Pendahuluan
Publish or Perish: Pelajaran Berharga dari Bencana
Pengantar
Publish dunk! Begitu bunyi sebuah SMS (short message service) super pendek dari seorang kawan, pada suatu sore. Sesaat membaca pesan pendek itu, sebuah SMS dari seorang kawan lainnya merangsek masuk. “Aku masih di lapangan, tapi siap bergabung di pertemuan nanti malam, Kang!”, demikian bunyi SMS menyiratkan antusiasme pengirimnya. Selang sekian detik inbox messages ditutup, HP tiba-tiba berbunyi. Begitu tut dial dipencet, dari seberang telepon terdengar seorang kawan yang lainnya lagi. Di sela-sela tawanya yang lepas, terselip apresiasi pendek, “Aku senang menerima SMS yang lugas, tegas, dan menantang seperti ini. Dengan senang hati aku pasti datang, Lik! Sampai ketemu nanti malam”, tegas kawan tersebut menutup pembicaraannya. Menit-menit menjelang petang terkirim SMS balasan dari beberapa kawan yang menegaskan kesanggupannya untuk hadir pada pertemuan dadakan malam itu.
Awal cerita, pada pertengahan Februari 2007, sekumpulan aktivis yang terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng, 27 Mei 2006, sepakat untuk menuliskan pengalaman lapangannya dalam format buku. Menurut rencana, buku itu akan diluncurkan persis pada saat peringatan satu tahun bencana gempa bumi terjadi, 27 Mei 2007. Sejak tercapai kata sepakat, praktis hanya tersedia waktu 3 bulan untuk proses penulisan. Dua bulan berjalan mengindikasikan komitmen yang melemah. Meski setiap seminggu sekali dijadwalkan untuk mempresentasikan draf tulisan masing-masing kawan, namun finalisasi tulisan tak kunjung terealisir juga. Selama kurang lebih dua bulan, tak seorang kawan pun mengumpulkan tulisannya untuk segera diedit, demi mengejar tenggat waktu yang teramat mepet. Kesibukan dan keletihan melakukan pendampingan masyarakat memang menjadi alasan yang cukup masuk akal untuk tertundanya proses penulisan. Melihat gelagat kawan-kawan yang kian “tersandera” oleh aktivitas lapangan, iseng-iseng penulis menyebar sebuah SMS “kompor”: “Mengundang kawan-kawan pada pertemuan nanti malam, pukul 20.00 WIB, untuk menindaklanjuti rencana penerbitan buku penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Telah disiapkan hidangan dengan menu pilihan istimewa untuk kita semua: Publish or Perish?”
Tak disangka-sangka, SMS iseng yang tersebar disambar begitu saja oleh antusiasme kawan-kawan, seperti yang terekspresikan di atas. Entah dari mana spirit dan energi itu berasal, hingga dalam himpitan keletihan kawan-kawan pun masih meringankan kaki dan hati demi menghadiri undangan dadakan tersebut. Malam itu, sepuluh orang kawan berkumpul untuk menyusun draf tulisan masing-masing, dengan merelakan kawan lain mengkritisi dan memberikan masukan. Demikian seterusnya, silih berganti mereka saling saji dan bongkar draf tulisan. Pertemuan berakhir sekitar 03.00 WIB. Masing-masing kawan mengantongi draf tulisan yang relatif rinci dan komprehensif. Hari-hari berjalan, upaya saling sharing pengalaman, mengasah ide, dan memperkaya gagasan terus berlangsung di setiap Senin sore, pukul 17.00-21.00 WIB, di PSPK-UGM. Di tempat itulah kawan-kawan aktivis lintas lembaga yang tergabung dalam Forum Senenan (FS) menginisiasi sekaligus membidani lahirnya buku yang tengah Anda baca ini.
Berlakunya sistem jawilan (relasi kawan dekat) dan sistem gethok tular (pemberitaan dari mulut ke mulut) dalam relasi antar partisipan FS memberi peluang kepada banyak kawan untuk menyumbang tulisan. Mengejar optimalisasi tema, persoalan kekurangan penulis pun segera bisa terpecahkan. Dari dua puluh enam tulisan yang ada di buku ini, lima di antaranya ditulis oleh kawan-kawan jaringan di luar FS. Hal itu terjadi karena beberapa kawan FS menarik kembali kesanggupannya untuk menulis. Para partisipan FS sendiri meyakini bahwa penulisan buku ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas berjejaring untuk advokasi warga korban bencana. Dan ketika buku ini berhasil diterbitkan, kawan-kawan FS pun memaknainya sebagai sebentuk kemenangan kecil. Upaya-upaya untuk merancang dan mencapai berbagai bentuk kemenangan kecil semacam ini bagaimanapun juga sangat penting. Karena hal itu akan sangat berarti bagi peminimalisiran rasa bosan, lelah, dan lembeknya energi dalam gerakan sosial. Selain sebagai sarana aktualisasi diri, aktivitas semacam itu juga bisa menjadi wahana peneguhan komitmen para aktivis dalam kancah gerakan sosial yang tengah mereka geluti bersama. Selain itu, buku yang dihasilkan juga bisa menjadi wujud penyuaraan dan pembelaan terhadap hak-hak dasar korban yang hingga kini masih tercecer di sana-sini. Dengan cara itulah elan vital kawan-kawan bisa terbaharui lagi, dan secara praktis bisa meminimalisir terjadinya compassion fatigue1 yang lazim dialami para pekerja kemanusiaan maupun pekerja sosial.
__________________________________
1. Istilah Compassion Fatigue merujuk pada pengertian kelelahan psikologis yang dihadapi oleh kaum pekerja yang bergerak dalam lingkup kerja-kerja pelayanan medis maupun pelayanan sosial kemasyarakatan (karitatif dan non-karitatif). Pengertian itu
Kendati terbitnya buku ini mundur dua bulan dari rencana awal, namun kawan-kawan tetap berbesar hati, lantaran jerih payah mereka tersulihi oleh suatu kemenangan kecil. “Siapa bilang aktivis lapangan tak bisa menulis”, celetuk seorang kawan. “Kita harus tunjukkan bahwa aktivis lapangan juga bisa menulis”, imbuh kawan lain penuh percaya diri. Memang patut diakui bahwa dengan segenap cacat dan celanya, kurang dan lebihnya, kemunculan buku ini merupakan buah penyelarasan kerja tangan, otak, dan hati mereka. Melalui buku ini, kawan-kawan berupaya menginisiasi jejaring advokasi untuk warga korban bencana dengan “gerakan menulis”. Menurut keyakinan mereka, sehebat apapun pengalaman lapangan seorang aktivis tak akan banyak berandil bagi gerakan sosial yang lebih besar, tanpa adanya diseminasi berbagai pengalaman dan hasil kerja mereka di lapangan. Dengan keyakinan itu, selain mengakar pada gerakan komunitas akar rumput, mereka bisa berjejaring di kancah gerakan yang lebih luas. Dengan demikian, pengalaman lapangan tak sekadar tertimbun di kantung-kantung sejarah personal, namun bisa menjadi materi pembelajaran bersama bagi siapa saja yang ingin mendialogkan berbagai prakarsa ke depan bagi perkembangan gerakan masyarakat sipil yang lebih besar lagi.
Jika kita pernah mengenal bahwa credo para intelektual akademis adalah publish or perish2, maka bagi kaum aktivis, credo tersebut
__________________________________
juga sangat dekat dengan fenomena kelelahan psiko-sosial para pekerja kemanusiaan. Awalnya, istilah ini muncul pada tahun 1992, dalam tulisan Joinson (di sebuah majalah keperawatan) maupun dalam buku Jeffrey Kottler yang berjudul Compassionate Therapy. Keduanya menengarai sebuah gejala dengan mengajukan sebuah pertanyaan berikut: bagaimana dan mengapa para pekerja yang bergelut di bidang pelayanan kesehatan dan sosial kehilangan rasa simpati yang mendalam (compassion) atas penderitaan dan ketidakberuntungan orang-orang lain yang mereka layani. Indikator penting dari Compassion Fatigue ini muncul ketika para pekerja itu tak lagi berkemauan kuat (lembek, loyo, tidak lagi berpegang pada mandat dan komitmen) untuk meringankan rasa sakit/penderitaan maupun menghilangkan akar penyebab dari penderitaan tersebut. Untuk uraian lebih lanjut baca Charles R. Figley, Ph.D, Compassion Fatigue: An Introduction dalam www.greencross.org
2. Berdasarkan hasil pelacakan Eugene Garfield, credo “publish or perish” yang sangat terkenal ini, muncul pertama kali dalam tulisan Logan Wilson berjudul The Academic
bisa diubah dan dibunyikan menjadi praxist or perish maupun write or perish. Menurut hemat penulis, tanpa berkeinginan untuk narsis, buku ini sedikit banyak telah merepresentasikan pilihan yang adekuat atas ketiga credo di atas, yaitu: praxist, write, dan publish. Setelah selama lebih dari 1 tahun bergulat bersama-sama warga korban bencana, kawan-kawan secara riil telah berpraksis dalam pemulihan pasca bencana. Dari praksis itu, mereka tentu mendapatkan berbagai buah pelajaran yang sangat berharga, yang boleh jadi belum pernah diperoleh sebelumnya. Bertitik tolak dari praksis itu, mereka mentransformasikan berbagai pengalaman dan pelajaran baru tersebut ke dalam tulisan. Kendati berbagai pengalaman itu tak utuh dan masih terfragmentasi dalam penulisannya, namun secara mendasar kawan-kawan telah memilih hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Pada akhirnya berbagai tulisan yang terfragmentasi itu dibingkai dan diterbitkan bersama dalam bentuk buku ini. Dengan alur semacam itu, disadari atau tidak, mereka telah melakukan proses dialektis, aksi-refleksi-aksi. Melalui metode dialektis itu, pengalaman bencana yang telah tertuang di buku ini bisa dijadikan sebagai acuan dalam praksis-praksis penyadaran publik, terutama yang terkait dengan manajemen risiko (risk management) dan kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness).
Namun, terlepas dari sisi positifnya, kumpulan kisah dan refleksi yang ditulis kawan-kawan FS di buku ini tetap menorehkan cacat dan kelemahannya. Harus diakui, buku ini tidak bisa dikatakan mewakili suara dan pengalaman pelaku utama yakni para penyintas (survivors) gempa. Sebagian dari suara dan pengalaman para penyintas hanya terselip di antara alur-alur pikir dan refleksi para penulisnya (aktivis dan pekerja kemanusiaan) saja. Alih-alih mewakili, tulisan para aktivis boleh jadi justru mereduksi pengalaman para penyintas gempa. Dengan kata lain, reduksi makna adalah sebuah keniscayaan dalam buku ini. Dari cacat inilah, semoga para pembaca terpicu untuk menyempurnakan agenda yang tercecer itu dalam buku yang lain, yang secara khusus mengangkat suara dan pengalaman para penyintas gempa. Dengan demikian, para penyintas gempa tetap memiliki hak yang sama untuk menyuarakan dan membeberkan apa yang mereka alami dan rasakan. Dalam hal ini, mewakili kawan-kawan FS, penulis memohon maaf atas keserba-terbatasan yang tak bisa ditolak ini.
Namun, meski terjadi reduksi dalam berbagai tulisan di buku ini, semoga saja tidak ditangkap dan diartikan sebagai upaya untuk mengecilkan arti pentingnya hak-hak para penyintas gempa untuk bersuara. Bagaimanapun juga, buku ini ditulis kawan-kawan FS untuk memberikan penyadaran dan peneguhan komitmen keberpihakan, paling tidak untuk diri kami sendiri, untuk tak kenal lelah memperbaiki semangat dan kapasitas pelayanan bagi para penyintas. Dengan demikian, kami menjadi terlecut untuk selalu belajar dan berupaya menggenggam komitmen moral dalam menegakkan dan memperjuangkan hak-hak warga korban bencana di masa-masa mendatang.
Kiprah Forum Senenan (FS)
Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa buku ini akan terbit dan terlahir dari jejaring lintas person dari berbagai lembaga yang sistem keanggotaannya teramat cair, seperti FS. Ditilik dari namanya saja sudah terkesan bahwa forum itu hanya perkumpulan biasa yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya. Di forum ini tak ada aturan maupun struktur formal yang mengikat para partisipannya. Masing-masing partisipan yang datang dan terlibat di FS adalah representasi pribadi dan bukan lembaga. Oleh karena itu, siapapun—tanpa mempedulikan dari lembaga manapun—bisa bergabung dan turut terlibat dalam diskusi yang diadakan setiap Senin sore tersebut. Tema diskusi tentu saja terkait dengan berbagai persoalan aktual yang dihadapi warga korban bencana. Karena sebagian besar partisipan FS adalah community organizer, maka berbagai temuan kasus di lapangan tak pernah habis untuk dijadikan bahan kajian bersama. Dalam format ikatan yang serba luwes, longgar, dan egaliter, forum ini bisa menciptakan ruang untuk saling berbagi dan meng-update informasi, mengasah pisau analisis kritis, menggali metode dan strategi pengorganisiran, dan lain sebagainya. Bertitik tolak dari kasus-kasus riil di lapangan, mereka mewacanakan dan mengkajinya lebih jauh dengan berbagai macam perspektif. Tak jarang, berbagai persoalan mikro melesat jauh hingga terpautkan dengan persoalan-persoalan di tingkat makro, baik nasional maupun internasional. Bahkan dalam beberapa kesempatan, sejumlah nara sumber yang kompeten (warga korban, akademisi, jurnalis, dll) pun berhasil “diculik” dan dihadirkan untuk mempertajam analisis pada suatu kajian tertentu.
Terkait dengan program-program yang dirancang FS, persoalan anggaran selalu dirembug dan dipecahkan bersama-sama. Budaya bantingan (iuran uang berdasarkan pada asas kerelaan dan tanggung renteng perorangan) yang berlangsung sejak awal berdirinya FS, ternyata cukup efektif untuk mendanai keberlangsungan beberapa agenda dan program yang dirancang bersama. Kemunculan buku ini pun bisa menjadi salah satu bukti riil dari budaya bantingan tersebut. Bantingan dana juga terjadi pada program pengkajian dan pengkritisan atas Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Sekitar pertengahan bulan Februari 2007, seorang kawan, pakar kemanusiaan yang kebetulan turut terlibat dalam penyusunan draf UUPB, melontarkan gagasan—salah satunya kepada FS—untuk secepatnya mengkritisi draf UUPB sebelum disyahkan oleh DPR pada 29 Maret 2007. Menimbang penginformasian yang mendadak dan tenggat waktu yang teramat mepet (1 bulan) untuk urusan sepenting itu, kawan-kawan FS berinisiatif menggelar pertemuan intensif guna memelototi berbagai kelemahan dalam rancangan UUPB tersebut. Berturut-turut, lima kali pertemuan diselenggarakan setiap hari, pada pukul 16.00-23.00 WIB. Bak parlemen yang tengah bersidang, mereka pun menghasilkan berlembar-lembar draf masukan, kritik, berikut Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), tentu saja versi FS. Malang tak dapat di tolak, kawan-kawan FS nampaknya harus mulai belajar memahami bahwa tak selamanya niat, gagasan, cara, dan mekanisme yang baik akan secara otomatis diterima baik pula oleh orang-orang yang tengah dirasuki kepentingan politik. Bertarung timpang dalam kancah politik yang syarat kepentingan, FS akhirnya memilih mundur dan menyimpan hasil jerih payah mereka sendiri. Kendati toh merasa masgul, kawan-kawan FS tetap memetik pelajaran berharga dari kasus ini: tak ada kata sia-sia demi membela hak-hak warga korban yang terabaikan. Kegagalan adalah pangkal keberhasilan, demikian petuah bijak bertutur. Akan tiba juga saatnya nanti, ikhtiar yang baik akan berbuah yang baik pula.
Kali kedua, FS menangkap lontaran gagasan dari kawan-kawan UNDP tentang penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Masih dengan semangat yang menyala, kawan-kawan FS berproses bersama kawan-kawan lain di jejaring aktor penanganan bencana yang ada di Yogyakarta. Di tingkatan internal FS, kawan-kawan menyepakati untuk menggarap serius tentang muatan kearifan lokal dalam RAD Pengurangan Risiko Bencana ini. Sejak pukul 15.00 WIB, tanggal 21 April 2007, dua puluh orang partisipan FS mulai mendiskusikan dan membedah esensi Pengurangan Risiko Bencana dari sudut pandang kearifan lokal. Berjibaku semalam suntuk, Draf Rancangan RAD itu akhirnya terselesaikan juga keesokan harinya, pada pukul 09.00 WIB, 22 April 2007. Selang satu jam kemudian, pukul 10.00 WIB, Draf Rancangan RAD tersebut dipresentasikan oleh kawan-kawan FS di Pusat Studi Penanggulangan Bencana (PSPB) UGM.3
_____________________________
Man: A Study in Sociology of a Profession (New York: Oxford University Press, 1942). Dalam bab berjudul Prestige and the Research Function, Wilson menyatakan bahwa: “The prevailing pragmatism forced upon the academic group is that one must write something and get it into print. Situational imperatives dictate a ‘publish or perish’ credo within the ranks”. Namun Garfield meragukan bahwa frase “publish and perish” itu adalah istilah yang orisinil dari Wilson sendiri. Setelah dilacak lebih lanjut, Garfield menduga bahwa istilah itu muncul dari guru Wilson, seorang sosiolog di era sebelum Perang Dunia II, Robert K. Merton. Garfield menegaskan: “Merton and others familiar with pre-war academy believe that “publish or perish” was a term in fairly common usage at the time. Baca lebih lanjut dalam Eugene Garfield, What Is The Primordial Reference For The Phrase ‘Publish Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, 1996.
3. Hasil Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana tersebut bisa dibaca di Halaman Lampiran buku ini
Dari uraian di atas, kita bisa mencermati bahwa kiprah FS terkesan relatif responsif, lentur, tak terkendala hierarki senioritas dan kelembagaan, dan selalu longgar waktu pertemuannya. Topangan utama kerja-kerja maraton dan spartan FS sendiri terbatas pada dasar ikatan komitmen moral dan kepedulian terhadap warga korban bencana. Tak lebih. Maka bisa dimaknai bahwa munculnya FS ini, di satu sisi bisa dimaknai sebagai subculture,4 namun di sisi lain bisa juga dimaknai sebagai counter-culture5 dari forum-forum formal yang terbentuk pasca bencana. Warna dan karakter forum ini pun berbeda dengan forum-forum formal tersebut, bahkan dalam beberapa sistem relasi dan kerja-kerjanya berseberangan dengan jejaring forum yang formal. Kendati sistem dan kulturnya berbeda, kehadiran FS tidak berarti menandingi atau menggantikan forum-forum formal yang ada, namun melengkapinya. Dari perspektif sosial, kelompok semacam ini bisa dikategorikan sebagai kelompok subaltern.6 Pengertian dari subaltern di sini merujuk pada kondisi dimana sekelompok orang lebih banyak menekankan kepeduliannya pada warga korban bencana ketimbang para elit birokrasinya. Ken-
______________________________
4. Pada dasarnya, subkultur (sub-culture) terbentuk dari proses “pemisahan sosial” masyarakat yang berkecenderungan menghasilkan diferensiasi kultural. Karakteristik struktur sosial, pola kepentingan, dan bentuk-bentuk perilaku tertentu menjadi basis utama bagi pemisahan sosial dan formasi subkultur ini. Subkultur ini eksis di dalam relasi dengan budaya dan sistem sosial yang lebih besar. Hubungan-hubungan yang mungkin berbeda itu bisa dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja, bisa dipandang sebagai hal yang positif, namun juga bisa dipandang sebagai hal yang negatif (karena memang sudah dicap menyimpang). Tidak jarang diferensiasi kultural itu pada akhirnya bergeser ke posisi yang bukan sekadar berbeda, namun bertentangan dengan nilai-nilai kultural arus utama (mainstream). Sejak itulah kontra-budaya (counter-culture) terjadi. Baca Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm. 1069.
5. Konsep ini terkait dengan subkultur di atas. Counter-culture merujuk pada pengertian suatu subkultur dan kultur tandingan yang memiliki tatanan kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda dengan kultur utama yang dominan (mainstream culture). Baca David Jary & Julia Jary, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain: Harper Collins, 1991, hlm.125. Bandingkan Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm.1069.
6. Istilah subaltern ini awalnya muncul dalam karya seorang Marxist Italia, Antonio Gramsci (1881–1937). Secara harafiah, istilah itu merujuk pada pemahaman tentang
dati berfokus pada non-elit (semisal elit birokrasi pemerintahan, elit birokrasi LSM, dan lain-lain) namun kelompok ini tentu saja akan bersinggungan dengan elit juga ketika mewacanakan dan beretorika dalam proses penguatan gerakan sosial dan politik demi membela kepentingan basis massanya tersebut.
RKMSY: Awal Mula Forum Senenan (FS)
Awal terbentuknya FS ini tak bisa dilepaskan dari sejarah pembentukan aliansi masyarakat sipil pasca bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Aliansi yang diberi nama Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta (RKMSY) itu merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat sipil, di antaranya adalah: Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), Forum Suara Korban Bencana, Jogja Recovery, Forum Jogja Bangkit, Merti Jogja, Gerakan Jogja Bangkit, FKKJ, Forum LSM DIY, Forum Korban Bencana (ForKoB), Gabungan Posko Rakyat (GPR), Paguyuban Korban Gempa Yogyakarta (PKGY), AJI Jogja, WALHI DIY, LBH Yogyakarta, Sappurata, PSM Yogyakarta, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.
Pembentukan aliansi besar itu dilatarbelakangi oleh tiga alasan dasar:
pertama, “Jangan jadikan Yogya seperti Aceh”. Catatan buruk tentang penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh rupanya menginspirasi kalangan masyarakat sipil Yogyakarta untuk mengupayakan penanganan pasca bencana yang lebih baik. Mereka tak ingin penanganan bencana Yogya seperti yang terjadi di Aceh. Tak rela Yogya dijadikan sebagai Aceh kedua, berbagai elemen masyarakat sipil mendesakkan kepada pemerintah provinsi untuk menerapkan aturan yang jelas dan tegas kepada lembaga-lembaga pemberi bantuan baik lokal, nasional, maupun internasional.
pertama, “Jangan jadikan Yogya seperti Aceh”. Catatan buruk tentang penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh rupanya menginspirasi kalangan masyarakat sipil Yogyakarta untuk mengupayakan penanganan pasca bencana yang lebih baik. Mereka tak ingin penanganan bencana Yogya seperti yang terjadi di Aceh. Tak rela Yogya dijadikan sebagai Aceh kedua, berbagai elemen masyarakat sipil mendesakkan kepada pemerintah provinsi untuk menerapkan aturan yang jelas dan tegas kepada lembaga-lembaga pemberi bantuan baik lokal, nasional, maupun internasional.
Kedua, selama dua bulan pasca gempa, penanganan bencana yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), nampaknya telah memunculkan preseden buruk. Di sana-sini terjadi kekisruhan, kesemrawutan, ketidakmerataan, tumpang tindih bantuan, dan bahkan muncul kasus program bantuan yang tak mendidik pula, semisal cash for work. Melihat perkembangan situasi yang kian memprihatinkan itu, maka berbagai elemen tergerak untuk menginisiasi lahirnya gerakan masyarakat sipil lintas jaringan yang mampu meminimalisir berbagai dampak buruk bantuan pasca bencana.
Ketiga, pentingnya menjumbuhkan gerak pikir dan langkah dalam koordinasi kerja-kerja lintas lembaga dan forum. Terkait dengan capaian ini, dalam serangkaian pertemuan besar yang digelar di salah satu ruang Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM, seluruh elemen RKMSY bersama-sama mendiskusikan persoalan aktual warga korban bencana berikut solusi, strategi, dan pendekatannya. Demi tercapainya tujuan itu, maka agenda utama dari RKMSY ini adalah penyusunan Code of Conduct dalam penanganan bencana Yogya. Penyusunan Kode Etik itu dirasa sangat penting untuk dilakukan, agar seluruh proses penanganan bencana bisa terkoordinir, tidak tumpang-tindih, tidak menimbulkan konflik di masyarakat, dan selalu mengedepankan nilai-nilai keadilan maupun kearifan lokal masyarakat.
Semua itu merupakan prasyarat utama bagi pemenuhan hak-hak dasar warga korban bencana. Dengan adanya Kode Etik tersebut, seluruh pemangku kepentingan dalam penanganan bencana bisa menghargai martabat warga korban bencana dan pola-pola pemberian bantuan tidak mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat. Secara rinci, berbagai hal penting yang tercakup dalam agenda RKMSY itu di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Code of Conduct (kesamaan prinsip-prinsip cara bertindak, episentrumnya harus dari perspektif korban); (b) Perencanaan rehabilitasi/ rekonstruksi; (c) Pendekatan/cara-cara; (d) Pembagian peran; dan (e) Identifikasi sumber daya dan partisipasi masyarakat.7
__________________________
orang atau kelompok yang terkategorikan berada di tingkatan dan tataran inferior, yang disebabkan oleh karena ras, kelas, gender, orientasi seks, etnis, agama dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, istilah subaltern ini kadang diterapkan juga pada cara pandang dan pendekatan yang lebih luas lagi. Kajian subaltern ini misalnya lebih menekankan pada keutamaan untuk membeberkan sejarah dari bawah (akar rumput), dan lebih memusatkan perhatian lebih pada apa yang terjadi dan dialami oleh massa rakyat di tingkat akar rumput ketimbang kaum elitnya. Baca lebih jauh dalam “http://en.wikipedia.org/wiki/Subaltern_Studies”
7. Notulensi pertemuan Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006. Untuk mengetahui poin-poin penting dalam Rancangan Code of Conduct
Mengawali agenda besar itu, muncul kesepakatan bersama untuk melakukan latihan “pemanasan”. Rencana aksi massa pun dirancang dan diuji-cobakan di awal-awal RKMSY berdiri. Terbentuklah ketika itu aliansi gerakan aksi massa untuk menagih janji dana bantuan pemerintah sebesar 10, 20, dan 30 juta untuk setiap rumah warga yang rusak ringan, sedang, dan berat/roboh. Aliansi yang diberi nama Gerakan Aksi Tagih Janji (GANTI) tersebut digelar pada 19 Juli 2006, bertepatan dengan kunjungan Wapres Jusuf Kalla di Yogyakarta.8 Meski pada saat evaluasi bersama ternyatakan bahwa aksi jalanan tersebut berhasil digelar secara damai dan bisa menggerakkan ribuan orang, namun muncul beberapa catatan kelemahan. Satu di antaranya adalah kurang solidnya elemen-elemen masyarakat sipil yang tergabung di dalam RKMSY itu sendiri.
Pasca aksi jalanan, RKMSY meneruskan agenda besarnya dalam beberapa kali pertemuan, dengan tingkat partisipasi yang nampak kian merosot dari waktu ke waktu. Seiring dengan meningkatnya kesibukan lembaga-lembaga partisipan di wilayah dampingan masing-masing, aliansi RKMSY pun benar-benar mengendur, dan akhirnya lenyap bagai ditelan bumi. Aktivitas RKMSY praktis hanya berlangsung kurang lebih tiga bulan. Memasuki bulan keempat pasca bencana, aktivitas-aktivitas RKMSY tak lagi terdengar kabarnya. Tak diketahui secara pasti, kapan RKMSY ini bubar. Meski pada awal-awal proses perumusan Kode Etik Penanganan Bencana di Yogyakarta banyak partisipan masih terlibat aktif, namun akhirnya proses perumusan itu tak juga tertuntaskan hingga kini.
Meningkatnya kompleksitas persoalan penanganan bencana, justru ditandai oleh merosotnya soliditas dalam jejaring gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta. Kendati respon atas lemahnya penanganan bencana tetap muncul dari elemen-elemen gerakan masyarakat
____________________________
Penanganan Pasca Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng, baca lebih jauh di halaman lampiran buku ini.
8. Baca Batal 30 Juta, Tuntut Minta Maaf dalam Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Susulan ke 7, 1 Agustus 2006, hlm.4-5.
sipil, namun itu toh hanya berskala kecil, sporadis, dan tak terpadu. Dalam situasi seperti itu, posisi tawar (bargaining position) mereka tak cukup memadai untuk merubah keadaan. Merasakan keprihatinannya meradang, beberapa kawan eks-RKMSY tetap berupaya keras untuk menghidupi harapan yang telah ada. Dengan sisa-sisa harapan itu, kawan-kawan secara rutin menggelar pertemuan setiap Senin sore. Selepas mendampingi masyarakat di wilayah masing-masing, mereka selalu berkumpul di tempat lahirnya RKMSY, yaitu di Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM. Salah satu proponen RKMSY, Mas Susetiawan, sosok intelektual gaek yang bersemangat muda, merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menjadi sparing partner yang setia dalam diskusi kawan-kawan. Jika meminjam petuah Ki Hajar Dewantara tentang laku seorang pendidik yang musti selalu ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani, maka Mas Susetiawan inilah sosok riilnya. Lantaran pertemuan selalu diadakan setiap hari Senin, maka sejak itulah kelompok ini mendapat julukan Forum Senenan, sekadar identitas pengenal saja.
Otokritik Kiprah LSM Pasca Gempa
Pada dasarnya, konstalasi sosial turut memicu berdirinya FS. Sejumlah forum yang formal tingkat kerentanannya ternyata relatif lebih tinggi. Ibarat baru seumur jagung saja, forum-forum tersebut sudah mulai loyo dan mengendur. Bahkan ada pula yang bubar. Artinya, mereka tidak mampu lagi menjalankan mandat, fungsi, dan perannya secara ajeg, berkelanjutan, dan mandiri. Pilihan rasional untuk tidak terperangkap dalam formalitas itu memungkinkan FS mampu bertahan hingga saat ini. Pola relasi dan kerja-kerjanya pun bisa dibilang tak kalah serius ketimbang forum-forum yang formal. Bila ditelisik lebih jauh, berdirinya FS itu memang dipicu oleh keprihatinan yang sama atas tumpang-tindihnya kiprah LSM (baik yang lokal, nasional, maupun internasional) pasca bencana.
Sekilas, menilik kembali perjalanan setahun penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng, tentu saja kita tak bisa menafikan peran yang signifikan dari kalangan LSM yang terlibat di dalamnya. Tak terbayangkan, apa jadinya tanpa adanya andil dari kalangan LSM tersebut. Semisal, dalam situasi serba darurat pada hari naas hingga tujuh hari pasca gempa, kalangan LSM bersama-sama warga dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya melakonkan penanganan darurat yang mengagumkan. Di kepung oleh situasi yang chaotic, para aktivis LSM sebisanya berbagi sumberdaya yang mereka miliki, membuat jejaring sosial, dan mengerahkannya demi menolong warga korban yang tertimpa musibah gempa bumi. Harus diakui, peran LSM dalam penanganan pasca gempa Yogya-Jateng jauh lebih cepat ketimbang pemerintah.
Kendati responnya terhitung cepat, namun terkait dengan persoalan koordinasi dan manajemen, kiprah LSM tetap saja tak jauh berbeda dengan pemerintah. Tidak ada koordinasi dan guideline (gerak pikir dan tindakan) yang sama di antara LSM lokal sendiri. Meskipun mungkin sudah terwadahi dalam satu forum bersama, namun koordinasi di antara mereka tetap tidak bisa optimal. Terkait dengan data misalnya, forum-forum LSM lokal tidak berhasil mengumpulkan dan saling sharing data-data yang penting. Jaringan di antara mereka pun masih terpecah dan tidak padu. Ada kesan, forum dibentuk sekadar untuk memenuhi prasyarat “rasa aman” (simptom-simptom mental kawanan) saja, bukan atas dasar kebutuhan yang substansial. Muncul kesan juga bahwa forum dibentuk lebih karena untuk kepentingan penggalangan dana (fund rising) secara bersama-sama.
Ketika penggalangan dana berhasil, forum biasanya bertambah partisipannya, namun tidak dengan tingkat koordinasinya. Setelah masing-masing lembaga partisipan forum menjalankan proyek kerja di wilayah masing-masing, koordinasi bersama menjadi semakin melemah dan terabaikan. Tak jarang, di antara anggota forum sendiri pun muncul rivalitas yang tak sehat. Beberapa kasus saling tuding dan menjelek-jelekan (black campaign) di antara LSM lokal sudah lazim terjadi. Perbedaan dasar ideologi, strategi, dan pendekatan masing-masing LSM ternyata cukup menentukan pola relasi semacam itu.9 Ujung-ujungnya, warga korban bencana menerima getahnya juga. Warga korban bencana yang semestinya dibantu, justru harus membantu menyelesaikan tumpang tindihnya pendekatan antar LSM tersebut. Alih-alih bersepakat untuk saling menakar kekurangan dan kelebihan masing-masing di dalam suatu forum koordinasi, kedua LSM yang terlibat konflik itu tetap bersikeras untuk bekerja sendiri-sendiri.
Diakui atau tidak, LSM lokal di Yogya-Jateng secara umum bisa dikatakan tidak/belum siap melakukan penanganan bencana. Banyak LSM lokal tidak memiliki pengalaman dalam penanganan darurat bencana. Sebagian besar dari mereka masih berada pada taraf belajar, learning by doing, dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng itu. Ditakar dari mandat kelembagaannya, tidak banyak LSM lokal yang memiliki sistem manajemen dan kapasitas pengalaman yang memadai untuk bergerak di emergency unit ini. Lantaran tidak memiliki mandat (tercermin di dalam misi dan visi lembaga), praktis sebagian besar dari mereka tidak menyiapkan segenap resources (seperti human resource, skill, financial, dan berbagai institutional management lainnya) untuk darurat bencana tersebut. Maka tak mengherankan jika banyak LSM lokal yang terlihat kedodoran
________________________________
9. Black campaign ini biasanya dilakukan karena ada kepentingan tersembunyi dari pelakunya. Misalnya, rebutan akses resources/funding menggiring LSM ke persaingan yang tidak sehat. Antar LSM berupaya mengunggulkan namanya dengan cara menyebar gosip yang menjelek-jelekkan pihak lain. Dalam konteks ini, kiranya benar pepatah jawa yang menuturkan dahwen ati open. Pepatah itu secara harafiah berarti demikian: Perasaan iri karena tidak berhasil memiliki, membuat orang jadi dengki dan suka omongkan kejelekan pihak lain yang jadi rivalnya. Terkait dengan urusan “dapur” ini memang cukup menentukan pilihan pendekatan, program, strategi, metode pengorganisiran di lapangan. Di sini, godaan pragmatisme sering dihadapi LSM, yaitu bagaimana caranya untuk “menghemat” dana agar dapur tetap ngebul. Dalam konteks seperti ini, warga korban bencana lagi-lagi terkorbankan haknya. Warga korban menjadi prioritas kedua, terkalahkan oleh kepentingan LSM itu sendiri.
ketika harus menangani warga korban bencana, terutama ketika di masa emergency.10
Kendati tidak memiliki mandat untuk bergerak di bidang emergency, sebagian besar LSM lokal “terpaksa” harus melakukan itu. “Didesak” oleh situasi (lantaran warga korban butuh bantuan maupun banyak lembaga donor asing perlu mitra LSM lokal untuk menyalurkan bantuan), LSM lokal memposisikan diri sebagai “mediator” untuk dua kutub kepentingan itu. Situasi itulah yang ditangkap LSM lokal sebagai suatu peluang (oportunity) ataupun momentum. Tentu saja, momentum/peluang itu sangat tergantung pada motif dari masing-masing LSM lokal itu sendiri (untuk kepentingan membantu warga korban, belajar manajemen bencana, maupun menghidupkan kembali “dapur” lembaga, dan lain-lain). Bisa dikatakan, nyaris semua LSM lokal terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng, meski dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda. Ada korelasi positif antara besarnya akses dana bantuan yang dimiliki LSM lokal dengan besarnya tingkat keterlibatan LSM lokal dengan warga korban bencana. Mereka yang memiliki akses lebih besar kepada lembaga donor maka semakin besar/luas pula tingkat keterlibatan ke warga. Bagi mereka yang aksesnya relatif kecil kepada lembaga donor, maka relatif kecil pula keterlibatan/aktivitas mereka dengan warga korban bencana.11
10. Secara umum dan mendasar, LSM di Indonesia memang masih memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan seperti: kurangnya dana, tingginya keterantungan pada donor, rendahnya tingkat efisiensi manajerial dan kredibilitas sosial, rendahnya profesionalisme, tingginya bias yang terjadi di LSM, dan lain-lain. Beberapa catatan tentang kelemahan dan keterbatasan LSM ini baca Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.115-120. Bandingkan Binny Buchori, Peta Permasalahan LSM dalam Kompas, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Jakarta: Kompas, 2004, hlm.3-16.
11. Situasi ini memang menjadi dilema bagi banyak LSM lokal. Sebagian besar dari mereka masih berpegang pada keyakinan dan komitmen bahwa untuk memfasilitasi, menganimasi, dan gerak pemberdayaan masyarakat tak selalu butuh dana yang besar. Celakanya, dalam situasi pasca bencana, warga korban bencana memiliki logika sendiri
Mencermati situasi tersebut, bisa dikatakan di sini bahwa dalam upaya membantu memenuhi hak-hak dasar warga korban bencana, LSM lokal sangat tergantung kepada dana bantuan dari lembaga donor. Besarnya tingkat ketergantungan ini boleh jadi akan sangat berdampak pada beberapa hal berikut:12 pertama, LSM lokal tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap lembaga donor tersebut. Konsekuensinya, berbagai “pesan khusus” yang dipaksakan oleh lembaga donor harus diterima, meski tidak sesuai visi misi lembaga dan kebutuhan warga korban bencana sekalipun.13 Misalnya, lembaga donor menunjuk dan menentukan sendiri komunitas yang akan menerima bantuan. Munculnya kapling-kapling wilayah komunitas di antara LSM lokal pun menjadi tak terhindarkan. Konflik antar LSM lokal ini tak urung juga menimbulkan konflik dengan warga korban yang akan menerima bantuan tersebut.14 Kedua, LSM lokal tidak leluasa untuk menerapkan berbagai program partisipatif yang disesuaikan dengan kebutuhan warga korban bencana. Misalnya, karena terpaksa harus mengejar jumlah sasaran dan tenggat waktu yang mepet dari lembaga donor, LSM lokal tidak bisa mewujudkan capaian nilai-nilai (semisal partisipasi, kearifan lokal,
_____________________________________
yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan itu. Banyak kasus menunjukkan, LSM lokal ditolak warga lantaran tidak membawa bantuan yang “riil”. LSM yang tidak membawa bantuan diharap menyingkir. Harus diakui, derasnya kucuran dana bantuan dari donor pasca bencana berpotensi menciptakan ketergantungan, baik bagi LSM sendiri maupun warga masyarakat.
12. Ancaman dari ketergantungan pada bantuan ini telah diuraikan secara gamblang dan detail oleh penulis Jerman, Erler. Ada anekdot satir tentang itu: Ambilah proyek ini! Bukankah orang sulit membuktikan bahwa ia telah membawa dampak negatif. Baca Brigitte Erler, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta: LP3ES, hlm. 28.
13. Terkait dengan relasi yang asimetris dan timpang ini, baca Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.119-120.
14. Ada banyak kasus lain tentang pemaksaan oleh lembaga donor ini. Sejumlah donor memaksakan kepada LSM lokal untuk menyalurkan bantuan karitatif pasca emergensi, yang menurut kalangan LSM lokal itu sendiri sesungguhnya tidak
dan lain-lain), ataupun mengontrol kualitas fasilitas bantuan yang diberikan kepada warga korban.15 Ketiga, LSM lokal sebagai “mediator” terperangkap dalam konflik kepentingan. Konflik kepentingan seperti ini semakin membuat LSM lokal menjadi semakin tergiring pada pragmatisme klasik-paternalis: Asal Bapak Senang (ABS) atau Asal Donor Senang (ADS). Didesak oleh pragmatisme itu, keberpihakan LSM lokal kepada warga korban bencana akhirnya terbajak. LSM lokal lupa akan hakikat dirinya. Kewajiban utamanya untuk melayani dan membela warga korban bencana, dengan mudah terkalahkan oleh kepentingan untuk melayani dan “membela yang bayar”, yaitu lembaga donor.16
Jika kultur semacam itu terus menerus dikembangkan, maka LSM lokal akan terjebak dalam pola perilaku yang menurut pepatah
________________________________
mendidik warga. Ada donor yang memaksakan untuk menyalurkan bantuan bukan kepada warga miskin namun kepada industri-industri kelas menengah dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (GDP). Ada juga donor yang sengaja menuntut prasyarat yang cukup memberatkan warga. Semisal terkait dengan pengucuran dana bantuan untuk industri kerajinan, lembaga donor menuntut bahwa design handycraft warga tersebut harus diserahkan dan menjadi hak milik lembaga donor. Contoh lainnya, sebuah lembaga donor dari Jerman (sekaligus implementator di daerah Klaten) tetap memaksakan pendekatan yang tidak tepat dalam penyaluran bantuan. Meski telah menimbulkan konflik horisontal di masyarakat, seorang wakil dari lembaga donor itu dengan pongahnya mengatakan bahwa: “Kami sudah berupaya membantu. Tidak ada yang salah dengan bantuan yang telah kami serahkan kepada warga. Jika bantuan yang telah kami serahkan itu akhirnya bermasalah (tidak merata/menimbulkan konflik), maka itu urusan warga dan bukan urusan kami.” Jawaban semacam ini bisa dibaca sebagai fenomena ketidakpedulian lembaga donor asing terhadap warga korban bencana. Terkait dengan bantuan yang menjerat warga, baca Basilica D. Putranti dan Y. Tri Subagya, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi, Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation, 2005.
15. Dalam bingkai oto-kritik, di kalangan aktivis LSM sendiri muncul istilah “LSM kurir” (delivery NGO) untuk melukiskan peran LSM lokal yang terkesan lalu lalang, sekadar menjadi pengirim bantuan dari donor kepada warga. Fenomena ini banyak dijumpai terutama pada masa emergensi.
16. Muncul banyak godaan bagi LSM untuk bias donor dan menjauh dari konstituen (warga masyarakat). Tanpa sadar, LSM “tergoda” untuk lebih “mengabdi” lembaga donor ketimbang warga. Dari sudut pandang semiotik, baca Zaim Zaidi, As’as
Jawa diistilahkan sebagai “milik nggendong lali”.17 Tergiur oleh loba dan mental tamak demi meraup keuntungan dari “berkah bencana” ini, hak-hak dasar dan kebutuhan warga korban bencana pun akan mudah dikorbankan oleh LSM. Demi mengisi pundi-pundinya, LSM bisa mudah tergiur melakukan mark up atau menggeser beberapa alokasi budget, sehingga tak sesuai dengan MoU dengan lembaga donor (semisal operation cost yang mestinya sebesar 10 % dari total dana bantuan, dalam praktiknya melebihi prosentase tersebut). Disinyalir, pola-pola korupsi dana bantuan semacam ini acap terjadi di lingkup LSM, terutama dalam proyek-proyek pasca bencana.18
Dari beberapa kasus, LSM lokal sangat lemah untuk mendesakkan idealismenya kepada lembaga donor. Semua itu tentu karena besarnya tingkat ketergantungan LSM kepada donor asing. Tentu saja tidak semua donor asing memaksakan “pesan-pesan khusus” itu kepada LSM lokal. Banyak juga dari mereka yang mempercayakan sepenuhnya alokasi dana bantuan itu kepada LSM lokal. Rasa saling percaya di antara donor asing dan LSM lokal seperti ini biasanya telah terbangun sejak lama, jauh sebelum bencana gempa bumi itu sendiri terjadi. Relasi seperti ini tentu saja memudahkan LSM lokal mensinergikan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks masyarakat lokal. Bahkan, dengan adanya relasi kemitraan yang telah
_________________________________
Nugroho, dan Hamid Abidin, Merebut Hati Lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis; Jakarta:Piramedia, 2004.
17. Pepatah milik nggendong lali ini secara harafiah berarti barang siapa yang menyimpan hasrat, niat dan maksud ingin memiliki, maka ia akan melupakan berbagai nilai keutamaan dalam hidup. Tujuan hidup yang mulia bisa terkorbankan oleh karena hasrat ingin memiliki tersebut. Dalam konteks penanganan bencana, nafsu besar LSM untuk meraup keuntungan dari dana bantuan niscaya akan menghilangkan komitmen dan keberpihakannya kepada warga korban bencana.
18. Menurut John Clark, masalah petangungjawaban keuangan ini telah ditengarai sebagai salah satu kelemahan LSM. Baca John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, hlm.78-79. Bandingkan dengan persoalan korupsi di LSM dalam Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.116.
lama berjalan itu, program-program jangka menengah dan panjang pun sangat mungkin dirancang oleh LSM lokal tersebut bersama masyarakat. Dengan demikian, bantuan kepada masyarakat bukan bersifat karitatif (biasanya pada masa emergency), tetapi yang bersifat memberdayakan dan memandirikan para beneficiaries-nya.
Terlepas apakah relasi dengan lembaga donor asing itu baru terjalin sebelum atau setelah gempa terjadi, LSM lokal memang memiliki prosedur baku untuk proyek penyaluran bantuan. LSM lokal harus mengajukan proposal ke lembaga donor terlebih dulu. Setelah diterima dan disetujui donor, bantuan baru bisa disalurkan oleh LSM lokal kepada warga. Kondisi prosedural ini tentu saja menjadi kendala yang cukup prinsipil bagi kalangan LSM untuk merespon segera situasi darurat bencana. LSM juga kerepotan dan nyaris tidak mungkin merancang program bersama warga, sehingga benar-benar merepresentasikan kebutuhan komunitas akar rumput. Sejumlah kasus menunjukkan warga terlambat menerima bantuan karena mekanisme prosedural tersebut. Hal itu tentu saja mengandung implikasi bahwa bantuan tidak lagi tepat waktu, tepat guna, dan tepat sasaran. Kondisi semacam itu tentu saja rawan bagi LSM yang kurang menekankan aspek pemberdayaan, dan cenderung karitatif dengan sifatnya yang suka menebar janji kepada masyarakat. Dampak risiko yang lebih besar bisa terjadi ketika proposal yang diajukan LSM ditolak donor. Karena terlanjur dijanjikan sesuatu, maka ketika janji itu tak terealisasi, warga pasti akan merasa dikecewa. Bukan tidak mungkin itu akan merusak relasi antara warga dan LSM itu sendiri. Bahkan muncul sejumlah kasus, LSM diusir oleh warga lantaran urung memberikan bantuan yang telah dijanjikan sebelumnya.
Kiranya hubungan triadik: donor-LSM-masyarakat pasca bencana memang terasa sangat penting dan urgen untuk ditelisik dan dikaji lebih jauh lagi. Karena, pemetaan atas pola relasi di antara ketiganya itu akan sangat berarti untuk menyikapi pergeseran atas berbagai aspek keberdayaan, kemandirian, dan keberlanjutan hidup masyarakat. Pasca gempa telah muncul kecenderungan pola relasi itu semakin asimetris dan timpang. Baik warga maupun LSM semakin tersubordinasi dan tergantung kepada donor. Hal itu tentu saja menjadi kendala bagi tumbuhnya gerakan kemandirian masyarakat. Itulah tantangan bagi kiprah LSM dan berbagai elemen masyarakat sipil ke depan. Waktunya bagi seluruh kalangan masyarakat untuk memaknai bencana sebagai momentum perubahan menuju ke situasi yang lebih baik.
Bencana sebagai Momentum: Petikan Hikmah
Bertolak pada oto-kritik atas cacat dan lemahnya kiprah LSM pasca gempa di atas, berikut ini kita perlu menegaskan lagi beberapa hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita jadikan modal untuk kerja-kerja ke depan. Dengan belajar pada kesalahan, kita diberi peluang untuk menjajal pendekatan lain yang musti dijumbuhkan kembali dengan kithah LSM berikut mandat moral yang diembannya.19 Dalam konteks penanganan pasca gempa itu, mandat moral yang musti dikukuhkan kembali itu adalah bahwa segala daya upaya yang responsif, kompeten, berkeadilan, dan bermartabat harus dimaksimalkan agar warga korban terposisikan sebagai subyek yang aktif dan bukannya obyek yang pasif; sebagai subyek yang otonom dan bukan obyek yang tergantung. Dengan berpegang pada komitmen moral itu maka gerak pikir dan langkah LSM akan lebih terfokus dan berpihak kepada komunitas akar rumput, bukan kepada lembaga donor.
______________________________
19. Menurut Eldrige (1995:38), orientasi dasar LSM di antaranya adalah: (1). Memperkuat kelompok masyarakat sebagai basis pembentukan masyarakat yang sehat, dan sebagai kekuatan pengimbang terhadap kekuasaan pemerintah; (2). Mencari strategi baru untuk menghadapi kebutuhan sosial yang terus berubah, dan untuk menghadapi kemunculan kelompok lemah dan miskin; (3). Berkomitmen kuat pada cita-cita partisipasi rakyat dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan program. Uraian ini dikutip dari Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.115.
Inilah hikmah dan pelajaran yang paling utama dan berharga bagi kalangan LSM pasca gempa. Bencana telah mengajarkan kepada kita tentang arti pentingnya penguatan jejaring sosial untuk menghadapi datangnya masa dan situasi yang sulit, seperti halnya bencana alam yang muncul tiba-tiba itu. Kuatnya jejaring sosial ini tentu saja bisa menjadi jaminan atas terakumulasinya modal sosial sebagai basis utama bagi perubahan yang radikal, massif, dan menentukan. Memang, dalam situasi krisis seperti itu, orang cenderung abai terhadap berbagai peluang yang terkandung di dalamnya. Padahal krisis sejatinya bisa menjadi momentum bagi kita untuk menyusun langkah-langkah strategis dan taktis guna menghadapi berbagai risiko bencana yang akan datang. Bencana mesti diposisikan sebagai titik tolak dan daya dorong bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyusun agenda berikut langkah-langkah konkritnya ke depan. Di dalam bencana yang memilukan terkandung oase harapan untuk menata kembali masa depan yang lebih baik.
Dalam kerangka itu, menurut catatan lapangan para aktivis LSM yang tersebar di seluruh tulisan di buku ini, beberapa agenda yang mendesak untuk ditindaklanjuti bersama-sama akan diuraikan lebih jauh dalam paparan berikut ini.
Pertama, munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat tentang ancaman bencana. Berpijak pada kesalahan dan kelemahannya, LSM merasa perlu menginisiasi, menyemai, dan menguatkan kesadaran tentang risiko dan ancaman bencana yang berpotensi menghancurkan lingkungan fisik, tatanan sosial, dan budaya masyarakat. Di sini, beragam bentuk fasilitasi penyadaran publik, melalui jalur pendidikan formal dan informal, perlu mendapat atensi dan kepedulian yang lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Di tingkatan praksis, secara partisipatif, organisasi berbasis komunitas (Community Based Organization) atau kelembagaan lokal yang tersebar di seluruh pelosok desa mesti terlibat penuh dalam proses penyadaran ini. Dengan demikian, kesadaran baru itu bisa tersebarluaskan secara massif dan partisipatoris. Seluruh ikthiar penyadaran ini tentu saja mengarah pada tercapainya tahapan yang lazim disebut sebagai kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) di masyarakat kita. Kesiapsiagaan bencana bisa dirancang dan diimplementasikan melalui intensifikasi praksis sosial dan kultural yang menyasar pada upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction).
Kedua, munculnya kebutuhan untuk meningkatkan dan memperkuat kapasitas kelembagaan dalam manajemen bencana. Bagi kalangan LSM, bencana telah memicu dan mendorong semangat untuk segera memperbaiki dan mengembangkan kapasitas (capacity building) manajerial LSM yang terkait dengan penanganan bencana seperti: skill pendataan, analisis data, penggalangan dana, distribusi bantuan, penentuan efektivitas bantuan, penentuan prioritas target dan sasaran (terutama anak-anak, perempuan dan difable), penentuan strategi dan pendekatan partisipatoris (participatory approach), akuntabilitas, transparansi anggaran, koordinasi, penguatan jejaring (networking), pengorganisasian masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penyadaran publik, advokasi kebijakan, dan lain sebagainya. Seluruh aspek itu harus dibingkai kembali dengan mandat moral (visi dan misi) lembaga. Menyangkut relasi dengan lembaga donor, LSM lagi-lagi harus mendudukkan mandat moral tersebut sebagai panduan (guideline) dalam melobi dan menandatangani nota kesepakatan dengan lembaga donor. Dalam hal ini, LSM harus mampu menegakkan jati diri lembaganya maupun warga korban yang mereka dampingi. Bagaimanapun lembaga donor harus diajari juga untuk menghormati kedaulatan dan otonomi warga juga. Sehingga donor tidak bisa seenaknya memaksakan seluruh kepentingannya. Di sini, LSM harus bisa berperan sebagai tameng (barrier) sekaligus saringan atas dampak-dampak negatif dari bantuan. Prinsip selektif dan penuh kehati-hatian (precautionary principle) dalam memilih mitra (donor) tetap harus dipegang teguh oleh LSM. Alat verifikasinya jelas, yaitu visi dan misi lembaga. Jika pemberian bantuan itu sendiri sudah dipaket dengan “pesan sponsor” yang rigid maupun berbagai macam kepentingan donor yang hegemonik, maka LSM pantas untuk menolaknya. Demi tetap tegaknya keberpihakan kepada warga korban, LSM harus berfikir masak-masak atas risiko ketergantungan yang melekat dalam pemberian bantuan dari donor tersebut. Mesti disadari, warga tidak melulu butuh duit, namun lebih butuh pendampingan. Tiba saatnya bagi LSM, bersama warga masyarakat, mulai berlatih menata diri sendiri menyongsong kemandirian.
Ketiga, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguatan koordinasi di antara LSM di Yogyakarta. Sebelum bencana terjadi, koordinasi antar LSM masih sangat lemah. Masing-masing LSM bergerak sendiri-sendiri, terpisah, dan nyaris tak pernah saling taut dan tersinergikan, bahkan mereka bersaing tak sehat. Namun pasca bencana, penguatan koordinasi lintas LSM di Yogyakarta berpeluang besar untuk semakin diintensifkan. Beberapa kalangan LSM sudah memasukkan isu ini kedalam agenda lembaga dan mulai menggelar forum-forum kecil yang terbuka guna merembug perihal koordinasi lintas program maupun wilayah dampingan (semisal menggelar pelatihan community organizer dan berbagai program lainnya secara bersama-sama). Seperti telah disinggung di atas, kalangan LSM di Yogyakarta telah mulai merintis penyusunan Kode Etik (Code of Conduct) dalam kerja-kerja pasca bencana. Kendati masih berupa embrio, namun bukan tidak mungkin itu akan segera tersusun dan terimplementasikan, jika benar-benar digeluti dan dimaui bersama.20 Jika dilihat dari latar belakang warga Yogyakarta yang relatif terdidik (well educated), cita-cita kalangan LSM itu akan berpeluang besar untuk tersinergikan dalam praksis mereka di tingkat
__________________________________
20. Terkait dengan Kode Etik Penanganan Bencana oleh kalangan ormas dan LSM di Yogya, kita bisa merujuk dan membandingkan dengan gagasan Kode Etik bagi LSM yang pernah muncul di Indonesia. Tujuan dari gagasan ini adalah mewujudkan LSM Indonesia yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan etikal, sehingga kepercayaan pihak luar (pemerintah, swasta, donor, serta publik yang lebih luas) terhadap integritas komunitas LSM semakin meningkat. Baca Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik, Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik? dalam Hamid Abidin & Mimin Rukmini (edt), Kritik & Otokritik LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia; 2004, hlm 157-179.
akar rumput. Lebih jauh, jika menimbang kembali kultur LSM Yogyakarta yang memang bertumbuh dari spirit gerakan dan pikiran yang terbuka (open mind), maka penguatan koordinasi antar LSM itu bisa terwujud dan bisa menginspirasi gerakan serupa di berbagai wilayah lain di Indonesia. Bermodalkan pikiran yang terbuka itu, mereka mudah menyadari atas kelemahan dan kekurangannya, hingga mudah tergerak pula untuk segera berbenah dan belajar memperbaiki kelemahan dan kesalahan itu secara bersama-sama.
Keempat, Munculnya kesadaran baru tentang penguatan jejaring (networks) masyarakat sipil di Yogyakarta. Terkait erat dengan kepedulian kalangan LSM dalam koordinasi di atas, penguatan jejaring masyarakat sipil ini pada dasarnya merupakan agenda lanjutan yang tak terpisahkan. Hanya saja lingkup dan cakupan jejaring ini jauh lebih luas lagi. Cakupannya bukan hanya kalangan LSM saja, melainkan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya (ormas, organisasi berbasis komunitas, partai, pelaku bisnis, dan lain sebagainya).
Kelima, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguatan kembali secara lebih intensif atas praksis-praksis pemberdayaan masyarakat pasca bencana. Sangat disadari, bencana telah merubah tatanan fisik, sosial, dan budaya masyarakat secara radikal dan massif. Jika perubahan itu tidak dikawal dan dimonitoring secara intensif maka bisa dipastikan berbagai dampak negatif dari bantuan akan segera menggumpal menjadi sistem dan tatanan sosial dan budaya baru yang tidak sehat. Berbagai residu dan ekses sosial yang negatif dari bantuan (terutama bantuan asing) harus ditangani dan dikoreksi segera melalui intervensi penyadaran publik. Penggalian kembali atas keutamaan nilai-nilai tradisi, pengetahuan, dan kearifan lokal pun perlu diprioritaskan dalam kerja-kerja praksis penyadaran publik di komunitas akar rumput tersebut. Dengan menggunakan pendekatan yang partisipatoris, kendali perubahan sosial dan budaya pasca bencana bisa dipegang dan digerakkan bersama-sama melalui sinergi kekuatan jejaring masyarakat sipil yang ada. Dengan kata lain, perubahan radikal dan massif akibat bencana itu harus di ikuti juga dengan rehabilitasi dan rekonstruksi yang radikal, massif, dan menyeluruh pula (bukan rekonstruksi yang bias fisik seperti saat ini). Terkait dengan dampak-dampak negatif yang merusak tatanan dunia sosial masyarakat, rupanya kita juga harus segera mengerahkan seluruh kapasitas, kekuatan, dan kompetensi untuk melakukan rekonstruksi sosial yang mendasar. Untuk itu, jalan menuju kemandirian masyarakat melalui program-program pemberdayaan harus mulai ditentukan titik-titik arahan, target, dan sasarannya. Di sini, LSM harus memahami sungguh-sungguh kapan waktu yang tepat untuk mengucurkan bantuan dan kapan kucuran bantuan itu harus dihentikan. Jika kalangan LSM sendiri tidak punya kemampuan untuk memahami dan menganalisis situasi dan kondisi warga, maka LSM tersebut tidak akan pernah tahu kapan ia akan menghentikan bantuan. Bagaimanapun juga diperlukan transfer pengetahuan dan nilai perihal ancaman berbentuk bantuan ini bagi warga masyarakat. Rekonstruksi sosial inilah yang menjadi agenda besar dan berat yang mesti kita garap dan tuntaskan ke depan, tentu saja dengan keterlibatan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sipil yang ada.
Epilog: Menuntaskan Rekonstruksi Sosial
Menyadari bahwa program rehabilitasi dan rekonstruksi dari pemerintah sangat bias fisik, maka koreksi bersama atas itu menjadi tugas yang mendesak untuk dilakukan oleh jejaring masyarakat sipil. Jejaring itulah yang akan menghidupkan modal sosial di masyarakat. Harus diakui, para penyintas (survivors) sendiri memang benar-benar telah menunjukkan prestasi pengakumulasian modal sosial yang sangat mengagumkan selama masa tanggap darurat (emergency). Secara laten, harta karun sosial (seperti partisipasi aktif dari warga, solidaritas sosial, gotong-royong, voluntarisme, spirit filantropis) yang mereka rawat dan hidupi selama ini, tiba-tiba muncul menjadi energi sosial yang sangat kuat hingga mampu meredam kekalutan massa. Energi sosial itu pun telah berfungsi efektif sebagai jejaring pengaman yang mampu menyelamatkan banyak nyawa. Di tengah absennya negara, secara tiba-tiba, tak terduga, dan tanpa adanya komando, warga penyintas bersama-sama elemen-elemen masyarakat lainnya berhasil menyelenggarakan tata kelola kebencanaannya sendiri (disaster governance).21
Sayangnya, negara telah salah urus atas menguatnya modal sosial dalam wujud partisipasi aktif dari warga dalam penanganan bencana ini. Dengan memaksakan kebijakan yang top down, negara melupakan pentingnya suara korban bencana sebagai landasan kebijakan yang pro rakyat. Kalau suara korban pun dinisbikan, alih-alih diafirmasi dan diperkuat, partisipasi maupun modal sosial justru dipatahkan oleh negara. Pendekatan kebijakan teknokratik yang dibangun oleh state apparatus tidak saja berimplikasi pada terabaikannya hak warga korban namun juga terlewatkannya pertimbangan sosial budaya yang berbasiskan keberagaman lokal.
Karakter kebijakan negara yang terkesan gebyah-uyah dan diseragamkan pada setiap komunitas masyarakat yang berbeda-beda telah menyebabkan kebijakan negara—semisal POKMAS (Kelompok Masyarakat)—menuai kecaman dan resistensi dari warga korban. Lebih celaka lagi, karena lembeknya kapasitas manajemen dan monitoring pemerintah, program rehabilitasi dan rekonstruksi akhirnya justru menciptakan konflik vertikal maupun horisontal di masyarakat. Bermacam pola penilepan yang massif atas dana bantuan dana DIPA (Daftar Isian Proyek Anggaran) juga telah menjadi dampak buruk ikutan yang kian memprihatinkan. Pemerintah menutup mata atas itu. Pembiaran atas praktik penilepan yang merambah ke berbagai level itu membuktikan bahwa pemerintah telah abai terhadap aspek keadilan sosial di masyarakat. Praktik birokrasi yang korup telah menular dan menjalar ke lapisan akar rumput. Program rehabilitasi dan rekonstruksi terbukti telah menjadi azab bagi
_________________________________
21. Baca Benny D. Setianto, Governance by Accident in Indonesia Disaster Mitigation: A Theoritical Literary Review Disaster dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm5-36.
ikhtiar menggapai keadaban publik. Dan itu merupakan ujian yang berat bagi upaya rekonstruksi sosial pasca gempa.22
Terkait dengan agenda rekonstruksi sosial itu, perlu disadari, masyarakat pra bencana memang tak seromantis kehidupan masyarakat pada masa feodal yang acap digambarkan tanpa konflik. Sebelum terjadi bencana, masyarakat pada dasarnya telah bertinggal bersama dan tentu saja berkonflik bersama. Namun demikian, masyarakat juga belajar untuk meresolusikan konflik melalui kearifan lokal serta modalitas sosial yang dipunya. Seharusnya kebijakan kebencanaan juga diibangun dengan belajar pada basis historis yang jelas sehingga mampu memperhitungkan potensi konflik dalam masyarakat dan bukannya semakin memperuncing jurang konflik dalam masyarakat.
Bagi masyarakat yang sadar pada bahaya kebijakan negara yang tidak ramah dengan kearifan lokal mereka, kritik maupun resistensi merupakan saluran untuk menyuarakan ketidakberdayaan warga dalam bernegosiasi dengan kebijakan yang tidak ramah pada kearifan lokal mereka. Sebagaimana tercermin dalam gerakan GANTI (Gerakan Aksi Tagih Janji) yang menuntut pemenuhan hak rakyat sekaligus menyuarakan ketidakrelaan masyarakat apabila masyarakat terpecah belah akibat gempa susulan 30 juta skala rupiah yang “diguncangkan” Sang Wakil Presiden, Jusuf Kalla.
Sementara bagi banyak warga korban yang lain, ketidakberdayaan tercermin dari kepatuhan untuk melaksanakan setiap juklak-juknis peraturan kebencanaan yang tidak sesuai dengan konteks mereka sehari-hari. Kebijakan yang tak menghitung rakyat sebenarnya bukan barang baru di negeri ini, tapi bila kebijakan itu dipaksakan untuk diterima dan dilaksanakan rakyat, contoh konkretnya adalah POKMAS dan Bagitas (pembagian dana bantuan menurut
___________________________
22. Mengenai penisbian modal sosial ini, baca lebih lanjut AB. Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Governance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm 96-116.
prioritas), maka konflik sosial horisontal adalah sebuah realitas yang diciptakan oleh struktur kebijakan. Konflik ini adalah gejala manifest dari ketidakberdayaan masyarakat untuk bersuara di hadapan pemerintah dan negaranya. Mereka adalah komunitas subaltern yang mengalami penindasan bertubi dari struktur yang seharusnya melindungi.
Membaca kapasitas, potensi dan kerentanan masyarakat dalam menghadapi terjangan gempa sebagai gejala alam dan gejala sosial, perlu dilakukan LSM dengan hati-hati dan tanggap. Dengan menghitung masyarakat di dalam kebijakan, LSM dapat mendesain program yang dibutuhkan masyarakat sekaligus mengadvokasikan problem masyarakat (baca: menyuarakan). Namun bila pengabaian dilakukan, niscaya kekeruhan di aras akar rumput merupakan capaian kerja LSM yang mengadopsi pola kerja birokrasi negara. Maka, kembali kepada sebuah upaya untuk melihat bencana sebagai momentum, bencana bisa menjadi momentum baik maupun momentum buruk. Di tengah kondisi anomi dan chaotic karena rusaknya tatanan sosial lama, LSM bisa mengambil peran untuk mengkerangkai kapasitas dan potensi masyarakat dengan nilai-nilai demokrasi, pemberdayaan dan lain sebagainya. Upaya itu juga harus didukung dengan kerja konkret untuk menghitung mereka yang tak pernah dihitung, menyuarakan mereka yang tak berani bersuara.
Sebagai contoh, kelompok rentan, minoritas maupun kelas sosial bawah adalah bagian dari masyarakat yang sebelum terjadi bencana telah mengalami sekian banyak pengabaian. Melalui bencana sebagai momentum, kelompok-kelompok ini harus didukung untuk berani bersuara dan diakui kapasitasnya oleh masyarakatnya sendiri. Keterlibatan kelompok-kelompok marginal di atas akan mendorong demokratisasi dan penciptaan struktur sosial baru yang lebih baik. Maka kembali kepada agenda rekonstruksi sosial yang radikal, massif, dan menyeluruh, LSM harus bersungguh-sungguh melakukan pendidikan dan penyadaran publik yang partisipatoris di tingkat basis. Di tingkat praksis, kalangan LSM harus mendelegasikan kepada para stafnya (community organizer) yang berkompeten, berkomitmen, dan berpengalaman sungguh-sungguh untuk itu. Jangan lagi, agenda seserius itu dijadikan ajang uji coba bagi para staf lapangan yang baru atau bahkan para volunteer di LSM tersebut. Sementara, para staf LSM yang berkapasitas dan berpengalaman (biasanya staf senior) justru semakin jarang atau bahkan sudah tidak terlibat sama sekali di komunitas basis, lantaran telah menjadi kaum elit LSM. Jujur harus diakui, pola manajeman yang salah kaprah semacam itulah yang seringkali terjadi di LSM selama ini. Demi kesuksesan rekonstruksi sosial itu, kalangan LSM harus berani menata dan mengubah dirinya untuk kembali ke kithah.
Kiranya, merupakan tugas besar bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), terutama pemerintah, untuk merombak sesat pikir dan sesat tindakan atas sumbangan modal sosial berupa partisipasi aktif warga korban di atas. Terkaitan dengan modal sosial itu, Fukuyama telah mengingatkan kepada kita bahwa:23
Pemerintah mampu membentuk modal sosial, tapi juga bisa menghancurkannya... Negara-negara yang tidak berhasil menjamin keamanan masyarakat atau hak milik pribadi cenderung menghasilkan warga yang tidak saja tidak percaya kepada pemerintah, melainkan juga kepada sesama warga lainnya dan sulit menjalin ikatan dengan orang lain. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern, pemusatan fungsi-fungsinya, dan campur tangannya dalam hampir semua bidang kehidupan cenderung memperlemah hubungan spontan antarwarga. Negara sebagai sekutu dan sebagai seteru modal sosial.
Di sini, seluruh pemangku kepentingan, terutama kalangan pemerintah, harus belajar memahami dan mengimplementasikan hakikat dari partisipasi itu. Secara fundamental, partisipasi sangat dibutuhkan untuk menjaring informasi terpercaya, dan kemudian
_________________________________
23. Francis Fukuyama, Guncangan Besar, Jakarta: Gramedia, hlm.316-318
dipergunakan sebagai alat kontrol yang riil, dan akhirnya berfungsi sebagai penjaga gawang dari setiap tindakan pemerintah. Dari sisi berbeda, partisipasi juga sangat dibutuhkan sebagai taji penghujam yang mampu mendorong kinerja pemerintah untuk lebih efisien dan menciptakan pengaruh balik bagi layanan publik. Ini merupakan sesuatu yang penting untuk mengawasi akses dan kualitas pelayanan publik oleh negara. Berbagai bukti empirik mengindikasikan bahwa sebuah masyarakat sipil yang kuat dan kaya dengan modal sosial akan mampu memerankan peran kritis di dalam mendorong governance kebencanaan yang handal.24
Kiranya inilah hikmah yang bisa kita petik bersama dari bencana gempa bumi Yogya-Jateng setahun silam. Bencana telah memberi kita momentum untuk mawas diri dan membenahi segala kekilafan, kecacatan, dan kelemahan dalam keberagaman dan kebersamaan yang kokoh. Dengannya kita bisa saling menguatkan hakikat peran masing-masing untuk sebuah sinergi keberpihakan yang riil kepada warga korban bencana ke depan. Dengan mengenang para syuhada gempa, semoga kita mampu menginisiasi diri menjadi bangsa pembelajar dan pemetik hikmah yang baik. Sehingga kita bisa mewujudkan kesadaran baru bahwa hidup harus dirawat, diperjuangkan, dan dijaga keberlangsungan dan keadabannya demi anak, cucu, dan cicit generasi kita mendatang. Untuk menuntaskan rekonstruksi sosial itu, seberapa tangguhkah kita?
______________________________
24. AB. Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Governance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm.114
DaftarPustaka
Abidin, Hamid & Rukmini, Mimin (edt), 2004; Kritik & Otokritik LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia;
Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Susulan ke 7, 1 Agustus 2006
Clark John, 1995, NGO dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: Tiara Wacana.
Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana
Erler, Brigitte, 1989, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta: LP3ES.
Eugene Garfield, 199, What Is The Primordial Reference For The Phrase ‘Publish Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10,
Figley, Charles R. Ph.D, Compassion Fatigue: An Introduction dalam www.greencross.org
Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa Indonesia oleh Masri Maris), Jakarta: Gramedia.
Jary, David & Jary, Julia, 1991, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain: Harper Collins.
Kompas, 2004, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan; Jakarta: Kompas
Kuper, Adam & Kuper, Jessica, 2000, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press
Notulensi Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006 tentang Rancangan Code of Conduct Penanganan Pasca Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng.
Putranti, Basilica D. & Subagya, Y. Tri, 2005, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi, Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation.
Suharko, 2005, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana
Zaidi, Zaim; Nugroho, As’ad; Abidin, Hamid, 2004, Merebut Hati Lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis; Jakarta:Piramedia.287