Obskuriti ::: Merdesa Boeng !!!

Why you ask me???



you`re free, born free, live free, so free Iam dead ashes to ashes dust to dust god bless you all what do you want wanna say there is no answer here what do you gonna do there is nothing lift here all they give got just pain and tear well, I just want to say … Iam dead

Talak Untuk Freeport Congkak

0 comments

Sejak 1967 hingga kini PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menggangsir bumi Papua, menambang emas, perak, dan tembaga. Selama hampir setengah abad itu telah muncul pelbagai masalah, terutama menyangkut jatah penerimaan negara karena kurang optimal. Masalah lain ihwal minimnya peran negara, terutama Badan Usaha Milik Negara, untuk ikut mengelola tambang dikuasai Freeport McMoran di daerah Mimika, Papua, itu.

Rupa-rupa persoalan itu mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan renegosiasi kontrak karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat Papua. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara, Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera Amerika Serikat. "Karena merasa adidaya tidak mau mengubah kontrak," kata Marwan ketika dihubungi merdeka.com lewat telepon seluler, Kamis pekan lalu.

Dia menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan besar, mereka seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan pemerintah. Kontrak karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan. Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun.

Pemerintah meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu. "Mereka mengancam bakal memperkarakan ke pengadilan arbitrase internasional. Jadi persoalannya lebih pada arogansi kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita pengecut," Marwan menegaskan.

Padahal dampak penambangan terhadap lingkungan juga signifikan. Misal, rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah mengubah bentang alam seluas 166 kilometer persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui sungai itu. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura.

Marwan pernah melaporkan kerusakan lingkungan ini semasa dia menjabat Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara. Laporan itu dibukukan dan diberi judul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat. Menurut dia, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, didalamnya termasuk 50 persen cadangan emas di kepulauan Indonesia.

Namun, dari hasil eksploitasi itu, hanya sebagian kecil pendapatan masuk ke kas negara dibanding keuntungan diperoleh perusahaan. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Apalagi sejak 1967 hingga 1994 Freeport hanya melapor sebagai penambang tembaga. Baru pada 1995 mereka mengaku menambang emas di Papua.

Celakanya, volume emas ditambang selama 21 tahun itu tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR Komisi VII bidang Pertambangan sempat mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Dewan curiga jumlah emas diperkirakan 2,16-2,5 miliar ton.

DPR juga tidak percaya data kandungan konsentrat diinformasikan sepihak oleh Freeport. Dewan berkesimpulan negara telah dirugikan lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan serius. Lalu bagaimana sekarang? "Pemerintah didukung DPR mestinya punya sikap tegas, berani memberikan sanksi. Misalnya, kalau Freport tidak mau renegosiasi, sanksinya mohon maaf, anda (Freeport) silakan pergi dulu."

Dampak sanksi pengusiran terhadap Freeport pasti akan besar. Misalnya, akan ada ratusan bahkan ribuan orang kehilangan pekerjaan, kemudian pendapatan negara berkurang. Tetapi tidak apa-apa kalau memang negara mau berdaulat. Sebagai pilihan terakhir, sanksi tegas memang harus diberikan. Namun sebelum memberikan sanksi pemerintah harus membuat langkah antisipatif lebih dulu.

"Sebelum sanksi pengusiran, masih ada negosiasi intensif. Masalahnya sekarang yang didorong hanya dirjen, kenapa tidak menteri atau presiden. Soalnya Freeport ini Amerika, butuh presiden langsung bernegosiasi, kita butuh pemimpin tegas," kata Marwan, yang juga mantan Anggota DPR periode 2004-2009.

Sumber : www.merdeka.com
Share this article :
 
Support : Rakjat Koeasa |
Copyright © 2009. Spotaker Blank - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Spotaker Blank
Proudly powered by Blogger