Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
Judul Buku: Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Late Middle Ages
Pengarang: Ellen Meiksins Wood
Penerbit: Verso, London/New York, 2008
Tebal: ix + 245 h.
Pengarang: Ellen Meiksins Wood
Penerbit: Verso, London/New York, 2008
Tebal: ix + 245 h.
Membedah Pemikiran Politik Barat Melalui Sejarah Sosial
USAHA untuk membahas dasar-dasar pemikiran politik Barat, merupakan
hal yang jarang dilakukan. Di tanah air, terdapat kecenderungan untuk
‘melupakan’ kanon-kanon teori politik klasik, apalagi membahas konteks
sejarah dari pemikiran tersebut. Cap ‘kuno’ atau ‘tidak relevan’ sering
menjadi alasan mengapa tidak banyak dari kita – pengkaji ilmu sosial dan
filsafat, serta aktivis gerakan sosial – mau menekuni kajian pemikiran
politik klasik Barat secara serius.
Di tengah-tengah kelangkaan kajian serius tentang filsafat politik
klasik Barat, ahli ilmu politik Marxis terkemuka, Ellen Meiksins Wood,
berusaha memberikan sebuah narasi lengkap tentang sejarah pemikiran
politik. Yang menarik dari Wood, ia tidak hanya sekedar menarasikan
sejarah intelektual atau history of ideas, melainkan berusaha membahas pemikiran politik Barat melalui pendekatan sejarah sosial (The Social History of Political Theory).
Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial di sini adalah usaha
untuk menempatkan para pemikir politik Barat klasik sebagai subyek yang
terus-menerus berinteraksi dengan konteks politik, ekonomi dan sosial
masyarakatnya, yang tertuang dalam pemikiran mereka. Oleh karena itu,
selain membedah inti-inti gagasan para pemikir politik Barat klasik,
Wood juga membahas latar belakang sosial mereka dan interaksinya dengan
masyarakat dan kekuasaan pada masa itu – dari zaman Yunani Kuno hingga
Abad Pertengahan.
Thesis utama Wood cukup jelas dan gamblang, yaitu sejarah pemikiran
politik Barat dari zaman Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan, didominasi
oleh dua ketegangan: pertama, ketegangan antara kelas yang menguasai kepemilikan aset terutama tanah vis-à-vis demos – yaitu rakyat banyak yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap; dan kedua, bagaimana menjustifikasi kekuasaan negara yang absolutis plus ketimpangan politik, ekonomi, sosial dan legal yang dilembagakan berdasarkan dalil ‘kesetaraan manusia’ menurut hukum alam (natural law). Ketegangan inilah yang menjadi pembahasan utama dalam buku Wood.
Dari Masa Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan
Wood membagi bukunya dalam empat bab pembahasan: bab pertama tentang
pendekatan sejarah sosial dalam filsafat politik, bab kedua hingga
keempat masing-masing membahas tentang sejarah pemikiran politik mulai
dari masa Yunani Kuno, Imperium Romawi, hingga Abad Pertengahan
menjelang modernitas. Di bagian kesimpulan, Wood kemudian memaparkan dan
menegaskan kembali argumennya tentang ketegangan dalam pemikiran
politik Barat klasik dan implikasinya terhadap pemikiran politik Barat
modern dan kontemporer.
Di bab pertama, Wood memberikan justifikasi tentang pentingnya
memahami filsafat politik Barat dalam perspektif sejarah sosial. Metode
penulisan Wood sesungguhnya merupakan gebrakan dalam penulisan sejarah
filsafat politik Barat. Di Amerika Serikat, misalnya, pendekatan
keilmuan dalam kajian filsafat politik di berbagai departemen ilmu
politik cenderung dipengaruhi oleh pendekatan Straussian ala Leo
Strauss. Menurut Leo Strauss, mengkaji filsafat dan teori politik
berarti sekedar mengkaji pemikiran para pemikir besar politik Barat
dengan cara membaca kanon-kanon pemikiran politik terkemuka tanpa
berusaha untuk mengaitkannya dengan konteks sosio-historis pemikiran
tersebut, atas nama ‘objektivitas ilmu pengetahuan’ dan karenanya
memperjuangkan ‘anti-historisisme’ atau menghindari pembahasan konteks
sosio-historis dalam mengkaji pemikiran politik Barat. Akibatnya,
ide-ide pemikiran politik dibahas hanya secara normatif, seakan-akan
muncul dengan sendirinya, dan karenanya bisa terjebak dalam
solipsismenya sendiri. Di dalam ranah ilmu politik yang lebih
‘empirisis,’ pendekatan Straussian ini juga semakin melanggengkan
hegemoni positivisme dalam ilmu politik, atas nama sains yang ‘objektif’
dan ‘bebas nilai dan kepentingan’ – suatu fenomena, yang sayangnya,
sangat dominan dalam diskursus ilmu politik kita di tanah air.
Wood mengritik keras pendekatan semacam ini. Menurutnya, ide-ide
filsafat politik Barat bukanlah gagasan yang muncul dalam konteks yang
vakum, melainkan selalu berinteraksi dengan kenyataan sosial
disekelilingnya. Konteks sosial inilah yang juga mempengaruhi bangunan
argumentasi para filsuf politik Barat. Wood juga mengritik pendekatan
dominan sejarah pemikiran politik Barat, yang selain terlalu menekankan
pada aspek ide semata, juga cenderung abai terhadap berbagai proses
sosial dan upaya berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang
termarginalkan, seperti petani, perempuan, dan rakyat kebanyakan
lainnya, dan karenanya, justru menjadi ahistoris. Selain memberikan konteks historis dari pemikiran politik Barat, pendekatan Wood juga bertujuan untuk menuliskan ‘history from below’ atau ‘sejarah dari bawah,’ yaitu sejarah filsafat politik dari kacamata rakyat biasa, terutama kaum petani penggarap.
Di dalam konteks inilah, Wood membuat gebrakan dan kritik tajam atas
penulisan sejarah filsafat politik Barat, yang sekali lagi, cenderung
menulis sejarah pemikiran politik dalam konteks yang vakum, ahistoris,
atas nama ‘anti-historis.’
Berdasarkan perspektif inilah, Wood kemudian menganalisis secara
cermat bagaimana ketegangan-ketegangan tersebut sudah ada dari masa awal
perkembangan polis atau negara-kota di zaman Yunani Kuno dan
masa awal perkembangan Imperium Romawi. Di masa Yunani Kuno, komunitas
politik merupakan domain di luar negara, yang diwarnai bukan oleh
interaksi antara penguasa dan rakyat jelata (rulers and subjects) tetapi merupakan hubungan yang setara antara warga negara (citizens). Namun demikian, pola relasi politik ini mengesampingkan pola relasi produksi antara para tuan tanah (appropriators, landlords) dan para produsen yaitu warga negara, yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap (peasant-citizens).
Pola relasi produksi antara tuan tanah dan petani penggarap inilah yang
mewarnai ketegangan utama dalam pemikiran politik Barat. Tiap-tiap era
menanggapinya dengan reaksi yang berbeda. Yunani Kuno menanggapinya
dengan institusi demokrasi yang memungkinkan tuan tanah dan rakyat
petani berkonfrontasi secara beradab dalam ranah politik sebagai warga
negara yang setara. Imperium Romawi menempuh jalan yang jauh berbeda:
berdasarkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam artian memberikan
manusia hak sesuai kebijaksanaan dan kemampuannya, negara justru semakin
memperkuat hierarkhi antara tuan tanah dan segenap penguasa lainnya
(birokrat, pejabat negara dan militer) sebagai kelas yang berkuasa
versus para rakyat petani melalui status hukum yang didasarkan atas
status kepemilikan properti. Abad Pertengahan kemudian menjadi saksi di
mana gereja dan negara menjadi semakin tidak berkuasa di hadapan kelas
yang menguasai kepemilikan pribadi yang semakin menggerogoti kedaulatan
negara.
Di Bab kedua, Wood berfokus kepada para pemikir politik Yunani
terkemuka pada zamannya, yaitu Sokrates, Plato, Aristoteles, dan kaum
Sofis, terutama Protagoras. Wood memulai pembahasannya dari kemajuan
demokrasi di polis-polis Yunani yang dipelopori oleh Solon, sang
reformer demokrasi di Athena. Yang dimaksud dengan ‘demokrasi’ di sini
bukanlah demokrasi elektoral semata seperti yang sering menjadi penyakit
di masa modern sekarang, tapi merupakan arena kontestasi politik di
mana warga-petani (peasant-citizen) bisa memperjuangkan
hak-haknya dalam polis. Pengaruh aristokrasi dan para penyokong oligarki
memang masih ada, tetapi itu semua diimbangi oleh kekuatan politik para
warga-petani. Memang, demokrasi Athena tidaklah sempurna. Dalam hal
kebijakan luar negeri misalnya, Athena menerapkan kebijakan luar negeri
yang justru ekpansionis, seperti digambarkan oleh Thukidedes, sejarawan
Yunani, dalam karyanya Sejarah Perang Peloponnesos (History of the Peloponnesian War). Tetapi, demokrasi Athena dalam banyak hal merupakan kemenangan sejarah bagi kaum petani dan warga biasa.
Sejarah pemikiran politik Yunani Kuno, yang dimotori oleh
filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles, sangat berkaitan
dengan konteks ini. Pemikiran-pemikiran Sokrates, Plato dan Aristoteles
dibangun berdasarkan interaksi dan refleksi mereka dengan kondisi sosial
di sekitarnya. Yang menarik adalah, Wood lantas tidak berhenti di titik
ini, melainkan bergerak lebih jauh lagi dengan menyodorkan sebuah
argumen: Plato dan Aristoteles, yang memiliki latar belakang sebagai
para pemikir yang dekat dengan kekuasaan dan golongan elit di Athena,
sesungguhnya menawarkan pemikiran politik yang skeptis dengan kemampuan
massa, yaitu petani dan warga biasa, untuk memerintah, jikalau tidak
anti-demokrasi sama sekali. Terlepas dari berbagai perbedaan dari posisi
filosofis para tiga filsuf tersebut, mereka semua mendasarkan filsafat
politiknya dari argumen yang sama: bahwa terdapat perbedaan yang inheren dalam sifat dasar manusia (human nature), yang menjustifikasi perbedaan peranan dalam bentuk ketidaksetaraan (inequality)
dalam kehidupan publik. Seorang budak atau petani, yang harus memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan menggarap tanah, tidak memiliki
kemampuan untuk memikirkan persoalan publik dibandingkan dengan seorang
aristokrat terdidik yang memiliki kemampuan dan waktu luang untuk
memikirkan politik, dan karenanya, penegasan hierarkhi antara penguasa
dan yang diperintah menjadi lebih baik untuk keduanya.
Yang menarik, para pembela demokrasi Athena dan kemampuan kelas
petani dan produsen lainnya dalam memerintah dirinya sendiri justru
adalah kaum Sofis, terutama Protagoras. Berbeda dengan para filsuf
Yunani yang menekankan pada aspek hierarkhi alamiah (order), Protagoras justru berargumen tentang kesetaraan alamiah (equality)
yang juga tercermin dalam praktek politik dan kehidupan publik, dalam
bentuk demokrasi. Berdasarkan kesetaraan inilah, maka demokrasi Athena
perlu menjadi instumen politik bagi kaum tani dan rakyat jelata dalam
memperjuangkan haknya melawan dominasi para aristokrat dan oligark.
Di bab ketiga, Wood menjelaskan transisi dari kemunduran polis-polis
Yunani ke kejayaan Imperium Romawi. Perubahan besar-besaran ini juga
mempengaruhi corak filsafat politik yang berkembang di masa Romawi.
Tantangan terbesar bagi filsafat politik dan politik itu sendiri di masa
imperium Romawi adalah bagaiamana menjustifikasi pemerintahan yang
absolutis dan imperium yang ekspansionis berdasarkan konsep kesetaraan
manusia dan kosmopolitanisme yang menjadi tradisi filsafat dan politik
Yunani. Persoalan ini menjadi semakin kompleks dengan semakin menguatnya
legislasi yang melindungi kepemilikan properti pribadi dan munculnya
gereja sebagai kekuatan baru, baik di bidang pemikiran, politik, maupun
properti atau ekonomi.
Perubahan ini bermula dari mundurnya komunitas polis, bergeser menjadi imperium yang kosmopolis, meliputi
dan memerintah berbagai jenis suku bangsa dan golongan masyarakat, di
bawah pimpinan raja sebagai hukum yang hidup atau the living law. Mulai
dari masa ini, pemikiran Yunani yang menjadi tren dan mewarnai
pemikiran politik di era Romawi adalah Stoikisme yang dipelopori oleh
Zeno dari Citium. Filsafat Stoikisme melahirkan berbagai macam konsep,
tetapi konsep yang paling mempengaruhi corak filsafat politik di masa
Romawi adalah konsep kesatuan antara akal pikiran (mind) dan badan atau aspek-aspek badaniah dari manusia (body), yang disebut dengan istilah logos, yang
juga sering diterjemahkan sebagai ‘nalar universal.’ Konsepsi ini jelas
berbeda dengan dualisme antara badan dan pikiran yang dirumuskan oleh
Plato, yang konsekuensinya adalah justifikasi untuk hierarkhi yang tegas
antara penguasa dan yang diperintah. Sepintas, pemikiran politik Stoik
akan menguatkan tradisi demokratis a la Athena, tapi pada
perkembangannya, filsafat Stoik mengalami evolusi konsep yang kelak
dipakai untuk menjustifikasi kekuasaan yang absolut. Modifikasi atas
Stoikisme dapat dilihat pada pemikiran Cicero, seorang negarawan Romawi
kuno, dan Agustinus dari Hippo, seorang santo dan filsuf gereja di masa
Romawi.
Cicero, yang menggunakan dalil Stoik tentang logos, pertama-tama
bersentuhan dengan argumen kaum Stoik dari kacamata Plato. Dengan kata
lain, Stoikisme Cicero sejatinya berbau Platonis, karena Cicero membaca
Stoikisme melalui kritik tentangnya. Thesis utama dari
pemikiran politik Cicero adalah pengakuan atas kemampuan akal budi
manusia, kesetaraan dalam dimensi moral bagi seluruh manusia, penegakkan
hukum dan perlindungan atas kepemilikan pribadi. Menariknya,
berdasarkan atas prinsi-prinsip tersebut, Cicero melakukan pembelaan
atas ketidaksetaraan dan hierarkhi sosial antara penguasa dan
rakyat jelata, terutama kaum tani, yang dilembagakan melalui kedaulatan
yang absolut dan sistem hukum, berdasarkan prinsip keadilan. Menurut
Cicero, meskipun semua manusia setara dan memiliki kapasitas yang sama
dalam menggunakan akal budinya dan memerintah, manusia juga memiliki
potensi untuk mengabaikan akal budinya dan terjatuh dalam jurang
kesalahan. Oleh karena itu, kekuasaan negara yang mutlak, jikalau tidak
absolutis atau otoriter, dalam istilah yang lebih modern, diperlukan
untuk menjaga manusia dari kecenderungannya untuk melakukan kesalahan.
Kemudian, definisi keadilan Cicero berbeda dengan definisi keadilan ala
masyarakat polis Yunani, yang menekankan pada kesetaraan kemampuan
manusia, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonominya, dalam
merumuskan kebijakan publik dan memerintah. Keadilan, menurut Cicero,
adalah memberikan manusia tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan
kapasitasnya. Tidaklah adil, bagi Cicero, untuk memberikan bobot yang
sama dalam kebijakan pemerintahan bagi manusia yang memiliki kemampuan
terbaik dan mereka yang memiliki kemampuan terburuk, karena negara
terbaik adalah negara yang dipimpin oleh para warga negara yang terbaik –
kaum aristokrat, tuan tanah, dan oligark.
Santo Agustinus dari Hippo, yang menjadi salah satu pemikir Gereja
terkemuka di era naiknya agama Kristen di Imperium Romawi, juga memiliki
pemikiran serupa, yang digunakan sebagai dalil bagi pihak Gereja untuk
mendukung sekaligus mengambil keuntungan dari semakin besarnya kekuasaan
negara dan semakin terpinggirnya peranan para warga-petani. Agustinus,
yang terkenal dengan karya utamanya Kota Tuhan (The City of God),
berada di tengah-tengah dilema antara otoritas Gereja dan negara.
Agustinus ingin meyakinkan bahwa KeKristenan bukanlah musuh para elit
negara, dan sebalikya, Gereja tidak perlu takut dengan otoritas negara,
sekalipun negara dipimpin oleh para elit yang sama sekali tidak
Kristiani. Salah satu ide Agustinus untuk menjembatani ketegangan ini,
sekaligus semakin menegaskan dukungannya untuk legitimasi negara yang
mutlak, adalah doktrin tentang ‘dosa asal’ (original sin).
Doktrin ini mengatakan,sekalipun manusia memiliki potensi untuk
mengaktualisasikan potensi akal budinya untuk menjadi bijak, namun
manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa dan menjauhi perintah
Tuhan. Untuk itu, manusia, terutama umat Kristen, perlu mengikuti gereja
sebagai otoritas spiritual demi menggapai kemenangan di bumi dan di
hari akhir. Tetapi, institusi gereja memiliki keterbatasan dalam
menegaskan kedaulatan temporal, kedaulatannya di bumi. Oleh
karena itu, kedaulatan di bumi harus diserahkan kepada institusi negara,
sekalipun negara tersebut sangat Pagan dan anti-Kristen, untuk menjaga
manusia dari kecenderungannya untuk berdosa di bumi.
Perlu diingat bahwa baik pemikiran Cicero maupun Santo Agustinus
merupakan reaksi atas munculnya tipe pemerintahan baru di masyarakat
pada saat itu, yakni kekaisaran atau imperium yang bersifat ekspansif.
Menariknya, pengalaman Imperium Romawi menunjukkan bahwa untuk semakin
menguatkan otoritas dan jangkauan kekuasaannya, negara harus memperkuat
rezim kepemilikan pribadi atas properti, terutama tanah, bagi para tuan
tanah, pejabat publik, dan militer. Kedaulatan negara dan perluasan
kekaisaran berkaitan erat dengan kekuatan para penguasa dan perlindungan
atas rezim kepemilikan pribadi. Munculnya agama Kristen juga tidak
terlepas dari konteks ini, yang akhirnya membuat Gereja harus mengambil
suatu solusi yang bertujuan untuk melindungi penyebaran agama Kristen
dan otoritas Gereja, yaitu mendukung rejim negara dan kepemilikan
pribadi. Lagi-lagi, semua ini terjadi dengan mengorbankan hak-hak dan
kontribusi produksi para warga, petani, dan budak.
Bab keempat menjelaskan tentang Abad Pertengahan dan transisi dari
imperium Romawi ke feodalisme. Meskipun banyak sejarawan dan cendekiawan
yang berfokus pada perubahan dan keterputusan sejarah antara era Romawi
dan Abad Pertengahan, Wood justru menggarisbawahi kesinambungan (continuity)
antara era Romawi dan Abad Pertengahan, terutama dari kacamata para
petani yang semakin termarginalkan. Kesinambungan sejarah ini dapat
terlihat pada hubungan yang makin pelik antara negara, Gereja dan
kepemilikan pribadi dan batasan-batasan antara ruang sipil dan politik (civic and political spheres) versus ranah hukum (legality),
yang menjadi fokus pembahasan para filsuf politik di masa itu, mulai
dari Thomas Aquinas, John dari Paris, Marsilius dari Padua, William dari
Ockham dan para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Rushd (Averroes).
Tantangan utama pada masa Abad Pertengahan adalah menyusutnya kedaulatan
mutlak negara di hadapan menguatnya rejim kepemilikan properti yang
memberikan posisi tawar yang lebih besar kepada para tuan tanah, yang
berujung kepada dilema antara otoritas untuk menjalankan pemerintahan
versus kekuatan kepemilikan pribadi.
Terlepas dari berbagai perbedaan di tingkat varian pemikiran yang
berkaitan dengan konteks di negara masing-masing, para filsuf politik
Eropa di Abad Pertengahan yang menghadapi dilema antara negara atau
akumulasi tanah dan kapital, memilih ‘jalan tengah’ dengan mendukung status quo, yaitu
pembelaan atas kekuasaan negara sekaligus rejim kepemilikan pribadi.
Aquinas, misalnya, melakukan pembelaan atas kekuasaan negara yang
temporal atau sekuler dan kekuasaan spiritual Gereja yang berdasarkan
konsep hukum alam (natural law). Konsep ini berbeda, misalnya,
dengan konsep Ibn Rushd yang meniadakan dikotomi antara agama dan
filsafat sebagai jalan menuju Kebenaran, yang berimplikasi pada struktur
politik yang lebih fleksibel di dunia Islam dibandingkan Eropa di Abad
Pertengahan pada saat itu. Marsilius dari Padua, juga membela usaha
negara untuk mengembalikan kedaulatannya sekaligus menguatnya kekuasan
para tuan tanah berdasarkan dalil bahwa negara dan kekuasaan tuan tanah
merupakan representasi dari ‘perkumpulan warga’ (the corporation of citizens).
Sedangkan William dari Ockham berpendapat bahwa otoritas negara, Gereja
dan kepemilikan pribadi merupakan gambaran dari kehendak-kehendak
individu bebas dan perkumpulan warga di dalam masyarakat.
Terakhir, dalam kesimpulannya, Wood kembali menegaskan argumennya
tentang ketegangan utama dalam filsafat politik Barat menurut analisis
sejarah sosialnya: kesenjangan antara kelas yang menguasai
aset, terutama tanah dan kelas produsen, terutama petani penggarap, yang
dilembagakan oleh negara, gereja, dan hukum, berdasarkan dalil
filosofis tentang kesetaraan manusia. Paradoks inilah, menurut
Wood, yang mewarnai pemikiran politik Barat pasca-Abad Pertengahan dan
seterusnya, termasuk derivasi modernnya yaitu ide tentang ‘demokrasi’
yang ditautkan dengan pemerintahan yang terbatas dan kepemilikan pribadi
(limited government and private property).
Ulasan Kritis
Karya Wood patut diapresiasi sebagai sebuah upaya untuk membaca
sejarah pemikiran politik Barat secara baru, yaitu melalui pendekatan
sejarah sosial dan analisa Marxis – suatu hal yang jarang dilakukan
ketika mempelajari sejarah pemikiran Barat. Namun demikian, setidaknya
ada dua hal yang perlu menjadi perhatian sekaligus kritik untuk karya
Wood.
Pertama, sebagaimana layaknya berbagai bentuk pemikiran,
perlu ditegaskan bahwa filsafat politik dapat diinterpretasikan
seluas-luasnya dalam berbagai cara. Dengan kata lain, dalam membaca
karya Wood, kita tetap harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan
mengenai corak pemikiran politik Barat dari masa Yunani Kuno hingga Abad
Pertengahan. Poin ini juga ditegaskan oleh Wood sendiri, yang
menyebutkan bahwa analisis sejarah sosialnya tidak serta merta
berpendapat bahwa seluruh bangunan pemikiran para filsuf politik Barat
yang dikupas dalam buku Wood secara inheren anti-demokratik. Yang
ditekankan oleh Wood adalah, ada elemen-elemen dari pemikiran Plato
hingga Aquinas yang memang anti-demokratik, yang juga merupakan produk
dari konteks sosial dan sejarah pada masa itu. Sebagai sebuah pemikiran,
tentu saja pemikiran para filsuf Klasik tetap terbuka terhadap berbagai
penafsiran. Yang ditekankan di sini adalah aspek keberkaitan antara
pemikiran dan konteks sejarah sosialnya.
Kedua, Wood sudah mengerjakan tugasnya dengan baik dengan menyebutkan pengaruh masyarakat non-Barat atau yang liyan (the other)
dalam pemikiran politik Barat, seperti pengaruh Ibn Rushd terhadap
pemikiran Thomas Aquinas dalam mengkaji teks-teks politik Aristotelian.[1]
Namun, porsi yang diberikan dalam pembahasan Wood masih terbatas dan
dapat dibilang kurang ekstensif. Tentu saja ini dapat dimaklumi karena
memang fokus pembahasan Wood adalah sejarah pemikiran politik Barat.
Namun, alangkah baiknya apabila porsi pembahasan tentang pengaruh
pemikiran non-Barat terhadap filsafat politik Barat dapat ditambah –
satu hal yang mungkin menjadi tugas kita di kalangan penggiat kajian dan
gerakan Kiri untuk membahas persoalan serupa dalam konteks masyarakat
kita.
Kesimpulan
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa buku Wood merupakan
terobosan baik dalam hal kajian pemikiran politik, sejarah sosial, dan
analisa Marxis dalam ilmu-ilmu sosial. Tidak banyak ilmuwan politik
maupun sejarawan yang berupaya melakukan analisis yang sifatnya sintesis
dan eklektik dari berbagai disiplin ilmu. Dalam hal ini, karya Wood
patut diapresiasi.
Dalam hal kajian keilmuan dan pengembangan gerakan, buku ini juga
menjadi pengingat bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri maupun
ilmu sosial dan humaniora pada umumnya, untuk kembali mempelajari
‘kitab-kitab’ atau kanon klasik pemikiran politik Barat secara serius,
tanpa terjebak oleh label ‘kuno’ atau ‘sudah tidak relevan.’ Kita perlu
membangkitkan budaya belajar teks-teks pemikiran politik secara serius,
terutama sekali untuk mengerti situasi hari ini secara lebih
komprehensif. Dan buku Wood adalah sebuah bacaan pengantar yang sangat
berguna.
Penulis beredar di Twitterland dengan id@libloc
Bacaan Tambahan
Lefebvre, G. (1947). The Coming of the French Revolution. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Macpherson, C. B. (1962).The Political Theory of Possesive Individualism. Oxford: Oxford University Press.
Needham, J. (1954). Science and Civilisation in China. Cambridge: Cambridge University Press.
Skinner, Q. (1978). The Foundations of Modern Political Thought. Cambridge: Cambridge University Press.
Wilson, S. (1962). Politics and Vision: Continuity and Innovation in Western Political Thought. Princeton, NJ: Princeton University Press.
[1] Salah satu contoh karya yang paling ekstensif mengulas tentang pengaruh pemikiran peradaban non-Barat terhadap peradaban Barat adalah Science and Civilisation in China karya Joseph Needham, sejarawan asal Inggris, yang terbit dalam 27 buku, selama 1954-2008, tentang sains dan teknologi di peradaban China.