Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul
Pretext for Mass Murder: Th e September 30th Movement and Suharto’s
Coup d’État in
Indonesia
©2006 Th e University of Wisconsin Press, Madison, USA
Pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia
seizin penerbit asli
oleh
Institut Sejarah Sosial Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra pada
Januari 2008.
Penerjemah : Hersri Setiawan
Penyunting: Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Penyelaras bahasa: M. Fauzi dan Th . J. Erlijna
Desain sampul dan tata letak: Alit Ambara
Foto sampul: Corbis
Institut Sejarah Sosial Indonesia
Jalan Pinang Ranti No. 3 Jakarta 13560
Email: issi@cbn.net.id
Hasta Mitra
Jalan Duren Tiga Selatan No. 36 Jakarta Selatan
Email: yusak@cbn.net.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
John Roosa,
Dalih Pembunuhan Massal
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Cetakan 1
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008
xxiv+392 hlm; 16 cm x 23 cm
ISBN: 978-979-17579-0-4
untuk orangtua saya
v
DAFTAR ISI
Daftar Ilustrasi vii
Sekapur Sirih xi
Kata Pengantar edisi Bahasa Indonesia xv
Pendahuluan 3
I. Kesemrawutan Fakta-Fakta 52
II. Penjelasan tentang G-30-S 90
III. Dokumen Supardjo 122
IV. Sjam dan Biro Chusus 169
V. Aidit, PKI, dan G-30-S 199
VI. Suharto, Angkatan Darat, dan Amerika Serikat 250
VII. Menjalin Cerita Baru 291
Lampiran-lampiran
1. Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja
“G-30-S” Dipandang dari Sudut Militer (1966),
oleh Brigadir Jenderal Supardjo 323
2. Kesaksian Sjam (1967) 344
Daftar Pustaka 362
Indeks 375
vii
DAFTAR ILUSTRASI
PETA
1. Jakarta, 1965
2. Lapangan Merdeka
3. Pangkalan Angkatan Udara Halim dan Lubang Buaya
FOTO DAN KARTUN
1. Monumen Pancasila Sakti
2. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti
3. Museum Pengkhianatan PKI
4. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti
5. Supardjo dan Ibu Supardjo, ca. 1962
6. Kartun memperingati 20 tahun kemerdekaan nasional
7. Kartun mendukung Gerakan 30 September
8. Kartun: “Film minggu ini”
9. Kartun anti-PKI
TABEL DAN FIGUR
1. Staf Umum Angkatan Darat (SUAD)
2. Personil Militer dan Sipil dalam Gerakan 30 September
3. Struktur Organisasi PKI
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
xi
SEKAPUR SIRIH
Saya mulai menulis tentang Gerakan 30 September saat menjadi
penerima beasiswa pascadoktoral Rockefeller Foundation di Institute
of International Studies di University of California-Berkeley, sebagai
bagian dari Communities in Contention Program pada 2001-2002. Terima
kasih kepada direktur lembaga, Michael Watts, yang telah memberikan
saya suasana yang demikian hidup untuk belajar. Joseph Nevins adalah
pembaca rumusan-rumusan awal pandangan saya. Kritiknya yang tajam
pada saat makan siang di kafe-kafe di Berkeley menyadarkan saya bahwa
menulis tentang Gerakan 30 September dalam bentuk karangan jurnal
singkat tidak memadai untuk mengurai keruwetan-keruwetannya.
Ulasan-ulasannya terhadap rancangan buku yang muncul belakangan
sangat membantu saya dalam berpikir tentang penyajian argumen saya.
Untuk berbagai-bagai bentuk bantuan di Bay Area, saya berterimakasih
kepada Iain Boal, Nancy Peluso, Silvia Tiwon, Jeff Hadler, Hala
Nassar,
Mizue Aizeki, dan Mary Letterii.
Sidang pendengar di Center for Southeast Asian Studies di University
of Wisconsin, Madison, pada akhir 2001 telah mendengarkan uraian
versi awal yang masih mentah dari buku ini. Saya ucapkan terima kasih
kepada semua yang hadir di sana, dan untuk ulasan-ulasan mereka yang
mendalam. Terima kasih juga untuk Alfred McCoy, yang bertahun-tahun
lalu pernah mengajar saya tentang bagaimana mempelajari masalahmasalah
kemiliteran dan kudeta, karena sudah mengundang saya memberi
ceramah dan mendorong saya menulis buku ini.
xii
SEKAPUR SIRIH
Sesudah naskah awal saya diamkan selama dua tahun agar dapat
menyelesaikan pekerjaan saya yang berkaitan dengan pengalaman para
korban kekerasan massal 1965-66 di Indonesia, pada awal 2004 saat di
University of British Columbia saya kembali ke naskah tersebut. Saya
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di jurusan sejarah,
Steven Lee yang memberikan ulasan terhadap rancangan keseluruhan
buku, dan Erik Kwakkel untuk bantuannya dalam hal kata-kata Belanda.
Terima kasih pula kepada Brad Simpson dari University of Maryland,
yang membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi
pemerintah Amerika Serikat mengenai Indonesia; dan David Webster,
lulusan program doktoral dari University of British Columbia, yang
membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi pemerintah
Kanada.
Saya sangat berutang budi kepada dua pengulas tanpa nama yang
dengan murah hati telah memberikan pujian mereka bahkan sesudah
mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengoreksi
sangat banyak kesalahan dalam naskah saya dan mengajukan bantahan
terhadap uraian-uraian saya. Saya harap kesabaran mereka ketika
menuliskan
ulasan-ulasan yang sedemikian kritis dan rinci itu telah saya imbangi
dengan perbaikan-perbaikan yang akan mereka temukan dalam buku
ini.
Sejak awal 2000 saya melakukan penelitian tentang peristiwa 1965-
66 dengan sekelompok peneliti yang tergabung dalam Jaringan Kerja
Budaya di Jakarta. Buku ini tumbuh dari penelitian kami bersama dan
pendirian lembaga kami, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Ucapan
terima
kasih kepada rekan-rekan berikut ini kiranya tidak layak, oleh karena
buku ini sebagian merupakan milik mereka, yaitu: Hilmar Farid, Agung
Putri, Razif, Muhammad Fauzi, Rinto Tri Hasworo, Andre Liem, Grace
Leksana, Th .J. Erlijna, Yayan Wiludiharto, Alit Ambara, B.I.
Purwantari,
dan Pitono Adhi. Dua penggembala para budayawan muda di Garuda,
Dolorosa Sinaga dan Arjuna Hutagalung, telah memberikan ruang kerja
untuk penelitian kami dan ruang terbuka yang teduh di tengah-tengah
megalopolis yang hiruk-pikuk sebagai tempat kami bersantai. Johan Abe
dan Maryatun terus memberi bantuan tanpa kenal lelah.
Pasangan hidup saya selama tiga belas tahun terakhir, Ayu Ratih,
telah memandu saya dalam menulis sejarah Indonesia, sekaligus menexiii
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
gaskan bahwa penulisan sejarah hanyalah satu bagian dari kehidupan
aktif yang berjalinan erat dengan kehidupan banyak orang lain. Saya
beruntung sudah berada sangat dekat dengan suri teladan sikap kritis
dan hangat dalam berhubungan dengan dunia ini.
xv
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
Saya mengantar terjemahan buku saya dengan sedikit kebimbangan.
Mengacu kepada surat keputusan Jaksa Agung setahun lalu, bukubuku
teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran “/PKI” setelah
singkatan G-30-S harus dibakar. Buku ini tidak menggunakan akhiran
tersebut. Tak akan ada gunanya menulis buku ini seandainya saya
menambahkan
“/PKI.” Akhiran tersebut mencerminkan jawaban terhadap
pertanyaan tentang siapa yang mendalangi gerakan itu. Ia adalah simbol
pernyataan: “PKI mendalangi G-30-S.” Apabila jawaban itu didukung
oleh bukti-bukti tak tersangkal dan secara luas diterima sebagai fakta
historis maka kita tidak perlu mengajukan pertanyaan tentang dalang
lagi. Kita bisa tutup buku dengan G-30-S. Tapi banyak sejarawan yang
belum menerima jawaban tersebut, atau jawaban lain, sebagai sesuatu
yang fi nal, karena terdapat begitu banyak aspek yang aneh, tak
terjelaskan
tentang G-30-S. Banyak orang Indonesia bingung dengan G-30-S dan
berharap menemukan lebih banyak informasi tentangnya. Pemerintah
dapat mencoba menulis sejarah dengan keputusan resmi. Tetapi
memastikan
bahwa setiap penyebutan G-30-S harus diikuti dengan “/PKI”
tidak akan mencegah orang untuk bertanya-tanya tentang arti kedua
istilah yang harus mereka kaitkan itu: Apa itu G-30-S? Apa itu PKI?
Dan
bentuk hubungan seperti apa antara kedua istilah yang ditandai dengan
garis miring tersebut?
Ketika Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998 saya tidak memxvi
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
bayangkan bahwa satu dekade kemudian pemerintah akan terus melarang
buku-buku yang tidak sesuai dengan propaganda rezim yang lalu. Rezim
Suharto mengklaim bahwa PKI bertanggung jawab atas G-30-S; partai
itu memimpin atau mengorganisasikan G-30-S. Klaim serupa itu dapat
diterima sebagai sebuah hipotesa tetapi kita seharusnya berharap
diberi
sejumlah bukti sebelum kita menerimanya sebagai kesimpulan. Kita juga
harus berharap ada rumusan yang lebih persis. PKI adalah sebuah partai
dengan anggota kurang lebih tiga juta orang. Kalau pemerintah berniat
bersikukuh bahwa “PKI” mengorganisasikan G-30-S, maka pemerintah
harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisasikan
gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan
bertanggung jawab? Atau kah sebagian? Atau hanya pimpinan partai?
Apakah pihak pimpinan itu Central Comite atau Politbiro? Sepanjang
masa kepemimpinan Suharto pemerintah tidak pernah dengan telak
mengidentifi kasi siapa di dalam PKI yang bertanggung jawab. Malahan,
dengan secara terus-menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat
digiring untuk percaya bahwa bukan hanya seluruh tiga juta anggota
partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa pun yang berhubungan
dengan partai, seperti para anggota organisasi-organisasi sealiran
(seperti
Lekra), bertanggung jawab.
Dokumen-dokumen internal rezim Suharto lebih terus terang.
Kebetulan saya menemukan buku yang ditulis Lemhanas pada 1968
untuk pejabat-pejabat pemerintah yang persis mengajukan
pertanyaanpertanyaan
di atas. Buku 80 halaman ini ditulis dalam bentuk tanyajawab.
Berikut satu bagian tentang tanggung jawab “PKI”:
Pertanyaan: Apakah benar bahwa G-30-S/PKI yang menggerakkan
adalah PKI dan apakah setiap anggota PKI tentu
terlibat dalam G-30-S/PKI?
Jawab: Benar
a. bahwa G-30-S/PKI digerakkan oleh PKI telah dapat dibuktikan
baik secara fakta maupun secara hukum di depan
sidang-sidang Mahmilub yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
xvii
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
b. Seluruh anggota PKI dapat dianggap terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung (setiap orang berkewajiban
melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu
kejahatan akan dilakukan dan juga sesuai dengan prinsip
organisasi PKI bahwa keputusan pimpinan partai, mengikat
seluruh anggota).1
Saya tidak puas dengan kedua poin jawaban itu. Poin pertama,
persidangan-persidangan Mahmilub tidak membuktikan bahwa PKI
mendalangi G-30-S. Kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi
merupakan timbunan ketidakajegan. Para penuntut tidak mengajukan
bukti-bukti tandas kesalahan “PKI” dan para hakim tidak
membutuhkannya;
mereka memulai prosiding peradilan dengan kepercayaan
(yang telah dipropagandakan Angkatan Darat) bahwa “PKI” bersalah.
Seperti diamati Harold Crouch saat mengulas beberapa berkas rekaman
persidangan Mahmilub pada awal 1970-an, orang dapat dengan mudah
menyimpulkan dari berkas-berkas tersebut bahwa sekelompok perwira
Angkatan Darat yang tidak puas memimpin G-30-S dan mengajak
beberapa pimpinan PKI untuk membantu mereka.2
Poin kedua jawaban Lemhanas sama mudah disangkal. Tuduhannya
adalah bahwa seluruh tiga juta anggota partai mengetahui tentang
G-30-S
sebelumnya dan bersalah karena pengabaian (“tidak melaporkan pada
penguasa”). Tuduhan ini tidak mungkin benar: saluran-saluran informasi
di dalam partai tidak sedemikian ketat sehingga tiga juta orang dapat
mengetahui sesuatu yang orang lain, termasuk agen-agen intelijen kunci
di dalam Angkatan Darat, tidak tahu. Selain bersalah karena
pengabaian,
mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota partai, mereka
bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil para pimpinan
(“keputusan pimpinan partai mengikat seluruh anggota”). Itulah prinsip
kesalahan kolektif – sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua
negara
di dunia berdasarkan rule of law.
Sebelum 1965 pemerintah Indonesia tidak pernah menimpakan
kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan.
Kaum nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan pada 1945-49 tidak
membunuh orang-orang Belanda hanya karena mereka orang Belanda.
Setelah pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir 1950-an pemerinxviii
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
tah Sukarno melarang PSI dan Masjumi karena pemimpin-pemimpin
kedua partai mendukung pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Tetapi pemerintah Sukarno tidak menyatakan bahwa semua anggota
kedua partai adalah pengkhianat; pemerintah tidak menahan dan/atau
membunuh orang hanya karena mereka anggota PSI atau Masjumi.
Sukarno mengampuni pemberontak-pemberontak Darul Islam – orangorang
yang memang mengangkat senjata untuk melawan pemerintah
– kecuali pimpinan-pimpinan puncaknya. Bayangkan seandainya prinsip
kesalahan kolektif diterapkan pada anggota-anggota Golkar dewasa ini:
haruskah setiap anggota Golkar pada masa Orde Baru diminta
bertanggungjawab
atas kejahatan-kejahatan Suharto?
Satu aspek yang tidak bermanfaat dalam debat tentang G-30-S di
Indonesia adalah kecenderungan untuk menggolongkan posisi apa pun
apakah sebagai pro-PKI atau anti-PKI. Siapapun yang tidak menyetujui
penahanan dan pembunuhan massal atau menunjukkan simpati
terhadap tahanan politik dianggap sebagai pendukung PKI. Pipit Rochiat
keberatan dengan kecenderungan ini dalam esai yang ditulisnya pada
1984 “Saya PKI atau Bukan PKI?.”3 Menciptakan dikotomi serupa itu
sama dengan mengabaikan kemungkinan posisi seperti yang diperlihatkan
Rochiat, yaitu tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tidak
juga membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah
G-30-S. Kekerasan tersebut mencerminkan bencana kemanusiaan. Saya
dapat memahami seandainya seseorang mengambil sikap antagonistik
terhadap PKI sebelum 1965: PKI adalah partai yang berniat mendirikan
negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan
menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang
menggalang
pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi
pesaingnya. Tapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang dapat
membenarkan cara partai tersebut ditindas: kebohongan-kebohongan
propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa
dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan
tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat. Sekarang,
setelah 40 tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti
berpikir
semata-mata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa
tersebut, seakan-akan tiap kritik terhadap kisah resmi rezim Suharto
hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI.
xix
Sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti
stereotipstereotip
basi. Sepanjang kekuasaan Suharto PKI digambarkan sebagai
momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu
pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan.
Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai
iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI
sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang
tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia.
Jika kita bersedia berpikir jernih tentang pertanyaan siapa yang
bertanggung jawab atas G-30-S maka kita harus menelisik apa yang
sesungguhnya terjadi pada awal Oktober 1965. Benarkah gerakan itu
merupakan pemberontakan setiap orang di dalam PKI? Benarkah gerakan
itu merupakan percobaan kudeta? Rezim Suharto bersikukuh bahwa
G-30-S adalah keduanya: pemberontakan dan percobaan kudeta. Bab
satu buku ini mencoba merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada beberapa hari pertama Oktober 1965 tanpa ada kesimpulan
sebelumnya.
Saya menulis bab ini supaya paparannya cocok dengan salah
satu dari empat penjelasan yang saya ulas di bab 2. Informasi dasar
yang
disajikan pada bab 1 mengungkap bahwa G-30-S aneh; beberapa aspek
memberi kesan gerakan ini merupakan percobaan kudeta, aspek-aspek
lain tidak menunjukkan adanya kudeta. Narasi apapun yang memuaskan
tentang kejadian-kejadian pada awal Oktober 1965 pertama-tama harus
mengakui keganjilan-keganjilan ini, kemudian mencoba menjelaskannya.
Satu masalah yang saya perhatikan di dalam kebanyakan buku
tentang G-30-S bersifat metodologis. Biasanya, seorang penulis mulai
dengan sebuah kesimpulan tentang siapa yang bertanggung jawab atas
G-30-S (PKI, Sukarno, Suharto, dst.), lalu menimbang
penjelasanpenjelasan
alternatif yang mungkin sebelum menyimpulkan bahwa
hipotesanya benar. Sejarawan tidak bekerja dengan cara seperti yang
digunakan ilmuwan pengetahuan alam – tingkah laku manusia dan
peristiwa-peristiwa sosial tidak diatur oleh hukum-hukum alam – tetapi
mereka kadang-kadang mengikuti beberapa prinsip fundamental yang
sama. Satu prinsip adalah menghindari untuk memulai suatu penelitian
dengan kesimpulan-kesimpulan di tangan. Kita tak akan pernah
menemukan sesuatu yang baru dengan cara seperti ini.
xx
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
Masalah besar lain yang muncul dalam kepustakaan yang sudah
ada adalah kurangnya penilaian kritis terhadap sumber-sumber yang
digunakan. Dalam hal G-30-S, sumber-sumbernya memang secara
khusus bermasalah. Transkrip interogasi (Berita Acara Pemeriksaan atau
Proses Verbal) dan kesaksian di pengadilan militer – dua jenis sumber
yang sering digunakan dalam buku-buku tentang G-30-S – tidak dapat
dikatakan andal atau pun ajeg. Seorang sejarawan selalu harus berpikir
tentang konteks tempat sumber-sumber diproduksi dan mengajukan
pertanyaan yang sangat penting: bagaimana seseorang yang mengklaim
tahu sesuatu sesungguhnya tahu tentang hal itu?
Salah satu sumber yang paling andal tentang G-30-S adalah Visum
et Repertum yang dilakukan para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Subroto terhadap jazad tujuh perwira yang ditemukan di
Lubang Buaya. Justru sumber inilah yang tidak diumumkan oleh
pemerintah
Suharto. Salinan laporan visum tersembunyi hingga 1980-an,
ketika dokumen itu ditemukan seorang ilmuwan dari Cornell University.4
Dari laporan ini kita cukup tahu bahwa apa yang dilaporkan di media
yang dikontrol Angkatan Darat pada akhir 1965 tentang bagaimana
para perwira dibunuh ternyata palsu. Para perwira tersebut terbunuh
oleh tembakan dan luka-luka tusukan bayonet; mereka tidak diiris-iris
ribuan kali dengan silet, mata mereka tidak dicungkil, dan mereka
tidak
pula dimutilasi. Jika kita berpegang pada laporan para dokter, seperti
yang saya pikir seharusnya demikian, maka kita harus berasumsi bahwa
kisah-kisah tentang penyiksaan para perwira merupakan bagian dari
propaganda perang urat syaraf Angkatan Darat terhadap PKI. Kita juga
harus mempertimbangkan kisah-kisah apa tentang G-30-S dari rezim
Suharto yang palsu dan dokumen-dokumen lain mana yang telah
disembunyikan
dari penglihatan kita.
Ketiadaan penilaian kritis terhadap sumber-sumber sudah menggiring
berbagai macam artikel dan buku yang menyajikan argumenargumen
berdasarkan kisah-kisah palsu oleh propagandis, dokumendokumen
palsu, dan spekulasi besar-besaran. Misalnya, tidak kurang
dari tiga buku yang baru saja diterbitkan mengklaim bahwa Presiden
Sukarno entah adalah sang dalang atau salah satu dari sekian dalang
G-30-S.5 Klaim ini tidak berdasar dan absurd. Pada saat menulis buku
ini saya berpikir bahwa klaim tersebut bahkan tidak layak ditanggapi.
xxi
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Tak ada bukti untuknya. Penerbitan ketiga buku ini mendorong saya
untuk menulis sangkalan rinci terhadap klaim yang dibuat sebagai esai
ulasan untuk sebuah jurnal akademik.6
Saya harus menekankan bahwa buku ini hanya tentang G-30-S. Ini
bukan buku tentang kekerasan massal yang muncul setelah gerakan itu
terjadi walaupun di bagian pengantar saya sampaikan beberapa argumen
dasar tentang kekerasan tersebut dan kaitannya dengan G-30-S. Saya
beranggapan bahwa lebih banyak penelitian harus dilakukan tentang
kekerasan massal pasca G-30-S sebelum sebuah analisis ilmiah yang baik
bisa ditulis. Menimbang skalanya, kekerasan pasca G-30-S merupakan
topik yang lebih penting daripada G-30-S itu sendiri. Buku ini
diharapkan
bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut tentang kekerasan massal
pasca G-30-S dengan menyajikan konteks baru untuk memahami
tragedi tersebut. Jika G-30-S lebih jelas mungkin akan lebih mudah
untuk memusatkan perhatian pada topik-topik lain yang berkaitan.
Lebih banyak pula studi-studi yang perlu digarap tentang kudeta
Suharto,
misalnya, bagaimana ia mengambilalih media massa, keuangan negara,
dan birokrasi sipil.
Saya berharap pembaca akan menghargai proses panjang yang
menyertai pembuatan buku ini. Saya menduga beberapa pembaca tak
terlalu paham bagaimana suatu buku diterbitkan oleh penerbit
universitas.
Saya menyerahkan manuskrip bakal buku ini ke University
of Wisconsin Press pada 2004. Seorang editor di badan penerbitan ini
membacanya dan menilai apakah manuskrip tersebut layak diterbitkan. Si
editor mengirim manuskrip ke dua ahli sejarah Indonesia yang kemudian
menulis ulasan mereka, menyampaikan penilaian apakah manuskrip ini
layak diterbitkan, dan apabila layak, perubahan-perubahan apa yang
harus dibuat. Tahap ini disebut ulasan oleh rekan anonim. Dengan
demikian mereka dapat bersikap lebih terus terang dalam menyampaikan
kritik mereka. Saya menerima ulasan tanpa nama ini kurang lebih enam
bulan setelah saya menyerahkan manuskrip. Saya kemudian merevisi
manuskrip untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diidentifi kasi
para pengulas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan.
Saya menyerahkan manuskrip dengan revisi pada 2005. Badan penerbit
menyewa seorang copy editor untuk memeriksa manuskrip, memperbaiki
kesalahan-kesalahan dalam ejaan, tata bahasa, atau tanda baca, dan
xxii
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
mengusulkan perbaikan dalam hal gaya penulisan. Saya menghabiskan
beberapa minggu pada akhir 2005 untuk berkorespondensi dengan copy
editor tentang bermacam-macam masalah. Produk akhir dari proses ini
baru diterbitkan pada September 2006.
Ketelitian serupa juga diberikan dalam proses penerjemahan. Setelah
penerjemah utama menyelesaikan pekerjaannya, dua penerjemah ahli
lainnya memeriksa manuskrip terjemahan kata demi kata dan mengusulkan
perubahan. Versi akhir dari proses ini kemudian dikirimkan ke
seorang copy editor yang berpengalaman. Baru setelah copy editor
memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang ada, manuskrip dikirim ke pembaca
naskah yang melakukan pengecekan tahap akhir. Proses panjang ini
membuat banyak teman-teman kami frustrasi karena lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku ini. Tetapi kami pandang
luar biasa penting untuk menghasilkan terjemahan yang secara tepat
menyampaikan maksud dalam teks aslinya dan sesedikit mungkin
mengandung
kesalahan-kesalahan tipografi s.
Dalam jangka waktu satu setengah tahun setelah edisi bahasa Inggris
buku ini diterbitkan saya telah belajar lebih banyak tentang G-30-S.
Namun, saya menolak godaan untuk menambahkan pengetahuan baru
apa pun ke edisi ini. Saya berharap beberapa tahun lagi, begitu saya
mengumpulkan lebih banyak informasi dan mendengar dari lebih banyak
pembaca, saya akan siap menerbitkan suatu artikel yang menjabarkan
argumen-argumen di dalam buku ini.
CATATAN
1 Lembaga Ketahanan Nasional, Bahan-Bahan Pokok G-30-S/PKI dan
Penghancurannya,
bagian kedua (Maret 1969), 17-18. Edisi yang saya miliki adalah
salinan yang dibuat pada
1982. Seperti dinyatakan pada halaman judul, edisi ini “disalin sesuai
dengan aslinya
oleh
Sekretaris Pokja Balat Lemhannas.”
2 Crouch, “Another Look At the Indonesian Coup,” Indonesia no. 15
(April 1973)
3 Diterbitkan dalam majalah mahasiswa Indonesia di Berlin Barat,
Gotong Royong (Maret
1984).
4 Benedict Anderson, “How did the Generals Die?,” Indonesia no. 43
(April 1987). Catatan
Prof. Anderson tentang tanggapan rezim Suharto terhadap analisisnya
tentang G-30-S
xxiii
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dan pencekalan dirinya dari Indonesia layak dibaca kalangan yang lebih
luas:
“Scholarship
on Indonesia and Raison d’État: Personal Experience,” Indonesia no. 62
(October 1996).
Artikel lain yang juga berharga adalah: “Indonesian Nationalism Today
and in the
Future,”
Indonesia no. 67 (April 1999).
5 Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 2004 (New
Delhi: Abhinav,
2004); Antonie C.A. Dake, Th e Sukarno File, 1965-67: Chronology of a
Defeat (Leiden:
Brill, 2006); Helen-Louise Hunter, Sukarno and the Indonesian Coup: Th
e Untold Story
(Wesport: Praeger, 2007).
6 “Sukarno and the September 30th Movement,” Critical Asian Studies
40: 1 (March
2008).
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
Peta 1. Jakarta, 1965
3
PENDAHULUAN
Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas;
pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi kemudian menjadi masuk
akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan
abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita
tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir.
Blaise Pascal, Pensées (1670)
Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia
modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah
justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan
salah satu babak kejadian yang terpenting. Pada dini hari 1 Oktober
1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal
Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah
mereka di Jakarta, dan dibawa dengan truk ke sebidang areal perkebunan
di selatan kota. Para penculik membunuh Yani dan dua jenderal lainnya
pada saat penangkapan berlangsung. Tiba di areal perkebunan beberapa
saat kemudian pada pagi hari itu, mereka membunuh tiga jenderal
lainnya
dan melempar enam jasad mereka ke sebuah sumur mati. Seorang letnan,
yang salah tangkap dari rumah jenderal ketujuh yang lolos dari penculikan,
menemui nasib dilempar ke dasar sumur yang sama. Pagi hari itu
juga orang-orang di balik peristiwa pembunuhan ini pun menduduki
stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI), dan melalui udara
menyatakan
diri sebagai anggota pasukan yang setia kepada Presiden Sukarno.
4
PENDAHULUAN
Adapun tujuan aksi yang mereka umumkan ialah untuk melindungi
Presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta.
Mereka menyebut nama pemimpin mereka, Letnan Kolonel Untung,
Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa, yang bertanggung
jawab mengawal Presiden, dan menamai gerakan mereka Gerakan
30 September (selanjutnya disebut sebagai G-30-S). Dalam sebuah unjuk
kekuatan, ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki Lapangan
Merdeka (sekarang Lapangan Monas) di pusat kota. Lalu pada sore dan
petang hari 1 Oktober, seperti menanggapi isyarat dari Jakarta,
beberapa
pasukan di Jawa Tengah menculik lima perwira pimpinan mereka.
Kesulitan memahami G-30-S antara lain karena gerakan tersebut
sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui
keberadaannya.
Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya.
Dengan tidak adanya Yani, Mayor Jenderal Suharto mengambil alih
komando Angkatan Darat pada pagi hari 1 Oktober, dan pada petang hari
ia melancarkan serangan balik. Pasukan G-30-S meninggalkan stasiun
RRI dan Lapangan Merdeka yang sempat mereka duduki selama dua
belas jam saja. Semua pasukan pemberontak akhirnya ditangkap atau
melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari 2 Oktober. Di Jawa Tengah,
G-30-S hanya bertahan sampai 3 Oktober. Gerakan 30 September lenyap
sebelum anggota-anggotanya sempat menjelaskan tujuan mereka kepada
publik. Pimpinan G-30-S bahkan belum sempat mengadakan konferensi
pers dan tampil memperlihatkan diri di depan kamera para fotografer.
Kendati bernapas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah
yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Sukarno,
sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto. Sampai saat itu Sukarno
merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka
selama dua dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin
nasional
lain, Mohammad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan
Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru itu. Dengan
karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia tetap
sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan politik dan salah urus
perekonomian pascakemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya sebagai
presiden tidak tergoyahkan. Sebagai bukti popularitasnya, baik G-30-S
maupun Mayor Jenderal Suharto berdalih bahwa segala tindakan yang
mereka lakukan merupakan langkah untuk membela Sukarno. Tidak
5
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
ada pihak mana pun yang berani memperlihatkan pembangkangannya
terhadap Sukarno.
Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong
legitimasi Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan.
Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Suharto secara bertahap,
yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah
selubung usaha untuk mencegah kudeta. Kedua belah pihak tidak berani
menunjukkan ketidaksetiaan terhadap presiden. Jika bagi Presiden
Sukarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai “riak kecil di
tengah
samudra besar Revolusi [nasional Indonesia],” sebuah peristiwa kecil
yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan
besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Suharto peristiwa itu
merupakan
tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya
kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno.1 Suharto
menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan
selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang
terkait dengan partai itu. Tentara Suharto menangkapi satu setengah
juta
orang lebih. Semuanya dituduh terlibat dalam G-30-S.2 Dalam salah
satu pertumpahan darah terburuk di abad keduapuluh, ratusan ribu
orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafi liasi dengannya,
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai
pertengahan 1966.3 Dalam suasana darurat nasional tahap demi tahap
Suharto merebut kekuasaan Sukarno dan menempatkan dirinya sebagai
presiden de facto (dengan wewenang memecat dan mengangkat para
menteri) sampai Maret 1966. Gerakan 30 September, sebagai titik
berangkat rangkaian kejadian berkait kelindan yang bermuara pada
pembunuhan massal dan tiga puluh dua tahun kediktatoran, merupakan
salah satu di antara kejadian-kejadian penting dalam sejarah
Indonesia,
setara dengan pergantian kekuasaan negara yang terjadi sebelum dan
sesudahnya: proklamasi kemerdekaan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus
1945, dan lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998.
Bagi kalangan sejarawan, G-30-S tetap merupakan misteri. Versi
resmi rezim Suharto – bahwa G-30-S adalah percobaan kudeta PKI
– tidak cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai politik yang
beranggotakan orang sipil semata-mata dapat memimpin sebuah operasi
militer. Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah personil
6
PENDAHULUAN
militer untuk melaksanakan keinginan mereka? Bagaimana mungkin
sebuah partai yang terorganisasi dengan baik, dengan reputasi sebagai
partai yang berdisiplin tinggi, merencanakan tindak amatiran semacam
itu? Mengapa partai komunis yang dipimpin prinsip-prinsip revolusi
Leninis mau berkomplot dalam putsch oleh sepasukan tentara? Mengapa
partai politik yang sedang tumbuh kuat di pentas politik terbuka
memilih
aksi konspirasi? Agaknya tak ada alasan ke arah sana. Di pihak lain,
sukar
dipercaya bahwa G-30-S – seperti dinyatakannya dalam siaran radio yang
pertama – “semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat,” karena memang
ada beberapa tokoh PKI yang jelas ikut memimpin G-30-S bersama
beberapa orang perwira militer. Sejak hari-hari pertama Oktober 1965,
masalah siapa dalang di belakang peristiwa ini telah menjadi
perdebatan
yang tak kunjung reda. Apakah para perwira militer itu bertindak
sendiri,
sebagaimana yang mereka nyatakan, dan kemudian mengundang atau
bahkan menipu beberapa tokoh PKI agar membantu mereka? Ataukah,
justru PKI yang menggunakan sementara perwira militer ini sebagai alat
pelaksana rencana mereka, sebagaimana yang dikatakan Suharto? Atau,
adakah semacam modus vivendi antara para perwira militer tersebut dan
PKI?
Perdebatan juga timbul di sekitar hubungan Suharto dengan G-30-S.
Bukti-bukti tidak langsung memberi kesan bahwa para perencana G-30-S
setidaknya mengharapkan dukungan Suharto; mereka tidak mencantumkan
Suharto dalam daftar jenderal yang akan diculik, dan juga
tidak menempatkan pasukan di sekeliling markasnya. Dua perwira di
antara pimpinan G-30-S adalah sahabat-sahabat pribadi Suharto. Salah
seorang, yaitu Kolonel Abdul Latief, mengaku memberi tahu Suharto
tentang G-30-S sebelumnya dan mendapat restu darinya secara diamdiam.
Benarkah Suharto sudah diberitahu sebelumnya? Informasi apa
yang diberikan G-30-S kepadanya? Apa tanggapan Suharto terhadap
informasi itu? Apakah ia menjanjikan dukungan atau melangkah lebih
jauh dan membantu merencanakan operasi G-30-S? Apakah ia dengan
licik menelikung G-30-S agar dapat naik ke tampuk kekuasaan?
Sampai sekarang dokumen utama yang ditinggalkan oleh G-30-S
hanyalah empat pernyataan yang disiarkan RRI pusat pada pagi dan
siang hari 1 Oktober 1965. Pernyataan-pernyataan itu menampilkan
wajah G-30-S di depan publik dan tentu saja tidak mengungkap peng7
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
organisasian di balik layar dan tujuan yang mendasarinya. Sesudah
tertangkap,
para pimpinan kunci G-30-S tidak mengungkap banyak hal.
Kesaksian mereka di depan pengadilan yang dikenal sebagai Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmilub) lebih mencerminkan keterdesakan sangat
untuk menolak segala dakwaan, ketimbang menjelaskan secara rinci
tentang bagaimana dan mengapa G-30-S dilancarkan. Para terdakwa,
dapat dimengerti, memilih tutup mulut, berbohong, tidak sepenuhnya
berkata benar, dan menghindar demi melin-dungi diri sendiri dan
kawan-kawan mereka, atau melempar kesalahan kepada orang lain. Baik
penuntut umum maupun hakim tidak ambil pusing untuk mengorek
kesaksian-kesaksian mereka yang saling bertentang-tentangan;
pengadilan
memang tidak dimaksudkan untuk menyelidiki kebenaran atas peristiwa
tersebut. Semua hanyalah pengadilan sandiwara belaka. Tidak satu orang
pun yang dibawa ke Mahmilub dibebaskan dari tuntutan. Dari lima
orang pimpinan utama G-30-S, kecuali satu orang, semuanya dinyatakan
terbukti berkhianat, dijatuhi hukuman mati, dan dieksekusi oleh
regu tembak, sehingga dengan demikian menutup setiap kemungkinan
mereka muncul kembali dengan keterangan baru yang lebih rinci dan
akurat tentang gerakan mereka.4
Satu-satunya pemimpin kunci G-30-S yang lolos dari regu tembak,
yaitu Kolonel Abdul Latief, menolak menjelaskan G-30-S secara rinci.
Ketika akhirnya diajukan ke depan pengadilan pada 1978, sesudah
bertahun-tahun dikurung dalam sel isolasi, ia juga tidak memanfaatkan
kesempatan itu untuk menjelaskan bagaimana mereka mengorganisasi
G-30-S. Pidato pembelaannya menjadi terkenal dan tersebar luas karena
satu pernyataannya yang mengejutkan bahwa ia telah memberi tahu
Suharto tentang gerakan itu sebelumnya. Arti penting pernyataan itu
lalu
menutupi kenyataan bahwa Latief tidak menceritakan barang sedikit pun
tentang G-30-S itu sendiri. Sebagian besar pidato pembelaannya
tercurah
pada cekcok yang relatif remeh-temeh tentang keterangan para saksi,
atau pada penje-lasan riwayat hidupnya untuk membuktikan diri sebagai
prajurit yang patriotik. Sesudah 1978, Latief tidak pernah menyimpang
dari pembelaannya dan juga tidak pernah mengurai lebih lanjut
pernyataan-
pernyataannya. Bahkan juga sesudah dibebaskan dari penjara pada
1998, ia tidak memberikan keterangan baru satu patah kata pun.5
Gerakan 30 September dengan begitu telah menghamparkan
8
PENDAHULUAN
sebuah misteri tak terpecahkan bagi para sejarawan. Bukti-bukti yang
terbatas adanya kebanyakan tidak dapat diandalkan. Angkatan Darat
merekayasa sebagian besar bukti ketika menyulut kampanye anti-PKI
dalam bulan-bulan setelah G-30-S, termasuk cerita tentang para
pengikut
PKI yang menyiksa dan menyilet tubuh para jenderal sambil menari-nari
telanjang.6 Terbitan-terbitan yang didukung rezim Suharto bersandar
pada laporan interogasi para tapol, yang setidak-tidaknya beberapa di
antara mereka telah disiksa atau diancam akan disiksa. Banyak di
antara
korban teror militer yang selamat tetap takut untuk berbicara terus
terang
dan jujur. Kedua belah pihak, baik yang kalah (para peserta G-30-S)
maupun yang menang (para perwira Suharto), tidak memberikan keterangan
yang layak dipercaya. Hampir semua kesaksian pribadi dan
dokumen tertulis dari akhir 1965 dan selanjutnya tampaknya sengaja
dibuat untuk menyesatkan, mengaburkan, atau menipu.
Oleh karena G-30-S dan pembasmiannya merupakan tindakantindakan
yang dirancang secara rahasia oleh para perwira militer, agen
intelijen, dan agen ganda, sumber-sumber informasi yang lazim dipakai
sejarawan – surat kabar, majalah, dokumen pemerintah, dan pamfl et
– tidak banyak membantu. Dalam buku teksnya tentang sejarah
Indonesia, Merle Ricklefs menulis bahwa “ruwetnya panggung politik”
pada 1965 dan “banyaknya bukti-bukti yang mencurigakan” menyebabkan
penyimpulan tegas mengenai G-30-S hampir tidak mungkin.7
Rekan-rekannya sesama sejarawan asal Australia, Robert Cribb dan Colin
Brown, berpendapat bahwa “alur kejadian yang tepat” itu “diselubungi
ketidakpastian.” Menjelang G-30-S terjadi, “desas-desus, kabar burung,
dan penyesatan berita yang disengaja menyesaki udara.”8 Kebanyakan
sejarawan yang menulis mengenai Indonesia dan berusaha memecahkan
misteri ini mengaku tidak begitu yakin dengan penjelasan yang mereka
tawarkan.
Gerakan 30 September adalah sebuah misteri pembunuhan yang
pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah nasional
Indonesia. Hal-hal yang dipertaruhkan dalam “kontroversi tentang
dalang” sungguh besar. Rezim Suharto membenarkan tindakan represi
berdarahnya terhadap PKI dengan menekankan bahwa partai itulah
yang memulai dan mengorganisasi G-30-S. Walaupun aksi-aksi pada
1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan berskala kecil dan
9
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh kalangan
sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI
yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis. Gerakan 30
September dilihatnya sebagai tembakan salvo pembuka dari PKI untuk
sebuah revolusi sosial. Dalam membangun ideologi pembenaran bagi
kediktatorannya, Suharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa
dengan menumpas G-30-S. Rezim Suharto terus-menerus menanamkan
peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda
negara: buku teks, monumen, nama jalan, fi lm, museum, upacara
peringatan,
dan hari raya nasional. Rezim Suharto memberi dasar pembenaran
keberadaannya dengan menempatkan G-30-S tepat pada jantung
narasi historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak
terperikan. Pernyataan bahwa PKI mengorganisasi G-30-S, bagi rezim
Suharto, bukan sekadar fakta biasa; tetapi sang fakta sejarah
mahabesar,
yang menjadi sumber pokok keabsahan rezimnya.
Di bawah Suharto, antikomunisme menjadi agama negara, lengkap
dengan segala situs, upacara, dan tanggal-tanggalnya yang sakral. Para
perwira Suharto mengubah situs pembunuhan tujuh perwira Angkatan
Darat di Jakarta pada 1 Oktober 1965, yaitu Lubang Buaya, menjadi
tanah keramat. Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung
perunggu para perwira yang tewas, semua berdiri setinggi manusia
dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan
patung para perwira ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap
mengembang, burung khayali yang telah diangkat Indonesia sebagai
lambang kebangsaannya.
Di dinding seputar monumen dengan tinggi sebatas tatapan
mata rezim Suharto menetakkan relief dari perunggu, mirip dengan
lempengan-lempengan panjang melintang dari abad ke-9 di Candi
Borobudur. Jika pengunjung berjalan menyusuri dinding relief dari kiri
ke kanan, mereka akan melihat versi sejarah Indonesia pascakolonial
yang antikomunis. Dari pemberontakan Madiun 1948 sampai Gerakan
30 September 1965, PKI selalu ditampilkan sebagai pemicu kekacauan.
Relief itu menampilkan sebuah kisah klasik tentang sang pahlawan
(Suharto) yang mengalahkan penjahat keji (PKI) dan menyelamatkan
bangsa dari kehancuran. Tepat di tengah dinding relief digambarkan
adegan perempuan-perempuan berkalung rangkaian bunga dan ber10
PENDAHULUAN
telanjang menari-nari mengitari seorang laki-laki yang tengah melempar
mayat perwira ke dalam sumur. Rekayasa perang urat syaraf yang sarat
dengan citra seks dan kekerasan demikian kuat dituangkan dalam logam
kemudian beroleh status sebagai fakta yang tak terbantahkan. Di depan
dinding relief tertera slogan: “Waspada ...... dan mawas diri agar
peristiwa
sematjam ini tidak terulang lagi.”
Monumen yang dibuka pada 1969 ini dinamai Monumen Pancasila
Sakti.9 Semasa pemerintahan Suharto, Pancasila, lima prinsip
nasionalisme
Indonesia yang diucapkan Sukarno untuk pertama kali pada 1945,
diangkat menjadi ideologi resmi negara. Pancasila dibayangkan sebagai
perjanjian suci bangsa dan Lubang Buaya adalah situs pelanggaran
paling
mengerikan terhadap perjanjian itu. Dengan demikian, monumen ini
menyucikan situs pelanggaran tersebut dan menahbiskan para perwira
yang dibunuh sebagai syuhada-syuhada suci. Sebagai ruang sakral,
Monumen Pancasila Sakti menjadi lokasi penyelenggaraan ritual-ritual
rezim Suharto yang paling penting. Setiap lima tahun semua anggota
parlemen berkumpul di sini, sebelum memulai sidang pertama, untuk
bersumpah setia kepada Pancasila. Setiap tahun pada 1 Oktober, Suharto
dan pejabat terasnya menyelenggarakan upacara di hadapan monumen
tersebut untuk menyatakan janji kesetiaan mereka yang abadi kepada
Pancasila.10 Semalam sebelumnya semua stasiun televisi diwajibkan
menyiarkan
fi lm buatan pemerintah, Pengkhianatan Gerakan 30 September/
PKI (1984). Film sepanjang empat jam yang melelahkan ini bercerita
Gambar 1. Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta. Foto: John
Roosa
11
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Gambar 2. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti. Perempuan-perempuan
anggota PKI
menari telanjang, sementara laki-laki komunis membunuh para perwira
Angkatan Darat dan
membuang mayat-mayat mereka ke Lubang Buaya. Foto: John Roosa
12
PENDAHULUAN
mengenai penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di
Jakarta, dan menjadi tontonan wajib setiap tahun bagi anak-anak
sekolah.
Film ini dimulai dengan sorotan berkepanjangan terhadap monumen
itu, diiringi pukulan ratapan genderang yang murung. Lubang Buaya
ditanamkan dalam kesadaran publik sebagai tempat PKI melakukan
kejahatan besar.
Di samping Monumen Pancasila Sakti rezim Suharto membangun
Museum Pengkhianatan PKI pada 1990. Hampir semua dari 42 diorama
di dalam museum itu, yang kaca-kacanya dipasang rendah agar anak-anak
sekolah yang berkunjung dapat melihatnya, menggambarkan babakbabak
kekejaman PKI dari 1945 sampai 1965. Apa yang dipelajari para
pengunjung museum adalah pelajaran moral sederhana: bahwa sejak
kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya, PKI bersifat antinasional,
antiagama, agresif, haus darah, dan sadis.11 Museum itu tidak
menawarkan
penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang
kepemilikan pribadi dan kapitalisme; tidak ada sejarah mengenai
sumbangan PKI dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme
Belanda, atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani
secara damai.12 Adegan-adegan kekerasan dirancang untuk meyakinkan
pengunjung tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap PKI di
tengah kehidupan berbangsa.
Bagi rezim Suharto, kejadian 1 Oktober 1965 menyingkap kebenaran
tentang sifat PKI yang khianat dan antinasional. Ia mendiskreditkan
prinsip yang digalakkan Sukarno, yaitu Nasakom – akronim yang
menyatakan
azas tritunggal nasionalisme, agama, dan komunisme – yang
memberi keabsahan bagi PKI sebagai komponen dasariah dalam
perpolitikan
Indonesia. Rupa-rupanya G-30-S menandai adanya “pemutusan
imanen” dengan (meminjam istilah fi lsuf Prancis Alain Badiou)
“pengetahuan
yang telah dilembagakan,” dan “meyakinkan” orang-orang yang
akan menjadi setia kepada kebenaran gerakan tersebut. Seperti
dinyatakan
Badiou, “Bersetia kepada suatu peristiwa adalah bergerak dalam situasi
yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir ... [tentang]
situasi
tersebut sesuai dengan ‘peristiwa’ itu.”13 Rezim Suharto menampilkan
diri
sebagai wahana, yang dapat digunakan bangsa Indonesia agar tetap setia
kepada kebenaran peristiwa 1 Oktober 1965. Kebenaran yang dinyatakan
peristiwa itu ialah bahwa PKI jahat dan pengkhianat yang tak dapat
13
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
disadarkan lagi. Rezim Suharto akan tampak sebagai semacam “proses
kebenaran” jika kebenaran dirumuskan sesuai dengan cara Badiou
merumuskannya,
yaitu “suatu proses nyata tentang kesetiaan kepada suatu
peristiwa.” Maka semua pejabat negara harus mengucapkan sumpah
setia kepada Pancasila dan bersumpah bahwa mereka (serta keluarga
masing-masing) bersih dari kaitan apa pun dengan PKI dan G-30-S.
Namun, jika kita menggunakan kerangka berpikir Badiou dalam berpikir
tentang G-30-S, kita akan menemukan bahwa G-30-S bukanlah “suatu
peristiwa” menurut pengertian Badiou karena peristiwa itu sedikit
banyak
merupakan hasil rekayasa ex post facto (dari sesuatu yang sudah
terjadi).
Dengan operasi-operasi perang urat syaraf rezim Suharto berdusta
tentang
cara bagaimana enam orang jenderal tersebut dibunuh (menciptakan
kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi) dan tentang identitas
para
pelaku yang bertanggung jawab (menuduh setiap anggota PKI bersalah).
Gerakan 30 September tidak sama dengan revolusi Indonesia 1945-
1949, yang merupakan “peristiwa-kebenaran” (truth-event) bagi Sukarno.
Revolusi itu bersifat terbuka dan umum. Jutaan orang mengambil bagian
di dalamnya (sebagai gerilyawan, kurir, juru rawat, dermawan, dll.).
Untuk menghancurkan prinsip rasial yang menjadi tumpuan pemerintah
kolonial Belanda, revolusi tampil membela prinsip-prinsip universal
pembebasan umat manusia.14 Sebaliknya, G-30-S adalah kejadian yang
berlangsung cepat, berskala kecil, bersifat tertutup, dan masyarakat
Gambar 3. Museum Pengkhianatan PKI, Lubang Buaya, Jakarta. Foto: John
Roosa
14
PENDAHULUAN
umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya.
Hanya rezim Suharto saja yang mengaku mampu melihat kebenaran
peristiwa tersebut. Dengan demikian rezim itu setia kepada sesuatu
yang
bukan peristiwa, kepada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri.
“Kesetiaan
kepada citra khayali [simulacrum]” tulis Badiou, “meniru sebuah proses
kebenaran yang aktual,” namun memutarbalikkan aspirasi universal
tentang “peristiwa kebenaran” yang sejati. Ia hanya mengakui
sekumpulan
orang tertentu (misalnya orang-orang nonkomunis) sebagai peserta dalam
kebenaran suatu peristiwa dan menciptakan “perang dan pembantaian”
sebagai upaya membasmi siapa pun yang berada di luar kumpulan yang
telah diakui tersebut.15
Sampai penghujung rezim Suharto pada 1998 pemerintah dan
pejabat militer Indonesia menggunakan hantu PKI untuk menanggapi
setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata-kata kunci
dalam wacana rezim itu adalah “bahaya laten komunisme.”16 Agen-agen
tersembunyi dari Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) senantiasa mengendap,
siap merongrong pembangunan ekonomi dan tertib politik. Pembasmian
PKI yang tak kunjung usai, sungguh-sungguh merupakan raison d’être
(alasan keberadaan) bagi rezim Suharto. Landasan hukum asali yang
dipakai rezim ini untuk menguasai Indonesia selama lebih dari 30 tahun
adalah perintah Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965, yang memberi
wewenang kepada Suharto untuk “memulihkan ketertiban.” Perintah
itu dikeluarkan dalam situasi darurat. Tapi bagi Suharto situasi
darurat
itu tidak pernah berakhir. Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada masa itu tetap
dipertahankan
sampai akhir kekuasaan rezim (dengan penggantian nama
menjadi Bakorstanas pada 1988). Badan ini memungkinkan personil
militer bertindak di luar dan di atas hukum dengan dalih keadaan
darurat.17 Pengambilalihan kekuasaan oleh Suharto sejalan dengan
ucapan teoretisi politik Carl Schmitt, “Sang penguasa adalah dia yang
mengambil keputusan akan adanya kekecualian.”18 Bagi Suharto, G-30-S
adalah sebuah kekecualian; sebuah patahan dalam tertib hukum yang
normal, yang memerlukan kekuasaan ekstra legal untuk memberantasnya.
Gerakan 30 September bukan sekadar “riak kecil di tengah samudra
luas Revolusi Indonesia,” seperti yang dinyatakan Sukarno, penguasa di
atas kertas.19 Namun teori Schmitt perlu kualifi kasi tersendiri untuk
15
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
menangani kasus-kasus ketika penguasa memutuskan bahwa “kekecualian”
harus menjadi norma.20 Suharto memutuskan bahwa kekecualian
dari 1 Oktober 1965 bersifat permanen. Rezimnya mempertahankan
“bahaya laten komunisme” dan menyandera Indonesia dalam keadaan
darurat terus-menerus. Seperti dikatakan Ariel Heryanto, komunisme
tidak pernah mati di Indonesia-nya Suharto.21 Rezim Suharto tidak
dapat
membiarkan komunisme mati, karena ia menetapkan dirinya dalam
hubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan citra
khayali (simulacrum) ‘komunisme’.
GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN AMERIKA SERIKAT
Gerakan 30 September merupakan peristiwa signifi kan dan bukan hanya
bagi Indonesia. Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia pada
1965, Marshall Green, berpendapat bahwa G-30-S merupakan salah
satu saat paling berbahaya bagi AS semasa perang dingin. Ia
menafsirkan
gerakan itu sebagai “usaha kudeta komunis,” yang jika berhasil, dapat
mengubah Indonesia menjadi negara komunis yang bersekutu dengan
Uni Soviet dan/atau Tiongkok. Dalam wawancara di televisi pada 1997
ia menyatakan, “Saya kira [G-30-S] ini merupakan peristiwa yang sangat
penting di dunia, dan saya tak yakin pers dan masyarakat umum pernah
menganggapnya demikian. Dan saya tidak beranggapan bahwa saya
berkata begitu semata-mata karena saya ada di sana waktu itu: Saya
kira
benar – bahwa inilah bangsa yang sekarang merupakan bangsa terbesar
keempat di dunia ini ... akan menjadi komunis, dan memang nyaris
demikian.”22
Serangan Suharto terhadap kaum komunis dan perebutan kekuasaan
presiden yang dilancarkannya berakhir pada pembalikan sepenuhnya
peruntungan AS di Indonesia. Hampir dalam semalam pemerintah
Indonesia berubah dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin
dengan garang menyuarakan netralitas dan antiimperialisme menjadi
rekanan pendiam yang patuh kepada tatanan dunia AS. Sebelum G-30-S
terjadi, kedutaan AS telah memulangkan hampir semua personil mereka
dan menutup konsulat-konsulatnya di luar Jakarta, karena
gelombanggelombang
demonstrasi militan yang dipimpin PKI. Presiden Sukarno
16
PENDAHULUAN
kelihatannya menutup mata dan merestui aksi-aksi itu dengan tidak
memberikan perlindungan keamanan yang cukup bagi konsulat-konsulat
AS. Sementara serangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah AS
sudah
begitu mengkhawatirkan, kaum buruh mengambil alih perkebunanperkebunan
dan sumber-sumber minyak milik perusahaan-perusahaan
AS, dan pemerintah Indonesia mengancam akan menasionalisasi
perusahaan-
perusahaan tersebut. Sejumlah pejabat pemerintah AS sempat
mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali.
Tampaknya Washington harus melupakan Indonesia dan menganggapnya
sebagai bagian dari dunia komunis. Sebuah laporan intelijen
tingkat tinggi yang disiapkan awal September 1965 mengatakan bahwa,
“Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal penting tertentu sudah
bertindak seperti sebuah negara Komunis, dan lebih secara terbuka
memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis.” Laporan
itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam waktu dua atau
tiga tahun, akan sepenuhnya didominasi PKI.23
Lepasnya Indonesia dari pengaruh AS akan menjadi kehilangan
besar, yang jauh lebih mahal daripada lepasnya Indocina. Dalam politik
luar negeri AS setelah Perang Dunia Kedua, Indonesia dianggap sebagai
domino terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya karena bobot demografi
s sebagai negeri berpenduduk terbesar kelima di dunia dan keluasan
geografi s sebagai kepulauan yang terbentang 3.000 mil lebih dari
timur
ke barat, tapi juga karena sumber daya alamnya yang melimpah ruah.
Indonesia adalah sumber minyak, timah, dan karet yang penting. Dengan
investasi lebih banyak, Indonesia akan menjadi produsen bahan mentah
yang lebih besar lagi, termasuk emas, perak, dan nikel. Seperti
dikatakan
sejarawan Gabriel Kolko, bahwa AS pada awal 1950-an “telah menyerahkan
Indonesia di bawah pengaruh ekonomi Jepang”; minyak, mineral,
logam, dan tanaman pangan dari Indonesia akan menghidupi
industrialisasi
Jepang. “Keprihatinan utama” AS adalah “keamanan Jepang,
yang aksesnya ke negeri kepulauan dengan sumber alam kaya raya itu
harus dijaga agar tetap aman berada di kubu AS.”24 Penilaian Kolko
disusun berdasarkan penyataan kebijakan Dewan Keamanan Nasional
tahun 1952 yang berjudul, “United States Objectives and Courses of
Action with Respect to Southeast Asia” (Tujuan dan Arah Tindakan
Amerika Serikat untuk Asia Tenggara). Para pembuat kebijakan dalam
17
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
pemerintahan Truman melihat kawasan ini dari segi sumber daya alam:
“Asia Tenggara, khususnya Malaya dan Indonesia, merupakan sumber
utama dunia bagi karet alam dan timah, dan produsen minyak bumi,
serta komoditi lain yang penting secara strategis.” Jatuhnya kawasan
ini
ke tangan komunis (atau, sejatinya kekuatan lokal mana pun yang ingin
membatasi ekspor sumber daya alam tersebut) akan menghambat
industrialisasi
Jepang, dan hal ini akan “sangat mempersulit upaya mengalangi
Jepang untuk pada akhirnya menyesuaikan diri dengan komunisme.”25
Pemerintah Eisenhower mengeluarkan pernyataan politik serupa tentang
Asia Tenggara dua tahun kemudian, yang mengulangi bahasa memorandum
terdahulu hampir kata demi kata.26
Washington menganggap kemungkinan jatuhnya pemerintah
Indonesia di bawah kekuasaan komunis sebagai hari kiamat. Sikapnya
mempertahankan garis melawan komunisme di Indocina antara lain
didorong keinginan melindungi Indonesia. Dalam logika teori domino,
negeri-negeri Indocina yang relatif tidak begitu strategis harus
diamankan
dari komunisme agar negeri-negeri yang lebih penting di Asia Tenggara
dapat dipagari dari pengaruhnya. Dalam pidatonya pada 1965, Richard
Nixon membenarkan pemboman atas Vietnam Utara sebagai alat untuk
melindungi “potensi mineral yang luar biasa” di Indonesia.27 Dua tahun
kemudian ia menyebut Indonesia sebagai “anugerah terbesar di wilayah
Asia Tenggara,” dan merupakan “timbunan sumber daya alam terkaya
di kawasan itu.”28 Pasukan darat yang mulai memasuki Vietnam sejak
Maret 1965 akan menjadi tidak berguna jika kaum komunis menang di
negeri yang lebih besar dan lebih strategis. Penguasaan Indonesia oleh
PKI
akan membuat intervensi di Vietnam sia-sia belaka. Pasukan Amerika
Serikat sibuk bertempur di pintu gerbang, sementara musuh sudah berada
di dalam, akan segera menduduki istana, dan menjarah-rayah
gudanggudang
simpanan.
Dalam minggu-minggu sebelum G-30-S beraksi, para pembuat
kebijakan di Washington saling mengingatkan diri, agar perang di
Vietnam tidak sampai mengalihkan perhatian mereka dari situasi di
Indonesia yang sama daruratnya. Pertemuan antara sekelompok kecil
pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri George
Ball di akhir Agustus 1965 menegaskan bahwa Indonesia paling tidak
sama penting dengan seluruh Indocina. Kelompok ini juga menegaskan
18
PENDAHULUAN
bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh sayap kiri di Indonesia sudah
dekat. Menurut salah seorang pejabat yang hadir, William Bundy,
kelompok tersebut percaya bahwa pengambilalihan kekuasaan seperti itu
akan menimbulkan “efek menjepit sangat kuat bagi kedudukan
negerinegeri
nonkomunis di Asia Tenggara.”29
Dalam renungan refl ektifnya, Robert McNamara, Menteri Pertahanan
dalam pemerintahan Kennedy dan Johnson, mengatakan bahwa
AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Indocina setelah
pembasmian
kaum komunis di Indonesia oleh Suharto. Begitu domino besar di
Asia Tenggara sudah aman di tangan tentara Indonesia, para pembuat
kebijakan AS harusnya menyadari bahwa Vietnam sebenarnya tidak
sepenting seperti yang mereka pikirkan semula. “Kekalahan permanen”
PKI di Indonesia, menurut pengakuannya sekarang, “telah mengurangi
pertaruhan riil AS di Vietnam secara substansial.”30 Walaupun dalam
sebuah memorandum 1967 McNamara telah menyebut penghancuran
PKI sebagai alasan untuk menghentikan langkah AS meningkatkan
perang, ia tidak mendorong dilakukannya peninjauan kembali kebijakan
AS secara menyeluruh.31 Perang pada gilirannya memperoleh logikanya
sendiri, yang terpisah dari teori domino. Kendati memiliki pemahaman
mengenai implikasi dari kejadian-kejadian di Indonesia, McNamara
tetap terpaku dalam kerangka pikir yang menghendaki, pada satu pihak,
kemenangan AS dalam perang Vietnam, atau pada pihak lain, suatu cara
pengunduran diri dari Vietnam tanpa kehilangan muka bagi pemerintah
AS. Para pembuat kebijakan gagal memahami bahwa setelah 1965 “hanya
sedikit domino-domino yang tertinggal, dan kecil kemungkinannya
mereka akan ikut roboh.”32
Walaupun tersita oleh urusan Indocina pada 1965, Washington
sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G-30-S dan
merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Sukarno
dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin
tamat dengan sekali pukul. Tentara Suharto melakukan apa yang tidak
mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun
telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu
menghabisi
gerakan komunis di negerinya. Dalam sepuluh hari setelah G-30-S
meletus, wartawan New York Times Max Frankel sudah mencatat bahwa
suasana Washington menjadi cerah. Artikel Max Frankel berjudul “U.S.
19
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Is Heartened by Red Setback in Indonesia Coup” (AS Gembira karena
Kekalahan Kaum Merah dalam Kudeta di Indonesia). Ia mengamati
bahwa sekarang ada “harapan, padahal baru dua pekan lalu hanya ada
keputusasaan mengenai negeri berpenduduk terbesar kelima di bumi itu,
yang dengan 103 juta penduduknya di 4.000 pulau memiliki sumber
daya melimpah tapi belum dimanfaatkan dan menduduki salah satu
posisi paling strategis di Asia Tenggara.”33
Ketika berita-berita pembantaian mulai berdatangan sepanjang
bulan-bulan berikutnya, harapan Washington justru membesar. Pada Juni
1966, seorang penulis editorial utama New York Times, James Reston,
menyebut “transformasi biadab” di Indonesia sebagai “secercah cahaya
di
Asia.”34 Laporan utama majalah Time menyebut naiknya Suharto sebagai
“kabar terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.”35
Wakil
Menteri Muda Luar Negeri Alexis Johnson percaya bahwa “pembalikan
gelombang pasang komunis di Indonesia yang besar itu” merupakan
“peristiwa yang bersama perang Vietnam mungkin merupakan titik
balik sejarah terpenting di Asia dalam dasawarsa ini.”36 Seperti
dinyatakan
Noam Chomsky dan Edward Herman, pembantaian di Indonesia
merupakan “pembantaian bermaksud baik” dan “teror yang konstruktif”
karena melayani kepentingan politik luar negeri AS. Sementara
Washington
mengemukakan setiap pelanggaran hak asasi manusia di blok Soviet
sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam perang dingin, ia mengabaikan,
memberi pembenaran, atau bahkan bersekongkol dalam kejahatan yang
dilakukan oleh pemerintah-pemerintah yang bersekutu dengan AS.37
MEMIKIRKAN KEMBALI GERAKAN
Gerakan 30 September dengan begitu menjadi pemicu serangkaian
kejadian: penumpasan PKI, pengambilalihan kekuasaan negara oleh
tentara, dan pergeseran tajam posisi strategis Amerika Serikat di Asia
Tenggara. Saya menyadari arti penting peristiwa-peristiwa ini saat
melakukan penelitian lapangan di Indonesia pada awal 2000. Namun
saya tidak bermaksud menulis tentang G-30-S karena saya menganggapnya
sebuah misteri yang tak dapat ditembus, dan tidak ada hal baru yang
dapat ditulis mengenainya. Versi rezim Suharto jelas patut
dipertanyakan,
20
PENDAHULUAN
jika bukan sama sekali salah, tapi kelangkaan bahan mempersulit orang
mengajukan versi tandingan. Tanpa informasi baru mengenai G-30-S,
orang hanya dapat mengunyah ulang fakta-fakta yang sudah diketahui
umum tidak memuaskan dan menambah spekulasi yang sudah demikian
banyak. Penelitian sejarah lisan yang saya lakukan terpusat pada
akibat
sesudah G-30-S terjadi. Perhatian saya terutama pada pengalaman mereka
yang selamat dari pembunuhan massal dan penahanan.38 Gerakan 30
September itu sendiri tampaknya dapat disamakan dengan peristiwa
pembunuhan John F. Kennedy dalam sejarah AS – sebuah topik yang
cocok bagi mereka yang gemar teori konspirasi atau “deep politics”
(politik
terselubung).39
Saya mulai yakin bahwa ada hal baru yang dapat diketengahkan
mengenai G-30-S saat menemukan dokumen yang ditulis almarhum
Brigadir Jenderal M.A. Supardjo. Menurut pengumuman radio yang
disiarkan G-30-S pada pagi 1 Oktober 1965, ia adalah salah satu dari
empat wakil komandan di bawah Letkol Untung. Saya tertarik kepada
Supardjo karena ia merupakan salah satu dari sekian banyak keganjilan
dalam G-30-S: mungkin untuk pertama kali dalam sejarah pemberontakan
dan kup seorang jenderal menjadi bawahan seorang kolonel.
Mengapa Letkol Untung menjadi komandan dan Brigjen Supardjo
menjadi wakil komandan? Kebetulan saya bertemu dengan salah satu
putra Supardjo di rumah seorang eks tapol. Saya berbicara dengannya
dalam kesempatan itu dan beberapa pertemuan lain kemudian mengenai
bagaimana ibu dan delapan saudaranya dapat bertahan dalam pemiskinan
dan stigmatisasi yang mereka alami setelah 1965. Tergerak oleh
keingintahuan, saya lalu mendatangi penyimpanan arsip militer di
Dinas Dokumentasi Museum Satria Mandala, Jakarta, untuk membaca
pernyataan Supardjo di Mahmilub pada 1967 dan bukti-bukti yang
diajukan mahkamah kepadanya. Di situlah, hampir pada ujung bundel
terakhir dokumen pengadilan, pada bagian yang ditandai “Barang-Barang
Bukti,” saya menemukan analisis yang ditulisnya mengenai kegagalan
G-30-S. Awalnya saya mengira bahwa dokumen itu palsu atau tidak
dapat digunakan. Saya belum pernah melihat dokumen itu disebut dalam
tulisan-tulisan ilmiah mengenai G-30-S. Jika memang dokumen itu
otentik, seharusnya ada orang yang pernah menulis sesuatu mengenainya.
Tapi, setelah mempelajari naskah itu, saya berkesimpulan bahwa
21
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
dokumen itu tidak dapat lain dari apa yang menampak: sebuah analisis
pascaperistiwa yang ditulis Supardjo dengan jujur. Belakangan saya
mengetahui
Jenderal A.H. Nasution (yang berhasil lolos dari penggerebekan
G-30-S pagi itu) memuat kutipan dari dokumen itu dalam otobiografi nya
yang berjilid-jilid.40 Nasution tidak memberi komentar apa-apa. Selama
bertahun-tahun para sarjana mengabaikan dokumen tersebut begitu
saja.41 Dokumen selengkapnya tampil pertama kali dalam bentuk cetakan
pada 2004 (setelah saya menyelesaikan draft pertama buku ini). Victor
Fic (almarhum) memasukkan terjemahan dokumen ini dalam bukunya
yang terbit di India.42 Pengabaian yang begitu lama terhadap dokumen
tersebut sungguh disayangkan. Dokumen ini merupakan sumber utama
yang memberi informasi paling banyak mengenai G-30-S karena ditulis
oleh orang yang paling dekat dengan para pelaku inti selama gerakan
berlangsung. Supardjo menulis dokumen itu sekitar 1966 saat ia
masih dalam persembunyian. Ia baru ditangkap pada 12 Januari 1967.
Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai
hubungan dengan G-30-S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang
mereka lakukan. Sebagai sebuah dokumen internal, dokumen itu lebih
andal daripada kesaksian-kesaksian para pelaku yang diberikan di depan
interogator dan mahkamah militer.
Minat saya kepada G-30-S semakin diperkuat ketika, lagi-lagi
secara tidak sengaja, bertemu dengan mantan perwira militer yang
namanya disebut melalui siaran radio sebagai wakil komandan G-30-S:
Heru Atmodjo. Ia seorang letnan kolonel Angkatan Udara. Hampir
sepanjang hari pada 1 Oktober 1965 Atmodjo bersama Supardjo dan
dipenjara bersama dengannya pula pada 1967-68. Ia mengonfi rmasi
keaslian dokumen Supardjo itu. Ia bahkan pernah diberi salinannya
oleh Supardjo untuk dibaca di dalam penjara.43 (Menurut Atmodjo,
dokumen-dokumen biasanya diselundupkan keluar-masuk penjara
oleh para penjaga yang simpati). Atmodjo juga mengonfi rmasi banyak
penegasan yang dikemukakan Supardjo dalam dokumen itu. Saya
berulang kali berbicara dengan Atmodjo selama tiga tahun dan
mengadakan
empat wawancara yang direkam dengannya.
Setelah membaca dokumen Supardjo dan berbicara dengan Heru
Atmodjo, saya berkesimpulan perlu ada analisis baru mengenai G-30-S.
Lalu, saya mulai melakukan pengumpulan informasi yang lebih terarah
22
PENDAHULUAN
dan sistematis. Mengingat sifat persoalannya, saya harus berpikir
seperti
detektif – yang kadang-kadang memang harus dilakukan sejarawan. Saya
berhasil menemui seorang kader tinggi PKI yang berpengetahuan luas
mengenai Biro Chusus, organisasi rahasia yang berperan penting dalam
G-30-S. Ia belum pernah berbicara kepada wartawan atau sejarawan
siapa pun mengenai pengalamannya. Ia berbicara kepada saya dengan
syarat, saya tidak mengungkap nama atau informasi apa saja yang dapat
membuatnya dikenali. Ia sudah tua dan meniti hidup dengan tenang dan
tidak mau terlibat dalam kontroversi. Dalam naskah ini saya memberinya
nama samaran, Hasan.44
Bersama beberapa rekan di Indonesia saya mewawancarai empat
orang yang berpartisipasi dalam G-30-S, empat kader tinggi PKI, dan
beberapa orang lain yang cukup mengetahui masalah G-30-S. Salah
seorang mantan pimpinan PKI yang saya wawancarai menyerahkan
salinan dari analisis mengenai G-30-S yang ditulis temannya, almarhum
Siauw Giok Tjhan.45 Sebelum Oktober 1965 Siauw adalah pemimpin
utama Baperki, organisasi Tionghoa Indonesia yang besar dan pendukung
Presiden Sukarno.46 Siauw, yang dipenjara selama 12 tahun, menulis
analisisnya
berdasarkan diskusi dan wawancaranya dengan sesama tahanan.
Analisisnya, oleh karena itu, mencerminkan pendapat kolektif dari para
tahanan politik mengenai G-30-S.
Dengan jatuhnya Suharto pada Mei 1998, banyak penulis yang
memanfaatkan kebebasan pers untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang
kritis terhadap versi resmi tentang peristiwa 1965. Mantan wakil
perdana
menteri pertama di zaman Sukarno, yakni Subandrio, yang dipenjara
selama Suharto berkuasa, menerbitkan analisisnya mengenai G-30-S
pada 2001.47 Mantan Menteri Panglima Angkatan Udara, Omar Dani,
memberikan wawancara di media massa dan membantu sebuah tim
penulis untuk menyusun biografi nya.48 Sebuah tim penulis yang secara
tidak resmi mewakili korps Angkatan Udara menerbitkan keterangan
rinci mengenai kejadian-kejadian di pangkalan Halim.49 Bermunculannya
berbagai penerbitan baru ini juga membantu meyakinkan saya
bahwa analisis baru yang lebih menyeluruh mengenai G-30-S memang
diperlukan.
Sementara para korban Suharto menerbitkan cerita mereka, pemerintah
AS menyiarkan seberkas dokumen yang sudah dideklasifi kasikan
23
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
mengenai kejadian-kejadian di Indonesia dalam 1965-1966. Berkas itu
sebagian besar berupa memorandum dari pejabat pemerintahan L.B.
Johnson, dan pertukaran surat-surat kawat antara Kedutaan Besar AS
di Jakarta dan Departemen Luar Negeri di Washington, DC. Untuk
alasan yang tidak dijelaskan, Departemen Luar Negeri langsung menarik
kembali berkas dokumen yang telah diumumkannya itu. Penarikan itu
sia-sia belaka karena beberapa eksemplar sudah terlanjur dikirim ke
berbagai perpustakaan. Langkah itu (bagi Departemen Luar Negeri)
juga kontraproduktif karena aroma kontroversi justru merangsang hasrat
ingin tahu masyarakat umum. Seluruh berkas naskah itu sekarang
tersedia
di berandawarta (website) sebuah lembaga penelitian di Washington,
DC.50
Saya juga menemukan dua dokumen penting di sebuah tempat
penyimpanan arsip di Amsterdam. Dua orang mantan anggota Politbiro
PKI, Muhammad Munir dan Iskandar Subekti, menulis analisis
masingmasing
tentang G-30-S, yang belum pernah dimanfaatkan para sejarawan
sebelumnya.
Dengan menggunakan potongan-potongan informasi yang telah
saya kumpulkan dari berbagai sumber ini, saya mencoba menetapkan
siapa yang mengorganisasi G-30-S, apa yang ingin mereka capai melalui
tindakan mereka, dan mengapa mereka gagal sedemikian parahnya.
Analisis yang ditampilkan dalam buku ini dengan sendirinya menjadi
rumit karena kisah G-30-S banyak bersimpul dan berliku-liku.
Masingmasing
orang bergabung dalam G-30-S dengan motivasi dan pengharapan
berbeda-beda dan dengan tingkat pengetahuan mengenai rencana
aksi yang berbeda-beda pula. Seperti halnya kebanyakan operasi rahasia
yang melibatkan beragam orang dan lembaga, kita akan melihat adanya
kesalahan asumsi, salah komunikasi, dan penipuan diri-sendiri.
Buku ini dapat dianggap sebagai apa yang oleh Robert Darnton
disebut “analisis insiden” karena memusatkan perhatiannya pada satu
insiden dramatis, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang khas dari
langgam ini: “Bagaimana kita dapat mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi? Apa yang membedakan fakta dari fi ksi? Bagaimana menemukan
kebenaran di antara interpretasi yang saling bertentangan?”51 Darnton
mencatat bahwa orang yang menulis tentang kekejaman dan pembantaian
cenderung mengkaji dengan teliti dokumen tertulis dan narasi
24
PENDAHULUAN
lisan untuk memahami “apa yang sesungguhnya terjadi”: identitas
para pelaku, jumlah korban, kronologi kejadian yang tepat, dan
seterusnya.
Menghadapi bukti yang bias dan memihak, seorang sejarawan
akan tergoda menggunakan strategi Akira Kurosawa dalam fi lm tahun
1950 yang terkenal, Rashomon (berdasarkan cerita pendek Ryunosuke
Akutagawa). Empat orang masing-masing memberikan empat cerita
yang berbeda-beda tentang satu kejahatan yang sama. Cerita lalu
berakhir
tanpa kepastian tentang yang manakah cerita yang benar. Salah satu di
antara empat tokoh yang berusaha menetapkan siapa yang bertanggung
jawab atas kejahatan yang terjadi, pada akhirnya mengatakan kepada
temannya yang sama-sama bingung. “Sudahlah, jangan khawatirkan
itu lagi. Seakan-akan manusia itu rasional saja.”52 Kesimpulan
demikian
tidak menjadi soal bagi sebuah cerita fi ktif. Namun sulit untuk
mengatakan
kepada masyarakat “yang ingin mengetahui kebenaran tentang
trauma di masa lalu,” bahwa mereka harus menyerahkan diri kepada ide
bahwa kebenaran itu relatif, masa lalu itu tidak dapat dimengerti, dan
manusia itu irasional.53 Walaupun saya menghindari pengakhiran kisah
dengan gaya Rashomon, saya juga tidak mengambil gaya pengakhiran
kisah seperti Sherlock Holmes atau Hercule Poirot. Tak seorang pun
dengan penuh keyakinan dapat menudingkan telunjuk tuduhan kepada
si pelaku kejahatan sehingga seluruh misteri G-30-S pun tidak dapat
terungkap dengan baik. Banyak yang masih tetap tidak diketahui atau
tidak pasti. Orang harus menerima bahwa mungkin masih banyak
tokohtokoh
yang tidak dikenal, namun memainkan peranan sangat penting
di balik layar. Meminjam komentar epistemologis Donald Rumsfeld
yang telah dikecam habis secara tak berimbang, tentu terdapat banyak
“hal-hal tidak diketahui yang tidak diketahui,” yaitu hal-hal yang
kita
tidak tahu bahwa kita tidak tahu.54 Bagian akhir buku ini hanya
berniat
membawa kita sedikit lebih maju dalam menyusuri labirin misteri ini,
memberi pertanda beberapa jalan buntu, dan menunjukkan jalan-jalan
yang paling menjanjikan bagi penelitian lebih lanjut.55
PENYAJIAN ARGUMEN
Buku ini dimulai dengan bab yang menggambarkan aksi-aksi dan per25
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
nyataan-pernyataan G-30-S pada 1 Oktober 1965 dan kekalahannya di
tangan Mayjen Suharto. Bab ini akan memperkenalkan pembaca kepada
semua keganjilan G-30-S, yang menjadi alasan mengapa banyak sejarawan
melihatnya sebagai teka-teki. Aksi-aksi G-30-S tidak didasari alasan
yang
jelas, bergerak dengan berbagai tujuan yang saling berlawanan, dan
akhirnya hampir tidak mencapai apa pun. Pengumuman-pengumuman
yang disiarkan di radio tidak konsisten dan hampir tidak ada kaitannya
dengan tindakan di lapangan. Jika dilihat secara menyeluruh, G-30-S
tampak sebagai sosok aneh yang tidak masuk akal. Tidak ada pola yang
jelas, bahkan jika kita susun berurutan rangkaian kejadian-kejadian
yang
sudah disepakati umum – yang dapat kita anggap sebagai fakta
sekalipun.
G-30-S tidak dapat digolongkan sebagai pemberontakan pasukan militer,
percobaan kudeta, atau pemberontakan sosial. Bab yang pertama sengaja
tidak saya tulis dalam bentuk narasi, karena memang
peristiwa-peristiwa
yang terjadi tidak memiliki kesinambungan alur dan karakter yang
diperlukan
untuk menyusun sebuah narasi. Bab ini bermaksud menyoroti
berbagai keganjilan yang kacau dari G-30-S, yang merupakan pengalang
bagi narasi yang lugas dan lancar.
Bab kedua akan mengikhtisarkan berbagai cara keganjilan-keganjilan
itu telah ditafsirkan dan disusun menjadi sebuah narasi kejadian
yang padu. Rezim Suharto dengan kasar mendesakkan sebuah narasi
gampangan, yang menetapkan PKI sebagai dalang keji yang mengontrol
setiap aspek G-30-S. Sejumlah sarjana asing yang lebih berperhatian
pada prosedur pengungkapan bukti dan logika dibanding dengan para
propagandis negara menunjukkan kelemahan-kelemahan versi rezim
Suharto, dan mengajukan jalan cerita yang berbeda. Para ilmuwan itu
menyatakan bahwa peran para perwira militer yang terlibat dalam G-30-S
lebih besar dari peran PKI, atau bahwa Suharto sendiri terlibat dalam
operasi ini.
Bab-bab tiga sampai enam mencermati sumber primer yang baru:
dokumen Supardjo, wawancara lisan saya dengan Hasan dan lainnya,
dokumen-dokumen internal PKI, beberapa memoar yang baru diterbitkan,
dan dokumen-dokumen rahasia pemerintah AS yang sudah
diumumkan. Saya menganalisis para pelaku secara bergiliran: para
perwira militer dalam G-30-S, Sjam dan Biro Chususnya, D.N. Aidit
dan pimpinan PKI jajarannya, Suharto dan para perwira rekan-rekannya,
26
PENDAHULUAN
dan pemerintah AS. Bab-bab ini, sebagai tinjauan atas bukti-bukti yang
ada, berjalan dengan mengikuti logika penyelidikan detektif. Barulah
pada bab terakhir saya membangun suatu narasi yang berjalan secara
kronologis dan bermaksud untuk memecahkan banyak keganjilan dalam
peristiwa yang saya uraikan dalam bab pertama.
GERAKAN 30 SEPTEMBER SEBAGAI DALIH
Dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia seperti yang dibentuk rezim
Suharto, G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga
kekerasan massal terhadap siapa pun yang terkait dengannya dilihat
sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan dan bahkan terhormat. Diduga
ada hubungan sebab-akibat langsung: represi terhadap PKI merupakan
jawaban sepatutnya terhadap ancaman yang diajukan G-30-S. Memang
dalam wacana politik di Indonesia menjadi lazim menggabungkan G-30-S
dengan kekerasan massal yang mengikutinya, seakan-akan keduanya
merupakan suatu peristiwa tunggal; satu istilah, “Gerakan 30
September,”
digunakan untuk merujuk ke dua peristiwa. Kendati demikian sejak awal
serangan Suharto terhadap PKI, sesuatu yang tidak benar sudah terasa
dengan pelekatan erat kedua peristiwa tersebut. Sepanjang akhir 1965
sampai awal 1966 Presiden Sukarno terus-menerus memprotes bahwa
Angkatan Darat “mau membunuh tikus seluruh rumahnya dibakar.”56
Kampanye anti-PKI sama sekali menjadi tidak sepadan dengan alasan
senyatanya. Pada dasarnya G-30-S merupakan suatu peristiwa yang
relatif
berskala kecil di Jakarta dan Jawa Tengah, yang sudah berakhir paling
lambat 3 Oktober 1965. Secara keseluruhan G-30-S telah membunuh
dua belas orang.57 Suharto membesar-besarkannya sedemikian rupa
sehingga peristiwa itu tampak seperti sebuah konspirasi nasional
berkelanjutan
untuk melakukan pembunuhan massal. Berjuta-juta orang yang
berhubungan dengan PKI, bahkan para petani buta huruf di dusundusun
terpencil, ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh yang secara
kolektif bertanggung jawab atas G-30-S. Setiap orang yang ditahan
militer dituduh sebagai “langsung atau tidak langsung terlibat dalam
Gerakan 30 September,” jika kita mengutip dari surat keterangan yang
diberikan kepada tahanan politik pada saat ia dibebaskan. (Perhatikan
27
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
istilah karet tidak langsung.) Dua orang pakar tentang Indonesia dari
Cornell University, Benedict Anderson dan Ruth McVey, pada awal 1966
mengamati bahwa tentara Suharto telah memulai kampanye antikomunis
cukup lama sesudah G-30-S hancur dan tidak menunjukkan tanda-tanda
akan bangkit kembali. Di antara saat G-30-S tamat riwayatnya dengan
saat penangkapan massal oleh tentara dimulai, “tiga minggu berlalu
tanpa
adanya kekerasan atau tanda-tanda terjadinya perang saudara, bahkan
menurut Angkatan Darat sendiri.” Dua penulis itu berpendapat bahwa
G-30-S dan kampanye antikomunis yang mengikutinya “merupakan
fenomena politik yang sama sekali terpisah” (cetak miring penegas
dalam
teks asli).58
Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966
harus dilihat lebih sebagai saat awal pembangunan sebuah rezim baru,
ketimbang sebuah reaksi wajar terhadap G-30-S. Suharto dan para
perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan G-30-S sebagai
dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini. Mereka
perlu
menciptakan keadaan darurat nasional dan suasana yang sama sekali
kacau jika hendak menumbangkan seluruh generasi kaum nasionalis
dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan Presiden Sukarno. Mereka
mengetahui
bahwa mereka harus melawan pendapat umum.59 Suharto saat
itu relatif bukan siapa-siapa, seorang pejabat biasa, yang bersiasat
untuk
menggeser sang pemimpin karismatik bangsa. Ia dan para pemimpin
militer lainnya mengetahui bahwa mereka akan menghadapi perlawanan
hebat jika militer melancarkan kudeta terhadap Sukarno secara
langsung tak berselubung. Alih-alih menyerang istana terlebih dulu,
Suharto justru menyerang masyarakat dengan kekerasan secepat kilat,
lalu dengan menginjak-injak penduduk yang dicengkam ketakutan dan
kebingungan melenggang masuk ke istana.
Suharto sendiri, tak mengherankan, menyangkal bertanggung
jawab atas kekerasan massal 1965-66 – pelaku jarang mau mengakui
kejahatan mereka di hadapan publik.60 Dalam catatan resmi dinyatakan
bahwa “penumpasan PKI” telah dilakukan melalui tindakan administratif
dan tanpa pertumpahan darah; orang yang dicurigai ditangkap,
diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu dibagi dalam tiga
golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan masing-masing di
dalam G-30-S, lalu dipenjarakan. Catatan resmi tidak pernah menyebut
28
PENDAHULUAN
tentang pembunuhan massal.61 Dalam memoarnya Suharto menulis
bahwa strateginya adalah “pengejaran, pembersihan dan penghancuran.”
62 Ia tidak memberi tahu pembaca bahwa ada orang yang tewas
dalam proses itu. Film mengenai G-30-S yang disponsori pemerintah juga
tidak menggambarkan adanya penangkapan dan pembunuhan massal.
Panel terakhir pada relief Monumen Pancasila Sakti memperlihatkan
Letkol Untung di depan Mahmilub, seolah-olah proses hukum dengan
kepala dingin merupakan satu-satunya bentuk reaksi militer terhadap
G-30-S. Tidak ada tugu peringatan dibangun di Monumen Pancasila
Sakti bagi ratusan ribu korban. Saat menyinggung tentang kekerasan
yang
terjadi, dalam kesempatan yang amat langka, Suharto menjelaskannya
sebagai sesuatu yang bersumber pada konfl ik dalam masyarakat. Dalam
pidato pada 1971, ia menyampaikan analisis tentang sebab-musabab
pembunuhan itu dalam satu kalimat singkat, “Ribuan korban djatuh
didaerah2 karena rakjat bertindak sendiri2, djuga karena prasangka2
buruk antar golongan yang selama bertahun2 ditanamkan oleh praktek2
politik jang sangat sempit.”63 Dengan demikian Angkatan Darat
seolaholah
tidak memainkan peran apa pun dalam mengatur pembunuhan;
rakyat melakukannya sendiri untuk alasan yang tidak ada kaitan dengan
Gambar 4. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti: Suharto
mengakhiri kekacauan,
menciptakan ketertiban, dan mengembalikan perempuan ke rumah tangga
dan kepatuhan.
Foto: John Roosa
29
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
operasi penghancuran G-30-S oleh militer.
Penjelasan Suharto yang singkat tentang sebab-musabab pembunuhan
itu bukanlah sesuatu yang unik. Banyak orang Indonesia,
bahkan yang biasanya kritis terhadap propaganda negara, mempercayai
bahwa pembunuhan itu merupakan tindak kekerasan yang terjadi
spontan dari bawah, sebagai pengadilan liar barisan keamanan
masyarakat,
yang membarengi usaha penumpasan pemberontakan PKI oleh
militer yang sangat terkendali dan terorganisasi dengan baik. Karena
ketidaktahuan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di
daerah-daerah
lain, orang yang menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang diatur
militer di daerah tempat tinggalnya bisa jadi menganggap pembunuhan
tersebut sebagai pengecualian. Tidak adanya pembicaraan yang terbuka
dan penyelidikan yang teliti terhadap pembantaian yang terjadi telah
menimbulkan ketidakpastian yang besar tentang pola umum kejahatan
ini. Kaum terpelajar Indonesia, dalam mencari jawab tentang masalah
ini, cenderung terjerumus pada prasangka berkerak akan kerentanan
massa. Kalangan kelas menengah Indonesia sering mengatakan kepada
saya bahwa pembunuhan itu merupakan buah antagonisme yang sudah
ada sebelumnya antara PKI dan partai-partai politik lain. Anggota PKI,
karena militansi dan kekejaman mereka, rupanya menjadi sangat dibenci
sejak sebelum 1965, sehingga lawan-lawan mereka langsung mengambil
kesempatan untuk membantai mereka. Pembunuhan itu seakan-akan
terjadi begitu saja, tanpa ada orang atau lembaga apa pun yang
bertanggung
jawab. Seperti dikatakan Robert Cribb, pembunuhan yang terjadi
“dipandang seolah-olah tergolong dalam kategori tak lazim kematian
massal akibat ‘kecelakaan’.”64
Koran-koran Indonesia tidak memberitakan adanya pembunuhanpembunuhan.
Angkatan Darat memberangus hampir semua surat kabar
dalam pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor terhadap
beberapa di antaranya yang mendapat ijin terbit kembali. Angkatan
Darat
menerbitkan beberapa korannya sendiri. Orang akan sia-sia mencari
berita
dalam koran-koran yang terbit antara akhir 1965 sampai akhir 1966 yang
sekadar menyebut saja bahwa ada pembunuhan besar-besaran. Korankoran
hanya memuat berita tentang cara-cara tanpa kekerasan dalam
penumpasan PKI: pemecatan orang-orang yang dituduh pendukung PKI
dari berbagai badan pemerintahan (seperti kantor berita “Antara”),
pem30
PENDAHULUAN
bubaran organisasi-organisasi yang berafi liasi dengan PKI, dan
demonstrasi
mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Sudah
pasti para redaktur koran-koran tersebut mengetahui tentang terjadinya
pembunuhan besar-besaran – kisah-kisah mengerikan sudah beredar
luas dari mulut ke mulut. Tapi mereka sengaja tidak memberitakannya
barang sepatah kata pun. Sebagai gantinya mereka penuhi koran-koran
mereka dengan cerita-cerita fi ktif dari para ahli perang urat syaraf
di
kalangan tentara, yakni kisah-kisah yang melukiskan PKI sebagai pelaku
tunggal kekerasan di tengah masyarakat. Bahkan koran-koran independen
pun, seperti misalnya Kompas, yang belakangan menjadi koran acuan
terkemuka selama tahun-tahun kekuasaan Suharto, ikut ambil bagian
dalam kampanye militer untuk menggalakkan histeria anti-PKI.
Angkatan Darat mengendalikan dengan ketat keberadaan wartawan
asing, melarang banyak dari mereka masuk Indonesia sejak Oktober
1965, dan membatasi gerak mereka yang berhasil tinggal atau menyelinap
masuk agar tetap berada di Jakarta. Sebagian besar pemberitaan
para wartawan yang berdiam di Jakarta terpusat pada manuver-manuver
politik tingkat tinggi Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan
pejabatpejabat
tinggi pemerintahan yang lain. Para juru bicara militer dengan
sopan meyakinkan para wartawan bahwa pembunuhan apa pun yang
terjadi adalah akibat kemarahan rakyat yang tak terkendali, bukan
pembantaian yang diatur tentara. Dari cerita-cerita yang merembes ke
Jakarta, para wartawan menduga-duga bahwa angka korban mati yang
diumumkan Sukarno pada Januari 1966, yaitu 87.000, sangat jauh di
bawah angka sebenarnya. Tetapi mereka tidak dapat memberitakan
pembunuhan besar-besaran itu selengkap-lengkapnya sampai sesudah
Angkatan Darat melonggarkan batasan-batasan bergerak pada Maret
1966. Skala pembunuhan mulai menjadi lebih jelas ketika wartawan
dapat pergi ke daerah-daerah di luar Jakarta. Wartawan pertama yang
melakukan penyelidikan, Stanley Karnow dari Washington Post, setelah
melalui perjalanan selama dua pekan di seluruh Jawa dan Bali,
memperkirakan
setengah juta orang telah mati dibunuh. Seth King dari New
York Times, pada Mei 1966, mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu
sebanyak 300.000 korban tewas. Seymour Topping, rekan Seth King dari
koran yang sama, melakukan penyelidikan beberapa bulan kemudian dan
menyimpulkan bahwa jumlah korban mati seluruhnya bahkan dapat
31
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
lebih dari setengah juta orang.65
Ketiga koresponden asing itu memberitakan bahwa personil militer
dan milisi sipil antikomunis terlibat dalam pembunuhan dan sering kali
mereka melakukannya dengan cara-cara yang sistematik dan rahasia.
King mencatat bahwa orang-orang asing di Jakarta tidak menyaksikan
kekerasan apa pun. Mereka hanya mengetahui bahwa tentara pada malam
hari melakukan penggerebekan rumah-rumah, menggiring mereka yang
dicurigai sebagai simpatisan PKI ke atas truk, dan membawa mereka
ke luar kota sebelum fajar. King mendengar cerita dari seseorang yang
kebetulan menumpang sebuah truk tentara bahwa kira-kira lima ribu
orang dari Jakarta yang diambil dari rumah mereka masing-masing
dibawa ke sebuah penjara di pinggir kota, dan di sana mereka mati
perlahan-lahan karena kelaparan. (King tidak menyebut adanya ribuan
orang lagi yang kelaparan di penjara-penjara di dalam kota Jakarta).
Karnow menggambarkan pembunuhan besar-besaran di kota Salatiga
di Jawa Tengah: “Di setiap bangunan, seorang kapten tentara membacakan
nama-nama dari sebuah daftar, memberi tahu mereka tentang
kesalahan masing-masing – atas nama hukum walaupun sidang pengadilan
tidak pernah diadakan. Akhirnya truk-truk itu masing-masing diisi
dengan enam puluh tawanan, dan dengan dikawal satu peleton tentara,
menempuh jarak sekitar enam mil, melalui hamparan sawah dan kebun
karet yang gelap menuju suatu kawasan tandus di dekat Desa Djelok.
Para petani di daerah tersebut sudah diperintahkan lurah untuk
menggali
sebuah lubang besar satu hari sebelumnya. Para tawanan, dibariskan
berdiri di bibir lubang, lalu ditembaki dalam beberapa menit. Beberapa
dari mereka barangkali dikubur hidup-hidup.” Dari kisah-kisah semacam
ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi
pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah.66
Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan
secara kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan
pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali.
Di dua daerah terakhir militer biasanya menghasut penduduk sipil untuk
melakukan pembunuhan, ketimbang memerintahkan personil mereka
sendiri melakukan tugas kotor itu. Tentara menebar suasana ketakutan
dengan mengatakan kepada masyarakat di kota dan desa bahwa PKI
sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran: menggali
32
PENDAHULUAN
kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh,
menyiapkan
alat khusus pencungkil mata. Topping menyatakan bahwa pada
umumnya para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap
cerita-cerita yang disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat:
“Tidak ada bukti kuat bahwa orang-orang Komunis mempunyai perbekalan
senjata yang begitu besar atau merencanakan pemberontakan massa
di seluruh tanah air untuk merebut kekuasaan dalam waktu dekat.”67
Topping menambahkan bahwa pengingkaran tentara terhadap tanggung
jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal bukan
hanya oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh
pernyataan
pribadi salah satu dari para panglima utama Suharto sendiri. Mayor
Jenderal Sumitro, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam
wawancaranya
dengan Topping berkata, bahwa Suharto, pada November 1965,
mengeluarkan perintah secara rinci tentang pembasmian PKI. Dalam
Desember 1965, Sumitro beserta stafnya mengunjungi seluruh komando
distrik militer di Jawa Timur untuk memastikan bahwa perintah itu
telah
dipahami. Topping mengutip Sumitro yang mengakui bahwa “sebagian
besar komandan setempat telah menunaikan tugas sebaik-baiknya untuk
membunuh kader-kader [PKI] sebanyak-banyaknya.”68
Sampai pertengahan 1966 dua surat kabar utama Amerika Serikat
sudah menyiarkan ke publik bahwa Angkatan Darat Indonesia di bawah
Mayor Jenderal Suharto adalah pihak yang paling bertanggung jawab
terhadap pembunuhan massal sekitar setengah juta orang, dan bahwa
banyak pembunuhan itu dilakukan secara kejam terhadap para tawanan
terpilih. Namun demikian berita ini tidak mengalangi pemerintah
Amerika Serikat memberikan sambutan hangatnya kepada Suharto
selaku penguasa baru di Indonesia. Tidak satu pun pejabat pemerintahan
Johnson menyatakan keberatan terhadap pelanggaran berat hakhak
asasi manusia yang dilakukan tentara Indonesia. Robert Kennedy
menyesali kebisuan itu ketika mengucapkan pidatonya di New York City
pada Januari 1966: “Kita telah bersuara lantang terhadap pembantaian
tak manusiawi yang dilakukan oleh kaum Nazi dan kaum Komunis.
Tapi apakah kita akan bersuara lantang pula terhadap pembantaian keji
di Indonesia, yang lebih dari 100.000 orang yang dituduh Komunis
bukanlah pelaku tetapi korban?”69 Jawaban terhadap pertanyaan itu,
tentu saja, tidak. Bagaimana pun juga pemerintah AS telah membantu
33
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Suharto naik takhta. Kegembiraan akan penggulingan Sukarno dan
penghancuran PKI mengalahkan pertimbangan kemanusiaan apa pun.
Prioritas-prioritas ini tampak jelas dalam laporan utama tentang
Suharto dalam majalah Time pada Juli 1966. Dengan tepat Time
memberitakan,
“militer bertanggung jawab atas kebanyakan pembunuhan
yang terjadi” dan mengakui bahwa pembunuhan itu “telah menghilangkan
lebih banyak nyawa ketimbang kehilangan [yang diderita] AS
dalam seluruh peperangan di sepanjang abad ini.” Tanpa menghindari
penggambaran detil-detil yang mengerikan, laporan utama itu
menyebutkan
bahwa beberapa orang yang dicurigai sebagai komunis telah
dipancung dan mayat mereka dibuang di kali-kali. Namun selanjutnya
artikel itu memuji rezim baru Suharto yang didominasi militer karena
“sangat konstitusional.” Suharto dikutip saat mengatakan, “Indonesia
negara yang berdasar hukum, bukan pada kekuasaan belaka.”70 Oleh
karena dari sudut kepentingan politik luar negeri AS banjir darah itu
konstruktif, majalah Time dapat menampilkan pelaku kejahatan dalam
sorotan yang sama sekali positif walaupun hasilnya kemudian adalah
penjajaran yang sangat aneh antara kepala-kepala yang dipenggal dan
prosedur konstitusional.
Kecaman terhadap pembunuhan-pembunuhan yang terjadi diredam
bukan hanya karena para pelakunya antikomunis. Banyak pemberitaan
media mengecilkan tanggung jawab militer atas pembunuhan sambil
membesar-besarkan peranan masyarakat sipil. Stereotip yang dibuat
para orientalis mengenai orang Indonesia yang primitif, terbelakang,
dan bengis mengemuka sehingga menenggelamkan pemberitaan faktual
tentang pembunuhan-pembunuhan berdarah dingin yang diorganisir
militer. Orang asing digiring untuk mempercayai bahwa pembunuhan
massal itu merupakan ledakan tiba-tiba, tanpa nalar, dan penuh dendam
kesumat masyarakat rentan yang meradang oleh sepak terjang agresif
PKI selama bertahun-tahun. Bahkan tanpa penyelidikan mendalam,
wartawan-wartawan merasa yakin bahwa prasangka mereka terhadap
apa yang disebut watak ketimuran membenarkan adanya kesimpulan
defi nitif. Judul utama salah satu tajuk rencana C.L. Sulzberger dalam
New York Times terbaca “When a Nation Runs Amok” [Ketika Suatu
Bangsa Mengamuk]. Bagi Sulzberger pembunuhan-pembunuhan itu
tidak mengejutkan karena terjadi di “Asia yang berperangai keras,
dengan
34
PENDAHULUAN
kehidupan murah.” Banjir darah itu hanyalah memantapkan keyakinannya
bahwa bangsa Indonesia mempunyai “ciri pembawaan Melayu yang
ganjil, tabiat haus darah membabi buta yang telah menyumbang satu
kata dari sedikit kata Melayu dalam bahasa-bahasa lain: amok.”71
Demikian pula laporan Don Moser untuk majalah Life tak
beranjak terlalu jauh dari ungkapan-ungkapan klise dangkal tentang
bangsa Indonesia yang pramodern dan eksotik: “Tidak ada di mana pun
selain di pulau-pulau yang misterius dan elok ini ... peristiwa-peristiwa
dapat meledak begitu tak terduga, begitu kejam, tak hanya diwarnai
dengan fanatisme, tapi juga haus darah dan hal-hal semacam sihir dan
santet.” Kekerasan itu bahkan tidak melibatkan militer; melainkan
timbul sepenuhnya dari kalangan rakyat. Pembantaian “gila-gilaan” di
Bali merupakan “pesta pora kebengisan.” Di mana-mana terjadi “histeria
massal.”72 Karangan-karangan Robert Shaplen di majalah New Yorker,
yang lebih panjang lebar, mengulang alur kisah yang sama tentang
keberangan
spontan terhadap PKI. Bangsa Indonesia adalah bangsa primitif
belaka yang tidak dapat disalahkan dalam hal pelanggaran hak-hak asasi
manusia karena mereka belum cukup beradab untuk dipandang sebagai
manusia yang dewasa. Represi terhadap PKI “berubah menjadi luapan
balas dendam liar dan tak pandang bulu berdasarkan permusuhan
pribadi dan histeria massal di tengah masyarakat yang secara emosional
dan psikologis memang siap mengamuk.”73 Adalah tidak adil jika apa
yang disebutnya sebagai “segenap dunia ‘berakal’” untuk mengharapkan
bangsa Indonesia merasa bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang
salah karena “bangsa ini dapat menjelaskan pertumpahan darah tersebut,
sekurang-kurangnya demi kepuasan hati mereka sendiri, menurut
pengertian kuno tentang katarsis dan pembasmian kejahatan.”74 Sembari
menghidupkan kembali mitos-mitos tua kolonial tentang “orang-orang
pribumi” yang terbelenggu pada tradisi dan bersifat mistik, Shaplen
secara
tidak kritis menceritakan ulang versi tentara Indonesia tentang
peristiwaperistiwa
1965-1966.
Beberapa pakar tentang Indonesia tetap percaya kepada cerita
tentang pembantaian itu sebagai balas dendam spontan terhadap PKI.75
Antropolog Cliff ord Geertz, berdasarkan kunjungannya ke sebuah kota
kecil di Jawa Timur pada 1970-an dan 1980-an, mengatakan bahwa
orang di kota itu mengenang pembunuhan tersebut sebagai “penggalan
35
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
retak sejarah yang kadang-kadang diingat sebagai akibat dari
politik.”76
Dalam esainya yang terkenal mengenai adu ayam di Bali, Geertz sambil
lalu menyebut bahwa kekerasan dalam adu ayam itu memperlihatkan
pembantaian yang terjadi di sebuah pulau dengan kerukunan sosialnya
yang terkenal di seluruh dunia itu “tidak bertentangan dengan hukum
alam”; adu ayam itu menurutnya merupakan penyaluran kecenderungan
kekerasan yang ada dalam masyarakat.77 Th eodore Friend, seorang
sejarawan Asia Tenggara, dengan yakin mengatakan bahwa pembunuhan
itu mencerminkan “ledakan kekerasan massal yang hebat”; dimulai
“secara spontan” tanpa arahan militer dan merupakan kekerasan “muka
lawan muka” dan dengan “kedekatan yang aneh.”78
Sungguh mencengangkan bahwa kekerasan anti-PKI, suatu kejadian
dengan skala demikian luas, ternyata salah dimengerti sedemikian
parah. Tentu saja keterlibatan baik personil militer maupun penduduk
dalam pembunuhan itu telah mengaburkan masalah tanggung jawab.
Bagaimana pun, dari sedikit yang sudah diketahui, jelaslah bahwa
militer
yang memikul bagian tanggung jawab terbesar, dan bahwa pembunuhan
itu lebih merupakan kekerasan birokratik yang terencana ketimbang
kekerasan massa yang bersifat spontan. Dengan mengarang cerita-cerita
bohong mengenai G-30-S dan mengendalikan media massa sedemikian
ketat, klik perwira di sekitar Suharto menciptakan suasana di kalangan
penduduk sipil bahwa PKI sedang bersiap-siap untuk perang. Tanpa
provokasi yang disengaja oleh ahli-ahli propaganda militer, penduduk
tidak akan percaya bahwa PKI merupakan ancaman yang mematikan
karena partai ini bersikap pasif setelah G-30-S ditaklukkan.79 Militer
bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI sejak awal
Oktober 1965. Ahli-ahli propaganda Suharto menemukan akronim
untuk G-30-S, yang dikaitkannya dengan polisi rahasia Nazi Jerman.
Akronim itu, Gestapu, tidak sesuai dengan kepanjangan yang berbunyi
Gerakan Tiga Puluh September.80 Surat kabar dan siaran radio dipenuhi
dengan berita palsu tentang apa yang dinamakan Gestapu: bahwa PKI
menimbun senjata dari Tiongkok, menggali kuburan massal, menyusun
daftar orang-orang yang akan dibunuh, mengumpulkan alat khusus
untuk mencungkil mata, dan seterusnya.81 Militer menggambarkan
jutaan orang seperti setan dan bukan manusia dengan menyusun mata
rantai asosiasi: G-30-S sama dengan PKI sama dengan barang siapa saja
36
PENDAHULUAN
yang diasosiasikan dengan PKI sama dengan kejahatan mutlak.
Propaganda ini sendiri, bagaimana pun, tidak cukup untuk memprovokasi
penduduk sipil agar ikut melakukan kekerasan. Propaganda
merupakan faktor yang penting tapi tidak cukup. Perbedaan waktu
terjadinya kekerasan di daerah-daerah yang berlainan menunjukkan
bahwa kedatangan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD)
berperan sebagai pemicu. Pengamatan Anderson dan McVey di Jawa
Tengah telah saya kemukakan di atas. Kekerasan baru dimulai saat
pasukan RPKAD tiba di ibu kota provinsi tersebut, Semarang, pada
17 Oktober, dan kemudian menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa
pada hari-hari berikutnya.82 Beruntunglah Jawa Barat lolos dari
serbuan
karena RPKAD harus bergegas masuk Jawa Tengah, yang memang
merupakan basis PKI. Relatif sedikit pembunuhan yang terjadi di Jawa
Barat walaupun pada masa sebelumnya terjadi konfl ik tajam antara PKI
dan organisasi anti-PKI.83
Kasus Bali memang patut ditilik, terutama karena mereka yang
berpegang pada tesis “kekerasan spontan” selalu menunjuk Bali sebagai
bukti. Mereka menyatakan masyarakat Bali melakukan pesta pembunuhan
gila-gilaan sampai saat pasukan RPKAD tiba awal Desember
1965 untuk menghentikan mereka.84 Pendapat ini salah dalam
mengemukakan
kronologi kejadian yang sebenarnya. Sebelum pasukan
RPKAD datang pada 7 Desember, tidak ada pembunuhan berarti di
Bali.85 Selama bulan-bulan Oktober dan November situasi memang
tegang. Gerombolan antikomunis menyerang dan membakar rumahrumah
anggota PKI. Beberapa anggota partai ditangkap; sebagian lain
menyerahkan diri kepada polisi untuk mendapat perlindungan. Tapi
tidak terjadi pembantaian besar-besaran sebelum 7 Desember. Semua
pemimpin PKI masih hidup saat RPKAD tiba.86 Adalah RPKAD yang
mengatur dan melaksanakan eksekusi para pemimpin PKI Bali pada 16
Desember 1965 di Desa Kapal.87 Ada banyak saksi kejadian itu karena
RPKAD mengundang politisi-politisi antikomunis di Bali selatan untuk
menonton.88 Pembantaian sekitar 30 orang ini, termasuk I Gde Puger,
seorang pengusaha berada yang dikenal sebagai penyandang dana untuk
PKI walaupun ia bukan anggota partai, mengungkapkan bahwa militer
mendorong penduduk sipil untuk membunuh orang-orang yang terkait
dengan PKI. Mengingat RPKAD yang memulai pembunuhan itu, maka
37
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kita tidak bisa tidak memperkirakan bahwa pasukan parakomando ini
telah menerima perintah langsung dari Suharto untuk melakukannya.
Koordinasi antara Suharto dan RPKAD sangat erat: ia datang di Bali
satu
hari setelah pasukan parakomando mendarat di sana.89
Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, atau tempat-tempat lainnya, umumnya
anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer (baik sebelum maupun
sesudah 1 Oktober), dan diberi senjata, kendaraan, serta jaminan kebal
hukum. Mereka bukan sekadar orang-orang sipil biasa yang bertindak
mandiri dari militer. Walaupun dinamika interaksi setepatnya antara
militer dan milisi bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, secara
keseluruhan
militer memainkan peran dominan. Robert Cribb mencatat
bahwa kelompok-kelompok milisi ini umumnya tidak bertahan lama
setelah 1966; banyak yang “kelihatannya segera menghilang setelah
tugas berdarah mereka selesai,” berbeda dengan, misalnya, “laskar-laskar
otonom yang lahir setelah 1945 dalam perang kemerdekaan melawan
Belanda” dan menjadi masalah bagi upaya monopoli militer terhadap
angkatan bersenjata pada 1950-an.90 Sejak 1965 militer secara rutin
membentuk kelompok-kelompok kelaskaran agar pada saat melakukan
kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata mereka selalu
dapat mengingkari keterlibatan mereka.91 Tidak ada alasan untuk
mengatakan
bahwa situasi kekerasan dalam 1965-1966 itu sendiri sangat
berbeda.
Hal yang sering luput dari perhatian adalah bahwa sejak awal
pembunuhan-
pembunuhan itu memang sengaja hendak dilupakan. Dalam
bukunya Silencing the Past, Michel-Ralph Trouillot menulis bahwa orang
“berperan serta dalam sejarah baik sebagai pelaku maupun pencerita.”92
Para pelaku sejarah sekaligus menjadi pencerita tentang jejak langkah
mereka sendiri. Cerita yang hendak disampaikan si pelaku bisa jadi
sangat
berjalinan dengan jejak langkahnya sendiri. Dalam kasus teror 1965-
66, para perwira militer menghendaki cerita tentang teror yang mereka
lakukan, seperti halnya tentang para korban mereka, lenyap. Mereka
tidak bercerita tentang kampanye teror yang mereka lakukan saat itu.
Seperti ditulis Trouillot: “Sejarawan profesional sendiri tidak
menyusun
kerangka naratif untuk menempatkan cerita-cerita mereka. Sering kali
ada
orang lain yang sudah masuk pentas lebih dulu dan mengatur lingkaran
38
PENDAHULUAN
kebisuan.”93 Suharto yang merencanakan pembunuhan namun ia memastikan
bahwa ia tidak dapat dibuktikan sebagai dalangnya. Saat pembunuhan-
pembunuhan terjadi ia tidak menyinggungnya sama sekali, tapi
memuji-muji proses abstrak tentang penghancuran PKI “sampai ke
akarakarnya.”
94 Caranya menutupi dan sekaligus memuji pembunuhan itu
mirip dengan cara yang dipakai para pelaku genosida di Rwanda: “Serang
korban secara verbal, bantah – bahkan di hadapan bukti yang paling
jelas
sekalipun – bahwa telah atau sedang terjadi kekerasan fi sik dan
hindari
masalah tanggung jawab sehingga, sekalipun ada korban, identitas para
pembunuh tetap kabur dan tidak dapat dipastikan, hampir lebur dalam
ketiadaan. Saat berbicara kepada para pendukungmu jangan pernah
menuntut ‘penghargaan’ atas apa yang sesungguhnya kamu perbuat tetapi
isyaratkan keuntungan besar yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan
tak bernama yang telah dilakukan, berbagi persekongkolan dalam rahasia
tak terkatakan dengan pendengarmu.”95
Kesimpulan yang saya tarik dari literatur yang tersedia dan dari
wawancara dengan para korban, pelaku, dan saksi ialah bahwa pada
umumnya pembunuhan itu merupakan eksekusi terhadap tawanan.
Berlawanan dengan keyakinan umum, kekerasan gila-gilaan oleh
penduduk desa bukanlah merupakan pola. Biasanya pasukan Suharto
memilih melakukan penghilangan misterius ketimbang eksekusi di
depan publik untuk memberi contoh kepada masyarakat. Tentara dan
milisi cenderung melancarkan pembantaian besar-besaran secara rahasia:
mereka mengambil para tahanan dari penjara pada malam hari, membawa
mereka dengan truk ke tempat-tempat terpencil, mengeksekusi mereka,
lalu mengubur jasad-jasad mereka dalam kuburan massal tanpa tanda,
atau melemparnya ke sungai.96
Jika dibandingkan dengan pembunuhan massal itu, G-30-S tampak
seperti peristiwa kecil saja. Buku ini saya beri judul Dalih
Pembunuhan
Massal untuk menekankan bahwa arti penting sesungguhnya G-30-S
terletak pada hubungan gerakan ini dengan peristiwa yang mengikutinya.
Gerakan 30 September menjadi peristiwa penting hanya karena Suharto
dan para perwira di sekitarnya pada awal Oktober 1965 memutuskan
untuk membuat peristiwa itu menjadi penting: mereka mengeramatkan
G-30-S, maksudnya, mereka berikan arti penting yang lebih besar
dari yang sebenarnya termuat dalam gerakan ini. Mereka mengguna39
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
kan G-30-S sebagai dalih untuk membenarkan langkah-langkah yang
memang sudah mereka rencanakan lebih dulu terhadap PKI dan Presiden
Sukarno. Mungkin personil militer dan orang-orang sipil yang
bertanggung
jawab terhadap teror itu terus-menerus berbicara tentang G-30-S
untuk mengalangi pembicaraan mengenai kejahatan mereka sendiri.
Mungkin mereka melebih-lebihkan sifat jahat G-30-S dan PKI untuk
menenangkan batin mereka sendiri. Ketika mereka mengakui terjadinya
pembunuhan massal, mereka mengatakan G-30-S-lah penyebab terjadinya
pembunuhan, seakan-akan kematian ratusan ribu orang dan penahanan
terhadap satu juta lebih lainnya merupakan tanggapan tidak
terhindarkan,
yang setimpal dan alamiah. Inilah narasi penyalahan korban yang
selama ini terpatri sebagai ajaran umum.97
Sebagai dalih, G-30-S sepadan dengan pembakaran Reichstag,
gedung parlemen Jerman, yang oleh Hitler digunakan sebagai alasan
untuk menghancurkan Partai Komunis Jerman pada awal 1933. Polisi
Berlin memastikan temuan bahwa api di dalam ruang utama gedung
tersebut disulut oleh seorang radikal Belanda, yang baru masuk kota
sepuluh hari sebelum peristiwa itu terjadi.98 Tapi Hitler, bahkan
sebelum
mendengar hasil temuan polisi, sudah memutuskan bahwa pembakaran
gedung parlemen itu merupakan awalan pemberontakan nasional Partai
Komunis. Dalam jam-jam pertama setelah api menyala pada pagi 27
Februari, polisi mulai menangkapi orang-orang komunis. Tokoh-tokoh
Nazi menyatakan bahwa mereka melihat para pembakar gedung bersama
tokoh-tokoh komunis sebelum memasuki gedung dan bahwa partai
merencanakan membakar lebih banyak gedung lagi, meracuni dapur
umum, menculik istri dan anak-anak pejabat pemerintah, dan menyabot
jaringan listrik serta kereta api. Kepada kabinetnya Hitler
mengatakan,
satu hari setelah kebakaran: “Secara psikologis sekarang sudah tiba
waktu
yang tepat untuk konfrontasi. Tak ada guna menunggu lebih lama
lagi.”99
Puluhan ribu anggota Partai Komunis ditangkap selama pekan-pekan
berikutnya dan ditahan di kamp-kamp konsentrasi Nazi yang pertama,
seperti misalnya kamp konsentrasi Dachau. Kebakaran Reichstag
merupakan dalih yang sangat tepat untuk membenarkan penggempuran
yang sudah direncanakan oleh kaum antikomunis Nazi. Suasana
krisis yang direkayasa membuka pintu bagi mereka untuk mengesahkan
undang-undang yang mencabut banyak pasal-pasal konstitusi dan dengan
40
PENDAHULUAN
begitu mencabut hak-hak sipil semua orang Jerman.
Ada banyak kemiripan antara G-30-S dan kebakaran Reichstag:
keputusan yang sudah ditetapkan sebelumnya untuk menyerang Partai
Komunis, propaganda yang membesar-besarkan bahaya yang datang dari
partai, penahanan massal di kamp-kamp konsentrasi, keadaan darurat
bikinan yang dimanfaatkan sebagai saat untuk merebut kekuasaan
diktatorial.
Namun begitu analogi ini tidak tepat benar. Dalam kasus G-30-S,
ketua PKI bagaimana pun juga terlibat (D.N. Aidit berada di pangkalan
AURI Halim) dan beberapa personil PKI ikut berperan serta. PKI tidak
dapat dibebaskan sama sekali dari hubungannya dengan G-30-S seperti
halnya Partai Komunis Jerman dibebaskan dari peristiwa kebakaran
Reichstag. Namun, apa pun hubungan antara PKI dan G-30-S tidak
dengan sendirinya memadai untuk membenarkan kekerasan terhadap
siapa pun yang berkaitan dengan partai.
Suharto menjalankan pengambilalihan kekuasaan negara di balik
selubung prosedur hukum. Ia menyembunyikan kudeta merangkaknya
sebagai tindakan murni konstitusional dengan restu Sukarno untuk
menggagalkan kup PKI. Suharto tetap mempertahankan Sukarno sebagai
presiden di atas kertas sampai Maret 1967, satu setengah tahun setelah
ia kehilangan kekuasaan efektifnya. Sukarno mengeluarkan protes lisan,
tetapi kata-katanya tak berdaya karena sejak pekan pertama Oktober
1965 militer telah menguasai media massa. Ia bahkan kalah dalam
memberi nama peristiwa itu sendiri. Sebagai usaha menghentikan media
massa yang menggunakan sebutan konotatif Gestapu untuk G-30-S,
maka pada sidang kabinet 9 Oktober 1965 Sukarno mengajukan sebutan
Gestok sebagai akronim dari Gerakan Satu Oktober.100 Media yang telah
dikuasai militer tak acuh kepadanya dan tetap bersikukuh dengan
sebutan
Gestapu. Walaupun Sukarno menyadari bahwa militer berangsur-angsur
menggerogoti kekuasaannya, ia menahan diri dan tidak melancarkan
tentangan secara serius. Alasan mengapa ia mau memainkan peran yang
dirancang Suharto untuknya masih sulit dimengerti. Jika kita menyimak
pidato-pidatonya tampak bahwa Sukarno terutama mengkhawatirkan
Indonesia akan dipecah belah oleh apa yang disebutnya kekuatankekuatan
“imperial, kolonial, dan neokolonial,” gabungan musuh
bersama yang ia singkat menjadi nekolim.101 Sukarno khawatir bahwa
jika ia berusaha menggalang pendukungnya melawan Suharto, akan
41
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
terbuka jalan bagi perang saudara tak terkendali yang malah akan
menguntungkan
nekolim. Dalam kekacauan serupa itu Indonesia akan terbagi
menjadi negeri kecil-kecil, lalu Amerika Serikat, Inggris, Belanda,
dan
negara-negara lain akan datang untuk menancapkan kawasan pengaruh
masing-masing. Karena obsesinya terhadap kesatuan negerinya, Sukarno
tampaknya percaya bahwa pertumpahan darah, betapapun mengerikan,
masih lebih baik daripada Indonesia sebagai negara bangsa musnah dan
kembali ke kekuasaan asing. Ia memilih memenuhi kemauan Suharto,
membiarkan wewenangnya digerogoti, dan akhirnya keluar dari istana
tanpa perlawanan.102
Bahkan di masa pasca-Suharto, kebanyakan orang Indonesia tidak
mengetahui bagaimana sesungguhnya Suharto naik ke tampuk kekuasaan.
Sekarang ia dikutuk karena korupsi dan keserakahannya yang
mencengangkan,
tapi bukan karena penggambarannya tentang G-30-S yang
tidak benar dan pembunuhan massal yang dilakukannya. Jejak berdarah
yang mengawali kekuasaannya hampir tidak pernah diamati dengan
kritis dan cermat. Kebanyakan kampiun gerakan reformasi anti-Suharto
(misalnya Megawati Sukarnoputri atau Amien Rais) membangun karir
politik mereka semasa Suharto dan tetap berpegang pada mitos-mitos
resmi mengenai 1965. Monumen Kesaktian Pancasila masih tetap berdiri
tegak. Peringatan resmi setiap tahun masih tetap diadakan meskipun
tanpa kemegahan yang sama seperti dahulu.103 Parlemen pasca-Suharto
tetap mempertahankan hukum yang melarang pembicaraan publik
mengenai Marxisme-Leninisme dan keterlibatan eks-tapol (dan anak
cucu mereka) dalam partai politik.104 Pembuatan fi lm tentang Soe Hok
Gie, seorang pemuda yang aktif dalam demo-demo anti-PKI dan anti-
Sukarno (yang belakangan menyesali perbuatannya), dalam 2004-05
harus meminta izin polisi untuk menggunakan bendera palu arit PKI
sebagai perlengkapan dan harus menyetujui untuk menyerahkan
benderabendera
itu kepada polisi untuk segera dibakar sesudah pembuatan fi lm
selesai.105 Rezim Suharto membangun sebuah dunia fantasi tersendiri,
yang unsur-unsurnya, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965,
terbukti masih bertahan gigih untuk tampak sebagai kebenaran abadi
bagi bangsa Indonesia. Peninjauan kembali terhadap awal kelahiran
sang rezim, yakni ‘perebutan kekuasaan tak masuk akal’ oleh Suharto
(meminjam istilah Pascal), sudah lama tertunda.
42
PENDAHULUAN
CATATAN
1 Dalam pidato-pidatonya sesudah terjadi G-30-S, Sukarno berulang kali
menyebut kejadian
itu sebagai sebuah “rimpel in de geweldige oceaan” (riak di samudra
luas). Ia
membandingkan
proses revolusioner di Indonesia dengan lautan bergelora, yang
terus-menerus menimbulkan
puncak dan lembah di permukaan air laut. Lihat, misalnya, pidatonya
pada saat melantik
Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober 1965, dalam
Setiyono dan
Triyana, ed., Revolusi Belum Selesai, I: 22-23, 38.
2 Tentang jumlah tahanan politik, lihat esai pengantar Robert Cribb
dalam buku yang
disuntingnya, Indonesian Killings, 42, dan Fealy, Release of
Indonesia’s Political
Prisoners,
lampiran.
3 Semua taksiran tentang jumlah orang yang dibunuh hanya perkiraan.
Penelitian yang
cermat dan menyeluruh belum pernah dilakukan. Komisi pencari fakta
yang ditunjuk
Presiden Sukarno melaporkan pada Januari 1966 bahwa terdapat 78.500
orang mati
dibunuh. Angka ini sengaja diperkecil oleh sebuah komisi yang dikuasai
perwira-perwira
militer dan yang mendasarkan laporannya pada informasi dari kalangan
perwira militer
juga.
Salah satu dari dua orang sipil di dalam komisi, Oei Tjoe Tat,
mengatakan bahwa secara
pribadi ia menyampaikan kepada Sukarno, jumlah sebenarnya mendekati
angka 500.000
atau 600.000 (Toer dan Prasetyo, eds., Memoar Oei Tjoe Tat, 192).
Pembahasan tentang
angka perkiraan ini, lihat Cribb, “How Many Deaths?”
4 Pimpinan inti, seperti yang akan saya uraikan dalam Bab I, ialah dua
tokoh sipil, Sjam
dan Pono, serta tiga perwira militer: Letnan Kolonel Untung, Mayor
Soejono, dan Kolonel
Abdul Latief.
5 Pidato pembelaan Kolonel Latief diterbitkan sendiri di Eropa
bersamaan dengan saat ia
diadili. Teks ini diterbitkan ulang di Indonesia sesudah Suharto jatuh
(Latief, Pledoi
Kol.
A. Latief). Banyak orang, termasuk saya, meminta kepada Latief agar
menjelaskan G-30-S
dengan lebih rinci. Jawaban standar Latief selalu meminta penanya agar
membaca pidato
pembelaan yang telah diterbitkannya itu. Penolakannya untuk menulis
tentang G-30-S
bukan disebabkan oleh kehilangan memori. Pada akhir 1980-an, ketika
masih dalam penjara,
ia pernah menulis secara rinci naskah 118 halaman, lengkap dengan
delapan diagram,
tentang pertempuran tunggal yang terjadi enam belas tahun sebelum
G-30-S (“Serangan
Umum 1 Maret 1949”). Ia meninggal karena sakit pada umur 78 tahun pada
6 April 2005
di Jakarta.
6 Tentang kisah-kisah ini, lihat Wieringa, Sexual Politics in
Indonesia, 291-327.
7 Ricklefs, History of Modern Indonesia, 268.
8 Cribb dan Brown, Modern Indonesia, 97.
9 Pemerintah telah menerbitkan sejarah monumen itu: Departemen
Pendidikan dan
Kebudayaan,
Hakekat Pembangunan Monumen Pancasila Sakti.
10 McGregor, “Commemoration of 1 October, ‘Hari Kesaktian Pancasila,’”
43.
11 Sebuah pamfl et yang dijual di museum (Pusat Sejarah dan Tradisi
ABRI, Buku Panduan
43
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya) dengan sangat baik mencantumkan
daftar diorama.
Dari 42 diorama, 15 menggambarkan insiden dari 1945 sampai 1948,
ketika PKI terlibat
dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda.
12 Museum Sejarah Monumen Nasional yang terletak di lantai dasar
Monumen Nasional, di
tengah Lapangan Merdeka, juga tidak menyebut PKI dalam perlawanan
terhadap penjajah.
Rencana pertama museum itu, yang ditulis oleh sebuah panitia di bawah
pengawasan
Sukarno pada 1964, mengusulkan sebuah diorama yang menggambarkan
pemberontakan
PKI 1926 di Banten. Setelah mengambil alih kekuasaan, Suharto
mencampakkan rencana
itu dan menyusun sebuah panitia baru pada 1969 di bawah pengawasan
sejarawan Nugroho
Notosusanto. Lihat McGregor, “Representing the Indonesian Past,”
105-106.
13 Badiou, Ethics, 41.
14 Empat novel Pramoedya Ananta Toer, yang ditulisnya ketika menjadi
tapol rezim
Suharto,
yaitu tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,
dan Rumah
Kaca), dapat dibaca sebagai penemuan kembali asal-usul gerakan
nasionalis. Judul-judul
dua novelnya yang pertama itu saja mencerminkan universalisme di balik
sebuah gerakan
untuk suatu partikularitas baru. Dalam karya-karya Pramoedya, bangsa
Indonesia tidak
tampil sebagai pendesakan chauvinisme etnik atau kultural, tapi lebih
merupakan suatu
persekutuan antara orang-orang yang menentang chauvinisme serupa itu.
Novel pertama
tetralogi ini didedikasikan untuk Han, nama panggilan seorang ilmuwan
Belanda, Gertrudes
Johan Resink.
15 Badiou, Ethics, 73-74. Untuk ulasan lebih luas tentang pendapat
Badiou mengenai
peristiwa dan kebenaran, lihat Hallward, Badiou, 107-80.
16 Bagian pelestarian sejarah militer, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI,
menerbitkan empat
jilid buku mengenai sejarah PKI: Bahaya Laten Komunisme di Indonesia.
Lihat juga Dinuth,
Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis; dan Suyitno,
Pemasyarakatan Bahaya
Laten Komunis.
17 Suharto membentuk Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban)
pada 10 Oktober 1965 dan mendapat persetujuan dari Sukarno pada 1
November
1965. Selanjutnya kehadiran Kopkamtib selalu samar-samar karena bukan
merupakan
badan pemerintah dengan birokrasi tersendiri. Suharto merancangnya
lebih sebagai fungsi
khusus di tubuh militer. Hampir semua personilnya adalah perwira yang
sekaligus memegang
jabatan dalam struktur militer yang reguler. Southwood dan Flanagan
mengatakan bahwa
keberadaan Kopkamtib mencerminkan adanya keadaan darurat permanen,
tapi mereka
keliru menganggapnya sebagai badan yang berdiri sendiri. Southwood dan
Flanagan,
Indonesia, bab 4. Aturan yang terkait dengan lembaga itu dikumpulkan
dalam Kopkamtib,
Himpunan Surat-Surat Keputusan/Perintah yang Berhubungan dengan
Kopkamtib 1965-1969.
Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian membubarkan pewaris
Kopkamtib,
Bakorstanas, pada 2000.
18 Schmitt, Political Th eology, 5.
19 Stewart Sutley membuat analisis yang bernas mengenai keadaan
darurat pada 1965-66
dalam kerangka teori Schmitt: “Th e Indonesian ‘New Order’ as New
Sovereign Space.”
44
PENDAHULUAN
Satu-satunya kekurangan yang saya catat adalah bahwa ia gagal memahami
upaya Suharto
menormalisasi keadaan darurat.
20 Giorgio Agamben memberikan analisis yang tajam mengenai dua
paradoks ini: hukum
yang menyatakan hukum tidak berlaku, dan kekecualian yang berubah
menjadi aturan
(dengan begitu meniadakan pembedaan antara kekecualian dan aturan).
Karena Schmitt
ingin menjaga keadaan kekecualian sebagai siasat sementara yang akan
menjadi produktif
bagi rule of law, maka ia tidak dapat menerima wawasan dari salah satu
tesis Walter
Benjamin
yang terkenal mengenai sejarah bahwa “tradisi kaum tertindas
mengajarkan kepada kita
bahwa ‘keadaan kekecualian’ tempat kita hidup sesungguhnya merupakan
aturan.” Agamben,
State of Exception, 52-88. Tentang domestikasi Schmitt terhadap
keadaan kekecualian,
lihat
McCormick, “Dilemmas of Dictatorship.”
21 Heryanto, “Where Communism Never Dies.”
22 National Security Archives, wawancara untuk seri televisi CNN, “Th
e Cold War,”
wawancara dengan Marshall Green, 15 Januari 1997, yang tersedia di
situs http://www.
gwu.edu/~nsarchiv/coldwar/interviews/episode-15/green6.html
23 Dokumen ini disiapkan bersama oleh CIA, NSA (National Security
Agency), DIA
(Defense Intelligence Agency), dan seksi intelijen Departemen Luar
Negeri. Judulnya
menggambarkan
isinya: “Prospects for and Strategic Implications of a Communist
Takeover in
Indonesia” (Prospek dan Implikasi Strategis dari Pengambilalihan
Kekuasaan oleh Kaum
Komunis di Indonesia). (Foreign Relations of the United States,
1964-1968 [selanjutnya
FRUS], 26: 290, www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/#FRUS).
24 Kolko, Confronting the Th ird World, 174. Lihat juga T. McCormick,
America’s Half-
Century, 100, 111, 114-118.
25 Dikutip dalam Shoup dan Minter, Imperial Brain Trust, 234-236.
26 Ibid., 236. Pernyataan kebijakan pada 1952 itu adalah memorandum
National Security
Council (NSC) 124/1. Pernyataan pada 1954 adalah memorandum NSC 5405.
27 Dikutip dalam Scott, “Exporting Military-Economic Development,”
241.
28 Richard M. Nixon, “Asia After Vietnam,” 111.
29 William Bundy, prakata untuk Marshall Green, Indonesia, xi. Bundy
saat itu Asisten
Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifi k dari 1964
sampai 1969.
30 McNamara, In Retrospect, 214.
31 Ibid., 270.
32 Ibid., 215. McGeorge Bundy, penasihat keamanan nasional untuk
Kennedy dan Johnson,
juga menegaskan bahwa Vietnam tidak lagi merupakan kepentingan yang
vital, “paling tidak
sejak adanya revolusi antikomunis di Indonesia” (dikutip dalam John
Mueller,
“Reassessment
of American Policy,” 52). Keputusan pemerintah Johnson pada awal
sampai medio-1965
untuk meningkatkan perang secara dramatik (dengan pemboman atas
Vietnam Utara dan
memasukkan pasukan darat AS ke Vietnam Selatan) tidak dengan
berpedoman pada teori
domino. Seperti ditunjukkan George Kahin, pemerintah AS terutama
prihatin pada 1965
dengan konsekuensi-konsekuensi simbolis akan kemungkinan jatuhnya
Vietnam Selatan ke
45
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
tangan kaum komunis. Para pejabat AS ingin menghindari rasa terhina
dan memperingatkan
bangsa-bangsa lain bahwa perlawanan terhadap tentara AS akan
menanggung harga mahal,
bahkan seandainya pun perlawanan itu pada akhirnya menang (G. Kahin,
Intervention,
283, 312-314, 356-358, 363, 375, 390-393). Untuk teori domino, lihat
juga Porter, Perils
of Dominance, 243-258.
33 New York Times, 11 Oktober 1965, hal. 1.
34 New York Times, 19 Juni 1966, hal. 12E.
35 Time (edisi Kanada), 15 Juli 1966, hal. 44.
36 Dikutip dalam Noam Chomsky, Year 501, 126.
37 Chomsky dan Herman, Th e Political Economy of Human Rights, I:
205-217.
38 Saya penyunting bersama sebuah kumpulan esai mengenai pengalaman
para korban:
Roosa, Ratih, dan Farid, eds., Tahun yang Tak Pernah Berakhir.
39 Peter Dale Scott, yang mempelajari G-30-S dan juga pembunuhan
terhadap Kennedy,
mengajukan istilah deep politics untuk mengacu pada aspek-aspek negara
yang
dirahasiakan,
“semua praktek dan perencanaan politik yang, sengaja atau tidak,
biasanya ditutupi
ketimbang diakui.” Yang dimaksud, misalnya, penggunaan
sindikat-sindikat kejahatan yang
terorganisir oleh negara (Deep Politics and the Death of JFK, 7, 10).
Buku puisi Scott
Coming
to Jakarta merupakan renungan mendalam tentang keterlibatan
orang-orang Amerika Utara
yang beradab, terpelajar di dalam kekejaman di negeri-negeri seperti
Indonesia, Vietnam,
dan Cile.
40 Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, 6: 265-267. Dokumen Supardjo
juga disebut
sambil lalu dalam dua buku yang baru terbit, Katoppo, Menyingkap Kabut
Halim 1965,
132-33, 255, dan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, 8. Sulistyo
mengutip dokumen itu
hanya untuk membuktikan hal kecil bahwa G-30-S tidak memberikan
persediaan makan
bagi pasukannya.
41 Rekaman sidang Mahmilub terhadap Supardjo pada 1967 tersedia di
Museum TNI Satria
Mandala, Jakarta, dan Kroch Library di Cornell University.
Bagian-bagian tertentu dari
rekaman sidang Supardjo digunakan oleh Crouch, Th e Army and Politics
in Indonesia, 115,
127, 128, 132. Sebelumnya ada juga penemuan sumber primer penting yang
terpendam
di dalam rekaman Mahmilub. Awal 1980-an, saat membaca rekaman sidang
Letkol Heru
Atmodjo, Benedict Anderson menemukan laporan otopsi jasad tujuh
perwira yang dibunuh
G-30-S di Jakarta. Suharto menyembunyikan laporan itu, tapi militer
melampirkannya
dalam beberapa rekaman sidang Mahmilub sebagai bukti, tanpa menyadari
akibatnya di
masa mendatang (Anderson, “How Did the Generals Die?”)
42 Fic, Anatomy of the Jakarta Coup. Victor Fic (1922-2005) seorang
ilmuwan politik,
yang
mulai menulis tentang Indonesia pada 1960-an. Selain dokumen Supardjo,
buku Fic tidak
memuat sesuatu yang baru, baik dalam hal sumber maupun cara analisis.
Ia mengandalkan
laporan interogasi militer dan dokumen Mahmilub, dan mengulang
argumen-argumen
yang dikemukakan dalam publikasi-publikasi rezim Suharto. Pendapat Fic
bahwa baik
pemerintah Tiongkok maupun Presiden Sukarno terlibat dalam G-30-S
didasarkan atas
46
PENDAHULUAN
spekulasi belaka.
43 Sugiarto, putra Supardjo, dalam pembicaraan dengan saya mengonfi
rmasi bahwa dokumen
tersebut ditulis oleh ayahnya.
44 Hasan meminta saya mengumumkan nama dan menerbitkan memoarnya
setelah ia wafat.
Begitu identitas dan kisah hidupnya diungkap, akan jelas bahwa ia
memang berposisi untuk
memiliki informasi tangan pertama mengenai kejadian-kejadian yang
diceritakannya.
45 Siauw, “Berbagai Catatan dari Berbagai Macam Cerita.” Tulisan Siauw
lainnya yang
tidak diterbitkan, “Th e Smiling General Harus Dituntut ke Mahkamah,”
berisi beberapa
informasi yang sama.
46 Baperki adalah singkatan dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia.
Mengenai kegiatannya lihat Coppel, Indonesian Chinese in Crisis.
Tentara melarang
organisasi
ini pada akhir 1965 dan menangkap sebagian besar anggotanya. Mengenai
Siauw lihat
biografi informatif yang disusun putranya, Siauw Tiong Djin, Siauw
Giok Tjhan.
47 Soebandrio, Kesaksianku tentang G-30-S. Gramedia, penerbit terbesar
di Indonesia,
semula bermaksud menerbitkan buku itu. Tapi tanpa mengemukakan
alasannya, mereka
membatalkan penerbitannya dan menghancurkan 10.000 eksemplar yang
sudah dicetak.
Lihat Gamma, 8-14 November 2000, 16-17; Tempo, 4 Februari 2001, 68-69.
Naskah itu
sekarang sudah menjadi milik umum. Banyak orang dan kelompok di
Indonesia yang
kemudian menerbitkannya sendiri.
48 Surodjo dan Soeparno, Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan
Tanganku. Mingguan
Tempo memuat laporan khusus mengenai Dani, 4 Februari 2001, 60-65.
49 Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965.
50 Berkas itu ialah Indonesia, Malaysia-Singapore, Philippines, vol.
26 of Department of
State,
FRUS 1964-68. Lihat catatan kaki 23 untuk mengakses bahan ini melalui
internet.
51 Darnton, “It Happened One Night,” 60. Saya berterima kasih kepada
Courtney Booker
yang memberitahu saya mengenai esai tinjauan ini.
52 Ritchie, Rashomon, 87.
53 Darnton, “It Happened One Night,” 60.
54 Pada kesempatan arahan pers pada 12 Februari 2002, Menteri
Pertahanan AS Rumsfeld
menyatakan, “Ada hal-hal yang sudah diketahui. Ada hal-hal yang kita
tahu bahwa kita
tahu.
Kita juga tahu ada hal-hal tidak diketahui yang kita ketahui. Maksud
saya, kita
mengetahui
ada hal-hal yang kita tidak ketahui. Tapi juga ada hal-hal yang tidak
kita ketahui kita
tidak
tahu, hal-hal yang kita tidak ketahui.” Pernyataan ini bermaksud
menanggapi laporan
intelijen palsu tentang senjata pemusnah massal di Irak. Sebagai
sebuah permakluman
mengenai laporan tersebut, pernyataan Rumsfeld ini merupakan
pengaburan masalah.
Tetapi, pernyataan itu sendiri bukanlah omong kosong seperti
dituduhkan para
pengkritiknya.
Masalahnya terletak pada keterbatasannya. Ia tidak menyebutkan
kategori keempat
yang pokok dalam psikoanalisis: yang diketahui tidak diketahui, atau
hal-hal yang kita
ketahui tapi kita tidak mengakui bahwa mengetahui. (Zizek, “What
Rumsfeld Doesn’t
Know Th at He Knows about Abu Ghraib”).
47
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
55 Kisah detektif dari genre lebih tua biasanya sibuk dengan penjahat
individual dan
bukan
pelaku kolektif. Kesulitan umum dalam menentukan siapa yang menjadi
pelaku dalam
kasus pembunuhan massal adalah sifat kekerasan birokratik yang
impersonal: pejabat di
atas mengaku tidak mengetahui apa yang dilakukan bawahan, sementara
bawahan mengaku
bertindak mengikuti perintah dari atasan. Mungkin saja ambiguitas dan
impersonalitas
yang
inheren dalam kekerasan birokratik inilah yang telah menghambat
munculnya genre sastra
yang akan menokohkan para penyelidik hak asasi manusia di masa kini.
56 Sukarno menggunakan analogi ini dalam pidato 27 Oktober 1965
(Setiyono dan Triyana,
eds., Revolusi Belum Selesai, I: 61-62).
57 Korban terdiri dari enam jenderal Angkatan Darat, seorang letnan,
anak perempuan
Jenderal Nasution yang berumur lima tahun, seorang pengawal di rumah
Leimena (tetangga
Nasution), kemenakan Brigjen Pandjaitan yang berumur dua puluh empat
tahun, dan dua
perwira Angkatan Darat di Jawa Tengah. Kemenakan Pandjaitan yang lain
luka parah akibat
tembakan. Daftar ini didasarkan pada catatan Angkatan Darat. Pada
kesempatan upacara di
Lubang Buaya pada 1 Oktober 1966 Angkatan Darat membagikan laporan
singkat berbahasa
Indonesia tentang G-30-S. Laporan ini diterjemahkan Kedutaan Besar
Kanada (Canadian
Embassy, Jakarta, to Under-Secretary of State for External Aff airs,
Ottawa,
“Anniversary
of Last Year’s Abortive Coup”, 11 Oktober 1966). Saya mengucapkan
terima kasih kepada
David Webster yang telah mengirim salinan dokumen ini kepada saya.
58 Anderson dan McVey, Preliminary Analysis, 63.
59 Tangan kanan Suharto, Letkol Ali Moertopo, saat berceramah di
hadapan sekelompok
pejabat pemerintah, menyatakan bahwa sebelum 1965 pengaruh PKI sangat
meluas: “Orang
Indonesia dipengaruhi komunisme sebagai sistem berpikir begitu lamanya
sehingga bisa
dikatakan sebagai cara berpikir orang Indonesia” (Bourchier dan Hadiz,
eds., Indonesian
Politics and Society, 110). Pernyataan ini berlebihan. Sukarno
sebenarnya jauh lebih
berpengaruh
daripada PKI. Para pejabat rezim Suharto, seperti Ali Moertopo, tidak
pernah
sampai mengutuk Sukarno, tapi watak antikomunis mereka mengharuskan
mereka bermusuhan
terhadap salah satu prinsip Sukarno yang paling dikobar-kobarkan,
yaitu Nasakom,
persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis. Pada 1926 Sukarno sudah
menyerukan
agar orang-orang dari tiga aliran ini untuk mengenali kepentingan
bersama mereka dan
bersatu demi perjuangan nasionalis. Ia mengakui peran PKI dalam
politik nasional.
Sukarno,
Nationalism, Islam and Marxism.
60 Untuk renungan yang mendalam tentang psikologi penyangkalan, lihat
Cohen, States
of Denial.
61 Satu contoh utama tentang kebungkaman yang demikian tertata ini
dapat ditemukan
dalam Notosusanto dan Saleh, Th e Coup Attempt of the ‘September 30
Movement’ in
Indonesia.
62 Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 114.
63 “Surat Perintah 11 Maret untuk mengatasi situasi konfl ik ketika
itu,” Kompas, 11
Maret
1971, hal. 1, 12.
64 Cribb, ed., Indonesian Killings 1965-1966, 16.
48
PENDAHULUAN
65 Karnow, “First Report on Horror in Indonesia,” Washington Post, 17
April 1966, 1,
20; Seth King, “Th e Great Purge in Indonesia,” New York Times
Magazine, 8 Mei 1966;
Seymour Topping, “Slaughter of Reds Gives Indonesia a Grim Legacy,”
New York Times,
24 Agustus 1966, 1, 16.
66 Karnow, “First Report on Horror,” 20.
67 Topping, “Slaughter of Reds,” 16.
68 Ibid.
69 Dikutip dalam Newfi eld, Robert Kennedy, 71.
70 Time (edisi Kanada), 15 Juli 1966, 30-31.
71 C.L. Sulzberger, “Foreign Aff airs: When an Nation Runs Amok,” New
York Times, 13
April 1966, 40.
72 Don Moser, “Where the Rivers Ran Crimson from Butchery,” Life, 1
Juli 1966, 26-28.
73 Shaplen, Time Out of Hand, 128. Buku ini berdasar pada
karangan-karangan Shaplen
tentang Asia Tenggara di New Yorker.
74 Ibid., 26.
75 Ibid., 128.
76 Geertz, After the Fact, 10.
77 Geertz, Interpretation of Cultures, 452 n. 43.
78 Friend, Indonesian Destinies, 99, 113, 115.
79 Sebuah laporan yang diterbitkan tentara mencatat bahwa Resimen Para
Komando
Angkatan Darat (RPKAD) mulai menggulung ribuan orang yang dicurigai
sebagai anggota
PKI di Jawa Tengah pada 18 Oktober 1965: “Dalam melaksanakan gerakan
pembersihan,
RPKAD tidak menjumpai perlawanan sedikit pun dari sisa-sisa kaum
pemberontak.”
Dengan kata lain, “para pemberontak” itu tidak di dalam proses memberontak
pada saat
mereka ditangkap (Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan
Sejarah Perjuangan
TNI-Angkatan Darat, 506.
80 Gestapu jelas merupakan akronim yang dibikin-bikin. Bahasa
Indonesia biasanya
membangun akronim dengan menggabungkan suku kata-suku kata, terkadang
huruf-huruf,
dari sejumlah kata dalam susunan yang menampakkan suku kata-suku
katanya. Dalam
Gestapu, huruf “s” itu tidak menurut aturan susunan katanya.
81 Uraian paling rinci mengenai propaganda militer dalam bulan-bulan
setelah G-30-S
adalah Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 291-317.
82 Sebuah karangan yang berdasarkan riset sejarah lisan memberi
penegasan dengan rinci
terhadap pendapat Anderson dan McVey. Lihat Hasworo, “Penangkapan dan
Pembunuhan
di Jawa Tengah Setelah G-30-S.”
83 Wawancara dengan mantan anggota PKI di Jawa Barat: Djayadi, 1 April
2001,
Tasikmalaya;
Rusyana, 11 Juli 2001, Jakarta. Keduanya nama samaran.
84 Hughes, End of Sukarno, bab 15, berjudul “Frenzy on Bali.” Lihat
juga Elson, Suharto,
49
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
125.
85 Analisis paling jitu mengenai pembunuhan di Bali dilakukan oleh
Robinson, Th e Dark
Side of Paradise, 273-303.
86 Ini berdasarkan wawancara saya dengan janda dari seorang mantan
pimpinan PKI di
Denpasar, Ibu Tiara (nama samaran), 15 Agustus 2000, dan Ibu Puger, 11
Januari 2001.
87 Tanggal ini disebutkan oleh Wayan, nama samaran seseorang yang
ditahan bersama I Gde
Puger, salah seorang di antara orang-orang yang dibunuh di Kapal.
Wayan mengingat
tanggal
ketika Puger dibawa keluar oleh tentara pada malam hari untuk
dieksekusi. Wawancara
dengan Wayan, 12 Juli 2004, Ubud.
88 Wawancara dengan I Wayan Dana, 6 Januari 2001, Denpasar; Pugeg, 3
September 2000,
Denpasar; Kompyang Suwira, 2 September 2000, Denpasar; I Ketut Reti, 7
Januari 2001;
Poniti, 24 Agustus 2000, Kapal.
89 Robinson, Th e Dark Side of Paradise, 295.
90 Cribb, “Genocide in Indonesia, 1965-1966,” 235.
91 Kasus yang paling terkenal adalah referendum di Timor Leste pada
1999. Militer
memobilisasi
milisi untuk mengintimidasi pemilih agar mendukung integrasi dengan
Indonesia.
Setelah hasil referendum diumumkan, militer dan milisi menghancurkan
Timor Leste
sebagai tindak balas dendam, membunuh ratusan orang, dan memindahkan
sekitar 250.000
orang secara paksa ke Timor Barat, dan membakar sekitar 70 persen dari
bangunan yang
ada. (Martinkus, A Dirty Little War; Bartu, “Th e Militia, the
Military, and the People
of
Bobonaro”).
92 Trouillot, Silencing the Past, 2.
93 Ibid., 26.
94 Dalam pernyataannya kepada masyarakat Jawa Tengah, November 1965,
Suharto menyerukan
penghancuran Gerakan 30 September “sampai pada ke akar-akarnya.”
(Dinuth,
Dokumen Terpilih Sekitar G-30-S/PKI, 137).
95 Prunier, Th e Rwandan Crisis, 241. Dalam argumennya bahwa kaum
chauvinis Hutu yang
melakukan pembunuhan mengharapkan dunia internasional tidak campur
tangan, Prunier
mengajukan pertanyaan retoris, “Siapa yang ingat tentang setengah juta
orang Tionghoa
yang dibunuh atas perintah Presiden Suharto di Indonesia pada 1965?”
(229).
Pertanyaannya
mengenai ingatan ini menarik karena mengungkap betapa buruk ingatan
orang tentang
pembunuhan massal di Indonesia. Keliru gagas yang umum terjadi
menyatakan hanya orang
Tionghoa saja yang dibunuh dalam peristiwa itu. Kendati ada orang
Tionghoa yang dibunuh,
mereka tidak menjadi sasaran sebagai kelompok. Beberapa orang Tionghoa
dengan sukarela
bekerja sama dengan tentara. Sebagian besar korban adalah orang Jawa
dan Bali. Orang
Tionghoa yang dibunuh biasanya terkait dengan organisasi kiri seperti
Baperki. Andaikata
kaum militan Hutu Power berhasil mempertahankan kekuasaan mereka
seperti halnya
Suharto, boleh jadi pembunuhan di Rwanda pun akan salah diingat
sebagai suatu ledakan
misterius dan spontan dari hasrat pembalasan dendam rakyat. Sehubungan
dengan ulasan
Prunier, hendaknya diperhatikan bahwa Suharto belum menjadi presiden
pada 1965.
50
PENDAHULUAN
96 Esai pengantar dalam buku yang ikut saya sunting memberikan
analisis yang lebih luas,
meskipun masih bersifat pendahuluan mengenai pembunuhan tersebut:
Roosa, Ratih, dan
Farid, eds., Tahun yang Tak Pernah Berakhir, 8-18. Masih banyak
penelitian sejarah lisan
yang perlu dilakukan mengenai pembunuhan di berbagai tempat sebelum
gambar yang
lebih jelas dapat muncul.
97 Kebebalan ingatan sosial mengenai pembunuhan ini dapat dilihat
dalam karya Taufi q
Ismail, salah seorang penyair Indonesia yang terkenal. Dalam buku
kumpulan yang
kacaubalau
berisi gambar, dokumen, dan esai pendek (beberapa di antaranya
mengenai masalah
narkotika yang tidak relevan), Ismail menyatakan Marxisme-Leninisme
adalah ideologi
berpembawaan jahat yang pasti berujung pada genosida. Pembunuhan
massal antikomunis
1965-66 dengan begitu merupakan tindak pencegahan: pembunuhan itu
dilakukan untuk
mencegah pembunuhan massal lebih besar yang akan dilakukan kaum
komunis. (Ismail,
Katastrofi Mendunia). Ilmuwan sosial Iwan Gardono Sujatmiko juga
mengatakan bahwa
pembunuhan massal itu merupakan upaya pencegahan: “Kehancuran PKI
Tahun 1965-
1966,” 11. Tentu saja semua pembunuhan massal yang pernah ada dapat
dibenarkan dengan
cara demikian. Para pelaku selalu mengaku bertindak untuk membela
diri. Pembenaran
Ismail dan Sujatmiko secara eksplisit terhadap pembantaian politik ini
tidak lazim dalam
wacana publik Indonesia – kejadian ini biasanya diabaikan begitu saja
– tapi secara
akurat
mencerminkan apa yang akan dinyatakan oleh mereka yang terlibat dalam
pembunuhan
itu jika didesak untuk menjelaskan tindakan mereka.
98 R. Evans, Coming of the Th ird Reich, 328-333.
99 Dikutip dalam R. Evans, Coming of the Th ird Reich, 332.
100 Setiawan, Kamus Gestok, 99-100.
101 Lihat pidato-pidato yang dikumpulkan dalam Setiyono dan Triyana,
Revolusi Belum
Selesai.
102 Strategi Sukarno untuk menghadapi Suharto dari akhir 1965 sampai
Maret 1968
memerlukan perhatian lebih banyak dari apa yang diperoleh selama ini.
Crouch, yang
analisisnya paling rinci sejauh ini, berpendapat bahwa Sukarno yakin
dapat mengalahkan
Suharto (Crouch, Th e Army and Politics in Indonesia, 158-220. Juga
dalam Legge,
Sukarno,
430-58). Namun tetap menjadi pertanyaan, mengapa Sukarno tidak memecat
Suharto atau
menyerukan perlawanan terhadap pembantaian yang dilakukan tentara.
Cara utama Sukarno
melakukan perlawanan adalah dengan berpidato – cara yang diketahuinya
sia-sia karena
tentara, yang mengontrol media, memberangus atau mendistorsi
pernyataan-pernyataannya.
Apa pun alasan Sukarno menggunakan strategi kompromi ini, kiranya
sulit menghindari
kesimpulan bahwa ia bertindak sebagai pengecut menghadapi pembunuhan
massal itu.
103 Pada 2000 pemerintah menghapus Hari Kesaktian Pancasila untuk
menghindari
konotasi bahwa Pancasila itu sakti sehingga kedudukannya sama dengan
agama. Sebutan
baru yang digunakan, Peringatan Mengenang Tragedi Nasional Akibat
Pengkhianatan
Terhadap Pancasila, menegaskan ulang propaganda rezim Suharto; Gerakan
30 September,
bukan pembantaian massal yang terjadi menyusul, merupakan tragedi
nasional (“Betrayal
of Pancasila Tragedy Commemorated,” Jakarta Post, 2 Oktober 2000).
Ketika Megawati
51
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Sukarnoputri menjadi presiden, ia memimpin upacara di Lubang Buaya
pada 2001 dan
2003, tetapi pada 2002 dan 2004 ia mengirim menteri koordinator
politik dan keamanan
untuk memimpin upacara itu (“Megawati dan Hamzah Tak Hadir di Lubang
Buaya,”
Kompas, 1 Oktober 2004). Lihat juga Adam, “Dilema Megawati di Lubang
Buaya,” Kompas,
8 Oktober 2003; McGregor, “Commemoration of 1 October,” 61-64.
104 Budiawan, “When Memory Challenges History”; van Klinken, “Th e
Battle for History
after Suharto.” Laksamana.Net, “Amien Rais Inaugurates New
Anti-Communist Front,” 27
Februari 2001. Lihat juga artikel-artikel surat kabar yang
menggebu-gebu pada April 2000
ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan agar ketetapan MPRS yang
melarang
Marxisme-Leninisme dicabut: “New Wave of Protests Target Plan on
Communism,” Jakarta
Post, 8 April 2000, hal. 1. Sulastomo, “Tap XXV/MPRS/1966,” Kompas, 12
April 2000,
hal. 4. Franz Magnis-Suseno, “Mencabut Tap No XXV/MPRS/1966?,” Kompas,
14 April
2000. “Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu,” Kompas, 14 April 2000, hal.
7; “Clamour
about Marxism,” Jakarta Post, 18 April 2000, hal. 4.
105 Antara 1965-66, sebagai mahasiswa di Jakarta, Soe Hok Gie adalah
pendukung
bersemangat
gerakan operasi militer melawan PKI dan Presiden Sukarno. Lihat
kumpulan
tulisantulisannya
dari masa itu, Catatan Seorang Demonstran. Tapi beda dari banyak
temannya
sesama pemuda antikomunis, yaitu yang disebut Angkatan 1966, hatinya
memberontak
seketika ia mengetahui tentang pembunuhan massal dan menyadari bahwa
pemerintahan
Sukarno digantikan oleh kediktatoran militer. Tulisan-tulisan Soe Hok
Gie pada 1967-69,
yang kemudian dikumpulkan dan terbit di bawah judul Zaman Peralihan,
mencetuskan
pendapat berbeda yang keras. Banyak dari kalangan “Angkatan 1966” yang
mencela tirani
Sukarno, kemudian dengan nyaman menikmati posisi-posisi dengan gaji
besar dalam tirani
Suharto.
52
1
KESEMRAWUTAN FAKTA-FAKTA
Jika ada bagian sejarah yang dicat kelabu di atas kelabu, inilah
bagian
itu. Orang-orang dan kejadian-kejadian tampak seperti kebalikan si
Schlemihl, seperti bayang-bayang yang kehilangan tubuh.1
Karl Marx, Th e Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (1852)
PAGI HARI 1 OKTOBER
Gerakan 30 September menyatakan keberadaan dirinya untuk
pertama kali melalui siaran RRI pusat pada pagi hari 1 Oktober
1965. Pasukan-pasukan yang setia kepada G-30-S menduduki
stasiun pusat RRI dan memaksa sang penyiar membacakan sebuah
dokumen terketik untuk siaran pagi itu. Mereka yang memasang radio
sekitar pukul 7.15 menangkap pengumuman selama sepuluh menit
yang terdengar seperti warta berita biasa saja. Para penggerak G-30-S
menulis pernyataan mereka tidak dalam gaya bicara orang pertama,
tetapi
orang ketiga, seakan-akan seorang wartawan yang menyusun pernyataan
tersebut. Siaran itu dua kali menyebutkan “menurut keterangan
yang didapat dari Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30
September,” sehingga memberi kesan bahwa berita radio itu mengutip
dari dokumen lain. Suara mengelabui dari orang ketiga ini memberi
suasana berita yang menentramkan. Seakan-akan para penyiar radio
masih bertugas seperti biasa dan tidak ada pasukan bersenjata menyerbu
53