Obskuriti ::: Merdesa Boeng !!!

Why you ask me???



you`re free, born free, live free, so free Iam dead ashes to ashes dust to dust god bless you all what do you want wanna say there is no answer here what do you gonna do there is nothing lift here all they give got just pain and tear well, I just want to say … Iam dead

“Nostalgia atas Surga” Agama Menurut Kacamata Mircea Eliade

0 comments

Oleh:
Ifaty Fadliliana Sari

AB.Widyanta

... To try to grasp the essence of such a phenomenon by means of physiology,
psychology, sociology, economics, linguistics, art, or any other study is false;
 it misses the one unique and irreducible element in it—the element of the sacred.
(Mircea Eliade;1963; xiii)[1]


[1] Mircea Eliade dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1963, hlm. 161.

Pengantar
            Tulisan ini adalah resume singkat dari The Reality  of The Sacred Mircea Eliade, yang adalah Bab 5 dari buku Daniel L. Pals berjudul Seven Theories of Religion. Terurai pada bab itu, gagasan utama pemikiran Mircea Eliade tentang agama. Menurut Danel L. Pals, setidaknya ada tiga gagasan besar dari Mircea Eliade yang penting untuk diulas terkait dengan agama. Pertama, konsep agama menurut Eliade yang secara ringkas terbaca dalam karyanya The Sacred and  The Profane (1957); Kedua, pemahaman Eliade atas Simbolisme dan Mitos yang terpapar dalam karyanya Patterns in Comparatives Religion (1949); dan Ketiga, penjelasan Eliade atas waktu dan sejarah yang diulas secara mendalam dalam karyanya The Mith of the Eternal Return (1949). Sebelum mengurai ketiga gagasan utama tersebut, Pals mengawalinya dengan memapar biografi dan lanskap intelektual Mircea Eliade.
            Secara mendasar, teori agama Eliade berupaya menentang terhadap teori-teori reduksionis (semisal Freud, Durkheim, Marx) yang dalam pandangannya betul-betul telah salah memahami peran agama dalam kehidupan manusia. Tesis utama Eliade adalah bahwa agama harus selalu dijelaskan menurut istilah-istilahnya sendiri. Sebagaimana ia pernah ungkapkan: “Tugasku adalah untuk menunjukkan keagungan, terkadang kenaifan, terkadang kedahsyatan, dan ketragisan dari wujud yang purba”
           
Biografi Intelektual Mircea Eliade
Mircea Eliade adalah seorang penulis fiksi berbakat, sarjana lintas budaya, dan pakar studi perbandingan agama (ia lebih senang menyebutnya sebagai sejarah agama-agama) yang lahir di di Bucharest pada 9 Maret 1907. Sejak usia muda Eliade telah dikontrak sebuah surat kabar untuk menulis cerita, opini, dan resensi buku. Publikasi artikel yang keseratus diraihnya pada usia 18 tahun. Pengembaraan intelektual, ia jalani mulai dari Rumania, India, dan memperdalam dengan melakukan riset di tanah kelahirannya lagi, maupun beberapa wilayah Eropa. Ia juga pernah  menjabat di sebuah universitas di Perancis, dan pada tahun 1950 ia bermigrasi ke Amerika dan menjadi profesor di universitas Chicago hingga akhir hayatnya pada 22 April 1986 dalam usia 79 tahun karena terserang strok. Bagaimanapun juga, Eliade adalah sosok yang berperan penting dalam mempromosikan studi agama di universitas-universitas di Amerika.
 __________________________
[1] Mircea Eliade dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1963, hlm. 161.
  
Dalam perjalanan intelektual itu, demikian Pals menegaskan, Eliade melihat banyak pertentangan bertemu: antara Timur dan Barat, tradisi dan modernitas, mistisisme dan rasionalitas, kontemplasi dan kritisisme. (Aliade dalam Pals, 271).
Hobi menulis di tempat yang tenang menghantarkannya pada sebuah pengalaman religius yang tak terlupakan. Saat sedang menulis artikel di sebuah ruangan kosong di rumahnya yang jarang dipakai, Eliade kecil terkejutkan oleh pendar sinar matahari yang menerobos gorden hijau hingga seluruh ruangan terpancar gerlap hijau jamrud yang menyilaukan, mempesona, sekaligus menggetarkan. Serasa ia terpindahkan ke sebuah dunia yang sama sekali lain, transendental. Di kemudian hari nanti, ia melukiskan pengalamannya itu dengan istilah “nostalgia” yang menunjuk pada pemahaman tentang a beautiful space of otherworldly perfection.
            Pengalaman religius itu menginspirasi pemikiran Eliade dalam dunia akademik. Di Universitas Bucharest dan Itali, ia mempelajari para pemikir Platonis mistis dan para pemikir Itali Renaissance. Pada tahun 1928, ia mendaftar di Universitas Calcutta dan berguru pada Surendranath Dasgupta. Berlatih yoga dengan seorang guru di Himalaya juga ditempuhnya. Pada tahun 1931, demi wajib militer ia kembali ke Rumania. Seusai menunaikan wajib militer ia kembali menulis dan melahirkan banyak karya (dengan isu seputar gerakan mutakhir dalam sastra, filsafat, dan seni). Beberapa karyanya antara lain: 
  • Novel berjudul Maitreyi (Bengal Night)—kisah cintanya dengan putri Dasguptamendapatkan penghargaan pada 1933. 
  •  Disertasi doktoral berjudul Yoga: An Essay on the Origin of Indian Mystical Theology (1936).
  • Pattern in Comparative Religion (1949) yang banyak menggali peran simbol-simbol dalam agama. 
  • The Myth of the Eternal Return (1949)  yang berisi tentang penelitiannya atas konsep sejarah dan waktu yang sakral maupun perbedaan antara agama purba (archaic religion) dengan pemikiran modern.
Pijakan Dua Aksioma         
Pandangan Eliade tentang agama sangatlah berbeda dengan Marx, Durkheim, dan Freud. Eliade secara tegas menyatakan perihal independensi ide dan aktivitas agama. Ia mengakui bahwa psikologi, masyarakat, ekonomi, dan kekuatan yang lain telah memberi pengaruh pada agama, tetapi ia menolak untuk melihat pengaruh mereka bersifat menentukan atau bahkan dominan. Agama dapat dipahami hanya jika kita mencoba untuk melihatnya dari sudut pandang orang beriman. Sangatlah jelas dalam kasus orang-orang purba bahwa bukan kehidupan profan—sosial, ekonomi, atau sebaliknya—yang mengontrol yang sakral; namun yang sakrallah yang mengontrol dan membentuk setiap aspek dari yang profan.
Karenanya, menurut aksioma Eliade, ”agama harus selalu dijelaskan ’menurut istilah-istilahnya sendiri.” Baginya, fenomena agama harus dipegang menurut tingkatannya sendiri, yakni jika dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Agama merupakan realitas religius yang tak bisa dibaca melalui realitas ekonomi, maupun realitas psikologis, agama merupakan realitas otonom (independent variabel), sehingga menafsir agama sebagai variabel dependent merupakan cara yang salah. Agama merupakan sebab, bukanlah akibat, sehingga agama merupakan penentu, dan variabel yang lain merupakan sesuatu yang bergantung kepadanya. (Aliade dalam Pals, 271-272).
Proposisi di atas berkonsekuensi pada hadirnya aksioma kedua, yaitu yang terkait dengan perihal metode. Untuk menjelaskan tentang agama itu, menurut Eliade, kita harus menghubungkan dua sudut visi yang terpisah. Memahami agama tidak bisa hanya dari sejarah agama-agama, melainkan juga harus menerapkan apa yang disebut Eliade sebagai “fenomenologi”. Menurut Eliade, beberapa bentuk yang umum, beberapa pola yang luas dari fenomena dalam agama, dapat dikeluarkan dari tempat dan waktu asalnya untuk dibandingkan dengan yang lainnya. Waktu dan tempat mungkin berbeda, tetapi konsep sering sama. (Aliade dalam Pals, 273).   

Konsep Agama Menurut Eliade
Dalam karya The Sacred and  The Profane (1957), Eliade menganggap agama dalam peradaban modern pada intinya adalah transformasi bentuk dari prototipe keyakinan masyarakat kuno (archaic people). Menurutnya, berbagai tingkat kebudayaan menunjukkan perihal keseriusan masyarakat tradisional melaksanakan urusan dengan mengikuti pola yang ditetapkan oleh para dewa. Otoritas dari yang sakral mengontrol semuanya. Misalnya, sebuah desa harus dibangun dari di atas sebuah tempat dimana telah ada suatu “hierofani” (hieros dan phainen = penampakan yang sakral). Dengan demikian, desa yang dibangun sesuai cetak biru yang diberikan para dewa adalah sebuah kosmos (keteraturan), di tengah-tengah dunia bahaya dan kesemrawutan, ia adalah sebuah tempat tujuan yang penuh rasa aman. 

Menurut Eliade, dimanapun kita memandang suku-suku purba, agama dimulai dari pemisahan yang fundamental berikut ini. 
Profan
Sakral
Wilayah urusan sehari-hari—hal-hal yang biasa, tak disengaja, dan pada umumnya tidak penting.
Wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan, dan penting.
Sesuatu yang mudah menghilang, mudah pecah, penuh bayang-bayang
Sesuatu yang abadi, penuh dengan substansi dan realitas.
Arena urusan manusia yang dapat berubah-ubah dan sering kacau
Wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa.  

Konsep yang sakral dari Eliade sangat dipengaruhi oleh konsep yang sakral dari Rudolf Otto (sejarawan dan teolog Jerman) yang menyebutnya sebagai sesuatu yang sangat besar, substansial, agung, dan betul-betul riil. Menurut Otto, perasaan terhadap numinous (numen=wujud ilahi/roh) yang membangkitkan rasa hormat ini sangatlah unik dan tak dapat direduksi. Serupa dengan uraian Otto tersebut, Eliade lebih jauh menegaskan bahwa dalam perjumpaan dengan yang sakral orang-orang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi (otherworldly); mereka merasa bahwa telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realitas lain yang pernah mereka kenal, sebuah dimensi eksistensi yang dahsyat-menggetarkan, sangat berbeda, betul-betul riil dan langgeng.
Lebih jauh, menurut catatan Pals, meskipun Eliade menggunakan Durkheim dan setuju bahwa istilah itu mencakup lebih dari sekadar dewa-dewa yang personal, namun pandangan Eliade tentang agama lebih dekat dengan Tylor dan Frazer, yang menganggap agama pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari wujud yang supernatural.
Kedekatan Eliade dengan Tylor dan Frazer ini sangat terbaca dalam karyanya yang berjudul  Patterns in Comparatives Religion (1949). Berbagai simbol dan mitos yang dibahas diantaranya seperti:
  • Matahari (pusat semua mitologi) dan bulan (dualisme terang-gelap, lahir-mati, pria-wanita, mitos androgini, kesatuan dua jenis kelamin, umat manusia yang pertama). Lebih jauh, konsep Eliade tentang yang sakral sangat mirip dengan konsep sakral
  • Air (ritus penyucian, membersihkan, mengembalikan pada bentuk awal) dan batu (transendensi kesulitan manusia, perwujudan absolut).
  • Bumi (ibu yang sakral, sumber semua makhluk hidup) dan Langit (bapak yang sakral). Langit menyuburkan bumi dengan hujan, dan bumi menghasilkan biji-bijan dan rumput. 
  •  Pohon (axis mundi/ pasak bumi, pohon sebagai sumber kehidupan yang sakral)
 Dari berbagai simbol dan mitos yang dibahas tersebut, Eliade memilah dan mencirikannya dalam dua kategori berikut: pertama, sebagian besar simbolisme dan mitologi bersifat struktural atau seperti sistem; dan kedua, masalah pengolahan simbol – meninggikan suatu simbol di atas simbol yang lain.  
Dalam pengalaman keagamaan, berkat simbol dan mitos tersebut, hal-hal yang berlawanan seperti yang sakral dan yang profan dapat bertemu. Di dalam hasrat pencarian yang intuitif, imajinasi keagamaan melihat hal-hal yang biasa dan profan sebagai lebih dari keadaannya dan mengubahnya menjadi yang sakral. Yang natural menjadi supernatural.  
Terkait dengan pemahaman itu maka alam pemikiran masyarakat purba dipenuhi dengan asosiasi, hubungan, dan pengulangan yang terus menerus meluaskan arti dari yang sakral, jika mungkin, hampir ke setiap dimensi kehidupan—dari peristiwa dan upacara yang mulia hingga ke tugas keseharian yang sederhana. Peristiwa kehidupan profan yang biasa, perputaran kerja dan perjuangan sehari-hari adalah hal yang mati-matian ingin mereka hindari. Mereka lebih baik keluar dari sejarah dan masuk dalam wilayah sempurna dari yang sakral. Inilah yang diistilahkan Eliade sebagai “NOSTALGIA ATAS SURGA”, sebagaimana sering disebut-sebut dalam ketiga karyanya di atas (The Sacred and  The Profane, Patterns in Comparatives Religion, dan The Mith of the Eternal Return). Dan inilah konsep sentral dalam teori agama Eliade.
            “Nostalgia atas Surga” itu dipertegas Eliade sebagai sebentuk kerinduan yang terdalam, keinginan yang paling mendesak dan sepenuh hati di dalam jiwa semua orang purba. Semua tema yang konstan dari ritual dan mitos purba adalah keinginan “untuk hidup di dunia seperti saat dunia itu datang dari tangan pencipta, bersih, murni, dan kuat.
            Mitos kembalinya yang abadi begitu menyebar luas hampir di setiap kebudayaan kuno. Hanya ada satu tempat—di kalangan orang-orang Yahudi dari Palestina Kuno— muncul sesuatu yang berbeda, yaitu Yudaisme dan kemudian agama Kristen yang menyatakan bahwa yang sakral dapat ditemukan di dalam sejarah maupun di luarnya. Keduanya meyakini perihal hadirnya seorang partisipan di kancah sejarah. Tepat pada konteks inilah, Eliade menyebut kali pertama revolusi melawan agama purba terjadi. Seiring perjalanan waktu, revolusi melawan semua agama pun tak terhindarkan juga tatkala di tengah-tengah peradaban Barat merebak perkembangan pesat filsafat yang mengingkari keberadaan dan nilai yang sakral sekaligus. Keyakinan terakhir menegaskan bahwa tak ada dewa-dewa, tak ada tipe-tipe purba yang sakral”, yang dapat menunjukkan kepada kita gaimana harus hidup atau apa tujuan utama yang diharapkan. kita sekarang harus hidup tanpa yang sakral sama sekali.

Kritik atas Mircea Eliade
Secara keseluruhan, teori agama Eliade ini cukup membingungkan berbagai kalangan intelektual. Kendatipun pemikirannya sangat berpengaruh luas, namun kontroversi mengenai pemikirannya tetap berlangsung hingga sekarang.
Berdasarkan catatan Pals, berikut ini adalah beberapa macam kritik yang muncul terkait dengan pemikiran Eliade tersebut di atas.
  • Teori Eliade ini kurang memiliki aksentuasi aspek sosial yang memadai, karenanya teorinya boleh jadi kurang begitu relevan untuk kajian sosiologi agama. 
  • Teori Eliade sangat ambisius dan luas, tidak jarang terpapar kekacauan konseptual dalam tulisan-tulisannya. 
  • Lantaran sifatnya yang luas/global itu pulalah yang menyebabkan teorinya terasa dangkal, tidak ilmiah sekaligus membingungkan. 
  • Pendekatan yang digunakan Eliade sangatlah Frazerian. Dalam konteks jaman, cara berfikir purba dari Eliade itu adalah sebuah kemunduran yang serius. 
  • Terkesan kuat, teori Eliade lebih bersandar pada kapasitasnya sebagai teolog kristen ketimbang sebagai sejarawan ataupun fenomenolog.
Teori Eliade untuk Konteks Indonesia
Menurut Eliade ”agama harus selalu dijelaskan ’menurut istilah-istilahnya sendiri.’” Baginya, fenomena agama harus dipegang menurut tingkatannya sendiri, yakni jika dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Agama merupakan realitas religius yang tak bisa dibaca melalui realitas ekonomi, maupun realitas psikologis, agama merupakan realitas otonom (independent variabel), sehingga menafsir agama sebagai variabel dependent merupakan cara yang salah. Agama merupakan sebab, bukanlah akibat, sehingga agama merupakan penentu, dan variabel yang lain merupakan sesuatu yang bergantung kepadanya. (Eliade dalam Pals, 271-272).
Untuk konteks Indonesia, teori Eliade ini bisa kita jumbuhkan dengan fenomena kekerasan berbasis agama yang diperagakan secara kasat mata oleh Front Pembela Islam. Penganut Islam FPI menemukan realitas religius dalam cara yang berbeda dengan cara muslim lainnya. Dalam sebuah pengakuan di webs site FPI diakui bahwa banyak orang ingin masuk surga dengan jalan bersedekah, menyantuni fakir miskin anak yatim, tapi anggota FPI meyakini bahwa mereka akan masuk surga dengan jalan menjadi anggota FPI.  Artinya FPI diposisikan sebagai kebenaran, meski tidak cukup terang menyatakan bagaimanakan sikap yang harus diambil agar anggota FPI masuk surga. Disini peran Habib sangatlah besar dalam memberikan petunjuk pada pengikutnya. Perkataan Habib adalah jalan kebenaran, dalam moment perjumpaan dengan Habib itulah mereka merasa mendapat jalan terang, sebuah nuansa magis, sebagaimana dalam cerita yang dipetik dari Web FPI dibawah ini:

Wahyu seorang anggota baru FPI masih pengangguran, meski masih masih menganggur dia mengatakan tidak mengharapkan apa-apa untuk bergabung dalam FPI. Wahyu hanya merasa tertarik setelah sering mengikuti pengajian yang diadakan oleh Habib Rizieq Shihab, pimpinan FPI, di Masjid Al Islhah. ''Saya ingin mencari surga,'' tambahnya. Pengajian yang diadakan setiap malam Kamis itu membahas banyak hal, mulai dari Fiqh, Tauhid, atau Aqidah. Dalam pengajian itu pertanyaan-pertanyaan sekecil apapun akan dijawab. Jamal, salah seroang warga yang sudah dua tahun ikut dalam pengajian itu juga merasa semua unek-unek yang dia punya bisa terjawab. ''Habib itu kalau menjelaskan bisa rinci sekali, satu kata saja bisa dijelaskan dengan sangat detail,'' katanya.[1]

Dari kedetilan Habib menjawab pertanyaan (permasalahan) jamaah pengajian inilah banyak orang terpanggil untuk menjadi anggota FPI. Sebagaimana dalam Islam, ciri-ciri Quran yang paling kuat adalah berisi ketentuan-ketentuan detil yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Namun karena tidak banyak orang Indonesia menguasi teks arab maka penguasaan atas teks oleh Habib Riziq -yang kebetulan dia adalah keturunan Hadrami (satu daerah di Arab dimana banyak warganya bermigrasi salah satunya ke Indonesia)-mewujud menjadi kekuatan kebenaran, dogma yang seolah-olah berbicara atas nama Tuhan yang sakral.
Sesuatu yang sakral merupakan pusat dari perhatian agama, kepercayaan pada wilayah supernaturalitas mewujud dalam bentuk agama. Dalam perjumpaan dengan sesuatu yang luar biasa, orang cenderung terpikat oleh realitas, di luar duniawi, yang sama sekali lain dengan dirinya. Sesuatu yang misterius inilah yang menimbulkan kesakralan, sebuah pengalaman bersentuhan dengan realitas yang tidak seperti biasanya mereka kenal, bahkan kadang disertai kedahsyatan, menggetarkan, berbeda, betul-betul riil dan langgeng. (Aliade dalam Pals, 276-277s).
Mungkin memang tidak sesederhana ini bagaimana pengalaman keberagamaan pengikut FPI, meskipun sebagai sebuah gerakan yang sentralistik bisa dilihat pola yang hampir sama dalam proses rekruitmen hingga fase-fase penemuan ”Tuhan” yang maha menakutkan bagi yang tak sealiran, yang maha menghukum yang berbeda sebagaimana dipercaya oleh pengikut FPI. Over sakralisasi pemimpin membuat mereka tak segan untuk tak berfikir kritis atas apapun yang dikatakan oleh pemimpin mereka. Sementara, cara menafsir teks dengan cara yang tunggal dan menolak penafsiran yang lain mengakibatkan cara pandang mereka atas realitas yang plural sedemikan biner.
Dituntun oleh sentralisasi, otoritarian serta kesempitan berpikir dan meng-kontekstualisasi teks mengakibatkan mereka menjadi pengikut-pengikut yang takhluk pada apapun perintah pemimpin. Pada satu sisi nampak kesan heroisme luar biasa dengan jalan mengorbankan kehidupan, bahkan dalam keadaan miskin dan lapar pun masih mau bertaruh waktu, tenaga bahkan nyawa, disisi yang lain demi mendapatkan pengalaman berjumpa dengan Surga, mereka tak segan untuk memukul, membakar, dan boleh jadi juga membunuh.[ ]
Share this article :
 
Support : Rakjat Koeasa |
Copyright © 2009. Spotaker Blank - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Spotaker Blank
Proudly powered by Blogger