Obskuriti ::: Merdesa Boeng !!!

Why you ask me???



you`re free, born free, live free, so free Iam dead ashes to ashes dust to dust god bless you all what do you want wanna say there is no answer here what do you gonna do there is nothing lift here all they give got just pain and tear well, I just want to say … Iam dead

Kisah Rumah di Tanah Gempa ( AB. Widyanta Part III )

0 comments

Kisah Rumah di Tanah Gempa
Napak Tilas Tradisi  Membangun
Rumah Tradisional Jawa1

AB. Widyanta2

“Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa.”
(Samijo)
“Pas enten gempa wingi griya kula njondhil-njondhil, gendhenge sami mawut, cagake anjlok saking umpak,bar niku namung dhoyong. Mboten ambruk.”
(Ngatimin)
“Susunan konstruksi tradisional, dengan bahan kayu yang elastis fleksibel, berpondasi titik dari tiang-tiang
pendukung tanpa pembebanan pada dinding-dinding, memungkinkan seluruh bangunan bisa “melenggang” menyesuaikan diri secara elastis dengan getaran.”
(YB. Mangunwijaya)

____________________________
1. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul Rumah Punya Sejarah, Napak Tilas Pembangunan Rumah Tradisional Jawa. Tulisan yang pernah dimuat


 Mitos Rumah Tahan Gempa: Suatu Pengantar
Kosa kata “tahan gempa” mendadak nge-pop di masyarakat Yogya dan Jateng pasca gempa 27 Mei 2006. Simaklah bagaimana masyarakat menggunakan kosa kata itu dalam berbagai kesempatan. Mulai dari rasanan warga di angkringan, perbincangan warga di gardu ronda, rapat RT, rembug desa, hingga rapat kedinasan di kantor-kantor pemerintah, kata itu nyaris tak pernah absen. Memasuki masa rekonstruksi, kosa kata itu kian santer diperbincangkan. Sebutan rumah “tahan gempa”, bangunan “tahan gempa”, konstruksi “tahan gempa”, dan semacamnya semakin familiar di telinga khalayak. Berbagai media masa (cetak dan elektronik) pun tak luput memakai kosa kata itu dalam berragam pemberitaannya. Iklan-iklan layanan masyarakat dan advertensi komersial ternyata juga tak mau kalah untuk itu. Entah mengapa, kosa kata rumah “tahan gempa” sangat populer di kawasan Yogya dan Jateng. Hingga kelatahan pun tak terelakkan. Seakan tak afdol tanpa menyebutnya.
Memang, propaganda rumah “tahan gempa” diam-diam tengah menjadi aktivitas yang acap tak disadari dampaknya oleh
____________________________
di www.suarakorbanbencana.org itu merupakan hasil wawancara penulis dengan Ir. Mahatmanta, Pengajar Perkembangan Arsitektur di UKDW. Dalam rangka refleksi 1 tahun penanganan pasca gempa Yogya-Jateng, tulisan ini diangkat kembali dan ditambahi dengan berbagai kasus dan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat selama pasca gempa. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada Mas Anto, arsitek populis-kultural-mengagumkan, yang telah berkenan memperkaya pemahaman penulis tentang nilai-nilai kultural yang terkandung dalam arsitektur rumah Jawa. Untuk itu, penulis mendedikasikan tulisan ini secara khusus untuk Mas Anto, para warga korban, dan siapa saja yang peduli dan tak kenal lelah berpraksis untuk nguri-uri berbagai nilai kearifan lokal.
2. AB. Widyanta adalah staf peneliti di Cindelaras Institute for Rural Empowerment and Global Studies dan Mantan Koordinator Forum Suara Korban Bencana. Forum SUARA (Solidaritas untuk Emergensi, Advokasi, dan Rehabilitasi) adalah forum koordinasi organisasi non-pemerintah yang dideklarasikan oleh 26 ORNOP yang bekerja di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 29 Mei 2006, dua hari setelah gempa melanda kedua wilayah tersebut.

berbagai kalangan masyarakat. Andil terbesar boleh jadi muncul dari kalangan staf pemerintah, akademisi, arsitek, pakar teknik sipil, dan tak ketinggalan aktivis-aktivis LSM. Berbagai kajian ilmiah perihal rumah “tahan gempa” yang digelar oleh dinas Pekerjaan Umum misalnya saja—dengan melibatkan para kaum cerdik cendikia dari berbagai universitas ternama—telah menjadi bukti atas itu. Kiranya tidaklah berlebihan jika kita menyebut mereka (kaum birokrat dan intelektual) sebagai produsen utama atas jargon rumah “tahan gempa” itu. Berbagai gagasan ilmiah perihal rumah “tahan gempa” yang diyakini “sahih” akhirnya berhasil direpetisikan hingga termassifikasi dengan sangat baik di kalangan masyarakat. Kaum cerdik cendikia benar-benar sukses sebagai trend setter bahasa (baca: jargon).
Menyoal bahasa, kita mungkin teringat gagasan Jacques Lacan perihal pikiran manusia yang dibentuk oleh bahasa. Baginya, begitu besar kekuatan yang terkandung dalam bahasa. Entah bagaimana realitas yang sesungguhnya, namun yang jelas apa yang dikatakan dianggap sebagai kebenaran. Bahasa telah menjadi realitas yang memuat kebenarannya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Lacan menemukan relevansinya. Di mata masyarakat, jargon “tahan gempa” telah diyakini sebagai sesuatu yang benar adanya. “Tahan gempa” telah menjadi kebenaran itu sendiri. Bagaimanakah realitas atau kenyataan yang sesungguhnya? Apakah rumah “tahan gempa” yang diucapkan itu merujuk pada kenyataan atas rumah yang benar-benar tahan terhadap gempa? Di sinilah letak persoalannya. Jargon rumah “tahan gempa” yang dikontruksi kaum cerdik cendikia tak merujuk pada realitas atau kenyataan yang sesungguhnya. Tepatnya, rumah tahan gempa itu hanyalah mitos. Kenyataan telah menunjukkan bahwa rumah dan bangunan kokoh dengan konstruksi baja yang kuat sekalipun ternyata rontok juga oleh guncangan gempa Sabtu Wage, 27 Mei 2006 silam. Ada banyak kesaksian warga tentang itu. Rumah bisa tahan terhadap gempa atau tidak, hanya bisa diuji oleh gempa itu sendiri, dan bukan oleh kaum cendikia—yang memproduksi jargon rumah “tahan gempa”—tersebut.
Ada satu contoh menarik perihal itu. Di pinggiran jalan raya, sebelum memasuki gapura kota Bantul, berdiri sebuah rumah yang baru saja di bangun setelah gempa terjadi. Oleh si pemilik, rumah tersebut diberi label “Rumah Contoh Tahan Gempa” Rangka Rumah “Harapan”.3 Jika dibaca sekilas, tak ada yang lucu dalam tulisan itu. Namun bila tulisan itu ditautkan dengan konteks bahwa rumah itu dibangun setelah gempa berlalu, maka barulah kelucuan muncul. Ditilik dari kronologi waktu, terasa ganjil jika rumah yang dibangun setelah gempa kok diberi label “Rumah Contoh Tahan Gempa”. Ironi. Argumen “tahan gempa” dalam tulisan tersebut sejatinya telah ternegasikan dengan sendirinya ketika kita meletakkannya dalam konteks kronologi waktu. Mustinya predikat tahan gempa hanya layak diatributkan pada rumah yang didirikan sebelum gempa terjadi, dan pasca guncangan gempa rumah itu masih tetap berdiri kokoh. Itulah rumah tahan gempa dalam arti yang sesungguhnya. Rumah tahan gempa mustinya merujuk pada kenyataan bahwa rumah itu benar-benar telah teruji oleh guncangan gempa, dan bukannya jargon kosong yang jauh dari realitas sesungguhnya.
Sebutan “Rumah Tahan Gempa” itu sendiri, jika ditilik dari kultur Jawa, secara implisit memuat simtom-simtom sikap nggege mongso dan grusah-grusuh. Kata nggege mongso itu kira-kira menjelaskan tentang sebentuk keinginan dan harapan semata yang serba abai terhadap konteks waktu, situasi, dan kondisi yang sesungguhnya. Sementara, kata grusah-grusuh menjelaskan perihal sikap yang senantiasa tergesa-gesa hingga tindakan serba tidak tepat. Lebih jauh lagi, pengertian nggege mongso itu sendiri merujuk pada situasi dari sebuah keinginan yang sama sekali tidak didasari dan ditopang oleh adanya sarana-sarana pendukung yang riil dan memadai. Sebutan “Rumah Tahan Gempa” itu pada hakikatnya hanya sekadar keinginan dan harapan belaka tanpa merujuk kondisi dan kualitas riilnya.
____________________________
3. Pemberitaaan satir mengenai Rumah Contoh Tahan Gempa ini pernah muncul dalam Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 November 2006, hlm.2.

Tidaklah masuk di akal saja jika rumah yang baru kemarin sore dibangun sudah disebut, bahkan lebih celaka lagi dipropagandakan, sebagai rumah tahan gempa. Bukankah itu merupakan sebutan yang nggege mongso, prematur, dan terlalu dini untuk dimunculkan (lantaran kualitas belum teruji oleh gempa sungguhan)? Sebutan itu sendiri sebenarnya masih berkadar “harapan”, dan bukan realitas yang mengandung kualitas (tahan gempa) yang senyatanya.
Pembacaan atas fenomena “Rumah Tahan Gempa” sebagai sekadar harapan dan bukan realitas itu lebih jauh bisa dianalogikan dengan kasus berikut. Tatkala ada orang tua menamai anak lelakinya yang baru lahir dengan nama Joko Prakoso, itu berarti si orang tua berkeinginan agar anaknya kelak bisa menjadi sosok yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut. Dalam bahasa Jawa, joko berarti anak laki-laki. Sementara, prakoso berarti gagah, kuat, dan perkasa. Dengan demikian, tatkala memilih dan memberi nama kepada anaknya yang baru lahir itu, si orang tua pastilah tengah menyemai harapan agar kelak di kemudian hari anak tersebut bisa tumbuh dan dewasa sebagai seorang lelaki yang senantiasa sehat, kuat, gagah, dan perkasa layaknya Bima.4 Tapi benarkah si anak itu senyatanya akan menjadi lelaki yang gagah, kuat dan perkasa? Realitas kadang tak seturut harapan. Acap kali harapan yang dititipkan dalam sebutan nama tak senantiasa menunjuk pada kualitas makna atau sifat baik dari realitas yang sesungguhnya. Contoh analogi ini kiranya bisa menjelaskan argumen bahwa merebaknya fenomena “Rumah Tahan Gempa” adalah fenomena tentang idealisasi harapan. Lantaran dipropagandakan dan didesakkan seolah-olah sebagai realitas, maka sejak itulah muncul konsep yang lazim disebut sebagai jargon.
Jika sekadar jargon, maka berarti propaganda kepalsuan tengah berlangsung. Label “Rumah Contoh Tahan Gempa” di atas benar-benar kebenaran palsu. Memang, sudah teramat lazim dalam
____________________________
4. Bima yang merupakan nama lain dari Wijaksena, alias Werkudoro, ayahanda Gatotkaca, adalah salah seorang tokoh dalam pewayangan yang menggambarkan seorang ksatria berperawakan besar, gagah, dan perkasa.

keseharian hidup kita menjumpai sindroma pedagang obral “obat panasea penyembuh se-abreg-serombongan penyakit”, “kecap nomor satu”, dan berbagai ungkapan serupa. Terkait dengan jargon rumah “tahan gempa” ini rupanya kita pun tengah menghadapi sindroma sejenis. Selidik punya selidik, tak jauh dari praduga, bahwa ternyata si pemilik “Rumah Contoh Tahan Gempa” tadi adalah sebuah perusahaan rancang bangun perumahan yang tengah melakukan promosi produk sekaligus jasa konstruksi.
Kekhawatiran pun meruyak. Sindroma pengobral obat rupanya tengah menjadi endemi. Tanpa sadar, kita semua andil dalam mereproduksi sulapan bahasa yang jauh dari rujukan kebenaran. Boleh jadi kita tengah ingkar atas pentingnya sebuah bahasa kebenaran yang musti ditegakkan. Sampai-sampai kita rela menggadaikan martabat dan memilih jadi pesulap-pesulap yang tengah berupaya menyembunyikan modus demi meraup fulus. Terbukti benar ungkapan Lacan, bahasa memiliki kekuatannya sendiri. Dengan bahasa, kaum intelektual bisa membungkus kepentingan sekaligus mengendarai pikiran banyak orang demi kepentingannya. Dalam konteks ini, rezim teknokratis sungguh-sungguh berfungsi sangat efektif dalam mendongkrak jargon rumah “tahan gempa” yang pada hakikatnya adalah mitos. Benar-benar suatu kekhawatiran yang tak terpalingkan.
Sedemikian parahkah implikasi dari jargon rumah “tahan gempa” di atas? Bukankah bantuan rumah “tahan gempa” yang tengah marak dibangun Kelompok Masyarakat (Pokmas) saat ini terbukti diterima dan berguna juga bagi masyarakat? Boleh jadi itulah gugatan benak kita. Gugatan itu tidaklah salah. Namun bila ditilik mendalam, jawabnya tak sesederhana itu. Harus diakui, bantuan rumah pasca bencana biasanya tak menyajikan banyak pilihan bagi penyitas (survivors). Sebagaimana lazimnya, bantuan cenderung tak ramah kebutuhan warga. Ketergopohan respon pasca bencana meniscayakan rancangan dan implementasi kebijakan abai terhadap kultur lokal. Kasus penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng telah membeber fakta itu. Kita tentu mafhum mengenai fakta seputar mekanisme bantuan berikut konstruksi standar rumah “tahan gempa” dari pemerintah yang diinstruksikan ke seluruh Kelompok Masyarakat (Pokmas).
Contoh lain yang lebih spektakuler bisa kita simak pada kasus pembangunan rumah a la Teletubbies (rumah dome) di Padukuhan Sengir, Kelurahan Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta.5 Sekadar mengusung proyek ber-jargon rumah “tahan gempa”, sebuah lembaga bantuan asing—yang tentu saja atas seijin Pemerintah Kabupaten Sleman6 dan Pemerintah Propinsi—berkolaborasi dengan arsitek dan staf lokal membangun rumah beton berbentuk parabola tengkurap. Pembangunan rumah dome itu sungguh-sungguh abai terhadap kebutuhan warga. Misalnya, berapapun jumlah anggota keluarga yang akan menghuni, bangunan rumah tetap dirancang seragam. Itu berarti, rumah ini sama sekali tidak mengenal konsep rumah tumbuh layaknya rumah Jawa yang serba luwes untuk dideformasi sewaktu-waktu. Bangunan yang seragam dengan desain “mati” semacam itu merupakan simbolisasi kematian jiwa-jiwa kreatif penghuninya.
____________________________
5. Di area tanah seluas 2,5 hektar, sebanyak 81 rumah dome didirikan dengan rincian 73 rumah tinggal, 2 masjid, 6 MCK. Menurut kalkulasi mereka, biaya pembangunan rumah dome ini berbiaya di bawah 15 juta. Namun biaya paling besar dalam pembangunan rumah dome ini adalah biaya pengadaan balon untuk mempola bangunan parabola tersebut. Balon-balon tersebut didatangkan dari Amerika Serikat. Konon rumah Dome ini oleh donatur pernah dibangun di beberapa negara seperti Kenya, India, Thailand, dan Chili. Menurut seorang nara sumber, rencana awalnya rumah Dome ini akan dibangun di wilayah Bantul. Lantaran Bupati Bantul tidak mengijinkan dan bahkan menolak mentah-mentah, maka bermigrasilah rumah Dome ini ke wilayah yang lebih mudah diajak “kompromi”, Sleman. Konon, “pembawa” rumah Dome ini adalah seorang mantan menteri di era kabinet Abdurahman Wahid (Gus Dur).
6. Sebuah ungkapan ironis muncul dari Bupati Sleman. Secara khusus Sang Bupati justru merasa beruntung lantaran Sleman memiliki rumah-rumah dome ini. Secara panjang lebar ia mengungkapkan: “Dengan bentuknya yang unik bisa saja rumah dome tersebut menjadi monumen peristiwa gempa 27 Mei, serta menjadi aset wisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan. Kawasan itu juga bakal menjadi situs budaya yang mengingatkan kita akan semangat hidup dan semangat gotong royong.” Dikutip dari Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007, hlm.3

Merujuk pada kultur Jawa, omah (rumah) acap diyakini sebagai semah (belahan jiwa, soulmate, layaknya istri atau suami). Omah merupakan simbolisasi dari kelekatan tata relasi fisik dan ekspresi jiwa para penghuni sebagai ruhnya. Konsep omah ini juga dipakai pada saat orang jawa memasuki jenjang perkawinan atau hendak membangun hidup baru bernama keluarga. Menurut kultur Jawa, orang yang memasuki jenjang perkawinan atau hidup baru itu lazim disebut sebagai omah-omah. Artinya, persoalan berumah tangga dalam perkawinan Jawa bukanlah sekedar membangun bangunan fisik artifisial berupa omah semata. Melampaui itu, filosofi omah-omah melukiskan perihal totalitas relasi dan dialog dua hati yang padu dalam lingkup jagad mikro bernama omah. Di sini, omah dimaknai sebagai ruang privat yang selalu menanti untuk diisi, dihidupi, dan dijiwai oleh penghuninya. Itulah sebabnya mengapa bangunan rumah Jawa tidak statis, melainkan luwes dan dinamis sesuai dengan kebutuhan semasa dari penghuninya.
Bentuk-bentuk rumah Jawa pun akan selalu mengikuti dinamika anggota keluarga. Tatkala ada anggota keluarga yang hendak melakukan omah-omah, maka tidak jarang bentuk rumah akan berubah. Beberapa bagian rumah diberikan sebagai sangu warisan bagi keluarga baru itu. Harapannya, meski terpisah oleh jarak, namun keluarga baru tersebut masih tetap mewarisi ruh omah lama. Maka di manapun keluarga baru itu tinggal, mereka telah menjadi satu kesatuan yang utuh dan tak akan pernah terpisahkan. Itulah sebab mengapa kekerabatan di masyarakat Jawa begitu kuat. Dalam konteks kultural semacam ini, tak sulit bagi kita untuk melukiskan dampak kultural rumah dome tersebut bagi masyarakat Sengir kelak di kemudian hari.
Di sinilah letak dimana kita mesti mempertanyakan kembali akar persoalan dari kebijakan rekonstruksi yang sangat massif dan abai kelokalan warga. Rumah yang dibantukan dan bahkan dibangunkan oleh wong liya (orang lain) boleh jadi adalah hal yang samasekali baru bagi kamus masyarakat Jawa. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan jagad mikro (dunia privat) masing-masing warga tatkala mereka tidak melibatkan otak, tangan, dan hatinya dalam membangun sendiri rumah yang akan mereka huni nanti. Inilah gugatan fundamental yang pantas kita renungkan bersama.
Secara umum kita bisa menegaskan bahwa pembangunan rumah dome sungguh-sungguh telah mengabaikan berbagai aspek-aspek ekologis, sosial, dan budaya masyarakat. Warga yang biasanya menghuni rumah kampung, limasan, ataupun joglo, kini harus tinggal di dalam tempurung beton. Layaknya oven roti, bisa dipastikan, cuaca panas akan memanggang seluruh penghuni rumah. Terlalu sepele bagi rasio modern untuk memecahkan persoalan itu. Air Conditioner (AC) adalah solusinya. Luar biasa. Penggagas rumah dome ini benar-benar tak kurang akal. Lantaran berlebih akal, yang kemudian terjadi adalah proyek akal-akalan. Sesat pikir tepatnya. Nalar sederhananya, pastilah AC itu butuh kapasitas listrik yang sangat besar. Di tengah membumbungnya biaya-biaya pelayanan publik seperti listrik saat ini, tidakkah mereka berfikir bahwa bantuan itu justru akan memasung warga nantinya? Tidakkah mereka berfikir bahwa dengan bantuan semacam itu, warga menjadi tergantung kepada teknologi yang sama sekali tak memiliki basis topangan kultural maupun sumberdaya lokal? Kiranya, nalar sehat akan mengerti bahwa bantuan semacam itu tidak membantu, tapi justru membebani warga. Kiranya sejarah juga telah mencatat perihal kasus-kasus bantuan yang mematikan. Dan inilah salah satu contoh riilnya. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah dome akan benar-benar berdiri di wilayah Yogyakarta. Boleh jadi, inilah kali pertama sejarah mencatat masuknya rumah dome dalam kasanah arsitektur rumah Jawa.
Sayang, gayung terlanjur bersambut. Para warga nampak gembira menerimanya. Menurut penuturan warga: “Sudah mendingan kami dapat bantuan rumah, Mas. Namanya saja bantuan, kami sadrema mung nampa seneng (semata-mata hanya bisa menerima dengan senang hati).” “Namanya bantuan kalau tidak di terima ya mubazir, mas!” Begitulah warga menyodorkan beragam argumen, seolah menegaskan adagium orang Jawa yang berbunyi: “Ora ilok nampik pawehing lian” (pamali menampik pemberian orang). Bantuan materi sebentuk omah batok-beton (rumah tempurung dari beton) tanpa disangka-sangka hadir sebagai rejeki nomplok atau bahkan anugerah besar yang terlalu sayang jika ditolak. Benar-benar Klop. Sempurnalah sudah. Jika sudah sedemikian situasinya, lantas siapa yang musti bertanggungjawab atas carut marutnya pengelolaan bantuan asing yang tak ramah terhadap kearifan lokal dan pada akhirnya justru menjerat dan memasung warga semacam ini? Dalam situasi semacam ini, muncul satu pertanyaan yang senantiasa menggelitik dan menuntut jawaban. Sejauh mana kita menentukan tolok ukur bahwa bantuan itu merupakan berkah atau bencana? Inilah dilema yang mau tak mau harus kita hadapi dan pecahkan bersama.
Bagaimanapun juga, gempa secara kasat mata telah merubah tata sosial dan kultural masyarakat. Wacana kultural semakin berkelit berkelindan dengan wacana ekonomi politik bantuan. Dramaturgi sosial pasca gempa nampaknya kian kompleks. Namun patut kita sadari bahwa repitisi latah atas jargon rumah “tahan gempa” telah menghilangkan kesadaran kritis orang. Sampai-sampai terasa sulit memilah antara mitos dan realitas. Secara gamblang, jargon rumah “tahan gempa” yang nge-trend pasca bencana telah membeberkan fakta bahwa masyarakat kita ternyata lebih menggandrungi mitos ketimbang realitas. Itulah wajah dunia sosial kita pasca gempa.

Segala Sesuatu Tak Ada yang Tahan Gempa7
Di tengah hiruk pikuknya jargon rumah “tahan gempa”, suara-suara lirih warga muncul sesekali di sana-sini. Terdengar lirih lantaran mereka terkucilkan oleh mainstream jargon rumah “tahan gempa”. Suara-suara itu bermunculan dari para warga yang menjadi saksi mata atas kelenturan berbagai model rumah tradisional Jawa tatkala gempa mengguncang. Adalah Ngatimin, seorang warga dari dusun Karangasem RT 02, Muntuk, Dlingo, Bantul, yang menuturkan perihal rumahnya saat terjadi gempa. Dengan berbahasa Jawa kromo, lebih jauh ia mengisahkan:8

“Pas enten gempa wingi griya kula njondhil-njondhil, gendhenge sami mawut, cagake anjlok saking umpak, bar niku namung dhoyong. Mboten ambruk.”

(Ketika gempa terjadi, rumah saya berjingkrakan, genteng berjatuhan, ujung bawah tiang rumah terperosok anjlok dari atas umpak, setealah itu rumah hanya miring. Tidak ambruk.)

Begitulah Ngatimin mengisahkan pentas tarian alam rumah limasan-nya saat gempa bertandang di dusunnya. Ingatan Ngatimin ternyata berhasil merekam dengan baik bahwa di RT 02 tersebut sebagian besar rumah warga adalah rumah tradisional bergaya limasan. Itulah sebabnya, menurut argumen Ngatimin, hanya ada 2 rumah dan 1 mushola yang roboh. Padahal jika ditilik dari letak geografis, Desa Muntuk sangat berdekatan dengan lokasi pusat gempa, yaitu di tempuran Opak-Oya.
Kisah serupa ditemui juga di daerah Nglatiyan II, Ngentak Rejo, Lendah Kulon Progo. Suparno, pemilik rumah tradisional Jawa bergaya joglo, menceritakan kembali perihal rumah joglo yang tetap melenggang saja meski gempa mengguncangnya. Menurut penuturan Suparno:9
____________________________
7. Sub judul ini merupakan terjemahan dari pendapat Samijo (64 tahun) yang mengatakan: “Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa”. Kutipan diambil dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke 23, 22 November 2006, hlm.2.
8. Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006, hlm. 2.
9. Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 November 2006, hlm.2.

Saya dan seluruh keluarga sudah berada di luar sehingga bisa melihat rumah ini berayun-ayun. Padahal pada waktu kejadian itu sepertinya sudah mau roboh ke utara, tapi ya nggak jadi.

Benar-benar mengejutkan. Rumah joglo berusia hampir 50 tahun itu terbukti sanggup mengatasi ayunan gempa berskala 5,9 skala richter.
Tak kalah mengejutkan dari itu adalah kisah rumah kuno Mbah Mangun Sumarto (86 tahun). Rumah limasan berusia lebih dari 100 tahun itu terletak di RT 06, Dusun Gandikan, Kaligondang, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Kisah rumah kuno Mbah Mangun kian menyempurnakan dua kisah rumah tradisional Jawa di atas. Menurut sejarahnya, rumah tersebut pernah digoyang gempa pada tahun 1942, dan terbukti masih sanggup mengatasi gempa pada 27 Mei 2006 silam. Lebih jauh, Mbah Mangun menuturkan, rumah limasan yang dihuninya tidak berubah dari dulu hingga kini. Bahan baku yang digunakan masih asli semuanya. Sambungan antar kayu menggunakan semacam paku/kancing kayu berbentuk bulat atau yang biasa disebut sunduk kili. Pada saat gempa terjadi, rumah kuno Mbah Mangun ini juga hanya meliuk ke kanan dan ke kiri. “Mung doyong sisih kidul kuwi” (hanya miring sebelah selatan itu), begitu tutur ringan Mbah Mangun dengan bahasa Jawa ngoko-nya.10
Berbagai kisah unik yang dituturkan oleh Ngatimin, Suparno, dan Mbah Mangun di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak kisah warga yang tak sempat terpaparkan kepada khalayak secara memadai. Kendati demikian, kalangan masyarakat sebenarnya teah mendengar dan memperoleh impresi khusus mengenai kisah “kandang-kandang sapi” yang masih tetap berdiri kokoh meski gempa dahsyat menerpanya. Banyak sekali kasus di lapangan menunjukkan bahwa para warga akhirnya justru “menggusur” ternak-ternak dan memanfaatkan kandang sebagai hunian sementara. Inilah kisah
____________________________
10. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 November 2006, hlm.2.

yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Sayangnya, nilai-nilai itu sering dianggap usang, tradisional, tak modern, dan lebih celaka lagi, tak memiliki makna apapun, kecuali sebagai cerita lalu yang hanya pantas dikenang saja. Belajar dari kisah kandang itu, kita sejatinya bisa memetik buah refleksi tentang bagaimana sesungguhnya prinsip dan konstruksi rumah yang responsif/tanggap terhadap gempa, dan bukannya rumah tahan gempa sebagai jargon yang justru latah dan menyesatkan.
Memang itulah sesat pikir yang telah mewabah di wilayah publik. Hingga teramat sulit untuk meluruskannya kembali. Terkait dengan konsep rumah modern yang kini marak dibangun pasca gempa, baik yang didanai oleh pemerintah maupun berbagai lembaga donor, menurut Ir. Mahatmanto, seorang pengajar perkembangan arsitektur, bisa diibaratkan tak lebih seperti membuat “kontainer”. Lebih jauh ia berargumen bahwa “kontainer-kontainer” semacam ini jelas-jelas tidak membiarkan energi alam lewat tetapi justru menahan, melawan, bahkan merusak alam.11 Argumen tentang konstruksi rumah yang selaras dengan alam juga dilontarkan oleh guru besar arsitektur bermatra kearifan lokal, YB Mangunwijaya. Menurutnya, sudah terbukti, bahwa gedung-gedung berkonstruksi modern yang dirancang kaku (rigid) hancur, sedangkan yang berkonstruksi tradisional bisa bertahan. Pada hakekatnya, lebih jauh Mangunwijawa mengungkapkan:12
“Susunan konstruksi tradisional, dengan bahan kayu yang elastis fleksibel, berpondasi titik dari tiang-tiang pendukung tanpa pembebanan pada dinding-dinding, memungkinkan seluruh bangunan bisa “melenggang” menyesuaikan diri secara elastis dengan getaran.”
____________________________
11. Hasil wawancara penulis dengan Ir. Mahatmanto, 2 Oktober 2006.
12. Mangunwijaya YB, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan, Jakarta: Gramedia, 1980, hlm 89

Senada dengan dua argumen di atas, argumen Yuskar Lase juga menegaskan perihal karakter-karakter dasar rumah tradisional yang responsif/tanggap terhadap gempa. Berdasarkan pada hasil wawancara dan reportase Evawani Ellisa yang termuat di majalah National Geographic, lebih jauh Lase menegaskan:13

“Bangunan tahan gempa seperti ilalang. Sifat ilalang yang ringan dan fleksibel menyebabkan tanaman ini tak akan tercerabut dari akarnya walau diterpa angin kencang. Kunci untuk membuat struktur bangunan yang fleksibel terhadap gaya gempa terletak pada sistem sambungan ductile atau sambungan yang mampu berdeformasi besar tanpa harus berkurang kekuatannya.”

Secara khusus, reportase ini muncul dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena menarik pasca gempa Nias. Alkisah, pasca gempa Nias terdapat sebuah rumah adat Nias berukuran besar dan berusia lebih dari satu abad yang masih tetap sanggup berdiri kokoh kendati gempa telah meratakan rumah-rumah warga sekitarnya.
Dalam konteks ini, kiranya menjadi penting bagi kita untuk mulai serius mengkaji berbagai prinsip dan nilai kultural yang terkandung dalam konstruksi rumah tradisional di berbagai wilayah Nusantara. Bila kita mencermati sungguh-sungguh, konstruksi rumah tradisional yang bertebaran di seantero negeri ini secara umum memiliki prinsip yang hampir sama. Semuanya nampak merujuk pada prinsip-prinsip hidup yang selaras, seimbang, dan harmonis dengan alam. Kajian semacam itu tentu saja sangatlah penting, terlebih ketika kita semakin paham bahwa wilayah Nusantara ini ternyata adalah wilayah langganan/jalur gempa (ring of fire). Dengan memahami dan mengkaji secara lebih mendalam perihal nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam konstruksi rumah-rumah tradisional itu, kita akan menjadi sadar bahwa ternyata warisan
____________________________
13. Yuskar Lase, dalam National Geographic April 2006, hasil wawancara Evawani Ellisa, Teknologi Gempa Bumi, hlm. 77)

budaya nenek moyang kita sangatlah kaya dengan berbagai pilihan sikap arif dan bijak. Ibarat buku, warisan budaya itu selalu terbuka untuk kita baca dan cecapi kandungan nilai-nilai di dalamnya. Kini, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Selama masa rekonstruksi pasca gempa Yogya dan Jateng, kita tahu persis bagaimana kebijakan pemerintah diimplementasikan. Tak ada afirmasi kebijakan atas nilai-nilai kearifan lokal itu. Warisan budaya dinisbikan. Para local genius tak dilibatkan dalam rancangan dan implementasi kebijakan. Jangankan dilibatkan, didengar dan dimintai pendapat pun tidak. Tak ayal, apa yang terjadi kini adalah gambar dari suatu bangsa yang tak beridentitas dan tak berkarakter. Bangsa ini serba gado-gado, tak yakin akan potensi dirinya. Dalam kondisi demikian, maka bukanlah hal yang aneh jika pada masa rekonstruksi pasca gempa itu, implementasi kebijakan tidak berakar pada kultur lokal. Kultur luar yang dibawa dan diperkenalkan oleh agensi-agensi asing pengelola bantuan, jauh lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tanpa memasang filter, semisal code of conduct, pemerintah sangat terbuka dan bahkan permisif terhadap bantuan agensi-agensi asing yang sebenarnya berpotensi merusak. Sungguh, bangsa ini telah kehilangan identitasnya.
Secara kasat mata kita bisa cermati contoh pilihan tunggal kebijakan rekonstruksi berupa rumah tahan gempa di atas. Jika saja pemerintah kita mau sedikit arif, rakyat mustinya diberi beberapa alternatif pilihan model rumah yang akan dibangun kembali. Namun nampaknya pemerintah tak mau dibuat repot untuk itu. Berdalih efisiensi dan efektifitas untuk program rekonstruksi, pemerintah secara sentralistis mendesakkan model tunggal konstruksi rumah beton dengan pondasi, sloof, ring dan tiang besi cor-coran ala standarisasi pemerintah yang implementasinya dikawal oleh Departemen Pekerjaan Umum. Harus diakui, proyek semacam itu memang lebih enteng, praktis, dan lebih “menjanjikan”. Nampaknya warga pun pada akhirnya tak punya banyak pilihan, kecuali menerimanya. Semata-mata demi kepentingan pragmatis dan efisiensi, hakekat warga sebagai subyek pembangunan pun menjadi tak relevan dan tak penting lagi. Hal yang sama berlaku juga pada rumah tahan gempa, apakah itu realitas atau mitos, sudah tidak relevan dan tak penting lagi digagas. Semuanya toh sekadar pragmatisme dan efisiensi. Dalam konteks ini, pemerintah benar-benar telah memposisikan warga sebagai obyek pasif, yang tak mampu berfikir dan bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan pembangunan, yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar mitos belaka.
Menyoal mitos kebijakan rumah tahan gempa, sebenarnya bangsa ini bisa belajar dari pandangan arif warganya, yang boleh jadi tak mengenyam pendidikan tinggi seperti Samijo (64 tahun) berikut ini. Warga Dusun Gandikan, Kaligondang, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul, ini lebih jauh mengungkapkan:14

Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa (segala sesuatu itu tak ada yang tahan gempa). Hanya saja rumah yang terbuat dari kayu lebih aman ketika terjadi gempa, karena penghuninya masih memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri. Kalau pun ada penghuni yang terjebak, menyelamatkannya juga lebih mudah, karena kayu kan ringan.”

Sekilas, penuturan Samijo di atas terdengar biasa-biasa saja. Namun bila didalami lebih jauh, argumen bersahaja itu mampu membongkar dan meruntuhkan mitos rumah tahan gempa yang dipropagandakan oleh para cerdik cendikia. Dalam keugahariannya sebagai seorang warga dusun, ungkapan Samijo di atas sesungguhnya telah menggelar suatu wacana tandingan. Secara implisit Lik Samijo hendak memaknakan bahwa tak akan ada yang mampu melawan kekuatan gempa. Gempa merupakan keniscayaan perubahan alam yang kekuatannya tak bisa dibendung oleh siapapun. Untuk itu, gempa tak perlu disikapi secara berlebihan. Karena pada dasarnya gempa adalah kenyataan yang
____________________________
14. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 November 2006, hlm.2.

musti dihadapi, bukannya dilawan atau ditentang. Gempa bukanlah musuh yang mengancam. Gempa hanya salah satu peristiwa alam biasa yang musti disikapi dengan arif dan bijak. Menghadapi dan menyikapinya secara arif dan bijak itulah yang musti selalu dipikirkan. Tercermin dalam ungkapannya, Samijo nampak terbiasa melakukan proses nggelar-nggulung kahanan (arti harafiahnya: proses dialektis aksi-refleksi atas realitas kehidupan). Dalam kerangka kultur dan kearifan lokalnya, Samijo hadir sebagai sosok local genius yang mampu membongkar mitos rumah tahan gempa yang saat ini tengah diagung-agungkan.
Konstruksi sosial atas tata nilai dan tradisi dalam menghadapi perubahan alam itu sendiri bermula dari pengalaman yang kemudian melahirkan pengetahuan lokal atas konstruksi rumah tradisional Jawa yang responsif/tanggap terhadap gempa sehingga relatif aman. Pengetahuan itu dari waktu ke waktu ditradisikan sehingga menjadi apa yang biasa diistilahkan sebagai indigenous knowledge. Cakupan indigenous knowledge itu sendiri, dalam dinamika peradaban masyarakat, senantiasa ditapakkan dalam ranah praksis atau laku hidup keseharian yang kontekstual. Padupadan dialektis antara pengetahuan, nilai-nilai keyakinan, dan praksis hidup sosial itulah yang pada akhirnya melahirkan sebentuk kearifan-sosial-khusus yang biasa kita sebut sebagai local wisdom. Dalam berbagai kisah kandang sapi dan berbagai macam tipe rumah tradisional Jawa (kampung, limasan, joglo) di atas, sebetulnya tersimpan dasar filosofi dan perangkat nilai kultural masyarakat Jawa yang sangat penting untuk dijadikan tuntunan dalam mempertimbangkan dan menyikapi secara arif dan bijak berbagai risiko yang ditimbulkan oleh gempa dan berbagai wujud perubahan alam lainnya. Jika saat ini buku UN International Strategy for Disaster Reduction bertitel Living with Risk15 tengah menjadi mainstream atau bahkan menjadi “kitab suci” bagi banyak lembaga dalam penanganan bencana, maka sebenarnya Lik
____________________________
15. Living with Risk: A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Geneva: UN International Strategy for Disaster Reduction, 2002.

Samijo jauh-jauh sebelumnya telah menerjemahannya ke dalam praksis. Ia riil berpraksis. Di sini kerangka pikir, pengetahuan lokal, telah diimplementasikannya dalam tindakan nyata.
Rupanya, Samijo adalah orang Jawa yang paham betul perihal laku hidup yang selalu “eling lan waspada” dan tidak gampang kaget lan gumunan (tidak gampang terkaget-kaget dan gampang terheran-heran) terhadap arus perubahan di sekitarnya. Ia tetap teguh dan berakar dalam keyakinannya. Terbukti pendapatnya berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan pendapat para cendikia. Kata “eling lan waspada” memiliki makna tentang sadar dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi dan yang akan terjadi dalam hidup. Kata itu juga melukiskan suatu daya upaya/ikhtiar manusia untuk selalu berpijak ke bumi, praksis hidup yang riil, dan bukan di awang-awang. Dengan kata lain, kesadaran (kritis) dan kewaspadaan itulah instrumen yang sangat penting dalam praksis kehidupan.
Tanpa bermaksud simplistis, boleh jadi inilah sistem peringatan dini (early warning system) dalam versi kearifan lokal. Sistem peringatan dini yang kultural ini bersifat lebih organik dan jauh dari bias perangkat keras bernama teknologi mutakhir yang harganya mencapai jutaan atau bahkan hingga milyaran rupiah. Sikap peka, tanggap, dan tangguh dalam kultur lokal semacam ini sesungguhnya merupakan sumber-sumber pengetahuan yang sangat berharga untuk dikaji. Hal itu perlu didesakkan agar implementasi kebijakan penanganan bencana yang dilakukan pemerintah tak menafikan kearifan lokal masyarakat. Harapannya, kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) senantiasa menjadi mudah untuk diinisiasi. Sehingga gerakan penyadaran sesungguhnya atas disaster preparedness berbasis kearifan lokal tersebut bisa terarah pada suatu sistem yang terpadu dalam masyarakat. Itulah potensi kekayaan yang sejatinya teramat berharga, jika saja bangsa ini mau mengerti.
Menimbang betapa berharganya kearifan lokal yang ada di masyarakat kita, tulisan berikut akan menguraikan lebih jauh sejarah, filosofi, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam konstruksi rumah tradisional Jawa. Dengan paparan ini, diharapkan kita akan terinsipirasi dan teryakinkan untuk senantiasa berupaya mengembangkan berbagai nilai kearifan lokal dalam konteks pembangunan yang tengah kehilangan dimensi kerakyataannya saat ini. Diawali dari filosofi rumah tradisional Jawa, tulisan berikut ini lebih jauh lagi akan memaparkan beberapa perubahan bentuk rumah Jawa yang diakibatkan oleh pengadopsian kultur-kultur yang dibawa masuk oleh para saudagar dan bangsa-bangsa kolonial dari berbagai belahan dunia. Pertemuan dengan jagad-jagad kultural dari berbagai belahan dunia itu pada akhirnya menghasilkan konstruksi rumah tradisional Jawa seperti yang umum kita kenal saat ini.

Sejarah dan Filosofi Rumah Tradisional Jawa
Rumah Jawa sebenarnya ada banyak ragamnya. Selain karena tanah Jawa—tempat dibangunnya rumah itu—beragam secara geologis, rumah Jawa itu sendiri mengalami perkembangan, tidak statis. Rumah-rumah Jawa sebagaimana digambarkan dalam relief percandian abad VIII-XII berbeda dari rumah-rumah Jawa yang kita lihat pada masa kini. Ada perubahan dan perkembangan yang selalu mencari kecocokan dengan kebutuhan semasa.
Pada hakikatnya, rumah adalah “alam kedua” bagi orang Jawa yang bisa melindungi mereka dari berlebihnya (ganasnya) kekuatan alam semesta (cuaca, binatang buas, dan lain sebagainya). Karena merupakan alam kedua, maka prinsipnya ia tidak bertentangan, tidak berlawanan dengan alam pertama yang melingkupinya. Alam kedua itu justru menjadi bagian utuh yang tak terpisahkan dari “alam pertama” (alam semesta). Alam kedua tersebut tersusun dari bahan-bahan yang diambil dari alam pertama, yang dirangkai sedemikian rupa agar memberi kesempatan kepada alam semesta untuk mengalirkan energinya tanpa ada hambatan.
Alam Kedua itu seperti anak yang terlahir dari rahim alam sebagai ibunya: merupakan “buah tubuh” dari alam yang ditaburi benih budidaya/kultur manusia. Dalam filosofi semacam itu maka bangunan yang didirikan pun harus mencakup dimensi keselarasan antara manusia yang menghuninya, kultur dan alam. Berasal dari turunan nilai tradisi dan kultur besar itu, maka bangunan rumah Jawa memiliki konsep dan karakteristik seperti dalam uraian berikut ini.
Bangunan rumah Jawa tidak bersifat kaku (rigid), tidak mengagungkan kekokohan yang acap mencirikan keangkuhan. Bila disimak, sistem sambungan yang merangkai bagian-bagiannya, rumah Jawa bersifat sangat longgar, elastis (memiliki prinsip seperti rumput ilalang), fleksibel (melenggang) dan mudah diurai. Demikian pula prinsip yang sama dapat dilihat pada desain busana Jawa yang longgar, serba kain ubel (jarik, stagen, udeng, dan lain-lain). Ia tidak mengenal konsep ngunci atau tali pati. Karakter dominan dalam rumah Jawa sangatlah organik, luwes, gampang diudhari (diurai), dan mudah dipretheli (dilepas satu-persatu). Sehingga kalau pun rubuh, bisa dengan mudah ditegakkan kembali.
Jabaran berbagai karakter itu mengindikasikan bahwa rumah Jawa adalah rancangan rumah tumbuh. Dalam keluwesannya itu, ia bisa berubah, tumbuh, dan berkembang seturut perkembangan jumlah anggota keluarga di rumah tangga yang menghunginya. Dengan luwesnya, rumah induk/utama akan berkembang menyamping seturut perkembangan jumlah anggota keluarga. Alasan itu pula yang menyebabkan batas-batas teritori rumah Jawa tidaklah kaku, tidak seperti rumah modern. Hal itu bisa dicermati dalam realitas masyarakat Jawa bahwa beberapa KK tinggal dalam rumah yang sama. Satu rumah ada beberapa pawon (dapur), dan lain-lain.
Oleh karena itu, terkait dengan struktur fisik, rumah Jawa lebih menekankan struktur rangka yang fleksibel dan bukan dinding yang kaku. Tengoklah kasus-kasus seperti rumah Jawa yang tidak mengenal struktur kerangka yang mati. Kerangka rumah dirancang dengan kayu yang ditumpuk-tumpuk untuk mendapatkan sifatnya yang fleksibel. Sambungan antar batang kayu selalu menggunakan sindik atau pasak (paku dan baut tidak dikenal samasekali dalam kamus arsitektur tradisional), sehingga memudahkan penghuninya ketika sewaktu-waktu ingin mendeformasi bentuk rumahnya. Sambungan untuk interseksi antar lajur kayu (reng dan usuk) yang menggunakan tali (tutus= tali dari pelintiran bilah-bilah bambu, atau pelintiran tali ijuk yang dianyam) sebagai penguatnya.
Dengan titik tumpu pada struktur kerangka, maka dinding bukanlah unsur baku dalam rumah Jawa. Bagi orang Jawa, dinding hanya sebatas sebagi penanda sekat fleksibel (slintru, gebyok, tirai (wand) dan bukan dinding penanggungbeban (muur). Itulah sebabnya mengapa dalam kultur Jawa dinding sewaktu-waktu bisa dipindah, diboyong seturut keinginan dan kebutuhan penghuninya. Ditinjau dari aspek tata cahaya dalam rumah, yang kala itu hanya bersumber pada lampu senthir dari minyak jarak, atau lampu teplok dari minyak tanah, dinding penyekat yang serba luwes itu bisa gampang disesuaikan dengan sumber penerangan tersebut. Dalam kasus gebyok, ukir-ukiran yang tembus antar permukaan gebyok, selain berfungsi untuk ventilasi udara, ia juga berfungsi untuk menyiasati pencahayaan ruang dari sumber penerangan yang selembut senthir tadi. Jika ditilik dari implikasi sosial, konsepsi privasi bagi orang Jawa tidaklah begitu ketat. Dalam pandangan orang Jawa dinding ketat, kaku, dan permanen hanya difungsikan sebagai properti pembungkus benda-benda sakral bagi orang Jawa. Sakralitas haruslah ditempatkan di ruang yang memang primpen, terpisah, dan berbeda dari ruangan-ruangan yang lain.
Berkaitan dengan aspek atap, sejalan dengan prinsip selaras dengan energi alam tersebut, orang Jawa memilih atap yang sangat fleksibel untuk melindungi mereka dari berbagai macam cuaca yang berubah-ubah (panas, dingin, lembab, dan lain sebagainya). Bahan yang dipilih pun sangat dekat dengan unsur alam seperti: kayu, ijuk, daun tebu/rapak, daun kelapa, dan lain lain.
Terkait dengan topangan dasar bagi struktur bangunan Jawa tersebut, kultur Jawa tidak pernah mengenal pondasi. Untuk menumpukan tiang-tiang penyangga utama struktur kerangka tersebut, orang Jawa—dan juga berbagai suku di Indonesia lainnya—menggunakan apa yang biasa disebut sebagai umpak. Pada awalnya umpak ini terbut dari batu-batu bulat biasa. Dalam perkembangannya disesuaikan dengan semakin tingginya kesadaran akan berbagai aspek potensi risiko dan juga perkembangan cita rasa artistik dan fungsinya, maka umpak tadi berubah bentuk kotak dengan bagian bawah yang berukuran lebih lebar. Kegunaan umpak ini selain sebagai penyangga dasar bagi struktur bangunan, ia juga difungsikan sebagai pengaman bagi struktur agar tidak mudah lapuk, baik termakan rayap, air, api, dan lain-lain. Di beberapa wilayah, bentuk umpak ini berbeda-beda. Misalnya di daerah Kudus, umpak bentuknya lebih tinggi dibandingkan dengan umpak di rumah-rumah Jawa bagian selatan. Disinyalir, bentuk umpak yang tinggi ini terjadi ketika di daerah Kudus tersebut genangan air ketika musim penghujan cukup tinggi, sehingga dibutuhkan umpak yang tingginya melampaui tingginya genangan air.

Perubahan Kultur dan Bentuk Rumah Tradisional Jawa
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, orang Jawa tak luput dari perjumpaan kultur dengan masyarakat luar. Dalam konteks perjumpaan antar jagad-jadag kultural tersebut, maka keniscayaan atas perubahan pun tak bisa ditampik. Tidak mengherankan jika pola/konstruksi pikir dan konstruksi sosial dan kultural atas kehidupan pun berubah, termasuk di dalamnya “artefak” rumah tradisional tersebut di atas. Tiga elemen utama rumah yang dikenalkan itu adalah: pondasi, dinding tembok, atap genting, dan jendela.
Berikut adalah catatan pergeseran bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Jawa. Pergeseran bentuk itu diantaranya meliputi: pondasi, dinding tembok, atap genting, dan jendela.
Pondasi
Meski pondasi tidak dikenal oleh kultur rumah Jawa (dan berbagai suku (tribes) di Indonesia), namun pada suatu titik sejarah, kultur pondasi ini juga mulai muncul dan diadopsi oleh orang Jawa. Berdasarkan catatan sejarah, kultur pondasi rumah ini diperkenalkan oleh bangsa-bangsa dari luar kawasan tropik. Pada hakikatnya, pondasi ini difungsikan sebagai elemen dasar bagi bangunan berdinding bebatuan kokoh dan kaku, yang mengepung seluruh sisinya.
Konteks wilayah yang melatarbelakangi konsep bangunan semacam itu tentu saja adalah wilayah-wilayah yang berhawa sangat dingin. Maka konteks alam semacam itu memunculkan kultur pikir bahwa masyarakat di sana sangat membutuhkan perlindungan ekstra tebal/ketat dari ancaman hawa dingin yang siap membekukan darah.
Demi menopang dinding bebatuan tebal itu maka pondasi merupakan titik tumpu utama yang tak tergantikan. Tengoklah bangunan di wilayah Eropa, Cina di bagian Utara, atau rumah orang Eskimo, dan lain-lain.
Dinding Tembok
Serupa dengan pondasi, tradisi rumah Jawa tidak mengenal adanya dinding bebatuan kokoh semacam itu. Dinding bebatuan yang juga dikenalkan oleh para saudagar dan kaum kolonial itu pada awalnya terbuat dari pecahan-pecahan batu alam yang kemudian ditata vertikal untuk menopang struktur kerangka atap yang berat.
Dalam perkembangannya, karena langkanya bebatuan, material bebatuan itu bergeser ke material batu-batu yang dicetak dari tanah liat dan dibakar terlebih dulu. Kultur tembikar semacam ini diperkenalkan oleh para saudagar Cina, yang mana di wilayah Cina sendiri material semacam itu digunakan untuk membangun benteng kokoh pertahanan di kompleks kerajaan. Karenanya dinding ini menjadi elemen utama kedua setelah pondasi.
Atap Genting
Tak berbeda dengan kedua elemen di atas, atap genting merupakan elemen utama ketiga yang diperkenalkan kepada masyarakat Jawa dan berbagai suku-suku di Nusantara. Genting yang proses pembuatannya hampir sama dengan pembuatan batu-bata, diperkenalkan juga oleh bangsa Cina.
Jendela
Jendela tidak dikenal oleh kultur Jawa. Kita tidak punya konsep “melubangi” dinding. Bila ada bukaan pun itu terjadi karena kita membiarkan bidang yang dibingkai rangka dinding itu terbuka. Bangunan Jawa modern menggunakan konsep jendela karena mengadopsi kultur dinding dari luar. Istilah “jendela” ini sendiri berasal dari Bahasa Portugis.
Tak terelakkannya difusi kebudayaan baru dengan kultur masyarakat Jawa itu tentu saja membawa berbagai implikasi yang perlu diurai lebih jauh. Namun ada satu hal mendasar yang perlu dicatat bahwa pada prinsipnya, semua kultur yang ada di dunia ini muncul dari rasionalisasi seting kehidupan masyarakat yang kontekstual. Kultur nenek moyang orang Jawa dilatarbelakangi oleh kondisi alam yang tentu saja teramat berbeda dengan Cina dan Eropa.

Epilog: Siapa Buntung - Siapa Untung?
Setelah mencermati seluruh uraian di atas, tulisan ini akhirnya sampai pada epilog. Epilog singkat ini bukanlah catatan kesimpulan, melainkan justru catatan pembuka yang akan mengantar kita untuk menelusuri dan mengkaji lebih jauh perihal nilai-nilai kearifan lokal yang tercecer dan terserak dalam penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng. Boleh dikata, epilog ini merupakan undangan sekaligus tantangan bagi kita semua, untuk melakukan kajian mendalam atas berbagai warisan budaya yang ada di seluruh masyarakat negeri ini. Dengannya kita akan menuai petuah-petuah arif dan bijak yang bisa dijadikan bekal untuk menghadapi anomali kehidupan berupa bencana. Dalam konteks ini, diskursus “rumah tahan gempa” versus rumah tradisional Jawa di atas masih menunggu kajian lanjutan dari kita. Agenda ini penting dilakukan agar berbagai bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai lokal tidak terulang lagi dalam penanganan pasca bencana di masa-masa mendatang.
Secara prinsipil, bantuan haruslah memerdekakan, bukannya membelenggu atau bahkan membunuh. Jika suatu bantuan telah mengabaikan atau bahkan sengaja melanggar nilai-nilai kearifan lokal, maka bisa dipastikan bantuan itu sendiri tak akan membantu, namun justru menjerat. Itu berarti bantuan itu tak memerdekakan beneficiaries. Dalam kesengajaan itu, secara prematur bantuan itu sendiri berarti telah ingkar terhadap hakikat warga sebagai subyek yang aktif dan otonom. Dengan segenap dalih efisiensi, efektifitas, dan pragmatisme, bantuan itu hanya akan menimbulkan petaka yang tidak jarang justru jauh lebih dahsyat ketimbang bencana alam itu sendiri. Dalih-dalih itu secara khusus mencerminkan watak teknokratis yang terbiasa berfikir cupet, dan tak mau repot oleh persoalan yang kompleks. Dalam dimensi waktu, cupet pikir itu dengan mudah bisa dikenali dalam pilihan-pilihan kebijakan yang serba berjangka pendek, dan tak menimbang implikasi-implikasinya dalam jangka panjang. Dalam dimensi cakupan aspek, cupet pikir itu biasanya tercermin dalam pilihan kebijakan yang bias pada beberapa aspek-aspek dominan saja, dan kurang memperhitungkan keterkaitan berbagai aspek secara utuh dan menyeluruh (holistik).
Andai saja bangsa ini mau bersikap arif, pastilah kearifan lokal akan dijadikan sebagai elemen utama dalam berbagai kebijakannya. Dengan begitu, warga merasa eksistensinya dihargai, diindahkan, dan ditempatkan sebagai subyek otonom yang berdaulat dan bermartabat dalam segala aktivitas pembangunan di Negeri ini. Andai saja bangsa ini mau menalar jernih, pastilah harta karun sosial di masyarakat kita itu akan dimaknai dan diposisikan sebagai kekayaan paling berharga melampaui apapun. Sehingga modal sosial akan didorong, difasilitasi, diafirmasi, dan diperkuat oleh negara, bukan sebaliknya. Andai saja bangsa ini mau bertindak secara bijaksana, pastilah program-program yang dijalankan dalam penanganan bencana akan berkiblat pada pengutamaan atas hak-hak dasar korban dan program pemulihan (recovery) yang pro-lingkungan.
Jika kita menimbang fakta bahwa letak geografis kepulauan Nusantara ini merupakan jalur gempa potensial, maka adalah suatu kemendesakkan bagi bangsa ini untuk bergegas menginisiasi secara serius program-program mitigasi atau kesiap-siagaan bencana di seluruh wilayah di Nusantara. Program itu tentu saja harus berbasis pada kearifan lokal masyarakat sebagaimana terurai di atas. Lebih jauh, penyusunan dan pengimplementasian kode etik (code of conduct) dalam pengelolaan bantuan juga menjadi agenda pokok lainnya yang harus segera dibakukan. Hal itu penting dilakukan demi mengantisipasi terjadinya praktik-praktik penyimpangan oleh berbagai lembaga bantuan. Seluruh tindakan itu ditempuh demi memproteksi dan menghargai martabat warga sebagai subyek yang aktif. Inilah PR besar yang musti kita rampungkan.
Untuk menggenapi PR itu, pertanyaan mendasar yang tak kalah penting untuk direfleksikan adalah siapa sesungguhnya yang paling untung dan siapa yang paling buntung dalam rekonstruksi rumah pasca gempa bumi Yogya dan Jateng? Untuk menjawab hal itu, bolehlah kita bermain hitung-hitungan sejenak siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dari bantuan yang serba diproyekkan semacam itu. Dari sekian banyak kebutuhan material bangunan yang digunakan untuk membangun “rumah tahan gempa” tersebut (seperti besi, semen, pasir, kayu, batu-bata), material mana saja yang bisa dipenuhi sendiri oleh warga/masyarakat lokal? Jawabannya mungkin dua atau tiga jenis material terakhir. Dari sekian jenis itu, material manakah yang paling mahal biayanya? Jawabannya bisa dipastikan, besi dan semen.
Berdasarkan hitungan seorang nara sumber—yang kebetulan adalah seorang sekretaris Pokmas—untuk membangun rumah berukuran 6 x 6 m2 (ukuran sesuai dengan peraturan rumah tahan gempa versi pemerintah), warga membutuhkan 55 lonjor besi berukuran 12mm, dengan harga Rp. 45.000/lonjor, sehingga total biaya besi lonjoran sebesar Rp. 2.475.000. Dibutuhkan besi begel sebanyak 60 kg, dengan harga Rp. 7500/kg, jadi total biaya begel sebesar Rp. 450.000. Kebutuhan semen mencapai 60 sak, dengan harga Rp.30.000/sak, jadi total biaya semen sebesar Rp.1.800.000. Hitungan tersebut berasumsi jumlah kebutuhan materialnya paling minimal. Selain itu, fase pembangunannya terhitung sampai pada tahapan rumah berdiri dengan tembok yang belum di-lepo. Asumsi lainnya, harga-harga tersebut stabil, tidak menghitung harga pasar yang dari hari ke hari cenderung meningkat. Sedangkan, kebutuhan material lainnya dicukupi dengan menggunakan sisa-sisa material lama yang masih bisa dipakai.
Dari hasil kalkulasi itu, total biaya yang dibutuhkan warga untuk membeli besi dan semen adalah sebesar Rp. 4.725.000 (nyaris sepertiga dari total bantuan pemerintah Rp.15.000.000). Jika perkiraan jumlah rumah yang dibangun di Yogyakarta mencapai 160.109 rumah, maka total biaya dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang terbelanjakan untuk besi dan semen akan mencapai sebesar Rp.756.515.025.000 (Rp.756,5 M). Perhitungan rincinya, total biaya besi sebesar Rp. 468.318.825.000 (Rp.468,3 M) dan total biaya semen sebesar Rp. 288.196.200.000 (Rp.288, 2 M).
Dari uraian di atas, kita bisa menerka kemana larinya uang sebesar itu. Pihak-pihak yang paling diuntungkan tidak ada lain kecuali pabrik besi dan pabrik semen. Tak tanggung-tanggung lagi, prosentasenya pun cukup fantastis, yaitu 30% dari total bantuan pemerintah. Tampak jelas betapa warga masyarakat, yang semestinya menjadi pihak yang paling berhak dilayani dan dibantu, pada akhirnya hanya menjadi jalur pintas bagi keluar masuknya dana bantuan. Bantuan yang dikucurkan pemerintah tak tertampung di warga, tapi justru “bocor” dan menggerojok ke pabrik-pabrik besi dan semen. Realitas jauh semakin terasa masgul lagi ketika kita tahu bahwa sebagian besar saham dari pabrik-pabrik besi dan semen tersebut ternyata dimiliki oleh pengusaha-pengusaha asing. Lag-lagi, bantuan pemerintah untuk rakyat pun akhirnya harus tersedot dan mengalir jauh ke negeri orang.
Sementara, warga yang masih harus membeli bahan material lain (seperti kayu, batu-bata, genting, pernik-pernik material lainnya) dan membayar tenaga tukang yang semakin mahal, terpaksa harus meliyak-liyukkan dana bantuan yang cupet itu agar rumah mereka tetap bisa berdiri. Di tengah cupetnya dana bantuan tersebut, persoalan warga semakin diperparah lagi oleh perilaku rent-seeker berikut “sunatan massal” dana bantuan dengan segala modusnya. Sunatan terjadi dengan angka nominal yang sangat variatif, mulai dari ratusan ribu hingga hitungan jutaan pun terjadi. Pelakunya juga bervariasi, mulai dari ketua Pokmas, ketua RT, Dukuh, Lurah, hingga Fasilitator Kelompok, dan lain-lain. Secara telanjang, “sunatan massal” dana bantuan telah menjadi persoalan sosial yang kian memprihatinkan. Hingga kini, tidak/belum ada penegakan hukum yang signifikan atas itu. Berbagai kasus di atas menjadi tanda atas menguatnya kaotik sosial masyarakat Yogyakarta pasca gempa.
Menyoal kembali tentang mitos Rumah Tahan Gempa di atas, waktunya bagi kita untuk kembali merenungkan implikasi panjang dari penciptaan mitos tersebut. Bila kita timbang-timbang lagi perihal Rumah Tahan Gempa yang sarat dengan material besi dan semen, bukankah dua material itu merupakan hasil eksplotasi perut bumi kita? Bukankah eksploitasi itu telah berandil pada kerapuhan bumi yang berpotensi bencana? Dan bukankah material-material itu adalah sumberdaya alam yang tak terbarui? Bukankah akan lebih baik jika donasi yang mencampai hingga trilyunan itu dikelola penggunaannya agar pembelanjaan semaksimal mungkin beredar di wilayah lokal, sehingga bisa menghidupkan sektor perekonomian lokal warga, bukannya justru menguap keluar dan memperkaya kocek para pemilik pabrik besi dan semen? Jika demikian, bukankah para kapitalis yang justru mereguk untung dan wargalah yang menanggung buntung? Bukankah akan jauh lebih bijaksana jika dalam penyusunan kebijakan rekonstruksi, pemerintah berkiblat pada nilai-nilai budaya/kearifan lokal, sehingga pembangunan rumah yang relatif lebih responsif terhadap gempa dan lebih ramah lingkungan—seperti tercermin dalam rumah tradisional Jawa—bisa menjawab berbagai kebutuhan warga?
Logika semacam itu tentu tak akan pernah mudah diterima oleh orang kebanyakan yang telah terbiasa hidup di kultur kapitalistik. Banyak orang akan sangat menyangsikan bahwa itu bisa terjadi. Pasalnya, Negeri ini telah kelewat gandrung pada developmentalism dan pemuja neoliberalism nomor wahid. Maka tak heran jika pola pikir kita pun merupakan replikasi dari kondisi makro pembangunan yang tidak pro-rakyat dan pro-lingkungan tersebut. Seperti tercermin dalam implementasi kebijakan penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng, apa yang terjadi tak lebih dari sekadar aktivitas penanganan pasca bencana yang didominasi oleh logika proyek dan bisnis. Dalam lanskap bencana, pestapora loba berebut rente (profit) tengah kita gelar dan rayakan, tanpa rasa malu dan bersalah. Naga-naganya kita telah jauh keblinger (sesat pikir) lantaran sengaja membutakan nalar dan nurani bahwa dalam euforia kultur kapitalistik itu, kita sesungguhnya tengah beramai-ramai menenggelamkan bumi, tempat bergantungnya hidup ordo primata bernama manusia ini.
Andai saja kita mau belajar dari pengetahuan hidup para local genius seperti Kang Ngatimin, Lik Suparno, Mbah Mangun, dan Lik Samijo di atas, pastilah kita akan belajar untuk bersikap ugahari dan teguh mempertahankan jatidiri. Dari merekalah kita bisa belajar makna dan arti hidup yang selaras dan harmonis dengan alam. Kisah rumah Mbah Mangun Sumarto telah mencelekkan mata kita bahwa tanpa propaganda apapun rumah tradisional Jawa berusia 100 tahun tetap tegak dan berdiri kokoh. Darinya pula kita diajarkan kebenaran dan pelajaran hidup yang teramat berharga bahwa pada hakikatnya rumah punya sejarah, rumah punya kenangan, dan rumah punya jasa: telah menyelamatkan penghuninya dari gebalau gempa bumi Sabtu Wage 27 Mei 2006, setahun silam. Alhamdulillah. Matur nuwun, Gusti! Thanks God!
Terimakasih Kang Ngatimin, Lik Suparno, Mbah Mangun, dan Lik Samijo, atas tutur dan petuah berharga untuk kami. Semoga kami bisa belajar untuk semakin arif dan bijak. Wallahualam bisawab.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
UN International Strategy for Disaster Reduction, Living with Risk: A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Geneva: UN International Strategy for Disaster Reduction, 2002.
Mangun Wijaya, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan ; Jakarta: Gramedia, 1981
Buletin
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 November 2006
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 November 2006
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 November 2006
Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006
Koran
Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007
Majalah
National Geographic April 2006 (Teknologi Gempa Bumi)
Website
www.suarakorbanbencana.org

Share this article :
 
Support : Rakjat Koeasa |
Copyright © 2009. Spotaker Blank - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Spotaker Blank
Proudly powered by Blogger