul 14.28, 15.16, dan 15.23. Kepala PVMBG kembali meningkatkan daerah bahaya hingga radius 10 km dari puncak Merapi.  Radius hujan abu dan pasir semakin meluas memicu lonjakan jumlah pengungsi. Tercatat per 31 Oktober 2010 sore, pengungsi mencapai 39.091 orang di Magelang, dan 20.000 orang di Yogyakarta.[36]Erupsi berskala lebih kecil lagi-lagi terjadi pada keesokan harinya, Senin 1 November 2010 pukul 10.03. Sebagian besar material dan awan panas mengalir ke Kali Gendol dan Kali Woro. Meningkatnya frekuensi erupsi membuat warga di 4 kabupaten kembali menjauhi merapi untuk menyelamatkan diri. Proses evakuasi pun diwarnai kepanikan.[37]   
Sekitar pukul 16.05 pada Rabu 3 November 2010, erupsi eksplosif Merapi meluncurkan awan panas berskala lebih besar dari letusan pertama, 26 Oktober 2010. Sekitar dua jam sebelum erupsi terjadi, Kepala PVMBG Surono, memerintahkan petugas pengamatan Gunung Merapi di Sleman untuk mundur hingga di radius aman. Melihat aktivitas awan panas yang tak putus-putus Surono akhirnya menetapkan radius bahaya primer dari semula 10 km meningkat menjadi 15 km, meski akhirnya erupsi mulai mereda sekitar pukul 16.23. Erupsi Merapi yang berbarengan guyuran deras hujan telah menyebabkan banjir lahar dingin di sejumlah kali: Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong (Sleman); Kali Bebeng dan Kali Putih (Magelang). Air hujan bercampur abu mengguyur rata sejumlah wilayah di Magelang.[38]
Ditetapkannya radius bahaya hingga 15 km itu memicu gelombang besar pengungsian hingga mencapai 100.965 orang (Sleman 29.466 orang, Magelang 39.911 orang, Boyolali 22.687 orang, Klaten 13.010 orang). Rabu sore itu juga, lebih dari seratusan ribu pengungsi pun berbondong mengosongkan barak yang setidaknya telah mereka tinggali selama hampir 10 hari. Warga pengungsi pun semakin menjauh dari Merapi, mengejar radius aman di titik 15 km dari puncak Merapi. Pemerintah di empat kabupaten kewalahan menyediakan penampungan untuk sekian banyak pengungsi. Sejumlah bangunan milik publik seperti kantor pemerintah, sekolah, dan berbagai gedung lain beralih fungsi jadi tempat pengungsian.[39]  
Di pengungsian, malam berlalu mengiring keheranan warga yang semakin tak mengenali lagi tabiat Merapi. Tiga kali sudah setidaknya warga menyingkir, menjauh, dan mencari tempat yang aman dari erupsi Merapi. Namun rupanya gebalau belum juga mau berakhir. Baru memasuki malam kedua warga tinggal di tempat pengungsiannya yang baru, kabar buruk kembali menghentak. Titik kulminasi erupsi dahsyat Merapi pecah pada Jumat 5 November 2010 dini hari pukul 01.00. Sontak kemencekaman dan kepanikan meruyak menghinggapi seluruh pengungsi. Untuk keempat kalinya, Kepala Pusat PVMBG Surono terpaksa meluaskan lagi radius bahaya primer  dari 15 km menjadi 20 km pada Jumat dini hari itu.[40]
Proses evakuasi korban oleh tim SAR semakin diintensifkan. Setidaknya hingga sepekan pasca erupsi terbesar ini, tim SAR kembali harus berjibaku menantang maut, beradu siasat, kecepatan, dan ketangkasan untuk kemanusiaan. Kiprah tim SAR selama beberapa hari evakuasi tim SAR pun terhambat karena Merapi masih berulang erupsi dan mengeluarkan wedhus gembel yang cukup besar. Dalam konteks penanganan pengungsi di masa tanggap darurat ini, tingginya integritas dan dedikasi diperankan juga oleh tim medis dan rumah sakit dari beragam kalangan. Selang beberapa hari pasca erupsi, tercatat sebanyak 26 dusun di sepanjang Kali Gendol rusak diterjang awan panas dan material vulkanik Merapi. Sebanyak 25 dusun diantaranya berada di wilayah Kecamatan Cangkringan.[41]Data korban meninggal per 12 November 2010, sepekan pasca erupsi, mencapai 161 korban meninggal (37 korban saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, sedangkan 124 korban meninggal pada 5 November 2010).[42]

Gelombang Besar Pengungsi
Tak terhindarkan lagi, babak gelombang pengungsian terbesar terjadi sepanjang hari Jumat itu. Diperkirakan pengungsi meroket hingga empat kali lipat dari jumlah pengungsi dua hari sebelumnya. Jumlah pengungsi hampir menembus angka 400.000, tepatnya 396.407orang.[43]Fluktuasi gelombang erupsi yang berkepanjangan ini—setidaknya 10 hari pasca erupsi pertama 26 Oktober 2010—tentu saja semakin memperpanjang ketidaktentuan nasib warga yang terusir oleh gunungnya. Perluasan tingkat radius bahaya yang bermula dari hitungan 5, 10, 15, hingga 20 km, telah memaksa mayoritas warga berbondong berpindah dari posko satu ke posko lain dan berakhir hingga tersebar di posko-posko di radius aman.
Di mana pun tempat pengungsian itu, warga tak hirau lagi, yang penting selamat. Sebaran pengungsi menghambur ke delapan penjuru mata angin, menjauh dari titik erupsi Merapi. Di DIY misalnya, ratusan ribu warga tersebar mengungsi hingga ke wilayah Kotamadya Yogyakarta, Gunungkidul, Bantul, Kulon Progo. Sementara di Jawa Tengah, ratusan ribu warga tersebar mengungsi mulai dari wilayah Solo, Sukoharjo, Klaten, Salatiga, Magelang, hingga Wonosobo. Terpicu kekhawatiran yang berlebih pada sebagian warga, “eksodus” keluar Yogyakarta melalui Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta sempat terekam sejak Jumat itu hingga beberapa hari kemudian.[44]
Kondisi pasca erupsi Merapi terbesar ini benar-benar membekap nalar. Boleh jadi, tak seorang pun mengira bahwa akan terjadi gelombang pengungsian semassif itu. Merapi benar-benar telah menguras air mata dan menterluntakan nasib ratusan ribu warganya. Meski telah melakukan kesiapsiagaan, namun rupanya kondisi tetap saja malampaui batas keterjangkauan pikir manusia. Dengan segenap daya gerak dan upaya yang serba cupet, pemerintah DIY dan Jateng pun sejadinya menyiapkan sejumlah Posko Utama untuk manampung gelombang pengungsian itu. Di DIY, pemerintah secara khusus menyiapkan sejumlah Posko Utama seperti Stadion Maguwoharjo, GOR Pangukan, Youth Center, JEC. Di luar itu para pengungsi juga menghuni di berbagai balai dusun, balai desa, kantor kecamatan, gedung sekolah, masjid, dan seminari. Posko Utama terbesar yang sering jadi “sasaran” kunjungan para pejabat adalah Stadion Maguwoharjo. Jumlah pengungsi yang tinggal di stadion Maguwoharjo itu tercatat sebanyak 9.500 jiwa.[45]
Menyikapi situasi darurat yang mencekam, seluruh institusi pendidikan sigap dan serentak meliburkan aktivitasnya, setidaknya hingga sepekan pasca erupsi, 5-13 November 2010. Sejumlah besar universitas di Yogyakarta seperti UGM, UNY, UII, STIE YKPN, UMY, UAD, USD, UAJY, APMD, UJB, UKRIM, UTY, UMB Yogyakarta, UIN Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Kampus Tamansiswa, Widya Mataram, dan sejumlah kampus lainnya mendadak beralih fungsi menjadi posko pengungsian mandiri di luar Posko Utama yang diurus pemerintah. Bersama sebagian besar masyarakat warga, kalangan akademik universitas telah berperan besar dalam melayani “tamu-tamu tak diundang” yang merangsek masuk kampus. Selain fasilitas MCK relatif lebih memadai, kuatnya solidaritas sosial di universitas memang cukup berdaya memenuhi berbagai kebutuhan dasar para pengungsi. Spirit filantropi dari para alumni kampus membuka peluang bagi penggalangan donasi untuk mereka. Bagaimanapun, sejarah mesti mencatat peran profetik kalangan civitas akademik ini. Secara tak terduga dan terencana,  spirit “kampus untuk rakyat” serentak terimplementasikan dalam arti yang sebenar-benarnya justru oleh erupsi Merapi, bukan by designed. Sedikit berbeda dari penanganan pasca gempa Yogya-Jateng 2006 silam yang lebih banyak berbau LSM, kini giliran dunia kampuslah yang lebih banyak memainkan peran.      
Di luar itu semua, rumah-rumah pribadi warga—yang hampir bisa dipastikan tak akan pernah terdata dalam statistik kebencanaan—juga telah berandil besar dalam penyelamatan warga pengungsi. Justru di rumah-rumah warga itulah pengungsi mendapati tempat pengungsian yang jauh lebih ramah manusia dan lingkungan. Peran Posko Mandiri yang dikelola secara swadaya oleh berbagai kalangan masyarakat warga maupun kelembagaan sosial di tingkat lokal terbukti sangat berperan menentukan dalam penyelamatan pengungsi. Sayangnya, kemandirian, keberdayaan, dan kehandalan Posko Mandiri berada dalam dilema dalam perjalannya. Di satu sisi Posko Utama bertumpuk donasi bantuan dan layanan pemerintah maupun publik luas, namun di sisi lainnya Posko Mandiri semakin melemah daya topang layanannya.[46] Di sejumlah titik, hal itu dialami terutama oleh Posko Mandiri yang relatif kecil peluang aksesnya pada jejaring sosial yang lebih luas. Lebih jauh, alokasi distribusi layanan dari Posko Utama ke Posko Mandiri nampaknya lebih mungkin pada kemustahilan ketimbang keniscayaan. Watak birokrasi prosedural yang dominatif telah menggencet peluang akses bantuan bagi Posko Mandiri.
Beredarnya surat Bupati Sleman tertanggal 19 November 2010 membuktikan tentang kerasnya mesin birokrasi pemerintahan di negeri ini. Surat edaran bernomor 361/2847 itu berisi tentang pemulangan dan penarikan pengungsi (untuk pindah ke posko utama yang ditetapkan Pemda Sleman). Pihak kecamatan menyampaikan surat kepada para dukuh di wilayah kecamatan Kalasan, Turi, Cangkringan, dan Pakem. Dalam surat itu tertera sebagian kutipan berikut:[47]

...Seiring perubahan ancaman bahaya erupsi Merapi untuk wilayah Kabupaten Sleman, semula radius 20 km menjadi 10 km di sebelah barat Kali Boyong, dan 15 km sebelah timur Kali Boyong dari puncak, maka dilakukan kebijakan pemulangan dan penarikan pengungsi yang tersebar di wilayah saudara ke lokasi yang ditentukan yaitu di Stadion Maguwoharjo, Youth Center, dan GOR Pangukan. Sehubungan hal tersebut diminta kepada saudara untuk memberikan dorongan kepada pengungsi agar mau pindah ke lokasi yang telah ditentukan.

Alih-alih membangun kapasitas koordinatif dengan jajaran di bawahnya, pemerintah daerah justru memilih jalan pintas demi memperingan tugasnya sebagai birokrat. Tentu saja kasus semacam itu tak jumbuh bahkan bertolak belakang dengan sebutannya sebagai pelayan masyarakat. Memang, persoalan kemanusiaan toh bukan urusan pemerintah saja, kendati itulah urusan utama mereka sebenarnya sebagai penyelenggara negara walfare state(sebagaimana tercantum dalam konstitusi dasar negeri ini). Tercermin dalam surat edaran itu perihal watak birokrasi sesungguhnya, sebentuk birokrasi yang malas, loyo, dan tak mau repot. Dalih efisisensi dan kemudahan mendistribusi layanan itu jelas mengindikasikan secara sangat kuat bahwa pemerintah yang hendak ingkar atas hakekat hak-hak warga negara.
Untung saja, hakekat rasa empati itu adalah miliki setiap nurani manusia yang tersentuh. Rasa empati adalah elan vital yang senantiasa menjaga tetap-tegaknya solidaritas sosial masyarakat warga. Seakan mengulangi prestasi penanganan gempa Yogya-Jateng 2006 silam, masyarakat warga DIY-Jateng tampil sebagai garda terdepan setidaknya dalam dua urusan yang paling menyolok berikut ini: Pertama, sebagai tuan rumah (host), penerima ratusan ribu pengungsi. Tanpa komando, warga membuka posko-posko mandiri dan bahkan tak sedikit yang rela berbagi ruang rumah mereka untuk para pengungsi. Bagaimanapun juga, realitas menunjukkan, sebaran pengungsi itu telah melampaui batas-batas administratif, lintas kecamatan, lintas kabupaten, dan bahkan lintas provinsi. Kedua, sebagai jejaring penyuplai pangan dan logistik standar kedaruratan bagi segenap warga pengungsi. Dalam situasi bencana, spirit nasi bungkus menjadi penanda hadirnya ketulusan, cinta yang penuh welas asih antar sesama warga. Nasi bungkus adalah simbol sederhana hadirnya hati untuk kemanusiaan yang satu.[48]

Posko Mandiri ala Kadisoka
Kadisoka. Sebuah nama dusun yang jelas tak asing bagi para pemancing di Yogyakarta. Dusun itu memang kesohor dengan kolam pemancingannya. Beberapa petak kolam jumbo seluasan 500 m2 di selatan jalan aspal biasa jadi ancar-ancar orang untuk melacak arah dusun. Namun beberapa pekan pasca erupsi Merapi, tak satupun pemancing nongkrong di tepian petakan kolam. Aliran abu vulkanik yang mengalir kolam ternyata telah membunuh berton-ton ikan milik warga Kadisoka. Tak kurang dari Rp. 120 juta mesti di tanggung kelompok Suka Makmur dan Mina Suka Mandiri, 2 paguyuban peternak ikan di Kadisoka. Dusun ini memang terkategorikan sebagai wilayah terdampak erupsi Merapi, secara tidak langsung. Hanya karena lupa menutup lubang-lubang masuknya aliran air Kali Kuning dari sisi timur dusun, sejumlah kolam warga terlanjur terkontaminasi abu vulkanik Merapi. Beragam ikan seperti ikan patin, gurameh, nila, dan lele bergeleparan tak terselamatkan lagi.
Bagoran ikan-ikan itu segera kami bagikan ke dapur-dapur umum, agar bisa dimasak ibu-ibu di dapur umum untuk lauk para pengungsi di sini, Mas. Ya, karena kesibukan warga di posko, sebagian ikan tak sempat terurus sampai membusuk di kolam,” ungkap Suradi (44 tahun), Kepala Dusun Kadisoka, di suatu sore sebelum ia nimbrung chek-up di layanan medis yang diselenggarakan Komisi Penanggulangan Bencana Yayasan Sheep Indonesia (KPB-YSI) untuk para pengungsi.[49]Sudah sepekan lebih lamanya, ia kurang tidur, karena tergerak oleh rasa tanggungjawab untuk menjagai puluhan motor milik relawan Pokso, yang mayoritas mahasiswa. Warga pengungsi sendiri tak berada di posko itu, namun tinggal menyebar di rumah-rumah warga Kadisoka. Berjarak kurang lebih dua kilometer ke arah timur dari Posko Utama pengungsian terbesar di Yogyakarta, Stadion Maguwoharjo, dusun Kadisoka ini dijadikan ajang “perhelatan” bela rasa untuk kemanusiaan, sejak erupsi terbesar Merapi, 5 November 2010.
Tak pernah terbersit di benak warga Dusun Kadisoka bahwa akan punya “gawe” sebesar ini, tak terkecuali Suradi. Sebagai kepala dusun, ia bahkan sudah berkoordinasi dengan sejumlah ketua RT dan pemuda karangtaruna untuk memberitahukan perihal kesiapsiagaan kepada warga. Jadi sewaktu-waktu situasi Merapi memburuk, warga bisa mengungsi cepat. Baju, bekal, dan segenap perlengkapan sudah mereka siapkan. Para pemilik dan pengemudi truk pun telah dirembugi. Dipesankan pula pada warga agar motor atau mobil diparkir menghadap jalan kendati di dalam garasi. Pada intinya, warga telah siap mengungsi saat waktunya tiba. “Eh, tidak tahunya, setelah letusan besar itu dusun kami malah kedatangan banyak pengungsi,” imbuh, Supardi, Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, saat menunggu antrian check up medis oleh dr.Manik dari KPB-YSI.[50]Kendati berada di zona aman, tapi dalam peta radius bahaya 20 km yang terakhir ditetapkan PVMBG, letak Dusun Kadisoka memang tidak terpaut jauh, selang 2-3 kilometer saja. Dari puncak Merapi, letak Kadisoka berada di kilometer 23. [51]Rasa was-was warga menemukan akar rasionalisasinya di sini.  
Merangseknya serombongan besar pengungsi secara tiba-tiba ke Dusun Kadisoka jelas membuat Suradi gelagepan. Dari glenak-gleniktetangga magersari, teryakinkan perlunya rapat dusun. Lekaslah Suradi menggelar rembug warga pada Sabtu malam, 6 November 2010, guna menyikapi kedatangan pengungsi sebanyak itu. Hadir pada malam itu 10 orang ketua RT di dusun Kadisoka bersama istrinya masing-masing (ibu-ibu ketua RT); Sukapti—seorang warga Dusun Kadisoka dan tokoh penggerak perempuan; Joko Pamungkas—seorang warga dusun Kadisoka, dosen UPN Veteran Yogyakarta, dan pengurus KOMPAYO (Komunitas Masyarakat Pati di Yogyakarta); Andreas Subiyono—seorang warga dusun Kadisoka yang kesehariannya bertugas sebagai Direktur Yayasan Sheep Indonesia; Masjuki—seorang warga dusun Kadisoka yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai perkebunan swasta; sejumlah relawan KMPP (Kesatuan Mahasiswa Pelajar Pati); dan sejumlah kaum muda  karangtaruna dusun. Dan tentu saja seluruh warga yang hadir tahu bahwa bintang utama pembicaraan di rapat itu adalah warga pengungsi.
Rembugan menelurkan pembagian tugas dan peran masing-masing. Layaknya rapat kabinet, pembagian Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terperinci sebagai berikut: Kepala Dusun Kadisoka menjadi penanggungjawab utama kegiatan Posko Mandiri; 10 ketua RT penanggungjawab penanganan pengungsi di RT masing-masing; 10 ibu (istri) ketua RT bertugas untuk mengkoordinir dapur umum di RT masing-masing; Sukapti bertugas sebagai koordinator umum dapur umum Posko Mandiri Kadisoka: Joko Pamungkas bertugas sebagai koordinator penggalangan dana, sekaligus koordinator harian Posko Mandiri; Andreas Subiyono bertugas sebagai koordinator pelayanan medis, sekaligus koordinator training relawan; Masjuki bertugas sebagai bendahara Posko Mandiri; KMPP bertugas melakukan assessment/ pendataan sekaligus mendistribusikan bantuan; dan sejumlah pemuda karangtaruna bertugas mengelola urusan umum dan keamanan seluruh dusun.
Penggalangan dana warga secara swadaya dimulai. Bantinganuang terkumpul dalam jumlah yang lumayan untuk mengawali dapur umum, agar nasi bungkus mulai terdistribusikan di keesokan hari. Donasi warga semakin bertambah saat terkumpul serkiler seribuan dari ibu-ibu dusun Kadisoka setidaknya Rp. 6 juta, selang sehari kemudian. Dikoordinir oleh Sukapti (42 tahun), tidak kurang dari 30 orang (laki-laki dan perempuan) warga dusun Kadisoka terlibat gotong-royong di dapur umum. Sementara relawan KMPP Komisariat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, bergerak mendistribusikan nasi bungkus, dua kali sehari, sejak 7 November 2010. Sembari mendistribusikan nasi bungkus, relawan-relawan muda KMPP yang dikoordinir oleh Bayu Adhi Pratama (20 tahun), ditugaskan untuk mendata kebutuhan dan jumlah pengungsi. Proses pendataan itu harus termutakhirkan di setiap harinya. Selain bermanfaat sebagai informasi dasar bagi pelayanan medis Yayasan Sheep Indonesia, pendataan itu juga sangat membantu para ibu di dapur umum untuk menentukan jumlah kiloan beras, untingan sayur, racikan bumbu, dan rupa-rupa lauk yang mesti disiapkan.
Meskipun kerja-kerjanya cukup njlimet dan beragam, namu para relawan KMPP melakukannya secara tekun dan koordinatif. Jumlah relawan terlibat mencapai 60 orang. Saat jumlah pengungsi mencapai titik tertinggi, hingga sebanyak 2600 orang, ke-60 relawan itulah yang menjadi tumpuan pendataan pengungsi maupun pendistribusian nasi bungkus. Selain nasi bungkus, pengungsi juga diberikan: semacam “jadup” sebesar Rp. 3.000,-/orang per tiga hari sekali, peralatan mandi dan cuci, pakaian pantas pakai, alat tulis bagi anak-anak pengungsi, dll. Dalam perjalannya, Posko Mandiri Kadisoka ternyata tidak hanya mengampu pengungsi di dusun Kadisoka saja, bahkan mampu mendistribusikan logistik ke pengungsi yang tersebar di 21 dusun di Desa Purwomartani. Saat perkuliahan diliburkan selama seminggu oleh pihak kampus, para mahasiswa bisa bekerja total sebagai relawan. Hanya saja saat masa libur usai, mereka harus pandai-pandai membagi waktu supaya kuliah tidak keteteran. Mereka berembug dan merancang jadwal piket yang disesuaikan dengan perkuliahan masing-masing relawan.   
 “Banyak sekali yang kami dapat di sini. Kami jadi paham bagaimana belajar dengan masyarakat luas, pengelolaan bantuan, administrasi, pendataan, cara berkomunikasi dengan pengungsi,” demikian ungkap Bayu, koordinator KMPP dan mahasiswa semester 5 Fakultas Sains & Teknologi UIN Yogyakarta ini. “Yang saya masih ingat persis adalah pembelajaran dari Mas Sutris (fasilitator training relawan dari Sheep Indonesia-pen). Kita harus selektif dalam mendistribusikan bantuan. Itu harus sesuai dengan kebutuhan para pengungsi,” tandas mahasiwa asal Desa Mojo, Kecamatan Cluwak, Pati ini.[52]Sedikit berbeda dengan Bayu, Mei Linda (17 tahun) mengungkapkan tentang proses pendataan yang sangat melelahkan. Kendati lelah namun ia merasa senang bisa bertemu banyak teman dan bisa belajar beragam pengalaman. “Pengalaman yang mungkin terkait disiplin ilmu saya, ya.. mungkin pagelaran Keroncong Tanggap Darurat untuk pengungsi itu,” kenang mahasiswi semester I jurusan Media dan Broadasting UIN Yogyakarta ini.  yang sama diungkap “Rasanya saya belum pernah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga seperti ini. Saya belajar menyelami karakter banyak orang,” tegas Lilis (19 tahun). “Ini adalah pelajaran yang tidak akan pernah saya dapatkan dari bangku kuliah,” yakin mahasiswa semester 3 Fakultas Sains & Teknologi UIN Yogyakarta ini.
Dibantu oleh fasilitator lapangan KPB-YSI, Andi Rahmad (32 tahun), KOMPAYO memfasilitasi pendampingan dan pembelajaran bersama relawan KMPP. Dalam penjelasannnya, Andi lebih jauh mengungkapkan:[53]

Di awal respon tanggap darurat, relawan melakukan koordinasi setiap hari pada pukul 19.00-21.00. Agendanya evaluasi kegiatan harian dan perencanaan hari berikutnya. Ini berfungsi untuk meng-update jumlah relawan maupun pengungsi. Rapat rutin itu berjalan kira-kira  selama 1 minggu, terhitung sejak tanggal 8 November 2010. Selanjutnya rapat koordinasi berlangsung dua hari sekali sampai tanggal 27 November 2010.

Karena terlibat penuh sejak jejaring Posko Mandiri berdiri, Andi tahu persis bagaimana YSI berperan dalam respon tanggap darurat di dusun Kadisoka. Terhitung sejak tanggal 6 November 2010, Yayasan Sheep Indonesia sudah mulai melakukan koordinasi untuk urusan pelayanan medis, guna mem-back-uppelayanan relawan di dusun Kadisoka. Di luar itu, tim medis YSI yang terdiri dari 2 dokter, 2 perawat, 3 apoteker, juga melakukan pelayanan medis ke sejumlah titik pengungsian, mulai dari Prambanan hingga di Muntilan, Magelang.
Selain mendapat dukungan relawan KMPP dan tim pelayanan medis YSI, Posko Mandiri Kadisoka ini mendapat topangan yang sangat menentukan bagi keberlangsungan pelayanan pengungsi hingga saat ini. Topangan itu berasal dari jejaring KOMPAYO. Dibawah koordinasi Joko Pamungkas (45 tahun), yang merangkap sebagai koordinator Posko Mandiri Kadisoka, berhasil menggalang solidaritas warga Pati dari berbagai kalangan dan profesi, mulai dari pedagang informal, pegawai negeri, TNI, Polri, hingga para pejabat. Berdasarkan hasil rapat evaluasi Posko Mandiri Kadisoka yang digelar pada tanggal 27 November 2010, KOMPAYO yang sudah terbentuk sejak 2004, berhasil menggalang dana yang cukup besar. Berdasarkan laporan Joko Pamungkas, jumlah sumbangan di rekening BNI sebesar Rp.32.500.000,-; di rekening Bank Mandiri sebesar Rp. 2.982.000,-; sumbangan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 50.955.000,-; jumlah total Rp. 86.437.000,-. Sedangkan sumbangan berupa barang (sembilan bahan pokok, susu bayi, pakaian, masker, obat-obatan, peralatan mandi dan cuci, alat-alat tulis, dll) jika ditotal mencapai sebesar Rp.162.189.800,-. Jumlah total secara keseluruhan mencapai Rp. 248.626.800,- (belum termasuk tenaga). Jika tenaga itu dihitung maka besar sumbangan bisa mencapai sekitar Rp. 500 juta, tegas Joko Pamungkas. Lebih jauh, Masjuki, selaku bendahara, melaporkan penggunaan dana sumbangan secara rinci. Penggunaan dana itu meliputi: konsumsi pengungsi dan relawan  Rp. 26.318.000,-; bantuan hewan kurban Rp. 19.140.250,-; bantuan material MCK Rp. 3.855.500,-; kesekretariatan dan transportasi Rp. 4.171.000,-; lain-lain Rp. 3.481.900,-; total pengeluaran sebesar Rp. 56.966.650,-. Jumlah dana di atas belum ditermasuk bantuan Pemerintah Kabupaten Pati, pada 15 Desember 2010 lalu, berupa beras sebanyak 12, 5 ton dan transfer via rekening yang jika keduanya ditotal hampir mencapai Rp. 100 juta,- 
Menurut penjelasan Joko Pamungkas, yang sudah menjadi dosen UPN Veteran Yogyakarta selam 20 tahun, seluruh donasi yang terkumpul itu adalah hasil penggalangan solidaritas warga Pati. Lebih jauh, bapak berputra satu ini mengungkapkan:[54]

Untuk sementara ini saya belum mengandalkan pemerintah... tidak perlu mengandalkan pemerintah. Karena potensi dan sumberdaya teman-teman yang mau menyumbang ini sebetulnya masih sangat besar. Dari teman-teman Tayu, Japenan, dan Sukolila siap membantu warga Merapi bergotong royong. Bahkan sebetulnya kawan-kawan relawan Sukolilo itu sudah datang ke sini, tapi karena situasinya belum jelas, mereka pulang lagi ke Pati. Potensi-potensi semacam ini kan perlu dirangkul dan dipelihara.

Begitu kuat keyakinan Joko tentang besarnya potensi jejaring masyarakat sipil ini. Menurutnya, intervensi negara tak perlu diandalkan, karena masyarakat masih mampu mencukupi warga pengungsi. Dan memang, hingga dua bulan pasca erupsi pun, Posko Mandiri Kadisoka masih mendistribusikan secara rutin sejumlah logistik dan uang lauk-pauk untuk para penyintas di tiga dusun yang terdampak langsung erupsi Merapi, yaitu Dusun Gading dan Dusun Guling di Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, serta Dusun Plumbon, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak,  Sleman. Dan hingga hari ini pun per 20 Desember 2010, masih ada sekitar 40 orang pengungsi yang tinggal di Dusun Kadisoka.

Belajar dari Erupsi Merapi
Dari apa yang terpapar di atas, kita mesti mencatat sekaligus memberikan sebuah apresiasi besar kepada para warga yang secara mandiri menyemai modal sosial, welas asih, dan solidaritas untuk para pengungsi, tanpa embel-embel kepentingan dan pamrih apapun. Jejaring warga telah memberikan tauladan keutamaan budaya “tetulung”, solidaritas, untuk warga yang terekslusi oleh gunungnya sendiri. Sehingga warga Merapi teringankan bebannya sebagai pengungsi pelarian yang terlunta. Best practice penanggungan bencana ala jejaring Posko Mandiri yang diartikulasikan melalui kekuatan triadik hati-pikir-tindak, telah secara riil mengejawantah sebagai pembelajaran yang berharga bagi kita semua, terutama para pengambil kebijakan negeri ini. Ada satu keyakinan bulat di benak para warga penggiat kemanusiaan di Dusun Kadisoka, KMPP, KOMPAYO, dan Yayasan Sheep Indonesia, bahwa posko mandiri adalah panggilan kemanusiaan.
Satu hal penting yang mesti dicatat, warga Posko Mandiri Kadisoka itu hanyalah satu eksemplar dari sekian banyak contoh jejaring warga yang juga mempraktikkan hal serupa selama pasca erupsi Merapi lalu. Mengulang kesejarahan gempa 27 Mei 2006 silam, modal sosial masyarakat Yogya-Jateng tak terpalingkan lagi. Modal sosial kembali mujarab sebagai jejaring pengaman hak-hak dasar para penyintas/pengungsi. Meski tak terlukis jelas dalam paparan di atas, sejumlah kasus menunjukkan bahwa solidaritas sosial itu tak sekadar menjangkau kebutuhan dasar berupa logistik dan layanan kesehatan untuk pengungsi, namun ternak-ternak pun turut terjamah oleh ketercukupan pakan dan layanan kesehatan.
Namun tersadari benar bahwa sejarah tak pernah linier. Sejak gempa bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006 hingga erupsi Merapi 26 Oktober 2010 ini, jelas ada banyak hal yang berubah, namun ada kekhawatiran yang puguh, bahwa kita tidak pernah mau belajar dari best practice apapun. Dari paparan di atas, kita bisa mencatat peran menentukan dari beragam aktor. Ada lima  aktor yang memiliki peran yang cukup menyolok. Kehadiran sosok-sosok ini berbeda jika dibandingakan dengan peristiwa gempa bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006 silam. Kelima sosok itu diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, sosok “celebritis baru” Surono, Kepala PVMBG yang banyak memegang peranan penting dalam mitigasi bencana erupsi Merapi. Kedua,  tim SAR yang dengan gigihnya berjibaku dengan maut. Ketiga, tim medis rumah sakit yang dengan cekatan melakukan pelayanan medis kepada para korban luka maupun meninggal. Keempat, kalangan dunia akademik universitas yang dengan teramat responsif dan kapabel dalam meringankan beban para pengungsi, dan mencukupi berbagai kebutuhan dasar untuk mereka. Kelima, jejaring masyarakat sipil yang secara swadaya dan terbuka hati maupun hatinya menyambut kehadiran para pengungsi di posko-posko mandiri baik di Yogyakarta maupun Jateng. Boleh jadi dunia akan mencatat sejarah bahwa tak akan pernah ada pelayanan posko pengungsian yang seramah dan seterpadu itu.  
Untuk membingkai dan memaknai berbagai peristiwa yang terpapar di atas, berikut ini adalah sebuah kutipan yang bisa kita jadikan basis nilai terdalam atas esensi modal sosial dalam korelasinya dengan kehidupan berbangsa kita sebagai nation-state, tak terkecuali urusan governancekebencanaan negeri ini. Secara lugas, Fukuyama menekankan bahwa:[55]

Pemerintah mampu membentuk modal sosial, tapi juga bisa menghancurkannya... Negara-negara yang tidak berhasil menjamin keamanan masyarakat atau hak milik pribadi cenderung menghasilkan warga yang tidak saja tidak percaya kepada pemerintah, melainkan juga kepada sesama warga lainnya dan sulit menjalin ikatan dengan orang lain. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern, pemusatan fungsi-fungsinya, dan campur tangannya dalam hampir semua bidang kehidupan cenderung memperlemah hubungan spontan antarwarga. Negara sebagai sekutu dan sebagai seteru modal sosial  

Dalam konteks pasca erupsi Merapi ini, kutipan pendek Fukuyama itu terasa menyentil keseluruhan kita. Adakah yang luput dari penanggulangan bencana kita dalam konteks teguran Fukuyama di atas? Bukti-bukti empirik mengindikasikan bahwa sebuah masyarakat sipil yang kuat dan kaya dengan modal sosial akan mampu memerankan peran kritis di dalam mendorong governance ke­bencanaan yang handal. Tak perlu kita memapar lanjut seluruh sosok di atas. Yang perlu adalah kesegeraan melakukan pembelajaran bersama warga perihal posko mandiri itu sebagai model alternatif menejemen pengungsian yang perlu dikembangkan dalam penanganan pasca bencana ke depan, setidaknya kasus Merapi. Posko Mandiri adalah pelajaran terpenting sekaligus paling berharga bagi seluruh pihak pemangku kepentingan. Denganya model tata kelola kebencanaan yang komprehensif di masa yang akan datang semakin tersempurnakan.   
Ada sebuah tendensi di benak kita setiap menebar harapan baik itu. Pesimisme yang tak terukur. Terlampau lekat memori kita atas seabreg harapan yang tak kunjung mendapati jawab.  Pesimisme kita begitu keras menggugat perihal kapabilatas absorpsi kita atas lautan peristiwa yang terhampar pasca erupsi Merapi lalu. Adakah peluang untuk pemenuhan hak-hak dasar warga dalam situasi bencana, tatkala dalam situasi normal sekalipun negara abai atas itu? Sebegitu lekat keyakinan ini bahwa pemenuhan hak-hak dasar warga adalah ke-mrojol-an yang jamak dalam ranah intervensi negara. Perca-perca intra dan inter kebijakan dan implementasi senantiasa jadi ritual tambal sulam state apparatus. Sementara setiap rencana kontingensi tinggallah sebentuk kemewahan yang tak akan tersentuh oleh watak negara yang serba perca.
Namun tak akan ada cara untuk melampaui segenap skeptisisme itu, kecuali artukulasi  yang tetap sama untuk keseluruhan kita, bahwa dalam penangan pasca erupsi Merapi ke depan, pemerintah harus menghentikan segenap tabiat dan kegandrungan meringkus segala persoalan kemanusiaan—yang seringkali rumpil dan njlimet—dengan pola pikir, model, dan metode penganggaran kuantifikasi-konvensional yang sejatinya banal. Setiap praktik kuantifikasi-dangkal itu senantiasa melekat potensi kekerasan terhadap hak-hak dasar, harkat, dan martabat warga negara. Jika benar bahwa prinsip dan kesepakatan penanganan pasca erupsi Merapi adalah zero victim dan zero accident, maka tiba waktunya bagi pemerintah dan juga kita semua bersiaga beralih peran menjadi insan-insan pembelajar, dengan cara mendengar dan berdialog secara sungguh-sungguh dengan warga. Perlu kita catat lagi di sini bahwa partisipasi aktif warga adalah kunci utama bagi tata kelola kebencanaan yang lebih baik ke depan.[56] Semoga erupsi Merapi menjadi momentum bagi kita untuk mewujudkan kiprah kehidupan yang lebih baik. [ ]


Referensi:
Ariyanto, Gesit dan Daeng, Mohamad Final., Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.14.   
Abdullah, Irwan, Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi, 13 November 2006, hlm 17.
Bahagiarti, Sari, Erupsi Merapi dan Kearifan Lokal, Harian Kompas edisi 30 Oktober 2010;
Chollin, P., Dictionary of Politics and Government, Londong: Bloombury, 2004, hlm.53.
Dahana, Radhar Panca, Gara-Gara Mbah Maridjan, Harian Kompas edisi 20 November 2010.
Damayanti, Doty & Daeng, Mohamad Final, Surono: Mayarakat Kita Kaget Dengan Gunungnya Sendiri, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.23. 
FPRB, Seruan,  Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa Indonesia oleh Masri Maris), Jakarta: Gramedia.
MPBI & UNDP Indonesia, Lessons Learned: Disaster Management Legal Reform; The Indonesian Experience, MPBI: 2007, hlm.7.
Muhamad, Goenawan, Maridjan, Catatan Pinggir Tempo edisi 8 November 2010;
Nickson, David & Siddons, Suzy, Project Management Disasters and How to Survive Them; London: Kogan Page, 2006, hlm. 23.
Prihtiyani, Eny & Kusuma, Mawar, Bangkitnya Spirit Nasi Bungkus dari Yogyakarta..., Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm. 1 & 15.
Redana, Bre, Mbah Maridjan dalam Catatan Minggu, Harian Kompas edisi 31 Oktober 2010;
---------------, Kita Semua Wedhus Gembel, Kompas edisi 7 November 2010
Sarwindaningrum, Irene & Saptono, Hariadi, Mengenang Mbah Maridjan, Pendakian Personal versus Perburuan Kolektif, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
Shakuntala, Bambang, Gempa 30 Juta Skalla Richter; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007.
Shakuntala, Bambang, Apa Kabar Jogja Lama Tak Gempa; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007
Sindhunata, Gara-Gara Mbah Merapi, Harian Kompas edisi 19 November 2010;
Susetiawan, Bencana dalam Bencana, kata pengantar dalam AB.Widyanta (ed.), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007, hlm. xi-xxvi.
------------- Nasi Bungkus, dalam Jurnal Warta Pedesaan Tahun XXVIII No.11 November 2010,  Yogyakarta: PSPK – UGM, hlm.3-4.
UNISDR, Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives, Geneva: United Nations, 2004.
------------- Words Into Action: A Guide for Implementing the Hyogo Framework; Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the resilience of nations and communities to disasters, Geneva: UNISDR, 2007, hlm..163-165.
------------- Disaster Reduction and Sustainable Development, Geneva: UNISDR, 2003.
UUPB No 4 Tahun 2007
Widyanta (ed), AB., Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007, hlm. 539-543.
------------ Modal Sosial: Partisipasi Warga yang Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan; Potret Penanganan Gempa Yogya-Jateng, dalam Jurnal Renai Tahun VII No 1 2007, Governance Bencana, hlm.96.


Berita Koran
·         Merapi Bisa Berenergi Besar, Harian Kompas edisi Sabtu 23 Oktober 2010, hlm. 1.
·         Gejala Erupsi Merapi Eksplosif  di Harian Kompas (Yogyakarta), edisi 26 Oktober 2010, hlm A.
·         Erupsi Merapi Makin Dekat, Harian Kompas edisi Selasa 26 Oktober 2010, hlm.15.
·         Erupsi Merapi Makin Dekat, Harian Kompas edisi 26 Oktober 2010, hlm. 15.
·         Menjemput Mbah Maridjan, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.J.

·         Kinahrejo Tetap Hidup Dalam Mitologi, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.2
·         Menghitung Dampak Korban Merapi, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.A.
·         Korban Tewas Merapi 32 Orang, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
·         Awan Panas dan Gempa Muncul Lagi, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm 15.
·         Keluarga Abdi Dalem Itu Pergi..., Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm.H
·         Korban Letusan Merapi Dimakamkan Massal; Mbah Maridjan Dimakamkan bersama dengan Adik Iparnya, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm.2
·         Awan Panas dan Gempa Muncul Lagi, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm.15.
·         Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti,  Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm. A.
·         Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti,  Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm. A.
·         Daerah Bahaya Kian Meluas, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.1 dan 15.
·         Semburan Letusan Menyebar, Harian Kompas edisi 2 Nobember 2010, hlm.1
·         Radius Bayaha Naik Jadi 15 Km, Harian Kompas edisi 4 November 2010, hlm.1 dan 15.
·         Pengungsi Naik Jadi 100.000 Orang, Harian Kompas edisi  5 November 2010, hlm.1
·         Merapi Peras Air Mata, Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm.1 dan 15.
·         Erupsi Kamis Merusak 26 Dusun, Harian Kompas edisi 7 November, hlm.1
·         Ketika Tercerabut dari Rumah, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.33.

Website
·         http://www.pdiperjuangan-jatim.org/ v03/index.php?mod=berita&id=3735,

Wawancara:
Widyanta AB., Wawancara dengan Andi Rahmad, Fasilitator Lapangan Komisi Penanggulangan Bencana Sheep Indonesia, 18 November 2010
-----------------, Wawancara dengan Joko Pamungkas, Koordinator Posko Kadisoka, 18 November 2010 dan 27 November 2010
--------------------, Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 15 November 2010 dan 27 November 2010
--------------------,  Wawancara penulis dengan Supardi, Ketua RT 1 Kadisoka, pada 15 November 2010.
---------------- , Wawancara dengan Bayu Adhi Pratama, Posko Kadisoka, 17 Desember 2010
---------------- , Wawancara dengan Mei Lani, Posko Kadisoka 17 Desember 2010.
---------------- , Wawancara dengan Lilis, Posko Kadisoka 17 Desember 2010.







[1] AB.Widyanta adalah staf pada Kaldera Institute dan fellow pada Yayasan Sheep Indonesia, dan saat ini tengah belajar di Program Pascasarjana Sosiologi UGM.
[2] Dikutip dari David Nickson & Suzy Siddons, Project Management Disasters and How to Survive Them; London: Kogan Page, 2006, hlm. 23.
[3] Tercatat,bencana gempa bumi Yogya-Jateng, 27 Mei 2006, telah mengakibatkan korban meninggal 5.716; korban luka-luka 37.927; rumah roboh/rusak berat 156.662; rumah rusak sedang/ringan 202.031. Total kerugian dan kerusakan di seluruh sektor mencapai 292,2 triliun atau setara dengan 3 miliar dollar AS. Dikutip dari AB.Widyanta (ed), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007, hlm. 539-543. Baca juga AB.Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga yang Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan (Potret Penanganan Gempa Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai Tahun VII No 1 2007, Governance Bencana, hlm.96. Untuk mengetahui kiprah dan semangat warga dalam penanganan pasca gempa 27 Mei 2006, baca Bambang Shakuntala, Gempa 30 Juta Skalla Richter; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007. Baca juga Bambang Shakuntala, Apa Kabar Jogja Lama Tak Gempa; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007
[6] Lihat http://regional.kompas.com/read/2010/12/09/17335451/Tanggap.Darurat.Merapi.Berakhir-8
[7] Baca selengkapnya dalam UNISDR, Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives, Geneva: United Nations, 2004.
[8] Secara konseptual konstitusionalisasi merupakan suatu proses untuk meletakkan suatu bentuk pemerintah, negara atau organisasi berada di bawah kontrol suatu konstitusi.  Sedangkan istilah konstitusionalisme merujuk pada dua arti berikut: sistem pemerintahan yang berbasis pada konstitusi dan kepercayan pada pemerintah yang berbasis pada konstitusi. Dalam konteks tata kelola kebencanaan, konstitusionalisme ini bisa pahami secara luas (global) sebagai upaya membumikan ide dan agenda penguatan prinsip-prinsip konstutisional, seperti aturan-aturan hukum, checks and balance, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan mungkin juga demokrasi, demi perbaikan sistem yang lebih efektif dan adil. Mengenai dua konsep di atas, baca P. Chollin, Dictionary of Politics and Government, Londong: Bloombury, 2004, hlm.53.
[9] Terjemahan bebas dari kutipan buku David Nickson & Suzy Siddons, Project Management Disasters and How to Survive Them; London: Kogan Page, 2006, hlm. 23
[10] Kutipan Smith & Hoffmann ini dicuplik dan diterjemahkan dari Irwan Abdullah, Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi, 13 November 2006, hlm 17.
[11] Baca Susetiawan, Bencana dalam Bencana, kata pengantar dalam AB.Widyanta (ed.), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007, hlm. xi-xxvi.
[12] Terlepas dari segenap pro-kontra, UUPB No 4 Tahun 2007 diberlakukan sejak 27 April 2007. Jauh sebelum gempa dan tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004, diskusi awal digelar pada tahun 2003 oleh  UNDP, OCHA, BAKORNAS PB  dan MPBI.  Selama 2005 – 2007, proses legal drafting didukung oleh UNDP melalui Emergency Response and Transitional Recovery (ERTR). Baca MPBI & UNDP Indonesia, Lessons Learned: Disaster Management Legal Reform; The Indonesian Experience, MPBI: 2007, hlm.7.
[13] Ironi “kebutaan” yang menghenyak itu terjadi saat Wakil Ketua MPR RI, Hj Melani Leimena S mengunjungi pengungsi di Stadion Maguwoharjo, pada Sabtu 4 Desember 2010. Di hadapan para jurnalis, Melani mengungkapkan pihaknya mendesak segera dibuat Undang-undang (UU) tentang bencana. Selama ini sering terjadi anggaran tidak bisa disalurkan lantaran proses yang panjang sehingga harus diatur mekanisme pemberian bantuan yang cepat. Lihat http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=230799&actmenu=36. Ke-nyleneh-an serupa dilakukan tokoh partai kesohor, Ketua DPP PDI Perjuangan Maruarar Sirait. Di depan para jurnalis pada Rabu 3 November 2010, dengan sangat meyakinkan ia berpendapat Indonesia membutuhkan undang-undang (UU) tentang bencana alam. UU tentang bencana alam itu sebagai landasan hukum penanganan bencana alam yang kerap terjadi di republik ini. Lebih jauh ia mengatakan: “Payung hukumnya harus ada dan saya sangat mau itu (bentuknya) undang-undang (bencana alam). Ini harus ada good will bersama dari DPR dan pemerintah. Kita jangan hanya jadi pemadam kebakaran terus-menerus.” Lihat http://www.pdiperjuangan-jatim.org/ v03/index.php?mod=berita&id=3735,
[14] Sebuah tafsir yang tak kalah nyleneh mencuat dari Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief ini. Di depan para jurnalis, Rabu 7 April 2010, Andi menegaskan: “Idealnya, Indonesia memiliki Undang-Undang Mitigasi Bencana. Sebelum itu terwujud, kita perlu membuat sebuah pedoman mitigasi bencana secara nasional.” Dalam ungkapan itu, sepertinya Andi memahami kata “Penanggulangan” itu sebagai “respon” emergensi semata. Jika asumsi itu benar, bukan tidak aneh bila Andi lantas “berhasrat” mencomot kata “Mitigasi” sebagai antitesanya. Kiranya Andi Arif akan jauh lebih arif jika mau membaca utuh UU Penanggulangan Bencana. Tentang komentar Andi di atas, lihat http://www.detiknews.com/read/2010/04/07/ 202023/1334190/10/andi-arief-indonesia-perlu-sistem-mitigasi-bencana-yang-terpadu
[15] UU Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007, hlm 2. Lihat juga pada Bab II Landasan, Azas, dan Tujuan; Pasal 4, hlm. 6.
[16]Baca uraian lanjut Pasal 33 sampai dengan Pasal 58 UUPB No 24 Tahun 2007, hlm.17-25. Bandingkan dengan MPBI & UNDP Indonesia, Lessons Learned: Disaster Management Legal Reform; The Indonesian Experience, Jakarta: MPBI, 2007, hlm.7.
[17]  HFA telah diadopsi oleh 168 negara dalam World Conference on Disaster Reduction, yang digelar di Kobe, Hyogo Prefecture, Japan, 18-22 Januari 2005. Untuk konsep dan kerangka aksi HFA baca UNISDR, Words Into Action: A Guide for Implementing the Hyogo Framework; Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the resilience of nations and communities to disasters, Geneva: UNISDR, 2007, hlm..163-165.
[18]Dalam HFA inilah keterlekatan erat antara Disaster Risk Reduction dan Sustainable Development menemukan kerangka operasionalnya. Baca UNISDR, Disaster Reduction and Sustainable Development, Geneva: UNISDR, 2003.
[19] Menurut Eko Teguh Paripurno, ahli vulkanologi UPN Veteran Yogyakarta, erupsi eksplosif Merapi semacam ini pernah terjadi pada tahun 1930, dengan menelan korban 1.367 orang dan 2.100 ternak mati. Sejak itu, erupsi Merapi cenderung bersifat efusif dengan karakteristik aliran lava dan awan panas piroklastik (wedus gembel). Baca Gejala Erupsi Merapi Eksplosif  di Harian Kompas (Yogyakarta), edisi 26 Oktober 2010, hlm A. Baca Gesit Ariyanto dan Mohamad Final Daeng, Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.14.   
[20]Baca Merapi Bisa Berenergi Besar,Harian Kompas edisi Sabtu 23 Oktober 2010, hlm. 1.
[21]Pernyataan Surono ini dikutip dari reportasi Erupsi Merapi Makin Dekat, Harian Kompas edisi Selasa 26 Oktober 2010, hlm.15.
[22] Doty Damayanti & Mohamad Final Daeng, Surono: Mayarakat Kita Kaget Dengan Gunungnya Sendiri, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.23. 
[23] Terprediksikan oleh sejumlah pakar, jika erupsi terjadi, lava akan mengalir ke tujuh sungai/kali yang berhulu ke Merapi, yaitu: Kali Bebeng, Krasak, Bedog, Boyong, Kuning, Gendol, dan Woro. Baca penjelasan Subadriyo, Kepala Balai BPPTK, dalam Erupsi Merapi Makin Dekat, Harian Kompas edisi 26 Oktober 2010, hlm. 15.
[24] Wartawan Yuniawan Nugroho tewas saat berupaya menjemput Mbah Maridjan, baca Menjemput Mbah Maridjan, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.J.
[25] Baca esei substil-reflektif dari Bre Redana, Kita Semua Wedhus Gembel, Kompas edisi 7 November 2010.
[27] Perihal diskursus luas yang mengangkat alam pikir modern versusmitologis ini bisa dicermati dalam sejumlah opini berikut: Sari Bahagiarti K, Erupsi Merapi dan Kearifan Lokal, Harian Kompas edisi 30 Oktober 2010; Bre Redana, Mbah Maridjan dalam Catatan Minggu, Harian Kompas edisi 31 Oktober 2010; Bre Redana, Kita Semua Wedhus Gembel, Kompas edisi 7 November 2010; Goenawan Muhamad, Maridjan, Catatan Pinggir Tempo edisi 8 November 2010; Sindhunata, Gara-Gara Mbah Merapi, Harian Kompas edisi 19 November 2010; Radhar Panca Dahana, Gara-Gara Mbah Maridjan, Harian Kompas edisi 20 November 2010. Baca juga Kinahrejo Tetap Hidup Dalam Mitologi, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.2
[28] Baca Menghitung Dampak Korban Merapi, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.A.
[29] Baca Korban Tewas Merapi 32 Orang, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
[30] BacaAwan Panas dan Gempa Muncul Lagi, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm 15.
[31] Baca Keluarga Abdi Dalem Itu Pergi..., Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm.H
[32] Baca Korban Letusan Merapi Dimakamkan Massal; Mbah Maridjan Dimakamkan bersama dengan Adik Iparnya, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm.2
[33] Salah satu keprihatinan muncul dalam sarasehan kebencanaan BPPTK di Yogyakarta. Sarasehan dihadiri oleh antropolog UGM Fauzan Zamzam, rohaniwan Romo Kirjito, sosiolog UIN Yogyakarta Sri Harini, dan Kepala Biro Kompas DIY Thomas Pudjo Widijanto. Baca Awan Panas dan Gempa Muncul Lagi, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm.15. Baca juga Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono, Mengenang Mbah Maridjan, Pendakian Personal versus Perburuan Kolektif, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
[34] Pendapat Sarwidi ini dikutip dari reportase Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti,  Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm. A.
[35] Baca Pengungsian Kurang Fasilitas,Rumah Rusak akan Mendapat Ganti,  Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm. A.
[36] Baca Daerah Bahaya Kian Meluas, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.1 dan 15.
[37] Baca Semburan Letusan Menyebar, Harian Kompas edisi 2 Nobember 2010, hlm.1
[38] Baca Radius Bayaha Naik Jadi 15 Km, Harian Kompas edisi 4 November 2010, hlm.1 dan 15.
[39] Baca Pengungsi Naik Jadi 100.000 Orang, Harian Kompas edisi  5 November 2010, hlm.1
[40] Baca Merapi Peras Air Mata, Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm.1 dan 15.
[41] Baca Erupsi Kamis Merusak 26 Dusun, Harian Kompas edisi 7 November, hlm.1
[43] FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010. Lihat http://fprb. wordpress. com/2010/ 11/17/berdayakan-posko-mandiri/
[44] Baca Ketika Tercerabut dari Rumah, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.33.
[45] FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
[46] FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
[47] Surat Bupati Sleman, No 361/1847, 19 November 2010, Perihal Pemulangan dan Penarikan Pengungsi.
[48] Baca Susetiawan, Nasi Bungkus, dalam Jurnal Warta Pedesaan Tahun XXVIII No.11 November 2010,  Yogyakarta: PSPK – UGM, hlm.3-4. Baca juga Eny Prihtiyani & Mawar Kusuma, Bangkitnya Spirit Nasi Bungkus dari Yogyakarta..., Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm. 1 & 15.
[49] Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 15 November 2010.
[50] Wawancara penulis dengan Supardi, Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, pada 15 November 2010.
[51] Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 27 November 2010.
[52] Wawancara dengan Bayu Adhi Pratama, Posko Kadisoka, 17 Desember 2010
[53] Wawancara dengan Andhie, Fasilitator Lapangan Komisi Penanggulangan Bencana Sheep Indonesia, 18 November 2010

[54] Wawancara dengan Joko Pamungkas, Koordinator Posko Mandiri Kadisoka, 18 November 2010
[55] Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa Indonesia oleh Masri Maris), Jakarta: Gramedia, hlm.316-318
[56] FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
Share this article :
 
Support : Rakjat Koeasa |
Copyright © 2009. Spotaker Blank - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Spotaker Blank
Proudly powered by Blogger