Doha - Emisi gas rumah kaca telah melewati ambang batas terburuk yang dapat dihindari dari dampak pemanasan global. Angka ini, menurut laporan tahunan ketiga Perserikatan Bangsa-Bangsa, terus meningkat sepanjang tahun.
Sejumlah negara sebelumnya telah berkomitmen untuk membalikkan tren ini dengan menurunkan laju emisi karbon mereka. Namun, laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) menunjukkan, kesenjangan antara komitmen dan upaya pengurangan emisi untuk membatasi pemanasan global sebesar 2 derajat Celsius pada 2020 terus melebar.
"Kami memiliki kurang dari satu tahun untuk menutup kesenjangan tersebut," kata Niklas Hohne, salah seorang penulis utama laporan UNEP, Senin, 26 November 2012. Laporan terbaru UNEP dirilis tak lama sebelum konferensi perubahan iklim digelar mulai hari ini di Doha, Qatar.Sejumlah negara sebelumnya telah berkomitmen untuk membalikkan tren ini dengan menurunkan laju emisi karbon mereka. Namun, laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) menunjukkan, kesenjangan antara komitmen dan upaya pengurangan emisi untuk membatasi pemanasan global sebesar 2 derajat Celsius pada 2020 terus melebar.
Pembatasan pemanasan global di kisaran 2 derajat pada 2020 disepakati para negosiator internasional dalam pertemuan di Kopenhagen, Denmark, pada 2009. Usai pertemuan itu, beberapa negara menyatakan berkomitmen untuk memotong emisi mereka. Amerika Serikat, misalnya, berjanji untuk menurunkan emisi sekitar 17 persen di bawah angka emisi pada 2005.
Namun, janji manis hanya sebatas di mulut. Negara-negara yang berkomitmen tiga tahun lalu itu tidak pernah melakukan perubahan signifikan untuk mewujudkan janji mereka.
Lalu, mengapa angka yang dipatok adalah 2 derajat? Laporan UNEP menyebutkan bahwa tingkat emisi gas rumah kaca pada 2020 sebaiknya tidak lebih dari 44 gigaton. Padahal, untuk tahun 2010, mengacu data terbaru, laporan mencatat emisi sudah di angka 49 gigaton. Jika tidak ada tindakan cepat, emisi akan cenderung meningkat dan mencapai 58 gigaton pada 2020.
"Kalaupun semua negara mulai tahun ini memenuhi janji untuk menurunkan emisi karbon, angkanya masih akan berada di level 52 gigaton," demikian tertulis dalam laporan tersebut. Capaian itu masih meninggalkan selisih 8 gigaton, 2 gigaton lebih banyak ketimbang perhitungan UNEP tahun lalu.
Laporan itu juga mencatat laju emisi karbon tahun ini jauh lebih cepat dari perkiraan pertumbuhan 2009-2010 setelah krisis ekonomi. Ini terjadi lantaran tingginya kegiatan ekonomi yang berdampak langsung pada terpacunya produksi gas rumah kaca. "Kondisi keuangan tiap negara juga berkontribusi," demikian bunyi laporan itu.
Sebelum laporan UNEP, Bank Dunia merilis penilaian tentang masa depan bumi jika tidak ada tindakan untuk mengurangi laju emisi karbon. Rata-rata suhu permukaan bumi diperkirakan naik sebesar 3 derajat Celsius atau lebih. Kondisi ini akan menyebabkan berbagai dampak yang ekstrem, seperti gelombang panas, kekeringan parah, dan banjir besar di berbagai daerah.
"Efek yang ditimbulkan sangat mengerikan, terutama bagi penduduk di negara-negara miskin," tulis laporan Bank Dunia.
Namun, ada kabar baik yang menyertainya. Laporan UNEP menyebutkan para ilmuwan telah menemukan cara untuk mengurangi emisi dari pembangkit listrik dan sektor transportasi di seluruh dunia hingga 17 gigaton. "Jika ini benar terjadi, kita akan berada di jalur target 2 derajat," kata Yusuf Alcamo, kepala ilmuwan dari UNEP.
Masa depan bumi akan ditentukan dalam pertemuan yang dihadiri perwakilan dari hampir 200 negara. Sekretaris Eksekutif Badan Perubahan Iklim PBB, Christiana Figueres, mengatakan, perwakilan negara yang mengikuti konferensi perlu segera mengambil tindakan untuk mengerem laju emisi karbon hingga ke level terendah.
"Ini berarti mengamandemen Protokol Kyoto serta mengembangkan visi yang jelas tentang cara mengatasi gas rumah kaca secara global sebelum dan sesudah tahun 2020," katanya menanggapi laporan terbaru UNEP.
Sumber : TEMPO.CO