Konflik Mega Proyek
Tambang Pasir Besi Kulon Progo
(Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya)
Oleh: AB.Widyanta, S.Sos, MA*
"Dari pertambangan pasir besi yang
merupakan terbesar di Asia Tenggara ini,
diharapkan menambah
pendapatan asli daerah (PAD) Kulonprogo sebesar Rp1
triliun setiap tahun. Saya
berharap penerus saya nanti meneruskan proyek pasir besi
dan rencana pembangunan
pelabuhan Adi Karta yang sudah
ditunggu-tunggu masyarakat
maupun investor,"
(Toyo S. Dipo, Mantan Bupati Kulon Progo)1
“Hati kami sudah terlanjur
terluka oleh pendekatan pemerintah dan pihak
investor yang salah sejak
awal. Mereka tidak menggunakan car-cara persuasif.
Bahkan kami yang tinggal di
selatan jalan Daendles, dari Trisik sampai
timur Sungai Serang,
diperlakukan seperti layaknya “Gepeng”
(gelandangan dan
pengemis-pen) yang harus disingkirkan.”
(Supriadi, Ketua PPLP)2
Pengantar
Paska tumbangnya rezim Orde Baru, opsi desentralisasi
adalah keniscayaan yang tak terhindarkan dari demokratisasi politik bagi terwujudnya
otonomi masyarakat maupun perluasan partisipasinya di tingkat lokal. Selain
bisa mereduksi inefisiensi pembangunan yang sentralistis, desentralisasi bisa
mengalihkan lokus perumusan kebijakan publik dari bebadan pemerintah pusat ke
pemerintah lokal, untuk membuka peluang yang jauh lebih lebar bagi demokrasi
yang substansial. Proses demokratisasi selama tiga belas tahun tak sepenuhnya
berjalan sesuai harapan.
Implementasi
otonomi daerah—paska kejatuhan Soeharto dan pemilu 1999 itu—telah melahirkan gelombang
balik. Banyak kasus menunjukkan perumusan kebijakan publik di daerah tidak
menunjukkan tingkat sensitifitas kepentingan masyarakat.3 Kebijakan lebih berpihak dan
menguntungkan para elit politik predatoris di tingkat lokal.4 Mereka adalah individu dan kelompok
yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para birokrat
sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik
adalah para koneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek
dan penegak rezim.5
*
Penulis adalah asisten Peneliti pada Pusat
Studi Pedesaan & Kawasan UGM dan konsultan pada Kaldera Institute, Institute for Sustainable Development. Kontak: andrewwidyanta@gmail.com;
laman untuk artikelnya: spotakerblank.blogspot.com
1 Proyek Pasir Besi Harus Diteruskan dalam Kedaulatan
Rakyat, 09 Agustus 2010.
2 Transkrip wawancara dengan Supriyadi pada 12 Juni 2011.
3 Baca Purwo Santoso dan Tri Susdinarjanti, Konflik dalam
Perumusan Kebijakan Publik: Potret Persilangan
Kepentingan
dalam Menata Peradaban dalam Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak
Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta: CSPS Books, 2004,
hlm.263-287.
4 Aniruddha Dasgupta dan Victoria A. Beard, Community Driven Development, Collective Action and Elite Capture
in
Indonesia dalam Development and Change, 2007.
hlm. 232
5 Vedi Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia:
A Critique of Neoinstitutionalist Perspective” dalam Toby Carroll, Pembangunan
Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan
di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.100.
Dengan
mengatasnamakan
otonomi daerah, distribusi pemerataan kesejahteraan, elit-elit lokal berpolah
persis seperti rezim otoritarian yang pernah berkuasa pada masa sebelumnya.6
Proses
otonomi daerah banyak ditandai dengan terjadinya eksploitasi sumberdaya
alam—khususnya sumberdaya yang tak terbaharui. Selain ditandai dengan degradasi
lingkungan,7 semarak
otonomi daerah juga dicirikan dengan beraneka kasus konflik struktural maupun horisontal
di tingkat lokal. Berdalih “mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk
kemaslahatan rakyat”, elit-elit penguasa berkeras menyiasati berbagai barrier kebijakan
dan mengabaikan warga demi terbangunnya “jalur bebas hambatan” untuk
keterlibatan private sector (asing) dalam industri ekstraksi.
Tulisan ini akan menelisik konflik sumberdaya alam, mega
proyek tambang pasir besi di Kabupaten Kulon Progo, yang dari hari ke hari
semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung
dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), tak bias dihindarkan lagi. Tanpa
takaran dialog memadai, kerasnya kebijakan yang bersikukuh merealisasikan
proyek, semakin menyulut resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat pun bermanifestasi
menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak dapat ditolak, konflik
kekerasan pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana rakyat mengambil
posisi tawar yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan pengusaha
berikut aktor-aktornya di tingkat basis.
Tulisan berupaya
memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima tahun, tanpa adanya
tanda-tanda penyelesaian akhir dan justru semakin ekskalatif. Dengan mengacu
pada pemetaan konflik Paul Wehr, bagian pertama tulisan akan mengilustrasikan konteks
situasi yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak yang terlibat (baik yang
langsung dan tidak langsung, serta yang terkait upaya perdamaian) dan isu-isu
atau persoalan utama sebagai obyek konflik pun turut terpapar di bagian ini.
Pada bagian kedua, secara historis tulisan akan mengetengahkan eskalasi
konflik itu sampai situasi terkini. Pada bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang
bagi resolusi konflik. Pada bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian
dengan memberikan beberapa catatan kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas
peristiwa termutakhir seputar peta politik paska terpilihnya bupati baru di
Kabupaten Kulon Progo.
Selain ditempuh melalui kajian pustaka dan penelusuran
pemberitan dari sejumlah media massa, tulisan juga dilengkapi dengan hasil
wawancara penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait dalam konflik tambang
pasir besi Kulon Progo.
Prahara-Berkepanjangan
di Pesisir Kulon Progo
Setelah berlangsung sekitar lima tahun, 2006-2011, kabar
samar itu akhirnya berujung pada konflik kekerasan. Pada awal tahun 2006, warga
pesisir pantai di empat kawasan kecamatan—Temon, Wates, Panjatan, dan
Galur—Kulon Progo menganggap rencana penambangan dan pengolahan pasir besi
hanya sebatas kabar angin belaka. Tak pernah terbayang di benak warga yang
tersebar di pesisir sepanjang 22 km itu bahwa kawasan mereka akan dijadikan
ajang penambangan pasir besi oleh pemerintah dan swasta.
Selain karena telah bersusah payah mengubah hamparan
pasir-tandus menjadi lahan subur pertanian selama tidak kurang dari 2 dekade,
warga memiliki dua aturan penjamin-kuat yang bisa menepis simpang siur kabar
itu. Dua aturan itu adalah: pertama, Perda No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Kab. Kulon
Progo yang menjelaskan bahwa sepanjang pantai selatan Kulonprogo ditetapkan
sebagai kawasan perikanan pantai dan laut, dan kawasan pesisirnya sebagaian
ditetapkan sebagai kawasan pertanian lahan kering; dan kedua, Surat
Pakualam IX, No X/PA/2003 pint 1 huruf a, yang menyatakan bahwa PA Ground dapat
dikembangkan untuk
6 Leo Agustino, Dinasti Politik Pasca-Otonomi Orde Baru:
Pengalaman Banten dalam dalam Prisma
Vol. 29, Juli 2010, hlm. 102.
7 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap
Desentralisasi di Indonesia Berbanding Sentralisasi; Bandung: Widya
Padjadjaran, 2011, hlm. 118.
kegiatan
pertanian lahan pasir dan pariwisata.8 Selain itu tercantum juga klausul yang berbunyi: tidak
diijinkan mengubah sifat fisik dan hayati seperti untuk penambangan pasir, dan
ada sanksi terhadap pelanggar.9
Berita seputar rencana tambang besi di pesisir Kulon
Progo yang kian santer tersiar di sejumlah kelompok tani dan dan mimbar-mimbar
masjid desa menimbulkan keresahan masyarakat pesisir pantai. Sejumlah warga
dari 4 kecamatan (Galur, Panjatan, Temon, dan Wates) yang mencakup 10 desa
(Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan,
Jangkaran dan Karangwuni) pun mengorganisir diri dan membentuk Paguyuban Petani
Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP) pada 1 April 2006. Di-sesepuhi oleh salah
seorang adik Sri Sultan HB X, Adjie Kusumo, PPLP dibentuk untuk menolak rencana
pertambangan pasir besi di wilayah mereka.10
Kesimpangsiuran kabar di kalangan warga pesisir pun surut
tatkala para petugas dari PT.Jogja Magasa Mining (JMM)—perusahaan milik
keluarga penguasa politik di Propinsi Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku
Alaman—mulai mensosialisasikan rencana penambangan pasir besi itu. Proses
sosialisasi dilakukan melalui beberapa jalur: sosialisasi langsung kepada warga,
sosialisasi melalui sejumlah tokoh formal dan informal, dan sosialisasi melalui
dinas pemerintah daerah maupun kantor DPRD Kulon Progo. Proses sosialisasi
langsung ke warga banyak terhambat oleh tentangan dan penolakan yang keras dari
warga yang tergabung dalam PPLP.
Dalam perjalanannya, selain menggalang aliansi gerakan
dengan beberapa lembaga seperti LBH Yogya, Walhi Yogya, sejumlah LSM, dan
beberapa kalangan akademis, PPLP juga berulangkali menggelar aksi protes ke
berbagai lembaga pemerintah terkait. Pada 27 Agustus 2007, PPLP berdemonstrasi
di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo untuk menuntut pembatalan
proyek pertambangan pasir besi. Bupati Toyo Santosa Dipo dan Ketua DPRD Kulon
Progo Kasdiyono menyetujui tuntutan warga secara tertulis, dengan konsekuensi pengunduran
diri jika terjadi pengingkaran di kemudian hari.11
Lima bulan paska persetujuan, guna mencari kejelasan
informasi seputar mega proyek pasir besi yang serba simpang-siur, pada 4
Februari 2008, sejumlah perwakilan dari PPLP melakukan audiensi dengan Komisi
VII DPR RI (yang membidangi masalah energi, sumber daya mineral, ristek dan
lingkungan hidup) di Senayan Jakarta. Menurut Widodo, anggota PPLP, selama ini
ternyata Komisi VII hanya memperoleh informasi sepihak yang menyatakan bahwa tidak
pernah ada masalah di lapangan dan masyarakat telah menerima rencana proyek
tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyetujuinya. Karenanya,
Komisi VII berencana akan terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi
masyarakat yang sebenarnya, agar tidak ada anggota masyarakat di Kulonprogo
yang dirugikan. Selain beraudiensi di Senayan, PPLP juga diterima Kedutaan
Besar (Kedubes) Australia di Jakarta untuk membicarakan persoalan yang sama.12
Sebulan berselang, pada 1 - 5 Maret 2008, warga Desa
Bugel didukung PPLP yang berjumlah ratusan orang, menggelar aksi pemblokiran
jalan yang merupakan akses keluar.
8 Walhi Yogyakarta, Tanggapan KA-ANDAL Pertambangan Biji
Besi PT JMI Kulon Progo, 25 April 2011.
9 Bambang Yunianto, Kajian Permasalahan Lingkungan dan
Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan Pasir Besi di Pantai Selatan
Kulon Progo, Yogyakarta dalam Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05,
Nomor 13, Januari 2009; hlm.10.
10 Pada awal pembentukan PPLP, Adjie Kusumo terlibat dalam
pengorganisasian para petani lahan pantai. Namun PPLP akhirnya memutuskan untuk
independen dan tidak lagi melibatkan Adjie Kusumo. Penuturan Nasib Wardoyo (40
tahun), warga Karangwuni 5, anggota PPLP, pada 24 Juni 2011. Menurut hemat
penulis, perseteruan politik pemerintah pusat vs pemerintah provinsi yang
terkait RUUK Yogyakarta (2010), telah merubah peta konflik internal Keraton
Yogyakarta. Konsolidasi internal Keraton berhasil meminimalisir friksi Sri
Sultan HB X dan Adjie Kusumo. Dalam situasi itu, tidak strategis bagi PPLP
untuk tetap melibatkan Adjie Kusumo.
11 Penolakan Rencana Pemerintah Melakukan Penambangan Biji
Besi dalam Berita Kaum Tani, 2 Edisi II September 2007, hlm. 9-10
masuknya
kendaraan Pilot Project PT. Jogja Magasa Mining (JMM) menuju pantai Trisik. Aksi
yang diikuti hingga ratusan warga itu ditempuh lantaran Bupati dan Ketua DPRD
Kulon Progo ingkar terhadap kesepakatan tahun sebelumnya. Sementara warga
lainnya memblokir jalan, pada 4 Maret 2008, sebagian anggota PPLP melakukan
konferensi pers di kantor LBH Yogyakarta, yang menegaskan bahwa pelaksanaan uji
coba pilot proyek penambangan pasir besi di Desa Trisik dan Banaran, Kecamatan
Galur, pada dasarnya melanggar prosedur. Anggota PPLP memegang masukan dari
Komisi VII DPR RI yang beberapa waktu sebelumnya berkunjung ke sana bahwa pilot
project tidak boleh dilakukan sebelum AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) terbit.13 Gerakan PPLP menolak tambang besi
kian menguat.
Pada 3 - 6 Juni 2008, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi ke Kulon Progo.
Dalam pertemuan bersama perwakilan PPLP dan LBH, Nurkholis selaku Anggota
Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, menyampaikan dua hasil
kesimpulan investigasi: (1). Ada dugaan pelanggaran HAM karena hak-hak warga
mendapat informasi proyek penambangan terabaikan. Eksekutif dan perusahaan
pelaksana proyek harus mencatat hal itu; (2). Masyarakat lahan pantai Kulon
Progo terpecah dua kubu (yang pro dan yang kontra). Terindikasikan, Bupati
Kulon Progo dan jajarannya belum banyak berperan. Selain dua hasil investigasi
itu, ditegaskan pula bahwa Komnas HAM akan mengerucutkan rekomendasi ke
Presiden, meski tak ada jaminan rekomendasi pasti disetujui.14
Selang sebulan, pada 21 Juli 2008, dengan dikawal ketat
oleh aparat kepolisian, PPLP bersama ribuan massanya (1.500 orang) menggelar
demostrasi di Universitas Gadjah Mada, dan mendesak Fakultas Kehutanan untuk
membatalkan kerjasama penelitian rehabilitasi paska penambangan pasir besi
dengan PT Jogja Magasa Mining (JMM). Aksi demonstrasi itu terjadi lantaran UGM
tidak memberikan sikap resmi setelah PPLP mengirim surat permintaan klarifikasi
sebanyak 3 kali. Mengingat kerasnya reaksi petani pantai lahan pasir untuk
mendesak pembatalan penelitian tersebut, maka Rektor UGM Soejarwadi dan Dekan
Fakultas Kehutanan M. Na’iem pun akhirnya bersedia membatalkan kerjasama
penelitian itu dengan penandatangan surat pernyataan.15
Penolakan warga atas tambang pasir besi terus berlangsung
intensif. PPLP kembali berunjuk rasa, pada 23 - 25 Oktober 2008, guna menuntut
pertanggung-jawaban Ketua DPRD dan Bupati Kulon Progo yang pernah
menandatangani pernyataan penolakan rencana tambang pasir besi pada tanggal 27
Agustus 2007 lalu. Selain tak satu pun anggota dewan masuk kantor, Ketua DPRD
Kulon Progo, Kasdiyono, juga dikabarkan masih ada di Jakarta untuk menghadiri pertemuan
Asosiasi Ketua DPRD Kota dan Kabupaten se-Indonesia. Sementara, Bupati Kulon Progo,
Toyo Santoso Dipo, belum kembali dari tugas dinas di Jakarta.16
Pada 27 Oktober 2008, ratusan orang tak dikenal menyerbu
Desa Garongan dan Karangwuni di kawasan pesisir selatan Kulonprogo. Dua desa
itu dikenal sebagai basis penentang rencana penambangan pasir besi oleh PT
Jogja Magasa Mining (JMM). Menurut penilaian warga, penyerbuan itu merupakan
upaya untuk mengalihkan isu penentangan rencana penambangan pasir ke masalah
konflik antar warga. Muncul desas-desus akan ada serangan susulan.17 Tanpa disangka-sangka, kekhawathiran
PPLP terjadi. Tepat pada 4 November 2008, muncul berita di media massa bahwa
kontrak karya tambang pasir besi Kulon Progo resmi ditandatangani. Kontrak
karya antara PT. Jogja Magasa Iron (JMI) yang diwakili Phil Welten, Presiden Komisaru
Kutfi Heyder dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, itu mengantongi ijin operasi
selama 30 tahun. Beberapa ketentuan kontrak itu antara lain: PT Jogja Magasa
Iron
siap
menanamkan investasi 1,7 miliar dolar AS untuk penambangan pasir besi (sand iron) sekaligus
memproduksi besi kasar (pig iron) di pesisir selatan Kulon Progo. Rincian investasi itu 600
juta dolar AS untuk tambang dan 1,1 miliar dolar AS untuk infrastruktur. Dari
tambang besi yang menggunakan sistem pertambangan terbuka tersebut, negara akan
mendapat tambahan penerimaan pajak 20 juta dolar AS per tahun, pendanaan lokal
7 juta dolar AS per tahun dan royalti 11,25 juta dolar AS per tahun. Pemprov
Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo akan mendapat kontribusi pengembangan
masyarakat dan wilayah sebesar 1,5 % dari penjualan atau senilai 7 juta dolar
AS per tahun selama 10 tahun pertama dan selanjutnya sebesar 2 %.18 Wilayah aplikasi kontrak karya
seluas 2.987 hektare itu akan memiliki kapasitas produksi 1 juta ton di tahun
pertama, per 2012. Jika itu menguntungkan akan ditingkatkan sampai 5 juta ton.
Produksi awal rencananya akan dijual ke PT. Krakatau Steel.19
Tentangan dan penolakan yang keras dari warga PPLP selama
hampir 3 tahun ternyata tak menyurutkan usaha PT. JMM—yang kemudian berganti
nama menjadi PT. Jogja Magasa Iron (JMI)20—untuk mengantongi Kontrak Karya (KK) penambangan.21 Tak pelak penandatanganan KK itu pun
mengundang protes keras dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa kalangan
masyarakat itu diantaranya: Adjie Kusumo (pada saat itu masih sesepuh PPLP),
warga PPLP, jejaring LSM lingkungan (seperti Jaringan Tambang dan Walhi), dll.
Anatomi
Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi
Berpijak pada paparan panjang di atas, uraian berikut
akan mendiskripsikan hasil analisis mengenai berbagai faktor penyebab munculnya
konflik. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga faktor penyebab konflik
yang beroperasi dalam mega proyek penambangan pasir besi di Kulon Progo ini.
Pertama, akar
konflik yang nampak menyolok adalah persoalan tanah atau agraria. Persoalan
status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah munculnya kontroversi penambangan
pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon Progo. Di satu sisi Pakualaman mengklaim
bahwa sejumlah tanah di wilayah itu merupakan Pakualam Ground. Di sisi lainnya, warga
merasa berhak pula atas tanah pesisir yang telah mereka kelola selama 20 tahun,
hingga menjadi lahan pertanian yang subur seperti saat ini. Warga pun menuntut
sertifikasi tanah lahan pesisir itu.
Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG)
memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga saat ini. Terjadi
dualisme penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu sisi mengacu pada
pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta No. 16/1918 dan Rijksblad Pakualaman
No.18/1918 dan di sisi lainnya mengacu pada pemberlakuan UUPA No 5/1960.22 Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas
bertentangan dua asas hukum. Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi
menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi inferiori). Kedua, hukum yang
18http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.Penambangan.Pasir.Besi.
20 Jogja Magasa Iron ini merupakan perusahaan berbentuk
penananam modal asing (PMA) dimiliki PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia
sebesar 30 persen dan Indomines Limited dari Australia sebesar 70 persen.
21 Dalam tiga tahun itu, PT. JMM berarti telah melalui
proses berikut: (1) mengajukan eksplorasi pasir besi, pada tanggal 6 Oktober
2005; (2). KP Eksplorasi No. 008/KPTS/ KP/EKKPL/X/2005 seluas 4.076,7 Ha
(Wates, Temon, Panjatan, Galur); (3). Indo Mine, Ltd (Australia) pada 30 Juni
2005 bergabung karena mempunyai teknologi Autokumpu pengolahan pasirbesi menjadi pig iron; (4). PT. JMM melakukan eksplorasi
dengan 929 titik bor, pada 25 Maret 2006, dan telah melaporkan hasil eksplorasi
sebanyak 14 volume. Lihat Bambang Yunianto, Kajian Permasalahan Lingkungan dan
Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon
Progo, Yogyakarta dalam Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor
13, Januari 2009; hlm.11.
22 Hendro Prabowo, Pluralisme Hukum dan Penguasaan Tanah di
DIY dalam Mimbar Hukum, hlm. 64. Diunduh dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.
datangnya
lebih dahulu dapat dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori).23 Persoalan agraria di DIY ini semakin
terasa kompleks sejak berlangsungnya otonomi daerah, terutama saat mengemukanya
kembali polemik RUUK dalam tiga tahun terakhir.
Kedua, terkait
dengan akar persoalan agraria di atas, persoalan kedua ini adalah soal timpangnya
kekuasaan dalam desentralisasi. Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal akan berakibat
pada dua hal: pertama, pola dan mekanisme perumusan kebijakan publik (baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten) yang bias pada kepentingan elit penguasa; dan kedua,
hasil kebijakan itu praktis akan mendorong optimalisasi penguasaan
sumber-sumber ekonomi produktif oleh elit-elit lokal tersebut.
Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya
mengemuka dan terkuak ketika hadir pihak ketiga, yaitu pengusaha asing yang
hendak menginvestasikan modalnya secara langsung di sektor industri ekstrasi di
kancah lokal. Konflik yang semula berada di dalam sekam, akhirnya mengemuka
sebagai konflik terbuka, bahkan telah berujung pada konflik kekarasan. Dalam
pusaran persoalan yang saling berkelit berkelindan itulah yang menyebabkan para
warga pesisir merasa tidak mendapatkan rasa keadilan. Lahan penghidupan sebagai
sumber kesejahteran terancam terenggut dengan cara-cara yang tidak adil dan
manusiawi. Dalam konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah mengatakan bahwa
bekerjanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama apa
yang disebutnya sebagai spiral kekerasan.24
Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait
dengan mega proyek penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya
kedalam kategori berikut: pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar konflik
(yang memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di DIY); kedua, ketimpangan
kekuasaan dalam desentralisasi terkategorikan sebagai pendorong munculnya
konflik; dan ketiga, keterlibatan investor asing di sektor industri ekstraksi
merupakan pemicu konflik.
Pihak-Pihak
yang Terlibat dalam Konflik
Dalam konflik mega proyek tambang pasir besi ini,
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini dipilah menjadi 2 kategori, yaitu
pihak yang terlibat langsung dan pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam
konflik. Pihak yang terkait langsung dalam konflik meliputi: (1). Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah; (2). Investor (PT. Jogja Magasa Iron/ JMI); (3) Masyarakat
Pesisir Pantai (Pro dan Kontra). Sedangkan pihak yang tidak terkait langsung
dalam konflik diantaranya: (1) Elemen-elemen Masyarakat Sipil; (2). Komnas HAM;
(3). DPRD
1.
Terlibat Langsung dalam Konflik
a.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten
Sejak awal, Pemerintah Pusat sangat berkepentingan untuk
meloloskan investasi asing langsung, sebagaimana yang terjadi dalam proyek
penambangan pasir besi ini. Hal itu terindikasikan pada saat Menteri ESDM Purnomo
Yusgiantoro mengatakan bahwa Kontrak Karya itu adalah satu-satunya yang
berlokasi di Jawa dan juga untuk pasir besi. KK juga merupakan kontrak karya
pertama sejak 1998. Menurutnya, sulit mencari investasi di saat krisis global
seperti saat ini. Terlebih lagi investasi yang dicarai adalah investasi
langsung.25
Senada dengan menteri ESDM,
MS.Hidayat, Menteri Perindustrian, mengatakan bahwa ia mendukunng prakarsa dan
pembangunan proyek pasir besi di DIY karena dapat menunjang pemenuhan besi baja
nasional yang selama ini masih impor sekitar empat juta ton per tahun,''26
23 Jawahir Thontowi, Kepemimpinan yang Demokratis dan
Penguasaan Tanah dalam Heru Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan
Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS, hlm.61.
24 Lambang Triyono, Kata Pengantar dalam Dom Helder Camara,
Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar;2000,hlm.xi-xiii.
26 MS Hidayat: Investasi Awal Pasir Besi Kulon Progo 600
Juta Dollar AS. Republika, Senin, 21 Maret 2011
Pemerintah Provinsi adalah pihak
yang paling berkepentingan dan paling “kuat” mendesakkan proyek penambangan
pasir besi ini. Hanya saja yang perlu dicatat di sini, sebagai penguasa di
tingkat provinsi, Sri Sultan HB X dan Pakualam ke IX, memiliki vested interest yang
telah diketahui publik. Sangat jelas di sini terjadi conflict of interest terkait jabatannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
dengan kedudukannya sebagai pemilik saham dari korporasi PT. Jogja Magasa Iron
(JMI). Saat berperan sebagai Gubernur, Sultan HB IX (yang notabene adalah Raja
di Kasultanan Jogjakarta cum pemilik saham PT. JMI) mengatakan bahwa rencana
penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo, DI Yogyakarta, tidak boleh
menggusur lahan dan rumah warga. Investor hanya diizinkan menambang di lahan
pasir yang tidak dimanfaatkan warga.
Sementara, saat ditanya seputar
kepemilikan sebagian saham PT JMI oleh Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman,
Sultan mengatakan, kepemilikan saham itu karena lahan sebagian merupakan
Pakualaman Ground. Ia menegaskan, tidak ada konflik kepentingan akibat
kepemilikan saham. Keraton itu institusi sendiri. Bukan dia.27 Permainan “dua kaki” rupanya menjadi
gaya-khas Sultan, termasuk ketika mengambil posisi soal RUUK.
Pemerintah Kabupaten pada dasarnya
hanyalah kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Pemprov. Dalam takaran
itu, Bupati Kulon Progo, Toyo S. Dipo senantiasa menjalankan politik propaganda
bahwa proyek itu akan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Proyek
pertambangan pasir besi merupakan megaproyek strategis. Dalam perhitungan
pemerintah, pendapatan daerah yang masuk jika megaproyek itu terlaksana Rp 1,6
triliun per tahun. Dibutuhkan tenaga sebanyak 2.000 pegawai tetap, 2.000
pegawai kontrak dan 2.000 pegawai harian.28
Propaganda yang paling mengejutkan
adalah ketika ia menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat Kulonprogo menyetujui
rencana penambangan pasir besi ini. Yang tidak setuju hanya sebagian kecil
saja, yaitu mereka tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP).
Menurutnya, para petani yang menolak tersebut tidak paham tentang persyaratan antara
investor dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.29
b.
PT. Jogja Magasa Iron (JMI)
PT. JMI pada awalnya bernama PT.
Jogja Magasa Mining (JMM). Terkait penolakan warga pesisir, General Manager PT
JMM, Boedi Tjahjono, mengatakan pihaknya berkomitmen agar proyek penambangan
pasir besi mampu mendatangkan kesejahteraan bagi warga pesisir Kulon Progo. Ia
juga menjamin tidak akan ada penguasaan lahan petani oleh PT JMM, karena izin
yang diajukan ke pemerintah daerah dan pusat adalah pengambilan bijih besi
dalam jangka waktu tertentu. Jaminan ini masih diikuti dengan pemberian
kompensasi dan dana pengembangan komunitas, serta daerah, apabila proyek benar-benar
berlangsung. Sehingga JMM merasa tidak akan mengancam hak asasi warga sekitar.30
Sebagaimana tercantum dalam Kontrak
Karya, Jogja Magasa Iron ini merupakan perusahaan berbentuk penananam modal
asing (PMA) dimiliki PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia sebesar 30 persen
dan Indomines Limited dari Australia sebesar 70 persen.
c. Kelompok
Warga Pesisir (Pro dan Kontra)
Sejak proses sosialisasi dilakukan,
warga pesisir yang pada awalnya sebagian besar menolak proyek penambangan pasir
besi, perlahan-lahan mulai terbelah menjadi dua kubu. Ditilik dari tata letak
wilayah, warga yang berubah sikap mendukung proyek tambang pasir besi ini
umumnya tinggal di sisi utara jalan Daendles. Dan hampir bisa dipastikan bahwa
28 http://www.tribunpalu.com/2011/02/10/toyo-janji-beri-pekerjaan-untuk-warga-peisisir
29 http://www.pme-indonesia.com/news/?catId=3&newsId=139
30 http://nasional.kompas.com/read/2008/06/05/21552753/seru.pro-kontra.rencana.penambangan.pasir.besi
mereka bukanlah para penggarap lahan pantai. Karena
bukan petani penggarap lahan pantai maka, mereka tidak akan banyak terdampak
atau terugikan dengan adanya proyek.
Sementara itu, warga yang
berafiliasi di kubu kontra ini sebagian besar tinggal di sisi selatan jalan
Daendles. Merekalah yang relatif banyak bertumpu pada penghidupan di sector pertanian
lahan pantai. Besarnya manfaat dan keuntungan ekonomi yang didapat dari lahan yang
mereka garap membuat warga menolak hadirnya proyek tambang pasir besi. Warga yang
kontra penambangan pasir ini terhimpun di dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon
Progo (PPLP KP).
Menurut penuturan Risti (38 tahun),
warga Dukuh 5 Karang Wuni, Wates, Kulonprogo, selama proses pro kontra proyek
pasir besi, ia seringkali merasa takut. Hanya salah paham kecil saja,
orang-orang mudah emosi sambil membawa golok dan pedang. Tidak jarang warga 1
RT tidak saling akur. Dalam situasi semacam itu, ia merasa kultur Jawa di
tingkatan warga sudah mulai hilang.31
2.
Tidak Terlibat Langsung dalam Konflik
a.
Beberapa Elemen Masyarakat Sipil
Dukungan kepada warga datang dari
berbagai kalangan masyarakat sipil. Namun yang jelas-jelas mendukung secara
kelembagaan adalah LBH Yogyakarta sebagai pengawal proses hukum warga pesisir
pantai. Pendampingan hukum dilakukan LBH sejak warga mengajukan permintaan
bantuan hukum. Atas nama warga LBH mendesak kepada pemerintah pusat segera
meninjau ulang penandatanganan kontrak karya proyek penambangan pasir besi.32 LBH juga membawa kasus bentrok di
Kulon Progo ke Komnas HAM, lantaran tindakan Polisi terlalu berlebihan.33 Dan LBH juga melakukan pendampingan
kasus kriminalisasi terhadap Tukijo, yang berujung sampai pada pendampingan
peradilan atas tuduhan melakukan perusakan pilot project tambang pasir besi.
Terkategorikan juga dalam elemen ini
adalah LSM lingkungan, Walhi dan LSM IDEA diposisikan sebagai aliansi strategis
warga. Namun dalam perjalannya muncul resistensi terhadap LSM. PPLP meminta LSM
yang ada di DIY tidak terlibat proyek penambangan pasir besi. Tersiar kabar ada
keterlibatan LSM dalam program analisis dampak lingkungan (amdal) pasir besi.
Dua lembaga ini adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Institute of Development and Economic Analysis (IDEA). Hasil klarifikasi dengan kedua LSM ini, kabar itu
tidak benar.34
Terlepas dari resistensi warga,
Walhi secara lantang melakukan protes penambangan pasir besi sejak awal. Pada
saat Kontrak Karya ditandatangani, Walhi pun melayangkan surat mosi tidak
percaya ke Menteri ESDM. Selain melaporkan Komisi Amdal dan Bupati Kulon Progo
terkait lolosnya KA Andal, Walhi juga melaporkan Bupati Kulon Progo karena
dinilai telah melanggar Undang-Undang Tata Ruang dengan mengeluarkan izin pertambangan
pasir besi di pesisir pantai.35
b.
DPRD
Karena mega proyek penambangan pasir
besi ini pada agenda Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi, maka posisi DPRD
DIY maupun DPRD Kulon Progo berada pada posisi yang tidak memiliki daya tawar
apapun. Posisi mereka dilematis. Semisal lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY kepada Kementerian
Dalam Negeri (yang terdapat pencantuman rencana tambang pasir
31 Transkrip wawancara dengan Risti, pada 12 Juni 2011.
32 http://nasional.kompas.com/read/2008/11/06/18421091/lbh.minta.kontrak.karya.pasir.besi.ditinjau.ulang
33 http://nasional.kompas.com/read/2009/10/20/12581847/
34 http://www.ideajogja.or.id/news.php?item.56
besi
di pesisir selatan Kulon Progo), tanpa melibatkan aspirasi masyarakat atau
evaluasi dari DPRD DIY adalah bukti dari ketidakberdayaan itu.
c.
Komnas HAM
PPLP mendapatkan dukungan moril dari
Komnas HAM selama melangsungkan penolakan mega proyek pasir besi ini.
Setidaknya tercatat 2 kali Komnas HAM melakukan kunjungan ke Kulon Progo. Kali
pertama, Juni 2008, Komnas HAM melakukan investigasi di lapangan dan menyusun
rekomendasi untuk kemudian disampaikan kepada Presiden.
Kedua, 9 Februari 2011, Komnas HAM
meninjau pilot project terkait aksi pengrusakan yang dilakukan warga pesisir,
di kawasan pilot project pertambangan pasir besi Kulonprogo. Pada tanggal itu
pula Komnas HAM, atas permintaan Bupati Kulon Progo, menemui masyarakat pesisir
untuk memediasi penolakan rencana penambangan pasir besi.36
Isu-Isu
yang Mengemuka dalam Konflik
1.
Status Kepemilikan Lahan
Terkait status tanah, warga
mengklaim 75 persen adalah tanah milik warga, diperoleh secara turun temurun
dan sebagian sudah bersertifikat. Hanya 25 persen lahan yang tak bertuan (Pakualaman Ground). “Kalau masih dipertentangkan soal status tanah yang
katanya milik Pakualaman (Pakualam ground), kami punya bukti dengan pembuktian
peta desa dan keterangan dari buku besar masing-masing desa.”37
2.
Hilangnya Matapencaharian sebagai Petani
“Hidup kami bergantung dari bertani,
dari menanam cabe di lahan pantai. Kalau lahan pertanian kami dijadikan
penambangan pasir besi, kami tidak setuju. Malah kalau mau dibuat bandara, saya
malah memperbolehkan, sebab kalau bandara kan kepentingan nasional atau negara.
Kalau penambangan pasir besi ini kan untuk investor saja. Hanya untuk
kepentingan perorangan.”38
Kegiatan bertani di pesisir pantai
bagi para warga merupakan penyangga hidup mereka yang berjumlah 50 ribu jiwa.
Supriyadi mencontohkan, bagi yang mempunyai lahan garapan tanaman cabai 1.200
meter persegi saja bisa dipanen sebanyak 30 kali dengan hasil rata-rata Rp 70
juta dalam waktu enam bulan. Sedangkan bagi yang tidak mempunyai lahan garap bias
menjadi buruh petik cabai dengan bayaran Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu per hari.39
3.
Persoalan Pengangguran
Meskipun penambangan pasir besi itu
akan membuka lapangan kerja bagi warga pesisir, seberapa banyak yang bisa
diserap sebagai buruh tenaga kerja di penambangan itu. Selain itu setelah nanti
penambangan besi berakhir, bagaimana nasib anak-cucu mereka nanti. Warga lebih
memilih bertani, karena masih bisa diwariskan kepada anak cucu, ketimbang
menjadi buruh penambangan yang tidak akan bisa mewariskan apapun kepada anak
cucu.40
4.
Persoalan Kerusakan Lingkungan
Dampak kerusakan lingkungan yang
akan ditimbulkan oleh penambangan pasir besi itu meliputi beberapa poin
berikut.
a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir
Menurut warga gumuk pasir bisa
menjadi benteng atau penahan gelombang tsunami. Warga mengkhawatirkan seperti
yang terjadi di Cilacap, bahwa setelah ada
36 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/09/77555/Komnas-HAM-Mediasi-Tambang-Pasir-Besi
37 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html
38 Transkrip wawancara dengan Risti,
pada 12 Juni 2011.
39 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html
40 Transkrip Wawancara dengan Supriyadi,
pada 12 Juni 2011
pertambangan gundukan pasir pantai akan hilang. Jadi jika
ada Tsunami kecil saja bias sampai rumah, karena tidak ada penghalang lagi. 41
b. Intrusi air laut ke daratan
Warga mengkhawatirkan setelah
terjadinya penambangan, sumur-sumur warga pesisir akan berubah menjadi asin.
Jika itu terjadi maka warga tidak bisa lagi menggunakan air sumur itu untuk
pertanian maupun untuk kebutuhan air bersih untuk keluarga mereka. Sejumlah
perempuan menuturkan bahwa penggunaan air asin seperti itu juga akan
berpengaruh pada kesehatan reproduksi perempuan.42
Bayangkan lahan akan dibor 13-14
meter dan kandungan pasirnya akan diambil 13%nya jika itu terjadi berarti di
lahan eks pertambangan permukaannya akan turun 1 – 2 meter, dan jika terjadi
siklus air pasang, maka pemukiman kami akan kena air laut. Dan tidak menutup
kemungkinan setelah pasir diangkat 13% akan berdampak pada keasinan air sumur
warga di sini. Padahal selama ini air sumur tidak asin.43
c. Abrasi laut selatan
Abrasi laut selatan akan semakin
parah karena rencana penambangan hingga kedalaman hingga 14,5 meter dengan
panjang 22 kilometer dan lebar 1,8 kilometer.44
d. Rusaknya lahan pertanian pantai
Puluhan ribu petani mengkhawatirkan
lahan mereka akan rusak akibat dari penambangan, padahal saat ini mereka sudah
menikmati dengan kehidupan bertani di pantai ini.45
5.
Manipulasi Kebijakan
- Ditandatanganinya Kontrak Karya
Penambangan Pasir Besi oleh PT. JMI tanpa adanya kelengkapan Amdal
- Dilolosnya Kerangka Acuan Andal
tambang pasir besi yang diajukan PT Jogja Magasa Iron oleh Komisi Andal dan
Bupati Kulon Progo
- Lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY (yang terselip pasal
tentang penambangan pasir besi di Kulon Progo) kepada Kementerian Dalam Negeri, tanpa melibatkan aspirasi masyarakat
dan tanpa adanya evaluasi dari DPRD DIY.
Eskalasi Konflik
Paska ditandatanganinya Kontrak Karya pada 4 November
2008, terjadi eskalasi konflik yang cukup tajam. Konflik struktural maupun
konflik horisontal di tingkat warga juga semakin meninggi. Konflik stuktural
melebar menjadi konflik horisontal ketika, aparat Kepolisian tidak memediasi
konflik, tetapi hanya sekadar memenuhi standar hukum prosedural yang justru memperuncing
konflik di tingkatan warga.
Semisal pada 8 Juni 2009, enam orang warga Desa
Karangsewu (Mukidi, Wagiyo, Dwi Santoso, Tukijo, Sugiyanto dan Ponco),
Kecamatan Galur, diperiksa di Makas Polisi Resort Kulonprogo atas tuduhan
perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan. Sebelumnya, mereka terlibat
konflik dengan kepala dukuh III Karangsewu, Isdiyanto, menyangkut persoalan pendataan
para petani penggarap lahan pasir di kawasan yang rencananya akan dijadikan
lokasi penambangan pasir besi.46
Sejak peristiwa itu, kasus-kasus kriminalisasi selalu menjadi
modus untuk menekan warga. Radikalisasi warga menunjukkan kecenderungan yang
meningkat. Pada 20 Okober 2009, terjadi bentrokan fisik antara petani Paguyuban
Petani Lahan Pasir Kulon Progo dengan aparat
41 Ibid
42 Ibid
43 Transkrip Wawancara dengan Supriyadi, pada 12 Juni 2011
44 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html
45 Ibid
46 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/09/brk,20090609-180900,id.html
kepolisian,
saat unjuk rasa menentang acara konsultasi publik penambangan pasir besi
pesisir selatan Kulon Progo. Polisi menembakkan gas air mata untuk mengusir
massa yang mulai beringas karena kecewa. Dua petani dilaporkan luka berat dab
puluhan yang lain luka ringan.47
Setelah kurang lebih setahun mereda, situasi kembali
memanas pada akhir tahun 2010. Pada 17 Desember 2010, situasi pesisir selatan
Kulon Progo, DI Yogyakarta, tiba-tiba memanas setelah kerangka acuan analisis
dampak lingkungan (KA –Andal) rencana penambangan pasir besi diterima oleh
Komisi Amdal Kulon Progo. Ribuan warga yang ingin melindungi tanah garapan,
warga menutup Pilot project I dan menyandera enam dari tujuh mobil rombongan surveyor (PT
Pudipon Nusantara Makmur yang diduga rekanan PT Jogja Magasa Iron)
sertamenyegel lokasi proyek percontohan tambang pasir besi di Desa Karangsewu,
Kecamatan Galur.48
Selang sepuluh hari kemudian, 27 Desember 2010,
didampingi kuasa hukumnya LBH Yogya, Petani lahan pasir Kabupaten Kulonprogo
melaporkan Bupati Kulonprogo Toyo S Dipo ke polisi. Bupati dinilai melanggar
undang-undang dengan mengeluarkan izin pemanfaatan pesisir pantai menjadi
kawasan pertambangan pasir besi. Surat Keputusan Bupati bernomor 140 tertanggal
11 Mei 2010 itu melanggar pasal 37 ayat 7 UU No 26 tahun 2007 tentang tata
ruang dan wilayah. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap pejabat pemerintah
dilarang mengeluarkan izin yang tidak sesuai dengan tata ruang.49
Radikalisasi warga kembali terjadi pada 9 April 2011.
Warga menangkap dan menyandera tujuh buruh bangunan di pilot project penambangan
pasir besi milik PT Jogja Magasa Iron (JMI) selama dua jam. Tujuh orang yang
disandera itu adalah warga desa tetangga. Penangkapan dan penyanderaan itu pun
akhirnya berbuntut ditangkapnya Tukijo oleh Polisi pada 1 Mei 2011.
Selang dua hari penangkapan Tukijo, 3 Mei 2011, sekitar
1.500 warga Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) mendatangi Mapolres
Kulonprogo. Kedatangan warga dengan 20 unit truk dan 50 sepeda motor tersebut
menyampaikan tuntutan agar polisi membebaskan rekan mereka, Tukidjo warga
Gupit, Karangsewu, Galur yang ditangkap polisi atas tuduhan melakukan
penyanderaan terhadap 7 buruh lepas PT Jogja Magaza Iron (JMI).50
Atas penangkapan Tukijo, LBH Yogyakarta melayangkan surat
gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo, pada 9 Mei 2011.
Selain tak menunjukkan surat identitas penangkapan, polisi yang juga telah
melanggar UU No. 12 tahun 2005 tentang konvensi internasional hak sipil
politik.51 Tapi
akhirnya, Polisilah yang memenangkan gugatan praperadilan pada 24 Mei 2011.
Sebulan berselang, sidang perdana Tukijo pun digelar pada 16 Juni 2011, dengan
materi, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum.52
Resolusi
Konflik
Setelah seluruh elemen dari anatomi konflik dan
eskalasinya telah terpapar di atas, tulisan akan mendedahkan beberapa tawaran
skenario resolusi terkait mega proyek pasir besi di Kulon Progo. Akan terlalu
ambisius untuk memapar detil konflik berdurasi 5 tahun hanya dalam ruang yang
terbatas ini. Selain itu, ada variabel kunci yang tak terpaparkan dalam uraian
di atas, yaitu peta konflik terkait dengan RUUK. Konsekuensinya, silang
kepentingasn politik yang terkait dalam peta konflik mega proyek pasir besi ini
tidaklah nampak. Ia menjadi “tertenggelamkan” lantaran tulisan ini tidak
menyediakan “alat pengapung” yang memadai. Sebelum menawarkan beberapa skenario
resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan memberikan beberapa catatan penting
sebagai entry point untuk resolusi tersebut. Beberapa catatan penting adalah
sebagai
47 http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Kulon.Progo.Luka.
Berat
48 http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas
49 http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/12/27/brk,20101227-301838,id.html
50 http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulonprogo.html
51 http://lbhyogyakarta.blogspot.com/2011/05/lbh-gugat-kapolres-kulonprogo.html
52 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-Perdana-Tukijo-Digelar
berikut:
Pertama, terilustrasikan
dalam paparan di atas bahwa mega proyek penambangan pasir besi merupakan grand design dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DIY yang tak bias diganggu gugat oleh
pihak manapun, termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek
tersebut. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diposisikan sebagai ujung tombak
untuk mengurusi “warga yang berontak” dan “investor yang sudah mengantongi
kontrak”. Tak teragukan lagi, lintasan jalur dari bebadan ekskutif itu dari
pusat hingga daerah tidak menunjukkan situasi konfliktual yang berarti,
setidaknya yang manifes. Afiliasi politik yang berbeda antara Gubernur DIY dan
Bupati Kulon Progo tidak menjadi variabel signifikan dalam peta konflik pasir
besi ini.
Kedua, kevakuman
persaingan kekuatan politik di tingkat DPRD rupanya menunjukkan gelagat serupa
dengan jejalur lintas eksekutif di atas. “Keanggunan” dan “kekompakan” nampak hendak
lebih ditonjolkan para wakil rakyat, ketimbang berperan sebagai kekuatan oposan
eksekutif. Inikah warna yang mungkin hendak ditunjukkan Yogya agar tak terlihat
karut-marut di mata Pemerintah Pusat?
Ketiga, terposisikan
sebagai “anak bawang”, warga pesisir pantai terombang-ambingkan oleh kekuatan
yang sepenuhnya terpolarisasi di satu kubu (pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, DPRD DIY, DPRD Kulon Progo, dan tentunya investor). Peta politik
nampaknya tidak tengah ingin menunjukkan warnanya yang menarik, lantaran telah
terjadi homogenisasi kekuatan politik.
Keempat, peta
kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi pintu masuknya
investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan pernah bias mengaksesnya.
Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka Acuan Andal telah memberikan
gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang transparansi, akuntabilitas,
dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis di kalangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Melihat pada berbagai catatan tersebut di atas, berikut
ini penulis mencoba menawarkan langkah menuju tercapainya resolusi (bukannya
resolusi itu sendiri) dalam konflik mega proyek pasir besi Kulon Progo. Tawaran
langkah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, bangun
dan buka ruang-ruang dialog seluasnya bagi warga, terutama mereka yang paling
terdampak langsung oleh proyek (PPLP), guna menampung seluruh kekawatiran, kecemasanm,
maupun harapan yang mereka miliki. Dalam konteks proyek pasir besi, merangkul kembali
warga yang terlanjur kecewa karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah
untuk dilakukan. Namun tak ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah
daerah kecuali untuk menghentikan sejenak segenap aktivitas tambang, untuk
menata ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama
ini abai pada warga.
Kedua, perlu
menghadirkan pihak ketiga yang dipercaya, terutama oleh warga terdampak langsung
(PPLP), untuk memediasi konflik dan mendudukkan pihak-pihak yang terlibat
konflik dalam tingkatan yang setara. Kegagalan Komnas HAM memediasi konflik
perlu dicermati, ditelisik, dan dikaji lebih lanjut mengani sebab-musababnya,
sehingga bisa mencari “penanda yang lebih besar” yang bisa merangkul semua
pihak yang terlibat.
Ketiga, bangun
dan buka ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak tentang rencana pengembangan
wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah, maupun upaya membangun sistem
kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Kendati sangat terlambat, namun
pilihan langkah ini bisa disebut sebagai “merebut momentum” untuk tata kelola
yang lebih demokratis.
Keempat, terkait
dengan kepentingan untuk mencari “penanda besar” dan “merebut momentum, sangat
strategis bagi pasangan bupati dan wakil bupati yang baru, Hasto
Wardoyo-Sutedjo untuk merangkul warga dan memulihkan kepercayaan warga. Kendati
secara faktual, situasi dan posisi bupati baru itu krusial, namun ia bisa
memilih apakah akan mengikuti gaya politik bupati terdahulu ataukah akan
merintis gaya politik baru yang lebih sensitif terhadap kepentingan masyarakat?
Bagaimanapun, transisi politik bisa dibaca sebagai momentum bagi penentuan
peran kepala daerah ke depan.[abw-270611]
Wawancara
Wawancara
dengan Supriyadi Ketua PPLP pada 12 Juni 2011
Wawancara
dengan Risti, Ibu Rumah Tangga, pada 12 Juni 2011
Referensi
Agustino,
Leo Dinasti Politik Pasca-Otonomi Orde Baru: Pengalaman Banten dalam dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010.
Agustino,
Leo. 2011. Sisi Gelap
Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Sentralisasi;Bandung: Widya Padjadjaran
Bambang
Yunianto, Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan
dan Pengolahan Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta dalam
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009;
hlm.10.
Berita
Kaum Tani, 2 Edisi II September 2007, hlm. 9-10
Camara,
Dom Helder. 2000.Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dasgupta,
Aniruddha dan Victoria A. Beard, Community Driven Development, Collective Action and Elite Capture
in Indonesia dalam Development and Change, 2007.
Hadiz,
Vedi. Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of
Neoinstitutionalist Perspective” dalam Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai
“Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di
Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010.
.Hendro
Prabowo, Pluralisme Hukum dan Penguasaan Tanah di DIY dalam Mimbar Hukum, hlm.
64. Diunduh dari dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.
Heru
Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS
Triyono,
Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di
Indonesia; Yogyakarta:CSPS Books, 2004.
Walhi
Yogyakarta, Tanggapan KA-ANDAL Pertambangan Biji Besi PT JMI Kulon Progo.
Website
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=152231&actmenu=36
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155058&actmenu=36
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Presiden.Rekomendasi.Soal.Lahan.Pasir.Besi
http://nasional.kompas.com/read/2008/07/21/12270523/penolakan.penambangan.pasir.besi.terus.berlangsung;
http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakatan.dengan.PT.JMM
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/10/29/brk,20081029-142841,id.html
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.Penambangan.Pasir.Besi.
http://finance.detik.com/read/2008/11/04/145945/1031064/4/kontrak-karya-tambang-pasir-besi-di-kulonprogo-diteken
http://finance.detik.com/read/2008/11/04/145945/1031064/4/kontrak-karya-tambang-pasir-besi-di-kulonprogo-diteken
http://regional.kompas.com/read/2010/12/21/05551731/Jangan.Gusur.Warga
http://www.tribunpalu.com/2011/02/10/toyo-janji-beri-pekerjaan-untuk-warga-peisisir
http://www.pme-indonesia.com/news/?catId=3&newsId=139
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/05/21552753/seru.pro-kontra.rencana.penambangan.pasir.besi
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/06/18421091/lbh.minta.kontrak.karya.pasir.besi.ditinjau.ulang
http://nasional.kompas.com/read/2009/10/20/12581847/
http://www.ideajogja.or.id/news.php?item.56
http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04011917/walhi.laporkan.bupati.kulon.progo
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/09/77555/Komnas-HAM-Mediasi-Tambang-Pasir-Besi
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/09/brk,20090609-180900,id.html
http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Kulon.Progo.Luka.
Berat
http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas
http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/12/27/brk,20101227-301838,id.html
http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulonprogo.html
http://lbhyogyakarta.blogspot.com/2011/05/lbh-gugat-kapolres-kulonprogo.html
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-Perdana-Tukijo-Digelar