Obskuriti ::: Merdesa Boeng !!!

Why you ask me???



you`re free, born free, live free, so free Iam dead ashes to ashes dust to dust god bless you all what do you want wanna say there is no answer here what do you gonna do there is nothing lift here all they give got just pain and tear well, I just want to say … Iam dead

Absennya Negara Pasca Erupsi Merapi ( AB. Widyanta )

0 comments

Absennya Negara dan Bangkitnya Jejaring Posko Mandiri
untuk Kesejahteraan Sosial Pengungsi
Paska Erupsi Merapi

Oleh:

 AB.Widyanta


Would it not be easier in that case for the government
To dissolve the people and elect another?
—Bertolt Brecht, “The Solution” 1—

Pengantar
Tak henti-hentinya bencana bertubi merundung negeri ini. Dari bulan Oktober hingga November 2010 saja, tidak kurang dari 1200-an nyawa melayang karenanya. Beruntun setelah banjir bandang Wasior (Senin 4  Oktober 2010 pagi) dan Tsunami Mentawa (Senin 25 Oktober 2010 malam), erupsi Merapi menyusul terjadi pada Selasa 26 Oktober 2010 lalu. Belum pulih benar kedukaan atas meninggalnya ribuan korban dan kehancuran massif akibat bencana gempa bumi hampir lima tahun silam, 27 Mei 2006,2 kini warga Yogya-Jateng kembali berduka.
Sekilas, kita bisa cermati dampak-dahsyat ketiga bencana tersebut. Berdasarkan data BNPB (Badan Nasional Penanggulanan Bencana), total biaya pemulihan pasca banjir bandang Wasior mencapai Rp 370,53 miliar.3 Sementara untuk proses rehabilitasi, rekonstruksi, dan relokasi bencana gempa bumi dan tsunami Mentawai membutuhkan dana Rp 368,773 miliar.4  Sedangkan kerugian akibat erupsi Merapi, menurut data BNPB per 23 Januari 2011, mencapai sebesar Rp. 7,1 trilyun. 5
------------------------------------------------------------------------
1 Dikutip dari Naoim Klein, The Shock Doctrin: The Rise of Disaster Capitalism, New York: Penguin, hlm 360.
2 Gempa bumi Yogya-Jateng, telah mengakibatkan korban meninggal 5.716 jiwa; korban luka-luka 37.927; rumah roboh/rusak berat 156.662; rumah rusak sedang/ringan 202.031. Total kerugian dan kerusakan di seluruh sektor mencapai 292,2 triliun atau setara dengan 3 miliar dollar AS. Lihat AB.Widyanta (ed), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: CPRC, 2007, hlm. 539-543. Lihat juga AB.Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga yang Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan (Potret Penanganan Gempa Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai Tahun VII No 1 2007, hlm.96.
3 Banjir bandang Wasior mengakibatkan korban tewas 173 orang, 26 orang luka berat, 2.374 orang luka ringan, 118 orang dilaporkan hilang, dan 9.016 orang mengungsi. Sebanyak 987 unit rumah hancur dan puluhan fasilitas umum rusak. Lihat http://regional.kompas.com/read/2010/11/29/20314984/1.510.Unit.Rumah.di.Wasior.Direlokasi
4 Menurut data BNPB per 29 November 2010, bencana gempa bumi dan tsunami Mentawai menyebabkan korban tewas 509 orang, luka berat dan ringan 24 orang, 21 orang hilang, dan sebanyak 11.425 orang mengungsi. Rumah rusak sebanyak 749 unit dan fasilitas umum rusak 34 unit. Total kerusakan dan kerugian di Mentawai sebesar Rp 314,96 miliar.
Lihat http://regional.kompas.com/read/2010/11/29/20314984/1.510.Unit.Rumah.di.Wasior.Direlokasi.
5 Menurut data BNPB per 8 Desember 2010, jumlah korban meninggal akibat erupsi Merapi mencapai 379 orang dan 179 orang masih dirawat inap di rumah sakit. Penduduk yang masih berada di pengungsian sebanyak 21.338 orang
------------------------------------------------------------------------

Data menunjukkan teramat banyak korban (victims), penyintas (survivors), pengungsi (displaced  people),  kerugian  harta-benda,  dan  kerusakan  institusi  sosial  yang  mesti  di tanggung bangsa ini. Kehidupan dan penghidupan masyarakat pun terancam dan bahkan jadi taruhannya. Berjibun fakta membuka mata betapa bencana itu telah menjerembabkan perkembangan sosio-ekonomi masyarakat warga. Perpaduan antara ancaman alam dan kerentanan masyarakat—salah satunya kemiskinan—terbukti telah mengakibatkan masyarakat tetap terpuruk dalam kemiskinan, dan masyarakat yang miskin menjadi jauh semakin terperosok dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam lagi.6
Kesenantiasaan mendapati membelasahnya jumlah korban, penyintas, pengungsi, kehancuran, dan kerugian yang diakibatkan oleh beragam bencana itu, boleh jadi benak kita pun menggugat: Sebegitu lekatkah kemalangan dan kedukaan itu dengan kita sebagai entitas masyarakat warga maupun sebagai negara bangsa (nation state)? Sejauh manakah negara mengimplementasikan kebijakan kesejahteraan sosial dalam konteks bencana semacam itu, ketika dalam situasi normal sekalipun negara terbiasa absen, tepatnya abai, terhadap hak-hak warganya?
Untuk menjawab gugatan di atas, bagian pertama tulisan ini lebih jauh akan mendiskripsikan apa yang sudah kita (negeri ini) punyai dengan segenap cacat-celanya sekalipun. Tilikan sekilas atas basis paradigma dalam konstitusi dasar negara dan konstitusi penanggulangan bencana  (disaster  management)  perihal  social  werlfare  di  negeri  ini  akan mengawali tulisan. Di bagian kedua, tulisan secara khusus akan memapar fenomena alam, dua gelombang erupsi eksplosif Merapi, sebagai “agen pemicu” bagi munculnya gelombang pengungsian dan gelombang bencana yang lebih besar lagi. Di bagian ketiga, tulisan akan memapar bahwa hadirnya beragam best practice kisah keberdayaan masyarakat warga di Posko Mandiri dalam memenuhi hak-hak dasar pengungsi secara swadaya telah menjadi oase di tengah kelumpuhan rezim penanggulangan bencana. Di saat negara absen lantaran terkerangkeng oleh sangkar besi (iron cage) birokrasi, eksemplar best practice Posko Mandiri Kadisoka hadir menyelamatkan warga pengungsi dari jurang-gelap pesisme penanganan pasca erupsi Merapi. Di bagian akhir, tulisan akan mengambil berbagai pelajaran   berharga   dari   erupsi   Merapi.   Sejumlah   poin   kesimpulan   sampai   pada pemahaman fundamental bahwa  secara  riil,  di  ranah  Posko  Mandiri  itulah  beragam prakarsa lokal yang otentik dari masyarakat sipil telah menyumbang pada model-model alternatif yang adekuat bagi sistem tata kelola kebencanaan (disaster governance) maupun sistem tata kelola kesejahteraan sosial (welfare governance) sekaligus.   Modal sosial warga Yogya-Jateng berkontribusi teramat besar pada pemenuhan kesejahteraan para penyintas/ pengungsi paska erupsi Merapi.

 Konstitusionalisasi Kesejahteran Sosial dalam UUD 1945 & UU-PB
Menyoal tentang bencana, kita bisa meminjam sebuah kutipan yang mungkin bisa menuntun kita untuk mengupas lebih lanjut perihal konstruksi social welfare dalam disaster management, terutama untuk meminimalisir ancaman, kerentanan, dan risiko bencana di suatu negara. Dalam Catastrophe and Culture: The Anthropology of Disaster, Smith dan Hoffmann  berupaya  meyakinkan  kita  bahwa  terjadinya  bencana  pada  hakekatnya
------------------------------------------------------------------------
tersebar  di  114  titik  (kompas.com).  Untuk  data  kerugian  akibat  erupsi  Merapi  per  23  Januari  2011  lihat: http://www.antaranews.com/berita/243110/kerugian-akibat-erupsi-merapi-capai-rp71-triliun.
6 Peta kebencanaan dan kerentanan ini bisa diakses di htttp://www.bnpb.go.id
------------------------------------------------------------------------
tergantung pada tingkat kerentanan individu, kelompok, lingkungan, dan institusi yang ada di dalam suatu masyarakat. Secara provokatif, Smith dan Hoffman menyatakan:7

Bencana menjadi tak terhindarkan dalam konteks dimana pola “kerentanan”, kejadian di lokasi, infrastruktur, organisasi sosial-politik, sistem produksi dan distribusi, dan ideologi masyarakat terproduksi secara historis. Sebuah pola kerentanan masyarakat merupakan elemen pokok bencana. Dalam kondisi itu,  perilaku individu dan organisasi dalam keseluruhan bencana yang terjadi jauh lebih merusak ketimbang yang akan ditimbulkan oleh kekuatan fisik agen yang merusak itu sendiri. (Oliver Smith dan Hoffman, 2002:3)

Terurai jelas dalam kutipan di atas bahwa pola kerentanan masyarakat adalah elemen utama dari bencana itu sendiri. Kondisi rentan yang melekat pada individu, lingkungan dan institusi itulah yang menyebabkan fenomena alam berubah menjadi bencana bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, kerentanan dan kapasitas perorangan dan kelompok sosial  pada hakekatnya teramat menentukan daya tahan dan kemampuan mereka (individu maupun masyarakat dalam menghadapi bencana dan memulihkan diri pasca bencana. Berbagai kondisi seperti jejaring sosial, modal sosial, hubungan kekuasaan, pengetahuan dan ketrampilan, peran gender, kesehatan, kekayaan, dan lokasi, kesemuanya memiliki derajad risiko dan kerentanan terhadap bencana. Jika derajad kerentannya tinggi sedangkan kapasitas individu dan masyarakat, serta negara (pemerintah) rendah, maka hampir bisa dipastikan bencana dalam bencana tak bisa terelakkan lagi.8
Paparan di atas bisa dimaknai bahwa semakin berdaya dan efektif suatu negara menjalankan  kebijakan-kebijakan  populisnya  (pro  kesejahteraan  sosial  warga  negara), maka kerentanan bisa diminimalisir, dengan demikian ancaman dan risiko bencana pun bisa terminimalisir pula. Secara tekstual, nilai dan spirit kebijakan yang populis—terutama bagi rakyat miskin—dalam situasi bencana itu sebenarnya telah tertuang baik dalam UUD 1945 (amandemen) maupun UU Penanggulangan Bencana (UUPB) No 24 Tahun 2007.
Terkait dengan isu kesejahteraan sosial, secara tegas Pasal 34 Ayat 1 sampai 3 UUD 1945 mewajibkan negara untuk: memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar (Ayat 1); mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (Ayat 2); bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Ayat 3).9  Sementara itu, pada Bab III tentang Tanggungjawab dan Wewenang, Pasal 6 (poin c) UUPB secara tegas juga mewajibkan pemerintah—selaku penanggungjawab penyelenggaraan penanggulangan bencana—untuk memberikan penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Pemenuhan hak-hak masyarakat juga ditegaskan lagi pada Bab V Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3.10
Secara mendasar, kesejahteraan sosial telah terkonstitusionalisasi di dalam kedua Undang-Undang tersebut. Sayangnya, implementasi kebijakan kesejahteraan sosial dalam situasi  bencana  semacam  itu  masih  saja  jauh  panggang  dari  api.  Bahkan  kebijakan
------------------------------------------------------------------------
7  Dicuplik dan diterjemahkan dari Irwan Abdullah, Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi, 13 November 2006, hlm 17.
8 Susetiawan, Bencana dalam Bencana, kata pengantar dalam AB.Widyanta (ed.), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: CPRC, 2007, hlm. xi-xxvi.
9 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen), hlm. 16
10 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, hlm. 7 dan 14.
------------------------------------------------------------------------
kesejahteraan sosial dalam situasi bencana itu justru mengalami multiple burden dalam implementasinya. Alih-alih  hak-hak  dasar  penyintas  (survivor)  terpenuhi,  dalam  situasi normal sekalipun hak-hak mereka sering terhapus dari kamus dan memori the ruling class. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan, kendati UUPB sendiri telah berlaku selama hampir 4 tahun, namun implementasinya masih saja terseok keteteran hingga saat ini. Alih-alih menerapkan, banyak pejabat tinggi Jakarta justru tidak paham (tidak sedikit pula yang buta) terhadap keberadaan dan isi UU Penanggulangan Bencana itu sendiri.11
Di aras tekstual, capaian-capaian konstitusionalisasi perihal social welfare dan disaster management di negeri ini, tak perlu diragukan lagi. Menurut hemat penulis, adalah sebuah ke-mudharat-an untuk membeber konsep dan paradigma social welfare dan disaster management di tengah implementasi penanggulangan bencana yang selalu berujung kecarut-marutan sebagaimana terekam dalam  berbagai pengalaman sejauh ini.  Konsep dan  paradigma hanya akan menemukan kebermaknannya tatkala itu dibenturkan pada realitas aktual. Uji empiris atas konsep kesejahteraan (social welfare) dan penanggulangan bencana (disaster management) terletak di aras realitas praksis itu sendiri.

 Erupsi Eksplosif Merapi Jilid 1 dan 2
Sehari pasca gempa dan tsunami Mentawai, erupsi Merapi menyusul terjadi di luar kebiasaan dan tabiatnya selama hampir delapan dekade lalu. Tercatat sejak ditetapkannya status  Waspada menjadi  Siaga  pada  Kamis  21  Oktober  2010,  dan  ditingkatkan  lagi menjadi  berstatus  Awas  pada  Senin  25  Oktober  2010,  erupsi  ekplosif  Merapi  pada akhirnya benar-benar terjadi pada Selasa petang, 26 Oktober 2010.12
Erupsi eksplosif Merapi itu meluluh-lantakkan sejumlah dusun permukiman warga sekitar  lereng.  Salah  satu  dusun  terparah  adalah  Dusun  Kinahrejo.  Tercatat  per  29 Oktober 2010, korban meninggal sebanyak 35 orang, termasuk di antaranya seorang wartawan Vivanews.com dan sosok fenomenal yang sangat kesohor, juru kunci cum bintang iklan minuman suplemen “rosa-rosa”, Mbah Maridjan. 13 Sebanyak 16.093 warga mengungsi di tujuh barak yang telah disiapkan oleh Pemda Sleman.14 Sedangkan pengungsi di Magelang sebanyak 16.247 jiwa, Boyolali sebanyak 3.621 jiwa, dan Klaten sebanyak 8.368 jiwa. Sehingga jumlah total pengungsi mencapai 44.329 jiwa.15
Jatuhnya 35 korban jiwa itu tentu mengundang keprihatinan sekaligus memancing tanggapan  publik  perihal  sosialisasi  pengurangan  risiko  bencana  bagi  warga  yang bermukim di wilayah seputar Merapi. Percaturan gagasan itu seolah berpacu dengan hiruk pikuk  aktivitas  warga  yang  berjejal  mengurusi  diri  dan  kerabatnya  dalam  himpitan
------------------------------------------------------------------------
11 Ironi “kebutaan” terjadi pada 3 tokoh politik berikut:  Wakil Ketua MPR RI, Hj Melani Leimena,  Ketua DPP PDI Perjuangan Maruarar Sirait, dan Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief. Sementara Melani tidak tahu tentang keberadaan UU Penanggulangan Bencana, Maruarar mengusulkan UU Bencana Alam, dan Andi Arif mendesakkan dibuatnya UU Mitigasi Bencana. Lihat  http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=230799&actmenu=36; lihat http://www.pdiperjuangan-jatim.org/ v03/index.php?mod=berita&id=3735;
lihat juga http://www.detiknews.com/read/2010/04/07/202023/1334190/10/andi-arief-indonesia-perlu-sistem-mitigasi-bencana-yang-terpadu
12  Menurut Eko Teguh Paripurno, ahli vulkanologi UPN Veteran Yogyakarta, erupsi eksplosif Merapi semacam ini pernah terjadi pada tahun 1930, dengan menelan korban 1.367 orang dan 2.100 ternak mati. Sejak itu, erupsi Merapi cenderung bersifat efusif dengan karakteristik aliran lava dan awan panas piroklastik (wedus gembel). Baca Gejala Erupsi Merapi Eksplosif  di Harian Kompas (Yogyakarta), edisi 26 Oktober 2010, hlm A. Baca Gesit Ariyanto dan Mohamad Final Daeng, Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.14.
13 Menjemput Mbah Maridjan, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.J.
14 Menghitung Dampak Korban Merapi, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.A.
15 Korban Tewas Merapi 32 Orang, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
------------------------------------------------------------------------
keserbaterbatasan fasilitas posko pengungsian.16  Gelombang bantuan kemanusiaan dari berbagai kalangan masyarakat sipil Yogya-Jateng pun mulai merangsek ke sejumlah titik. Para relawan kemanusiaan terfokus ke seluruh titik pengungsian di 4 kabupaten sekeliling Merapi (Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali).
Sepekan  berjalan,  Merapi  bukannya  mereda  tapi  justru  menunjukkan  tingkat eskalasi yang semakin mengkhawatirkan. Pada Minggu, 31 Oktober 2010, tiga kali erupsi eksplosif terjadi. Kepala PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), Surono yang selalu berprinsip zero tolerance for a safe life,17  kembali meningkatkan daerah bahaya hingga radius 10 km dari puncak Merapi. Pengungsi pun meningkat jadi 39.091 orang di Magelang, dan 20.000 orang di Yogyakarta.18
Pada   Rabu   3   November   2010   petang,   erupsi   eksplosif   Merapi   kembali meluncurkan awan panas berskala besar. Dua jam sebelumnya, Kepala PVMBG Surono, telah meningkatkan radius bahaya primer dari 10 km menjadi 15 km.19  Gelombang besar pengungsian kembali terjadi hingga mencapai 100.965 orang (Sleman 29.466 orang, Magelang 39.911 orang, Boyolali 22.687 orang, Klaten 13.010 orang). Pemerintah di empat kabupaten kewalahan menyediakan penampungan untuk sekian banyak pengungsi. Sejumlah bangunan milik publik seperti kantor pemerintah, sekolah, dan berbagai gedung lain beralih fungsi jadi tempat pengungsian.20
Baru memasuki malam kedua warga tinggal di tempat pengungsiannya yang baru, kabar buruk kembali menghentak. Titik kulminasi erupsi dahsyat Merapi pecah pada Jumat 5 November 2010 dini hari. Sontak kepanikan pun menghinggapi seluruh pengungsi. Untuk keempat kalinya, Kepala Pusat PVMBG Surono terpaksa meluaskan lagi radius bahaya primer dari 15 km menjadi 20 km pada Jumat dini hari.21
Proses evakuasi korban oleh tim SAR dibantu tim medis dari berbagai kalangan semakin diintensifkan. Namun kiprah mereka pun terhambat karena Merapi masih berulang  erupsi. Selang  beberapa  hari  pasca  erupsi,  tercatat  sebanyak  26  dusun  di sepanjang Kali Gendol rusak diterjang awan panas dan material vulkanik. 22  Data korban meninggal per 12 November 2010, mencapai 161 korban meninggal (37 korban saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, sedangkan 124 korban meninggal pada 5 November 2010).23

 Gelombang Besar Pengungsian
Babak gelombang pengungsian terbesar terjadi sepanjang hari Jumat itu. Diperkirakan pengungsi meroket hingga empat kali lipat, 396.407 orang.24 Fluktuasi gelombang erupsi yang berkepanjangan semakin memperpanjang ketidaktentuan nasib warga. Perluasan tingkat radius bahaya dari 5, 10, 15, hingga 20 km, memaksa mayoritas 
------------------------------------------------------------------------
16  Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti,   Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober
2010, hlm. A.
17 Doty Damayanti & Mohamad Final Daeng, Surono: Mayarakat Kita Kaget Dengan Gunungnya Sendiri, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.23.
18 Daerah Bahaya Kian Meluas, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.1 dan 15.
19 Radius Bayaha Naik Jadi 15 Km, Harian Kompas edisi 4 November 2010, hlm.1 dan 15.
20 Pengungsi Naik Jadi 100.000 Orang, Harian Kompas edisi 5 November 2010, hlm.1
21 Merapi Peras Air Mata, Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm.1 dan 15.
22 Erupsi Kamis Merusak 26 Dusun, Harian Kompas edisi 7 November, hlm.1
23http://regional.kompas.com/read/2010/11/12/21112941/Korban.Tewas.Merapi.Tercatat.161.Orang
24 FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
------------------------------------------------------------------------
warga berpindah dari posko satu ke posko lain. Sebaran pengungsi menghambur ke delapan penjuru mata angin, menjauh dari titik erupsi Merapi.25
Dengan segenap daya gerak dan upaya yang serba cupet, pemerintah DIY dan Jateng pun sejadinya menyiapkan sejumlah Posko Utama untuk manampung gelombang pengungsian itu. Di DIY, pemerintah secara khusus menyiapkan sejumlah Posko Utama seperti Stadion Maguwoharjo, GOR Pangukan, Youth Center, JEC. Jumlah pengungsi yang tinggal di stadion Maguwoharjo itu tercatat sebanyak 9.500 jiwa.26  Di luar Posko Utama pemerintah itu, sejumlah besar pengungsi justru tersebar di berbagai balai dusun, balai desa, kantor kecamatan, gedung sekolah/universitas, masjid, dan seminari. Sejumlah besar universitas di Yogyakarta seperti UGM, UNY, UII, STIE YKPN, UMY, UAD, USD, UAJY, APMD, UJB, UKRIM, UTY, UMB Yogyakarta, UIN, UPN Veteran, dan sejumlah kampus lainnya mendadak beralih fungsi menjadi posko pengungsian mandiri di luar Posko Utama yang diurus pemerintah.
Bersama sebagian besar warga, kalangan universitas berperan besar dalam melayani “tamu-tamu tak diundang” yang merangsek ke kampus. Selain fasilitas MCK relatif lebih memadai, kuatnya solidaritas sosial di  universitas memang cukup berdaya memenuhi berbagai kebutuhan dasar para pengungsi. Mengulang kesejarahan gempa 27 Mei 2006 silam, modal sosial kembali mujarab sebagai jejaring pengaman hak-hak dasar para penyintas/pengungsi. Tapi sedikit beda dari penanganan pasca gempa 2006 yang lebih berbau LSM, giliran dunia kampuslah yang lebih banyak berperan dalam erupsi Merapi ini.
Di luar itu, rumah-rumah pribadi warga—yang hampir bisa dipastikan tak akan pernah terdata dalam statistik kebencanaan—telah berandil juga menyelamatkan warga pengungsi. Di sanalah para pengungsi mendapati tempat pengungsian yang jauh lebih ramah manusia dan lingkungan. Peran Posko Mandiri yang dikelola secara swadaya oleh berbagai kalangan masyarakat warga maupun kelembagaan sosial di tingkat lokal terbukti sangat berperan menentukan dalam keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan pengungsi.
Sayangnya, kemandirian, keberdayaan, dan kehandalan Posko Mandiri semakin melemah  dalam perjalannya. Di satu sisi Posko Utama bertumpuk donasi bantuan dan layanan pemerintah maupun publik luas, di lain sisi Posko Mandiri semakin melemah daya topang layanannya.27  Situasi itu biasanya dialami oleh Posko Mandiri yang relatif kecil peluang aksesnya pada jejaring sosial yang lebih luas. Melemahnya Pokso Mandiri juga disebabkan karena tidak ada alokasi distribusi bantuan dari Posko Utama. Watak birokrasi prosedural yang dominatif telah menggencet peluang akses bantuan bagi Posko Mandiri.
Beredarnya surat Bupati Sleman tertanggal 19 November 2010 membuktikan tentang kerasnya mesin birokrasi pemerintahan di negeri ini. Surat edaran bernomor 361/2847 itu berisi tentang pemulangan dan penarikan pengungsi (untuk pindah ke Posko Utama yang ditetapkan Pemda Sleman). Pihak kecamatan menyampaikan surat kepada para dukuh di wilayah kecamatan Kalasan, Turi, Cangkringan, dan Pakem. Dalam surat itu tertera sebagian kutipan berikut:28

...Seiring perubahan ancaman bahaya erupsi Merapi untuk wilayah Kabupaten Sleman, semula radius 20 km menjadi 10 km di sebelah barat Kali Boyong, dan 15 km sebelah timur Kali Boyong dari puncak, maka dilakukan kebijakan pemulangan dan penarikan pengungsi yang tersebar di wilayah saudara  ke  lokasi  yang  ditentukan  yaitu  di  Stadion  Maguwoharjo,  Youth  Center,  dan  GOR Pangukan. Sehubungan hal tersebut diminta kepada saudara untuk memberikan dorongan kepada pengungsi agar mau pindah ke lokasi yang telah ditentukan.

------------------------------------------------------------------------
25 Ketika Tercerabut dari Rumah, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.33.
26 FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
27 FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
28 Surat Bupati Sleman, No 361/1847, 19 November 2010, Perihal Pemulangan dan Penarikan Pengungsi.
------------------------------------------------------------------------

 Alih-alih  membangun  kapasitas  koordinatif  dengan  jajaran  di  bawahnya,  pemerintah daerah justru memilih jalan pintas demi memperingan tugasnya sebagai birokrat. Tentu saja kasus semacam itu tak jumbuh bahkan bertolak belakang dengan sebutannya sebagai pelayan masyarakat. Pemerintah daerah gagal dalam memerankan diri sebagai penyelenggara social services (sebagaimana tercantum dalam konstitusi dasar maupun konstitusi penanggulangan bencana  di  negeri  ini).  Tercermin  dalam  surat  edaran  itu perihal watak birokrasi sesungguhnya, sebentuk birokrasi yang malas, loyo, dan tak mau repot.  Dalih  efisisensi dan  kemudahan mendistribusi layanan  mengindikasikan secara sangat jelas bahwa pemerintah berniat ingkar pada hakekat hak-hak warga negara. Alih- alih mengoptimalkan pelayanan publik untuk warga pemerintah justru mengukuhi kekuasaannya yang koersif dan pragmatis.

 Jejaring Posko Mandiri Kadisoka dan Kesejahteraan Sosial Pengungsi
Dusun  Kadisoka  terletak  kurang  lebih  dua  kilometer  di  sebelah  timur  Posko Utama pengungsian terbesar di Yogyakarta, Stadion Maguwoharjo. Sejak erupsi terbesar Merapi 5 November 2010, dusun itu jadi ajang “perhelatan” bela rasa kemanusiaan. Bagi warga Yogyakarta, Dusun Kadisoka kesohor dengan kolam-kolam pemancingannya. Sayang, aliran abu vulkanik yang mengaliri kolam telah membunuh berton-ton ikan milik warga Kadisoka. Tak kurang dari Rp. 120 juta mesti di tanggung kelompok Suka Makmur dan Mina Suka Mandiri, 2 paguyuban peternak ikan di Kadisoka. Dusun ini memang terkategorikan sebagai wilayah terdampak erupsi Merapi, secara tidak langsung. Hanya karena lupa menutup lubang-lubang masuknya aliran air  Kali Kuning dari sisi timur dusun, sejumlah kolam warga terlanjur terkontaminasi abu vulkanik Merapi. Beragam ikan seperti ikan patin, gurameh, nila, dan lele bergeleparan tak terselamatkan lagi.
“Bagoran  ikan-ikan  itu  segera  kami  bagikan  ke  dapur-dapur  umum,  agar  bisa dimasak ibu-ibu di dapur umum untuk lauk para pengungsi di sini, Mas. Ya, karena kesibukan warga di posko, sebagian ikan tak sempat terurus sampai membusuk di kolam,” ungkap Suradi (44 tahun), Kepala Dusun Kadisoka, di suatu sore sebelum ia nimbrung chek-up di layanan medis untuk para pengungsi yang diselenggarakan LSM Sheep Indonesia.29 Sudah sepekan lebih ia kurang tidur, karena tergerak oleh rasa tanggungjawab untuk menjagai puluhan motor milik relawan Pokso, yang mayoritas mahasiswa. Warga pengungsi sendiri tak ada di posko itu, tapi tinggal di rumah-rumah warga Kadisoka.
Tak pernah terbersit di benak warga Dusun Kadisoka bahwa akan punya “gawe” sebesar ini, tak terkecuali Suradi. Sebagai kepala dusun, ia bahkan sudah berkoordinasi dengan sejumlah ketua RT dan pemuda karangtaruna untuk memberitahukan perihal kesiapsiagaan kepada warga. Sewaktu situasi Merapi memburuk, warga bisa mengungsi cepat. “Eh, tidak tahunya, setelah letusan besar itu dusun kami malah kedatangan banyak pengungsi,” ungkap, Supardi, Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, saat menunggu antrian check up kesehatan bersama para pengungsi.30  Kendati berada di zona aman, tapi dalam peta radius bahaya 20 km yang terakhir ditetapkan PVMBG, letak Dusun Kadisoka memang tidak terpaut jauh, selang 2-3 kilometer saja, sekitar 23 kilometer dari puncak Merapi.31
------------------------------------------------------------------------
29 Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 15 November 2010.
30 Wawancara penulis dengan Supardi, Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, pada 15 November 2010.
31 Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 27 November 2010.
------------------------------------------------------------------------
Merangseknya serombongan besar pengungsi secara tiba-tiba ke Dusun Kadisoka jelas membuat Suradi gelagepan. Dari glenak-glenik tetangga magersari, teryakinkan perlunya rapat dusun. Lekaslah Suradi menggelar rembug warga pada Sabtu malam, 6 November
2010, guna menyikapi kedatangan pengungsi sebanyak itu. Hadir pada malam itu 10 orang ketua RT di dusun Kadisoka bersama istrinya masing-masing (ibu-ibu ketua RT); Sukapti—seorang warga Dusun Kadisoka dan tokoh penggerak perempuan; Joko Pamungkas—seorang warga  dusun  Kadisoka,  dosen  UPN  Veteran  Yogyakarta,  dan pengurus KOMPAYO (Komunitas Masyarakat Pati di Yogyakarta); Andreas Subiyono— seorang warga dusun Kadisoka yang kesehariannya bertugas sebagai Direktur LSM Sheep Indonesia; Masjuki—seorang warga dusun Kadisoka yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai perkebunan swasta; sejumlah relawan KMPP (Kesatuan Mahasiswa Pelajar Pati); dan sejumlah kaum muda  karangtaruna dusun. Dan tentu saja seluruh warga yang hadir tahu bahwa bintang utama pembicaraan di rapat itu adalah warga pengungsi.
Rembugan menelurkan pembagian tugas dan peran masing-masing. Layaknya rapat kabinet, pembagian Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terperinci seperti berikut: Penanggungjawab  Posko   (Kadus),   Penggalangan   Dana   (KOMPAYO),   Bendahara (Masjuki, warga Kadisoka), Penanggungjawab Pengungsi (10 orang Ketua RT), Pengelola Dapur Umum (10 ibu, para istri Ketua RT), Pelayanan Medis (LSM Sheep Indonesia), Pendataan Pengungsi dan Distribusi Bantuan (KMPP), Urusan Umum dan Keamanan (Karangtaruna  Kadisoka).  Penggalangan  dana  warga  secara  swadaya  pun  dimulai. Bantingan uang terkumpul dalam jumlah yang lumayan untuk mengawali dapur umum, agar nasi bungkus mulai terdistribusikan di keesokan hari.
Selang sehari, serkiler seribuan dari ibu-ibu Dusun Kadisoka terkumpul setidaknya Rp. 6 juta. Dikoordinir oleh Sukapti (42 tahun), tidak kurang dari 30 orang (laki-laki dan perempuan) warga dusun Kadisoka terlibat gotong-royong di dapur umum. Sementara relawan KMPP Komisariat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, bergerak mendistribusikan nasi bungkus, dua kali sehari, sejak 7 November 2010. Sembari mendistribusikan nasi bungkus, relawan-relawan muda KMPP yang dikoordinir oleh Bayu Adhi Pratama (20 tahun), ditugaskan untuk mendata kebutuhan dan jumlah pengungsi. Proses pendataan itu harus termutakhirkan di setiap harinya. Selain bermanfaat sebagai data dasar bagi pelayanan medis LSM Sheep Indonesia, pendataan itu juga sangat membantu para ibu di dapur umum untuk menentukan jumlah kiloan beras, untingan sayur, racikan bumbu, dan rupa-rupa lauk yang mesti disiapkan.
Meskipun kerja-kerjanya cukup njlimet dan beragam, namun para relawan KMPP sebanyak 60 orang melakukannya secara tekun dan koordinatif. Saat jumlah pengungsi mencapai titik tertinggi, hingga sebanyak 2600 orang, ke-60 relawan itulah yang menjadi tumpuan pendataan pengungsi maupun pendistribusian kebutuhan dasarnya. Selain nasi bungkus, pengungsi juga diberikan: semacam “jadup” sebesar Rp. 3.000,-/orang per tiga hari sekali, peralatan mandi dan cuci, pakaian pantas pakai, alat tulis bagi anak-anak pengungsi, dll. Dalam perjalannya, Posko Mandiri Kadisoka ternyata tidak hanya mengampu pengungsi di dusun Kadisoka saja, bahkan mampu mendistribusikan logistik ke warga pengungsi yang tersebar di 21 dusun di Desa Purwomartani.
“Banyak sekali yang kami dapat di sini. Kami jadi paham bagaimana belajar dengan masyarakat  luas,  pengelolaan  bantuan,  administrasi,  pendataan,  cara  berkomunikasi dengan pengungsi,” demikian ungkap Bayu, koordinator KMPP dan mahasiswa semester
5 Fakultas Sains & Teknologi UIN Yogyakarta ini. “Yang saya masih ingat persis adalah pembelajaran dari Mas Sutris (fasilitator training relawan dari Sheep Indonesia-pen). Kita harus selektif dalam mendistribusikan bantuan. Itu harus sesuai dengan kebutuhan para pengungsi,” tandas mahasiwa asal Desa Mojo, Kecamatan Cluwak, Pati ini.32
Sedikit  berbeda  dengan  Bayu,  Mei  Linda  (17  tahun)  mengungkapkan tentang proses pendataan yang sangat melelahkan. Kendati lelah, ia merasa senang bisa bertemu banyak teman dan bisa belajar beragam pengalaman. “Pengalaman yang mungkin terkait disiplin ilmu saya, ya.. mungkin pagelaran Keroncong Tanggap Darurat untuk pengungsi itu,” kenang mahasiswi semester I jurusan Media dan Broadasting UIN Yogyakarta ini. Hal yang sama diungkapkan oleh Lilis (19 tahun). “Rasanya saya belum pernah mendapatkan  pengalaman  yang  sangat  berharga  seperti  ini.  Saya  belajar  menyelami karakter banyak orang,” tegas mahasiswa kelahiran Trangkil, Pati, tahun 1991 ini. “Pengalaman ini adalah pelajaran yang tidak akan pernah saya dapatkan dari bangku kuliah,” yakin mahasiswa semester 3 Fakultas Sains & Teknologi UIN Yogyakarta ini.33
Dibantu oleh fasilitator lapangan LSM Sheep Indonesia, Andi Rahmad (32 tahun), KOMPAYO memfasilitasi pendampingan dan pembelajaran bersama relawan KMPP. Dalam penjelasannya, Andi lebih jauh mengungkapkan:34

Di awal respon tanggap darurat, relawan melakukan koordinasi setiap hari pada pukul 19.00-21.00. Agendanya evaluasi kegiatan harian dan perencanaan hari berikutnya. Ini berfungsi untuk meng-update jumlah relawan maupun pengungsi. Rapat rutin itu berjalan kira-kira   selama 1 minggu, terhitung sejak tanggal 8 November 2010. Selanjutnya rapat koordinasi berlangsung dua hari sekali sampai tanggal 27 November 2010.

Terlibat sejak jejaring Posko Mandiri berdiri, Andi tahu persis bagaimana jerih payah warga Kadisoka memastikan terpenuhinya berbagai kebutuhan dasar/ kesejahteraan para pengungsi. Sejak 6 November 2010, LSM Sheep Indonesia berkoordinasi dengan warga Kadisoka untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan untuk para pengungsi. Pelayanan medis LSM Sheep Indonesia itu sendiri terdiri dari 2 dokter, 2 perawat, 3 apoteker. Selain di 21 dusun Purwomartani, pelayanan kesehatan LMS Sheep Indonesia juga menjangkau titik pengungsian mulai dari Prambanan hingga Muntilan.
Selain mendapat dukungan relawan KMPP dan tim pelayanan kesehatan LSM Sheep Indonesia, Posko Mandiri Kadisoka ini mendapat topangan yang sangat menentukan  bagi  keberlangsungan  pelayanan  pengungsi.  Topangan  itu  berasal  dari jejaring KOMPAYO. Di bawah koordinasi Joko Pamungkas (45 tahun), KOMPAYO berhasil   menggalang   solidaritas   warga   Pati   dari   berbagai   kalangan   dan   profesi. Berdasarkan rapat evaluasi Posko Mandiri Kadisoka tanggal 27 November 2010, KOMPAYO  berhasil  menggalang  dana  sebesar  Rp.  348.626.800,-  (belum  termasuk tenaga). Jika tenaga dihitung maka besar dana mencapai sekitar Rp. 500 juta lebih.
Menurut penjelasan Joko Pamungkas, yang sudah menjadi dosen UPN Veteran Yogyakarta selam 20 tahun, seluruh donasi yang terkumpul itu adalah hasil penggalangan solidaritas warga Pati. Lebih jauh, bapak berputra satu ini mengungkapkan:35

Untuk sementara ini saya belum mengandalkan pemerintah... tidak perlu mengandalkan pemerintah. Karena potensi dan sumberdaya teman-teman yang mau menyumbang ini sebetulnya masih sangat besar.
------------------------------------------------------------------------
32 Wawancara dengan Bayu Adhi Pratama, Posko Kadisoka, 17 Desember 2010
33 Wawancara dengan Mei Linda dan Lilis, Posko Kadisoka, 17 Desember 2010
34 Wawancara dengan Andhie, Fasilitator Lapangan LSM Sheep Indonesia, 18 November 2010
35 Wawancara dengan Joko Pamungkas, Koordinator Posko Mandiri Kadisoka, 18 November 2010
------------------------------------------------------------------------
Dari teman-teman Tayu, Japenan,  dan Sukolila siap membantu warga Merapi bergotong royong. Bahkan sebetulnya kawan-kawan relawan Sukolilo itu sudah datang ke sini, tapi karena situasinya belum  jelas,  mereka  pulang  lagi  ke  Pati.  Potensi-potensi semacam  ini  kan  perlu  dirangkul  dan dipelihara.

Begitu kuat keyakinan Joko tentang besarnya potensi jejaring masyarakat sipil ini. Bahkan menurutnya, intervensi negara tak perlu diandalkan, karena masyarakat masih mampu mencukupi warga pengungsi.
Paska emergensi berakhir dan pengungsi kembali ke dusun masing-masing, para mahasiswa relawan melakukan survei ke dusun-dusun yang akan dipilih sebagai wilayah dampingan lebih lanjut. Dipandu sejumlah warga pengungsi, mereka memilih wilayah yang belum terjangkau bantuan. Posko Mandiri Kadisoka akhirnya menetapkan 3 dusun dampingan yaitu Dusun Gadingan, Dusun Guling, dan Dusun Plumbon. Selama dua bulan, para relawan Posko Mandiri Kadisoka melakukan pendistribusian bantuan untuk kebutuhan dasar warga dan beberapa kali layanan kesehatan di ketiga dusun tersebut.
Dan tercatat pada 23 Januari 2011, Posko Mandiri Kadisoka mengakhiri pelayanannya, pasalnya  para  relawan,  yang  kebanyakan mahasiswa, harus  kembali  ke bangku kuliah sepenuhnya. Mewakili warga tiga dusun, seorang warga mendaulat Jejaring Posko  Mandiri Kadisoka    ini  untuk    bersedia  mendampingi    mereka  dalam  proses rehabilitas dan rekonstruksi ke depan. Dalam suatu pertemuan, Supardi mengatakan:36

Mewakili warga Guling, Gadingan, dan Plumbon, saya mungucakan banyak terimakasih atas segala bantuan selama ini. Tapi saya mohon maaf, sepertinya kami masih mengharapkan bantuan ide dan gagasan agar bisa bangkit dan tidak nglokro... Bagaimanapun juga bantuan berupa saran, ide, gagasan dan pemikiran masih kami butuhkan ke depan, terutama untuk pengembangan kelompok petani jamur, kelompok peternak lele, kelompok pembuat batako, dan kelompok peternak ayam kampung yang sudah kami buat...

Mewakili Jejaring Posko Mandiri Kadisoka, Andreas Subiyono yang telah terbiasa bergelut di bidang pemberdayaan masyarakat pun memberikan tanggapan berikut:37

Pertama-tama yang harus dipikirkan, kira-kira apa saja kebijakan pemerintah selama ini. Itu penting agar kami tidak melangkahi apa yang sudah jadi rencana pemerintah. Tapi kalau memang itu belum ada, kami akan berusaha seoptimal mungkin untuk memberikan saran ide dan gagasan menuju terwujudnya langkah-langkah yang lebih baik ke depan.

Tersepekati dalam pertemuan itu, dalam tempo dekat akan digelar pertemuan antara tim pemberdayaan LSM Sheep Indonesia dengan kelompok-kelompok usaha yang telah ada di tiga dusun tersebut.

 Catatan dari Erupsi Merapi
Dari apa yang terpapar di atas, kita bisa mencatatat beberapa hal penting berikut. Pertama, hal yang musti dicatat adalah bahwa gerakan yang dilakukan oleh para relawan dalam Jejaring Posko Mandiri Kadisoka itu hanyalah satu eksemplar dari sekian banyak contoh jejaring warga yang juga mempraktikkan hal serupa selama paska erupsi Merapi. Di wilayah Yogyakarta-Jateng, ada begitu banyak kelompok jejaring masyarakat sipil yang
 ------------------------------------------------------------------------
36 Catatan dialog warga Gadingan, Guling, dan Plumbon, 23 Januari 2011.
37 Ibid
------------------------------------------------------------------------

secara swadaya menggelar layanan sosial bagi pemenuhan kesejahteraan para pengungsi. Di antara itu, kalangan universitas adalah pihak yang sangat penting untuk disebutkan di sini. Bagaimanapun juga kalangan civitas akademik di berbagai universitas sangat tanggap, peka dan kapabel dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar warga pengungsi. Bisa dikatakan,  implementasi kesejahteraan sosial  bagi  warga  pengungsi telah  diperagakan dengan sangat baik oleh berbagai jejaring masyarakat sipil itu. Rasa empati masyarakat sipil adalah  elan  vital  yang  senantiasa menjaga  tetap-tegaknya solidaritas  sosial  untuk  para pengungsi. Masyarakat sipil juga pantas untuk disebut sebagai garda terdepan pelayanan sosial untuk warga pengungsi. Selain sebagai tuan rumah (host), penerima ratusan ribu pengungsi, masyarakat sipil juga telah menjadi jejaring penyuplai pangan dan logistik standar kedaruratan, maupun layanan kesehatan bagi warga pengungsi. Spirit nasi bungkus menjadi penanda hadirnya ketulusan, cinta yang penuh welas asih antar sesama warga.38
Kedua, muncul kecenderungan bahwa negara gagal dalam memperagakan diri sebagai pelayan sosial warga negara, terlebih warga yang tengah terlunta oleh bencana. Pemerintah daerah rupanya masih gandrung meringkus segala persoalan kemanusiaan— yang  rumpil  dan  njlimet—dengan pola  pikir  kuantifikasi-konvensional yang  sejatinya banal.  Setiap  praktik  kuantifikasi-dangkal  itu  senantiasa  melekat  potensi  kekerasan terhadap hak-hak dasar, harkat, dan martabat warga negara. Hal itu tentu sangat bertentangan dengan slogan yang digembar-gemborkan perihal zero victim dan zero accident di setiap paska bencana.  Dalam situasi semacam itu, menjadi terlampau lekat memori kita atas seabreg harapan yang tak kunjung mendapati jawab. Selekat keyakinan bahwa pemenuhan hak-hak dasar warga adalah ke-mrojol-an yang jamak dalam ranah intervensi negara. Perca-perca intra dan  inter  kebijakan  dan  implementasi senantiasa jadi  ritual tambal sulam state apparatus atas pelayanan sosial warga. Rencana kontingensi tinggallah sebentuk kemewahan yang tak akan tersentuh oleh watak negara yang serba perca.
Ketiga, dari Merapi kita belajar best practice jejaring pengelolaan kesejahteraan sosial bagi warga pengungsi yang terabaikan oleh negara. Best practice ala jejaring Posko Mandiri yang diartikulasikan dari paduan triadik hati-pikir-tindak, telah manjadi formula berharga bagi para pengambil kebijakan negeri ini. Kini, tersisalah sebuah kesadaran atas sejarah yang memang tak pernah liner. Sejak gempa bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006 hingga erupsi Merapi 26 Oktober 2010, jelas ada banyak hal yang berubah, namun ada kekhawatiran yang puguh, jangan-jangan bangsa ini tidak pernah mau belajar dari best practice apapun. [abw- 27012011]

Referensi
Buku
Abdullah, Irwan. 2006. Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam
Konstruksi Bencana, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi, 13 November 2006. Klein, Naoim. 2008.The Shock Doctrin: The Rise of Disaster Capitalism, New York: Penguin
Susetiawan, Bencana dalam Bencana, kata pengantar dalam AB.Widyanta (ed.), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: CPRC, 2007
Susetiawan, 2010. Nasi Bungkus, dalam Jurnal Warta Pedesaan Tahun XXVIII No.11 November 2010,
Yogyakarta: PSPK-UGM
Widyanta (ed), AB. 2007. Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng
27 Mei 2006; Yogyakarta: CPRC
------------------------------------------------------------------------
38 Baca Susetiawan, Nasi Bungkus, dalam Jurnal Warta Pedesaan Tahun XXVIII No.11 November 2010,  Yogyakarta: PSPK – UGM, hlm.3-4. Baca juga Eny Prihtiyani & Mawar Kusuma, Bangkitnya Spirit Nasi Bungkus dari Yogyakarta..., Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm. 1 & 15.
------------,AB. 2007. Modal Sosial: Partisipasi Warga yang Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan
(Potret Penanganan Gempa Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai Tahun VII No 1 2007

Artikel
Ariyanto, Gesit dan Mohamad Final Daeng, Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010
Damayanti, Doty & Mohamad Final Daeng, Surono: Mayarakat Kita Kaget Dengan Gunungnya Sendiri, Harian Kompas Edisi 7 November 2010
FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
Prihtiyani, Eny & Mawar Kusuma, Bangkitnya Spirit Nasi Bungkus dari Yogyakarta, Harian Kompas edisi 6 November 2010

Undang-Undangan & Surat Bupati Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen) Undang-Undang Penanggulangan Bencana
Surat Bupati Sleman, No 361/1847,19 November 2010,Perihal Pemulangan dan Penarikan Pengungsi.

Berita
Gejala Erupsi Merapi Eksplosif  di Harian Kompas edisi 26 Oktober 2010.
Menjemput Mbah Maridjan, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010
Menghitung Dampak Korban Merapi, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010
Korban Tewas Merapi 32 Orang, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010
Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti, Harian Kompas 29 Oktober 2010
Daerah Bahaya Kian Meluas, Harian Kompas edisi 1 November 2010
Radius Bayaha Naik Jadi 15 Km, Harian Kompas edisi 4 November 2010.
Pengungsi Naik Jadi 100.000 Orang, Harian Kompas edisi 5 November 2010
Merapi Peras Air Mata, Harian Kompas edisi 6 November 2010
Erupsi Kamis Merusak 26 Dusun, Harian Kompas edisi 7 November 2010
Ketika Tercerabut dari Rumah, Harian Kompas edisi 7 November 2010

Website http://regional.kompas.com/read/2010/11/29/20314984/1.510.Unit.Rumah.di.Wasior.Direlokasihttp://regional.kompas.com/read/2010/11/29/20314984/1.510.Unit.Rumah.di.Wasior.Direlokasi. http://www.antaranews.com/berita/243110/kerugian-akibat-erupsi-merapi-capai-rp71-triliun. htttp://www.bnpb.go.id
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=230799&actmenu=36;
http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=3735;
http://www.detiknews.   com/read/2010/04/07/202023/1334190/10/andi-arief-indonesia-perlu-sistem- mitigasi-bencana-yang-terpadu
http://fprb. wordpress. com/2010/ 11/17/ berdayakan-posko-mandiri
http://regional.kompas.com/read/2010/11/12/21112941/Korban.Tewas.Merapi.Tercatat.161.Orang

Wawancara dan Catatan Dialog
Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 15 November 2010.
Wawancara penulis dengan Supardi, Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, pada 15 November 2010. Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 27 November 2010.
Wawancara penulis dengan Bayu Adhi Pratama, Posko Kadisoka, 17 Desember 2010
Wawancara penulis dengan Mei Linda dan Lilis, Posko Kadisoka, 17 Desember 2010
Wawancara penulis dengan Andhie, Fasilitator LSM Sheep Indonesia,18 November 2010
Wawancara dengan Joko Pamungkas, Koordinator Posko Mandiri Kadisoka, 18 November 2010
Catatan dialog warga Gadingan, Guling, dan Plumbon, 23 Januari 2011.


Share this article :
 
Support : Rakjat Koeasa |
Copyright © 2009. Spotaker Blank - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Spotaker Blank
Proudly powered by Blogger