Sejak 1967 hingga kini PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menggangsir
bumi Papua, menambang emas, perak, dan tembaga. Selama hampir setengah
abad itu telah muncul pelbagai masalah, terutama menyangkut jatah
penerimaan negara karena kurang optimal. Masalah lain ihwal minimnya
peran negara, terutama Badan Usaha Milik Negara, untuk ikut mengelola
tambang dikuasai Freeport McMoran di daerah Mimika, Papua, itu.
Rupa-rupa
persoalan itu mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan
renegosiasi kontrak karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat
Papua. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress)
Marwan Batubara, Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera
Amerika Serikat. "Karena merasa adidaya tidak mau mengubah kontrak,"
kata Marwan ketika dihubungi merdeka.com lewat telepon seluler, Kamis pekan lalu.
Dia
menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan besar, mereka
seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan pemerintah. Kontrak
karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan.
Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30
tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10
tahun.
Pemerintah meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab
beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 tentan Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak
sesuai akta itu. "Mereka mengancam bakal memperkarakan ke pengadilan
arbitrase internasional. Jadi persoalannya lebih pada arogansi
kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita pengecut," Marwan menegaskan.
Padahal
dampak penambangan terhadap lingkungan juga signifikan. Misal, rusaknya
bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan
akibat pertambangan telah mengubah bentang alam seluas 166 kilometer
persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Freeport telah membuang tailing
dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui sungai itu.
Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura.
Marwan pernah
melaporkan kerusakan lingkungan ini semasa dia menjabat Ketua Komite
Penyelamat Kekayaan Negara. Laporan itu dibukukan dan diberi judul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat.
Menurut dia, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai
negara, didalamnya termasuk 50 persen cadangan emas di kepulauan
Indonesia.
Namun, dari hasil eksploitasi itu, hanya sebagian
kecil pendapatan masuk ke kas negara dibanding keuntungan diperoleh
perusahaan. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Apalagi sejak 1967 hingga
1994 Freeport hanya melapor sebagai penambang tembaga. Baru pada 1995
mereka mengaku menambang emas di Papua.
Celakanya, volume emas
ditambang selama 21 tahun itu tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh
orang Papua sendiri. Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR
Komisi VII bidang Pertambangan sempat mencurigai telah terjadi
manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Dewan curiga jumlah
emas diperkirakan 2,16-2,5 miliar ton.
DPR juga tidak percaya
data kandungan konsentrat diinformasikan sepihak oleh Freeport. Dewan
berkesimpulan negara telah dirugikan lebih dari 30 tahun akibat tidak
adanya pengawasan serius. Lalu bagaimana sekarang? "Pemerintah didukung
DPR mestinya punya sikap tegas, berani memberikan sanksi. Misalnya,
kalau Freport tidak mau renegosiasi, sanksinya mohon maaf, anda
(Freeport) silakan pergi dulu."
Dampak sanksi pengusiran terhadap
Freeport pasti akan besar. Misalnya, akan ada ratusan bahkan ribuan
orang kehilangan pekerjaan, kemudian pendapatan negara berkurang. Tetapi
tidak apa-apa kalau memang negara mau berdaulat. Sebagai pilihan
terakhir, sanksi tegas memang harus diberikan. Namun sebelum memberikan
sanksi pemerintah harus membuat langkah antisipatif lebih dulu.
"Sebelum
sanksi pengusiran, masih ada negosiasi intensif. Masalahnya sekarang
yang didorong hanya dirjen, kenapa tidak menteri atau presiden. Soalnya
Freeport ini Amerika, butuh presiden langsung bernegosiasi, kita butuh
pemimpin tegas," kata Marwan, yang juga mantan Anggota DPR periode
2004-2009.
Sumber : www.merdeka.com