SETELAH lebih dari tiga dekade Marxisme sebagai ilmu pengetahuan
dihancurkan secara vulgar dan sistematis, kini perlahan tapi pasti ia
kembali menyeruak ke permukaan. Ditandai dengan maraknya diskusi dan
penerbitan buku yang berkaitan dengan tema ini. Kebangkitan kembali ini
bukan hanya dimaksudkan untuk meramaikan iklim kebebasan terbatas saat
ini, tapi sekaligus untuk menjelaskan relevansi dan posisi Marxisme di
hadapan aliran pemikiran kontemporer yang dominan di Indonesia. Dalam
konteks inilah, buku Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer yang ditulis pelajar filsafat, Martin Suryajaya, terbit pada saat yang tepat.
Apa yang membuat Anda pertama kali tertarik dengan pemikiran atau analisa Marxis? Apa yang mendorong Anda selanjutnya untuk menekuni pemikiran Marxis?
Karena pertanyaan Anda punya rentang jawaban yang luas, saya akan membatasi hanya pada proses bagaimana penyelidikan filsafat yang saya lakukan mengantar saya ke Marxisme (dengan mengesampingkan faktor yang juga riil seperti pengaruh konjungtur politik dan konteks sosial dari pertemuan saya dengan Marxisme).
Seperti kebanyakan pemuda dari generasi saya yang belajar filsafat, mulanya saya tenggelam dalam elan pascamodern. Saya menekuni dengan penuh semangat teks-teks para pemikir Prancis kontemporer seperti Derrida, Foucault, Deleuze dan akar tradisinya seperti Nietzsche dan Heidegger. Di antara mereka, pemikiran Derrida lah yang awalnya begitu membekas pada saya. Saya belajar berpikir seperti Derrida, bertanya seperti Derrida, menempatkan tanda koma seperti Derrida. Saya bahkan sempat menulis risalah sepanjang 250 halaman tentangnya pada masa itu. Sehingga pada sekitar semester 5 (tahun 2007) saya mendapati diri saya sudah siap untuk dicetak menjadi anggota baru dari deretan demagog posmo Indonesia yang siap berkampanye tentang pentingnya sikap kritis sekaligus liris, ironis sekaligus liberal, dan menunjukkan relevansi diskursus posmo di Indonesia untuk melawan fundamentalisme dan totalitarianisme. Pada titik itulah saya tahu bahwa saya dihadapkan pada sepasang pilihan: atau saya meneruskan langkah pemikiran saya di jalan posmo yang sudah mapan dan sudah menjadi mainstream cara berpikir ’inteligensia’ kritis kita serta mengulang-ulang folklore kelas menengah tentang ketakmungkinan objektivitas, kematian narasi besar dan sebagainya, atau saya mempertanyakan kembali dasar-dasar pemikiran posmo itu dengan jalan mengkaji secara mendetail sejarah pemikiran yang mensituasikan kelahirannya. Saya memilih pilihan kedua. Pada akhirnya saya putuskan bahwa saya mesti bikin perhitungan dengan ’wahyu-wahyu’ pascamodern yang dipuja-sembah oleh kaum intelektual negeri ini.
Dengan mengkaji sejarah pemikiran yang membidani lahirnya pascamodernisme, saya menemukan bahwa posmo sejatinya hanyalah varian kontemporer dari Hegelianisme abad ke-19. Kita tahu, orang-orang Inggris sudah jauh-jauh hari membuat perhitungan dengan Hegelianisme sejak kritik Bertrand Russell dan G.E. Moore di peralihan abad ke-19 menuju 20—dan kritik atas Hegelianisme Inggris ini menjadi batu fondasi bagi lahirnya tradisi filsafat Analitik. Orang-orang Eropa daratan, sayangnya, tak pernah betul-betul sembuh dari fiksasi Hegelian itu. Argumen-argumen berbasis ’relasi internal’—yang masih akan kita bicarakan nanti—terus-menerus mengemuka dalam argumentasi para pemikir Prancis abad ke-20. Dan inilah panorama gagasan zaman kita: Hegelianisme yang dibungkus dalam analisis bahasa. Hegelianisme mesti dikritik sebab ia adalah filsafat yang keliru—nanti akan kita bicarakan juga. Sampai di sini menjadi jelas dengan sendirinya mengapa saya memilih Marxisme. Marx adalah pemikir Kontinental pertama yang berhasil membuat perhitungan dengan Hegelianisme pada masanya. Semakin saya membaca teks-teks filsafat Kontinental kontemporer, semakin yakinlah saya bahwa panorama intelektual kita pasca-posmo sekarang sungguh menyerupai panorama intelektual pada abad ke-19 pasca-Hegel: sebagai ganti anarkisme Max Stirner kini kita mendapatkan otonomisme Negri, sebagai ganti kritisisme Bruno Bauer kini kita mendapatkan dekonstruksionisme Laclau, sebagai ganti materialisme Ludwig Feuerbach kini kita mendapatkan materialisme-matematis Badiou dan Meillassoux. Bagi saya, dalam ranah filsafat, tugas historis kita jelas: kritik atas Hegelianisme kontemporer dengan menghidupi kembali kritik Marx atas kaum Hegelian Muda.
’Saya tidak mengikuti pandangan Marxisme karena alasan heroik bahwa ajaran itu terlarang, melainkan karena alasan sederhana bahwa sejauh pembelajaran saya akan filsafat, Marxisme itu benar adanya.’
Secara legal, Marxisme masih merupakan ajaran yang terlarang di Indonesia saat ini, apakah Anda telah memikirkan secara mendalam hal ini ketika memutuskan untuk menekuni studi-studi tentang Marxisme?
Sejujurnya, saya tidak pernah terlalu memikirkan hal itu. Sebab, kita tahu, dalam filsafat dan ilmu pengetahuan secara umum tak ada pemikir atau pemikiran yang tak boleh dikaji. Patokan filsafat dan ilmu-ilmu ialah benar atau salah, bukan dilarang atau diizinkan atas alasan-alasan yang eksternal terhadap persoalan benar/salah. Saya tidak mengikuti pandangan Marxisme karena alasan heroik bahwa ajaran itu terlarang, melainkan karena alasan sederhana bahwa sejauh pembelajaran saya akan filsafat, Marxisme itu benar adanya.
Setelah jatuhnya kediktatoran Orde Baru, ada euforia mengenai penerbitan buku-buku kiri dan juga diskusi-diskusi tentang pemikiran dan gerakan politik kiri. Apa komentar Anda tentang itu dikaitkan dengan perhatian Anda pada aspek metodologi Marxis?
Setidaknya sejauh yang mampu saya amati, ada dua ciri khas terbitan teoretik tentang Marxisme pasca-Orba. Pertama, banyak yang berhenti pada pemaparan umum tentang ajaran Marx yang sudah diulang sejak awal abad ke-20: riwayat hidup Marx, pandangan Marx ’muda’ tentang alienasi, teori nilai-lebih dan seterusnya. Pemaparan umum semacam ini hanya baik sebagai pengantar pemula. Tetapi sampai kapan kita mau terus berpikir berdasarkan pengantar? Apa yang langka dalam terbitan-terbitan ini ialah elaborasi: apakah kespesifikan metode analisis Marx, apa status kata ’kritik’ dalam program ’kritik atas ekonomi-politik,’ apa pengaruh filsafat Aristoteles dan Epikuros dalam formasi pemikiran Marx, apa kaitan antara ’materialisme historis’ dan ajaran para ekonom-politik Klasik sejak Petty hingga Ricardo dan sebagainya. Kedua, jarang sekali ada terbitan tentang Marxisme pasca-Orba yang sungguh-sungguh masuk ke dalam kompleksitas pandangan ekonomi-politik Marx. Ini mengherankan karena sebagian besar pandangan Marx adalah pandangan ekonomi-politik. Tak ada yang menulis tentang, misalnya, konsep Marx tentang ground rent sebagai kritik atas differential rent-nya Ricardo, kritik Marx atas quantity theory of money yang kini berkembang di tangan kaum monetaris seperti Milton Friedman, teori tentang krisis internal kapitalisme entah melalui pendekatan ’konsumsi kurang’ maupun ’tendensi kejatuhan tingkat laba’, teori nilai Marx dan seterusnya. Untungnya, kekurangan ini belakangan sudah mulai diisi, antara lain, berkat karya-karya Dede Mulyanto (Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis dan Genealogi Kapital). Kedua ciri terbitan teoretik tentang Marxisme pasca-Orba ini, tentu saja, hanya berlaku bagi buku-buku yang ditulis oleh orang Indonesia dan bukan terjemahan. Kalau kita mengikutsertakan hasil terjemahan tentu potretnya berbeda. Walaupun begitu, indikator kemajuan diskursus teoretik Marxisme, menurut saya, tidak terletak pada berapa banyak jumlah terjemahan para teoretisi Marxis luar negeri yang sudah diterbitkan, melainkan dari berapa banyak jumlah hasil karya mandiri kita sendiri.
Karena Anda menyebut soal metodologi, ada baiknya saya tambahkan di sini bahwa diskursus Marxis kita juga masih kurang dalam hal kajian metodologis. Praktik yang lebih sering terjadi adalah kita bercerita panjang-lebar tentang isi ajaran Marx, pandangannya tentang tema ini atau itu, tetapi justru mengabaikan metode yang dipakai Marx untuk sampai ke kesimpulan-kesimpulan itu. Ini penting sebab, bagi Marx, sains itu bermula dari metode, bukan dari isi doktrin tertentu. Sains tidak pertama-tama mengajarkan bahwa dunia adalah seperti ini atau itu—kalau ini sains, maka sains itu jadi tak terbedakan dari mitos, agama atau ideologi. Sains pertama-tama mengajarkan cara mendekati esensi kenyataan adalah dengan berangkat secara bertahap dari deskripsi kenyataan empirik, melalui tahapan intermedier metodis lainnya, untuk kemudian sampai ke esensi tersebut. Ada jalan yang mesti ditempuh untuk bisa sampai ke pernyataan bahwa dunia adalah a, b, c dan seterusnya. Kita masih memerlukan filsafat sains Marxis. Hal ini penting bukan hanya pada aras kajian—baik teoretik maupun empirik—melainkan juga pada aras gerakan. Untuk bisa merumuskan ’situasi nasional,’ ada langkah-langkah yang tidak boleh di-bypass dan disumpal dengan teori-teori. ’Situasi nasional’ itu mesti betul-betul dirumuskan dengan hanya berpegang pada laporan yang diberikan kader di level basis yang paling elementer. Artinya, ada sederet persoalan metodologis penting di sini, mulai dari soal bagaimana rumusan kalimat deskripsi (atau protocol sentence) yang semestinya dipakai dalam laporan, apa saja kategori elementer yang dapat dipakai dalam penyusunan laporan, pada tahap apa evaluasi subjektif kader diperbolehkan masuk, bagaimana proses penarikan kesimpulan politik dari data objektif ini dan seterusnya. Proses penarikan kesimpulan politik gerakan ini tidak bisa dibuang dan digantikan dengan montase teori, entah itu dari para intelektual Marxis beken seperti David Harvey, Alain Badiou, Guglielmo Carchedi, Slavoj Žižek, Ernest Mandel, atau bahkan Marx sekalipun. Sehingga setiap pernyataan politik tidak menjadi seperti siraman rohani, melainkan betul-betul—dalam kosakata Newton—’dideduksikan dari fenomena’ (deduced from the phenomena).
’Esensi dari idealisme tidak pertama-tama terletak pada doktrin bahwa segala sesuatunya adalah ide, melainkan pada cara pandang bahwa identitas dan keberadaan suatu hal telah selalu mengandaikan hal-hal yang lain. Inilah yang disebut dalam tradisi filsafat sebagai ’doktrin relasi internal’, yakni pengertian bahwa relasi bersifat konstitutif terhadap keberadaan/identitas segala sesuatu.’
Dalam buku terakhir Anda, Materialisme Dialektis, Anda mengritik filsafat kontemporer sebagai mengalami kebuntuan dan mengajukan materialisme dialektis sebagai jalan keluarnya. Bisakah dijelaskan secara singkat dimana persisnya kebuntuan filsafat kontemporer itu dan bagaimana materialisme dialektis menjadi jalan keluarnya?
Buku Materialisme Dialektis saya pahami sebagai suatu upaya penulisan ulang atas German Ideology dalam era filsafat kontemporer. Programnya: menemukan kembali Marxisme kontemporer. Di dalamnya saya mengritik beragam varian Hegelianisme kontemporer. Apabila Negri adalah Stirner dan Laclau adalah Bauer, maka Lacan-Derrida adalah Hegelnya (sesuatu yang tak aneh jika kita ingat guru dari keduanya adalah, secara berurutan, Kojève dan Hyppolite). Oleh karena itu, saya mengawali buku itu dengan suatu eksposisi kritis atas filsafat pascastrukturalisme Prancis, khususnya filsafat Derrida. Saya memilih untuk berangkat dari pascastrukturalisme karena ini adalah checkpoint terakhir dalam sebagian besar silabus filsafat kontemporer yang beredar di Indonesia. Salah satu tesis saya dalam buku itu ialah bahwa pascastrukturalisme merupakan idealisme. Esensi dari idealisme tidak pertama-tama terletak pada doktrin bahwa segala sesuatunya adalah ide, melainkan pada cara pandang bahwa identitas dan keberadaan suatu hal telah selalu mengandaikan hal-hal yang lain. Inilah yang disebut dalam tradisi filsafat sebagai ’doktrin relasi internal’, yakni pengertian bahwa relasi bersifat konstitutif terhadap keberadaan/identitas segala sesuatu. Karena relasi bersifat konstitutif, maka hakikat segala sesuatu adalah relatif terhadap hal yang lain. Contohnya: identitas kursi mensyaratkan relasinya dengan yang-bukan kursi yang tanpanya kursi jadi tak terbedakan dari yang-bukan kursi sehingga di dalam kursi sudah selalu terdapat non-kursi. Sekilas ini nampak sebagai suatu ajaran yang netral secara epistemologis. Namun, kesan ini keliru.
Problem pertama yang segera muncul adalah kekaburan antara domain ontologis dan epistemologis (antara kenyataan dan pengetahuan). Mengatakan bahwa makna suatu hal dikonstitusikan oleh yang lain untuk kemudian menyatakan bahwa oleh karenanya keberadaan-nya dikonstitusikan oleh yang lain berarti mengekstrapolasi apa yang epistemologis pada apa yang ontologis. Mengatakan bahwa kebermaknaan A mensyaratkan perbedaannya dengan non-A sehingga non-A mengkonstitusi sekaligus menunda kebermaknaan A tidak sama dengan mengatakan bahwa keberadaan A mensyaratkan perbedaannya dengan non-A sehingga non-A mengkonstitusi sekaligus menunda keberadaan A. Ketika keduanya disamakan, maka kita terjatuh ke idealisme: menyamakan ’makna’ dengan ’ada’.
Problem kedua adalah bahwa logika relasi internal itu sendiri justru mengandaikan sesuatu yang tak berelasi internal. Apabila segala sesuatunya mesti berelasi dengan yang lain dari dirinya agar bermakna, maka relasi itu sendiri, agar bermakna, mesti berelasi dengan sesuatu yang sepenuhnya a-relasional. Inilah konsekuensi logis dari universalitas doktrin relasi internal. Sehingga, apabila apa yang berelasi disebut Derrida sebagai ’teks’, maka sesuatu yang disyaratkan oleh adanya ’teks’, sesuatu yang a-relasional, adalah ’yang-di luar teks’. Karena ’teks’ adalah ranah diskursif, maka ’sesuatu yang di luar teks’ adalah ranah non-diskursif, atau dengan kata lain: kenyataan objektif-material. Dengan demikian, idealisme tekstual justru mensyaratkan materialisme.
Problem ketiga: Derrida mencoba menghalau pengandaian materialis ini dengan mengatakan bahwa ’yang-di luar teks’ juga merupakan hasil dari mekanisme différance (mekanisme relasi internal) dalam ’teks’, sehingga tak ada distingsi absolut yang bisa ditarik antara ’teks’ dan ’yang-di luar teks’. Namun, upayanya ini justru berkonsekuensi menjadikan pandangannya terjatuh ke dalam kekeliruan oto-afektif yang ia kritik pada awal karirnya. Oto-afeksi adalah langkah metafisikawan dalam mereduksi yang-lain pada suatu prinsip identitas. Dalam upayanya menghalau pengandaian materialis di muka, Derrida menjadikan ’yang-di luar teks’ sebagai produk mekanisme intra-tekstual, sebagai ’ilusi eksternalitas absolut’ yang diperlukan sebagai syarat kemungkinan adanya ’teks.’ ’Yang-di luar teks’ dengan begitu menjadi hasil konstruksi tekstual, menjadi ideologi yang diperlukan oleh ’teks’ sebagai ’teks.’ Inilah kontradiksi puncak pascastrukturalisme: dekonstruksi atas metafisika oto-afeksi yang berakhir dalam solipsisme tekstual yang oto-afektif.
Kontradiksi pascastrukturalisme ini hanya dapat diselesaikan dengan mengangkat kembali apa yang ditekan dan disembunyikan oleh pascastrukturalisme: realitas objektif-material. Karenanya, satu-satunya solusi logis atas kontradiksi pascastrukturalisme adalah dengan merehabilitasi materialisme. Namun, materialisme yang direhabilitasi ini bukanlah materialisme mekanis yang mereduksi tatanan material sebagai tatanan kodrati yang tak mungkin berubah. Dengan kata lain, materialisme yang direhabilitasi ini tidak menerima keseluruhan kenyataan sebagai keterberian kodrati, melainkan mengakui adanya aspek-aspek kenyataan yang berelasi internal dengan manusia melalui sejarah dan ada aspek-aspek yang tidak. Materialisme yang menjadi solusi atas kebuntuan filsafat kontemporer ialah materialisme dialektis, yakni materialisme yang mengakui adanya hubungan timbal-balik antara objektivitas dan praxis, tanpa mereduksi yang satu pada yang lain. Inilah yang saya maksud sebagai penemuan kembali Marxisme kontemporer.
Di buku itu, Anda menolak universalitas dari relasi internal yang merupakan salah satu aspek dari dialektika dan memproblematisir salah satu intelektual Marxis yang mempromosikannya, yakni Bertell Ollman. Kenapa universalitas dari relasi internal itu perlu ditolak?
Perlu diingat bahwa saya tidak sepenuhnya menolak doktrin relasi internal (dan dalam hal ini saya tidak sepakat dengan tradisi Marxisme Analitik). Apa yang saya lakukan dalam buku itu hanyalah menetapkan demarkasi bagi keberlakuan doktrin tersebut. Yang saya tolak adalah doktrin yang meyakini keberlakuan universal relasi internal. Dengan kata lain, yang saya tolak adalah proposisi bahwa segala sesuatu dikonstitusikan oleh relasinya dengan yang lain. Versi doktrin inilah yang mengemuka dalam Hegel dan para filsuf pascastrukturalis. Pandangan ini saya tolak karena pandangan tersebut mengaburkan distingsi antara epistemologi dan ontologi. Kekaburan ini dapat kita saksikan dengan jelas kalau kita mengambil contoh konkret. Apabila segala sesuatu dikonstitusikan oleh relasinya dengan yang lain, maka konsekuensinya: tak ada manusia tanpa kenyataan, sebagaimana tak ada kenyataan tanpa manusia. Dalam anak kalimat kedua inilah terletak bahaya idealisme dalam doktrin relasi internal yang universal. Kalau adanya kenyataan mensyaratkan adanya manusia, maka ada/tidaknya kenyataan tergantung dari ada/tidaknya manusia. Relativisme ini jelas mesti ditolak.
Persoalannya, doktrin relasi internal macam inilah juga yang mengeram dalam dialektika Hegel. Sehingga setiap komentator Marxis yang tidak memilah secara ketat dialektika Marxian dari dialektika Hegelian niscaya terjatuh ke dalam relativisme yang sama. Akibatnya, dialektika Marxian dengan mudah direduksi menjadi sejenis sofisme, segala sesuatunya tergantung pada manusia. Ujung-ujungnya, kita tahu, adalah voluntarisme, atau pandangan yang meyakini bahwa segalanya adalah ekspresi dari kehendak subjektif (voluntas). Tak ada posisi yang lebih berlawanan terhadap materialisme historis ketimbang voluntarisme sebab voluntarisme meniscayakan negasi atas materialisme itu sendiri. Sayangnya, kekaburan akibat doktrin relasi internal ini masih banyak menjangkiti para intelektual Kiri, antara lain Karel Kosik, Tony Cliff, John Rees dan Bertell Ollman.
Menolak universalitas relasi internal berarti mengakui demarkasi antara objektivitas dan subjektivitas, antara Natur dan Kultur—dengan kata lain, mengakui adanya relasi eksternal antara kesadaran dan dunia (kendati mengakui juga relasi internal yang historis antara kesadaran dan aspek dunia tertentu). Itu artinya, kita mesti membuktikan keberadaan realitas eksternal. Adanya kesadaran dengan sendirinya mengandaikan adanya dunia, tetapi adanya dunia tidak tergantung dari ada/tidaknya kesadaran. Demarkasi inilah yang coba saya buktikan menjelang akhir buku melalui suatu meditasi kontra-cartesian: karena kita tidak bisa membayangkan keberadaan kesadaran tanpa keberadaan tubuh material yang menjadi locus ontologicus kesadaran tersebut, maka keberadaan realitas material tidak mensyaratkan keberadaan kesadaran. Realitas material itulah yang menjadi prakondisi atau panggung tempat drama kesadaran dimungkinkan sekaligus dibatasi. Sehingga berpikir dengan metode materialisme dialektis berarti berangkat dengan pengakuan atas realitas material yang eksternal terhadap kesadaran.
Anda juga menyatakan bahwa relasi internal harus ditemukan dalam kenyataan melalui investigasi dan bukan diproyeksikan secara a priori dari pikiran ke kenyataan. Apakah ini berarti bahwa sejauh untuk hal-hal yang belum diinvestigasi, maka relasi internal atau secara lebih umum, dialektika, hanya berstatus hipotesis?
Saya akan mengawali jawaban saya dengan kutipan dari Dialektika Alam: ’kesaling-hubungan tidak boleh ditanamkan ke dalam fakta-fakta, melainkan mesti ditemukan di dalamnya dan, ketika sudah ditemukan, mesti diverifikasi sejauh mungkin melalui eksperimen’ (Engels 1964: 48-49). Tampak jelas dalam teks bahwa relasi internal (atau ’kesaling-hubungan’) mesti ditemukan melalui investigasi dan bukan dipaksakan, ’ditanamkan,’ ke dalam kenyataan oleh pikiran kita sendiri. Lalu apakah ’dialektika’ atau relasi internal itu hanya berstatus ’hipotesis?’ Pertanyaan ini mesti diklarifikasi: pertanyaan soal status hipotetik/non-hipotetik dialektika mesti dipilah dari pertanyaan tentang ada/tidaknya dialektika. Persoalan hipotesis adalah persoalan keterverifikasian sesuatu bagi pengamat dan apa yang tidak atau belum terverifikasi tidak sama dengan tidak ada. Realitas sub-atomik sudah ada sebelum para fisikawan meneliti dan memberinya nama sebagaimana realitas kontradiksi kapital dan kerja sudah ada sebelum Marx mengkaji dan merumuskannya. Keberadaan realitas itulah yang justru menjadi syarat bagi rumusan tentang keberadaannya. Marx, berikut juga Engels, Lenin dan Mao, menunjukkan bahwa relasi internal atau dialektika merupakan sifat inheren realitas yang dapat ada tanpa dikonfirmasi oleh pengamatan empirik. Dalam arti ini, dialektika adalah sesuatu yang riil terlepas dari keterverifikasiannya melalui hipotesis. Relasi internal, dengan kata lain, dapat dideduksikan dari fenomena sebagai sifat inheren kenyataan, terlepas dari penampakannya pada pengamat. Apabila hipotesis adalah langkah dalam penelitian empirik untuk memverifikasi sesuatu, pendeduksian relasi internal dari fenomena bukanlah langkah empirik, melainkan langkah rasionalitas dalam mengabstraksikan esensi dari sesuatu. Proses abstraksi esensi ini hanya dapat berlaku pada aras yang paling umum dan rasionalitas yang bekerja di sini adalah rasionalitas filsafat, bukan rasionalitas sains empirik. Namun abstraksi esensi ini memiliki cakupan yang terbatas, ia hanya berlaku untuk hal yang paling umum dan tidak bisa menjawab kespesifikan elemen-elemen yang menyusun hal umum itu. Kita tidak dapat menggunakan abstraksi esensi ini untuk menjelaskan fenomena spesifik seperti misalnya membangun ’MIRI’ atau menulis laporan kota. Apa yang mau dicari lewat hipotesis dan penelitian empirik yang mengikutinya bukanlah ada/tidaknya relasi internal—sesuatu yang sudah dibuktikan melalui proses abstraksi esensi—melainkan bentuk-bentuk spesifik dari relasi internal itu. Itulah sebabnya, dalam kutipan di muka, Engels memilah dua tahap dalam menangkap relasi internal: (1) ’ditemukan dalam kenyataan’ (inilah yang saya sebut sebagai proses abstraksi esensi) dan (2) ’diverifikasi sejauh mungkin melalui eksperimen’ (inilah yang saya sebut sebagai membangun hipotesis dan membuktikan secara empirik untuk menemukan kespesifikan halnya).
Memang dalam buku Materialisme Dialektis, saya lebih terfokus untuk menerangkan duduk perkara materialismenya, sementara penjelasan tentang dialektika justru kurang mendapat tempat. Hal ini sengaja saya lakukan karena diskursus tentang dialektika kerapkali mengarah pada negasi terselubung atas materialisme. Inilah yang mengemuka dalam pemikiran para komentator yang tidak memilah dialektika Marxian dari dialektika Hegelian. Inilah juga yang mengemuka secara umum dalam pemikiran pascamodern yang saya kritik dalam buku itu (mulai dari Derrida, Husserl, Heidegger, Laclau, Holloway, Negri). Dan kita tahu ujungnya: relativisme, sofisme dan sikap Romantik ’burdjuis-ketjil’ yang antipati terhadap sains. Inilah konteks yang melandasi sikap antagonistik terhadap doktrin relasi internal dalam buku itu. Akan tetapi, menerangkan dialektika dan relasi internal yang materialis juga tidak kalah pentingnya. Inilah yang akan saya upayakan ke depan sebagai sekuel buku tersebut.
Anda menyatakan bahwa materialisme dialektis bisa membantu gerakan kiri agar tidak terombang-ambing dalam lautan problem yang tidak bersifat pokok―problem subyektif atau isu-isu yang diproduksi media borjuis. Dan caranya adalah dengan menemukan kontradiksi pokok dari sebuah situasi. Bisakah dijelaskan secara singkat apa itu kontradiksi pokok beserta contohnya?
Sebagaimana kita ketahui, teori kontradiksi pokok merupakan ajaran Mao. Teori ini berakar pada abstraksi atas esensi relasi internal dalam alam kenyataan material. Relasi internal merupakan sebab internal perubahan, suatu sebab yang inheren dalam hal yang akan berubah. Tetapi perubahan tidak akan terjadi apabila hanya terdapat sebab internalnya saja, diperlukan juga sebab eksternal berupa prakondisi lingkungan yang tertentu. Mao menulis dalam On Contradiction: ’Apakah dialektika materialis mengesampingkan sebab eksternal? Tidak sama sekali. Dialektika materialis mengakui bahwa sebab eksternal adalah prakondisi perubahan dan sebab internal adalah basis perubahan, serta bahwa sebab eksternal menjadi operatif melalui sebab internal. Dalam temperatur yang sesuai sebutir telur dapat berubah menjadi ayam, tetapi temperatur tidak bisa mengubah batu menjadi ayam sebab masing-masing memiliki basis yang berbeda’ (Mao 2007:70). Terlihat dalam ilustrasi yang diberikan Mao, bahwa sebab internal atau relasi internal dalam benda ini dimengerti secara materialis. Dialektika idealis melihat secara formal bahwa dalam A terdapat semua non-A, sehingga konsekuensinya A bisa menjadi apa saja secara sepenuhnya kontinjen: batu bisa menjadi ayam dan air menjadi anggur sebab dalam setiap hal telah termuat segala negasi yang dapat dibayangkan secara logis. Dialektika materialis, sebaliknya, mengakui relasi internal dalam benda-benda tetapi selalu mengaitkannya dengan basis material yang menjadi syarat keberadaan benda-benda itu serta faktor-faktor eksternal. Relasi internal dalam idealisme tidak mengenal hirarki prakondisi, sementara relasi internal dalam materialisme mengenal hirarki prakondisi: adanya alam semesta tidak mengandaikan adanya manusia sementara adanya manusia mengandaikan alam semesta, kendati dengan keberadaannya manusia dapat mempengaruhi alam semesta itu.
Relasi internal material dalam benda-benda itulah yang disebut sebagai kontradiksi. Kontradiksi adalah keberadaan beragam tendensi yang berlawanan dalam satu entitas. Contoh kontradiksi dalam realitas kapitalisme adalah kontradiksi antara pekerja dan pemodal. Keberadaan keduanya saling menegasi tetapi juga keduanya itulah yang menjadi esensi realitas kapitalisme. Identitas realitas kapitalisme, karenanya, terletak dalam kontradiksi antara pekerja dan pemodal. Pengertian baru yang muncul dalam Mao adalah bahwa kenyataan tersusun oleh keberagaman kontradiksi dimana terdapat satu kontradiksi utama yang mengondisikan keberadaan dan perkembangan kontradiksi-kontradiksi yang lain. Mao menulis dalam On Contradiction: ’Ada banyak kontradiksi di dalam proses perkembangan suatu hal yang kompleks, dan satu di antara mereka pastilah merupakan kontradiksi pokok, yang keberadaan serta perkembangannya menentukan atau mempengaruhi keberadaan serta perkembangan kontradiksi-kontradiksi yang lain’ (Mao 2007: 87). Mao memberi contoh: dalam masyarakat kapitalis, kontradiksi antara kelas proletar dan kelas borjuis adalah kontradiksi pokok, sementara kontradiksi antara sisa-sisa kelas feodal dan borjuasi, antara proletar dan borjuis nasional, adalah kontradiksi tidak pokok yang esensinya diregulasi oleh esensi kontradiksi pokok. Lebih lanjut, dalam setiap kontradiksi baik pokok maupun tidak pokok terdapat dua aspek yang mengkonstitusinya, yakni aspek primer dan aspek sekunder dari kontradiksi. Aspek primer kontradiksi adalah aspek yang mendominasi kontradiksi tersebut dan aspek sekunder sebaliknya. Aspek-aspek ini dapat bertukar peran. Contohnya: dalam era feodal, kapitalis merupakan aspek sekunder dalam kontradiksi masyarakat tersebut, tetapi kemudian berubah peran menjadi aspek primer dan perubahan ini menghasilkan transisi dari modus produksi feodal ke modus produksi kapitalis.
Bagi Mao, dan ini yang krusial, tidak hanya aspek-aspeknya tetapi kontradiksi itu sendiri mengalami perubahan: apa yang tadinya kontradiksi tidak pokok kini dapat menjadi kontradiksi pokok, begitupun sebaliknya. Perhatikan pernyataan Mao ini dalam On Contradiction: ’tenaga produktif, praktik dan basis ekonomi secara umum memegang peranan pokok dan menentukan—siapapun yang membantah ini bukan seorang materialis. Namun, mesti diakui juga bahwa dalam kondisi tertentu, aspek-aspek seperti relasi produksi, teori dan superstruktur pada gilirannya memanifestasikan dirinya ke dalam peranan pokok dan menentukan’ (Mao 2007: 92). Pernyataan inilah yang menjadi fondasi utama dari teori tentang otonomi relatif yang berkembang di dalam kajian-kajian Marxis Barat berkat Althusser (yang merekonstruksinya dari Mao dalam For Marx, 1965). (Makanya saya sering heran dengan kawan-kawan yang menolak teori kontradiksi pokok tetapi mendukung penuh ide tentang otonomi relatif). Otonomi relatif menyatakan bahwa superstruktur memiliki otonomi yang relatif terhadap basisnya, dengan kata lain, bahwa superstruktur memiliki kemampuan untuk memberikan respon dan intervensi pada basis, tidak semata dikendalikan oleh basis. Teori otonomi relatif ini mesti dibedakan dari kecenderungan superstrukturalistik yang mengemuka dalam murid-murid Althusser, seperti misalnya Laclau-Mouffe. Teori kontradiksi pokok dan otonomi relatif tidak mereduksi basis ke superstruktur. Teori tersebut justru menegaskan kembali primacy basis atas superstruktur secara non-mekanistik. Perhatikan kalimat Mao selanjutnya sesudah kutipan di muka: ’Ketika tidak mungkin bagi tenaga produktif untuk berkembang tanpa perubahan dalam relasi produksi, maka perubahan dalam relasi produksi memainkan peranan pokok dan menentukan. [...] Ketika superstruktur (politik, kebudayaan, dsb.) merintangi perkembangan basis ekonomi, maka perubahan politik dan kultural menjadi pokok dan menentukan.’ Terlihat jelas bahwa kontradiksi superstruktural menjadi kontradiksi pokok sejauh kontradiksi superstruktural itu merintangi perkembangan kontradiksi basisnya. Artinya, tetap ada primacy pada yang-material atau realitas material di atas yang-mental atau kesadaran. Basis material tetap menjadi prakondisi dasar yang memungkinkan sekaligus membatasi superstruktur politik, kendati penyelesaian atas kontradiksi basis mensyaratkan juga penyelesaian atas kontradiksi superstruktur. Jelas bahwa ini bukanlah voluntarisme, bukan pula determinisme-mekanistik. Ini adalah esensi materialisme dialektis.
’… penyelesaian atas problem identitas sampai ke akar-akarnya tidak mungkin dilakukan tanpa penyelesaian atas problem kelas.’
Ada kekhawatiran di sebagian kalangan gerakan bahwa memfokuskan diri pada kontradiksi pokok hanya akan membuat kita mengurusi problem kelas, tetapi mengabaikan problem-problem non-kelas, seperti problem-problem berbasis identitas, misalnya, gender, etnis, ras, orientasi seksual, dan sebagainya. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Seperti sudah saya jelaskan tadi, teori kontradiksi pokok sesungguhnya justru menjadi basis teori otonomi relatif. Jadi, gambaran bahwa mengakui kontradiksi pokok berarti menepis problem-problem superstruktural adalah gambaran yang keliru. Akan tetapi, perlu diingat bahwa teori kontradiksi pokok juga tak dapat direduksi ke ajaran pascamarxis seperti Laclau. Perbedaan antara Mao dan Althusser awal, di satu sisi, dengan Laclau & Co., di sisi lain, adalah bahwa Mao dan Althusser awal adalah esensialis dalam hal materialitas. Keduanya mengakui bahwa kenyataan memiliki esensi dan esensi itu bersifat material. (Esensialisme yang ditolak Althusser adalah humanisme atau ajaran bahwa manusia memiliki esensi universal-abadi yang tak dipengaruhi oleh konfigurasi material yang mensituasikannya). Sementara Laclau & Co. menolak esensalisme dalam segala bentuknya, termasuk esensialisme materialis yang disyaratkan oleh materialisme historis. Teori kontradiksi pokok tetap mengakui sentralitas basis material dalam mengondisikan superstruktur.
Saya rasa, dari titik pijak teori kontradiksi pokok, kita dapat menolak kerangka pembelahan antara ’problem kelas’ dan ’problem identitas’ sebagaimana terumus dalam pernyataan Anda. Yang perlu dipertanyakan pertama-tama ialah apakah orang-orang dengan gender, etnis, orientasi seksual, orientasi belahan rambut, yang berbeda itu tidak memiliki kelas? Pembelahan antara kedua problem itu berangkat dari asumsi absurd bahwa orang-orang dapat hidup dari identitasnya saja, dari caranya menyisir rambut, tanpa berlandaskan pada proses produksi kehidupan material. Padahal, agar ada belahan rambut tertentu, pertama-tama orang itu harus ada terlebih dahulu, dan untuk ada orang itu perlu makan, perlu berproduksi. Sehingga problem-problem identitas hanya dapat dijawab dan diselesaikan sejauh itu dibasiskan pada realitas produksi material. Realitas kelas adalah realitas fondasional yang menjadi panggung tempat dimainkannya adegan-adegan penindasan identitas. Karenanya, penyelesaian atas problem identitas sampai ke akar-akarnya tidak mungkin dilakukan tanpa penyelesaian atas problem kelas. Jadi pembelahan politik yang diajukan bukanlah kaum lelaki melawan kaum perempuan, kaum homoseksual melawan kaum heteroseksual, dst., demi kebebasan mengekspresikan diri, melainkan pembelahan antara kaum lelaki-perempuan-homoseksual-heteroseksual yang menjadi kelas terhisap dalam masyarakat kapitalis melawan kaum lelaki-perempuan-homoseksual-heteroseksual yang menjadi kelas penghisap. Dengan kata lain, bukan pembelahan berbasis identitas, melainkan pembelahan berbasis kelas, berbasis ekonomi-politik, berbasis material.
Selama ini seperti ada jarak cukup lebar antara intelektual Marxis dan aktivis Marxis (Kiri). Menurut Anda, mengapa jarak itu terbentang jauh dan bagaimana mengatasinya?
Saya rasa ini memang persoalan klasik dalam gerakan Kiri bahkan sejak era PKI. Ada dikotomi yang dalam istilah masa itu disebut sebagai ’kerja tekun’ dan ’kerja kobar.’ Kerja kobar adalah kerja-kerja pengorganisasian massa yang dilakukan oleh aktivis partai dan ormas, sementara kerja tekun adalah kerja-kerja pengorganisasian pengetahuan yang dilakukan oleh para intelektual Kiri di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham. Dikotomi ini mengemuka lagi pada era 80/90-an sebagai dikotomi antara ’aktivis kelompok studi’ dan ’aktivis komite aksi.’ Saya sendiri tak pernah mengalami masa itu, jadi tidak bisa berkomentar. Apa yang bisa saya komentari adalah kondisi kontemporer. Apabila kita berangkat dari situasi masa kini, kita mesti pertama-tama mengakui fragmentasi gerakan sebagai fakta elementer. Sehingga solusi atas separasi teori dan praktik tidak bisa lagi dijawab dengan ’masuklah ke partai Kiri’ sebab sekarang ada banyak ’partai Kiri’ yang mirip satu sama lain tetapi sekaligus saling menyerang satu dengan yang lain. Cara yang lebih masuk akal dan produktif untuk menjawab persoalan kesenjangan antara ’intelektual Marxis’ dan ’aktivis Marxis’ dengan asumsi fragmentasi gerakan terletak dalam konsep persatuan epistemik.
Persatuan epistemik adalah penyatuan metode berpikir tentang kenyataan di antara seluruh gerakan. Karena penyatuan organisasional tidak dimungkinkan pada saat ini, maka yang paling memungkinkan adalah penyamaan metode analisis yang sesuai dengan ajaran Marx. Kesimpulan bisa berbeda, walaupun metode sama. karena proses penyimpulan melibatkan kespesifikan data yang berbeda tiap organisasi, tergantung fokus sektoral dari masing-masing organisasi. Dalam kerangka persatuan epistemik inilah ’intelektual Marxis’ dapat berperan secara optimal. Apa yang diperlukan ialah pembentukan Biro Pendidikan Marxis non-partai sebagai tumpuan pertemuan antar organisasi dengan semangat persatuan metodologis. Melalui Biro tersebut, dimungkinkan kerjasama antara ’intelektual Marxis’ dan ’aktivis Marxis’ dalam menyelesaikan problem-problem metodologis, yang pada akhirnya merupakan problem-problem kesalahan dalam cara membaca kenyataan. Begitu persoalan—memakai istilah Anom Astika—’pemberantasan buta huruf’ ini terselesaikan dan kesatuan epistemik terbentuk, maka persoalan fragmentasi akan terselesaikan dengan sendirinya. Sebab, dengan satunya metode, perbedaan kesimpulan politik antar organisasi akan nampak hanya sebagai perbedaan wilayah kerja. Dengan membangun persatuan epistemik, kita sejatinya tengah membangun persatuan sistem pembagian kerja antar organisasi. Dan ketika metode sudah satu, sistem pembagian kerja antar organisasi sudah satu, maka sebenarnya kita sudah punya satu organisasi Kiri yang utuh, walaupun de jure masih ada PRD, masih ada PRP, masih ada PPR, dan sebagainya, lengkap dengan struktur pengurus dan anggota masing-masing seperti semula. Esensi kesatuan gerak terletak dalam metodenya. Di situlah titik pertemuan yang paling produktif antara ’aktivis Marxis’ dan ’intelektual Marxis’ untuk masa sekarang.
Referensi:
Engels, Frederick. 1964. Dialectic of Nature, diterjemahkan oleh Clemens Dutt. Moscow: Progress Publishers.
Mao Tse-Tung. 2007. On Practice and Contradiction. London: Verso.
Sumber : Martin Suryajaya: Materialisme Dialektis Sebagai Metode