Mochtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang setia kepada
profesionalitas dan idealisme. Ini yang membuatnya dijuluki muckraker
journalist alias wartawan yang berani membongkar skandal, penyimpangan,
dan ketidakadilan, tanpa bergeser dari kaidah-kaidah jurnalistik yang
benar.
Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini
disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput
perang yang terjadi di negeri ginseng itu.
Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal
pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan
korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.
Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang
selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi,
manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru
menghancurkan dan memusnahkannya.
Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom,
muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia.
Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.
Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua
itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis
darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.
Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut
menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea
Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang
memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.
Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan
tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada
perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya
dengan sumber alam.
Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang
terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan
dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme
dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.
Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan
Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan
Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan
efisien di Korea.
Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya
campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya
kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.
Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang
dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu,
namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan
bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah
renungan mengenai dehumanisasi perang.
Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca
bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar
golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim,
mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa
ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
__________________________________
Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman