Rejim “Fundamentalisme Pasar” dan Perbudakan Modern Kaum Tani
Oleh:
AB.Widyanta
Will the South really achieve prosperity
through greater access to Northern markets?
The logic of today’s global economi suggests that it won’t.
Colin Hines—IFG1
Yang kita butuhkan sekarang ini,
pertama-tama kita perlu membongkar apa yang sebenarnya
berada di belakang neoliberalisme, ideologinya, mekanisme kerjanya,
pelaku-pelakunya, institusi-institusi yang mendukungnya, dan seterusnya.
Kemudian kita harus menghitung ongkos yang harus kita bayar atas
penundukan kita kepada neoliberalisme, dan kita harus
membicarakan bagaimana strateginya...
Pengantar
Pada pekan pertama tahun 2011, sebuah isu gawat menyeruak. Publikasi bertitel The Great Food Crisis of 2011 dirilis oleh Presiden Earth Policy Institute, Lester R Brown, di Foreign Policy.
Publik tersentak oleh keakuratan datanya. Menurut Kompas (16/01/2011)3, negara-negara di dunia mulai memburu komoditas pangan. Harga berbagai komoditas pangan melonjak. Inflasi mendera berbagai negara. Kerusuhan akibat pangan mulai terjadi. Di Inggris harga gandum tetap tinggi hingga awal tahun. Di Aljazair terjadi kerusuhan akibat lonjakan harga pangan. Rusia mengimpor bebijian secara besar-besaran untuk pasokan pangannya. India bergulat dengan harga pangan karena inflasi yang tinggi. Sementara China dan Meksiko berburu gandum dan jagung di pasar dunia. Prediksinya, krisis pangan 2011 akut dan lebih besar dari krisis pangan tahun 2008.4
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Colin Hines, Globalization’s Cruel Smokescreen dalam The Ecologist Report, Globalising Poverty, September 2000, hlm.48.
2 Dikutip dari AB.Widyanta, Imagining Indonesia: New Social Movement – Another Indonesia (Documentary Film); Yogyakarta: Sinema Peninsula & DesPro, 2006.
3 Andreas Maryoto, Krisis Pangan 2011 Akut, Kompas 16 januari 2011, hlm.10
4 Pada awal tahun 2007, sebanyak 75.000 manusia di Meksiko turun ke jalan menuntut penurunan harga sembako. Demonstrasi disertai penangkapan massal terjadi di Senegal dan Pantai Gading. Mogok masal dan penjarahan terjadi di Kamerun. Sementara di Bangladesh terjadi demonstrasi besar-besaran, di Haiti protes massa telah membuat
Tentu saja, Indonesia tak luput dari krisis itu. Bahkan menurut estimasi FAO, Indonesia adalah salah satu negara yang akan terkena krisis pangan yang berat selain China dan India. Harga pangan di Indonesia mengalami lonjakan dari sekitar Rp. 6.000,- menjadi di atas Rp. 8.000,- sejak akhir 2010. Sebagai langkah antisipasi, selain melakukan operasi pasar untuk menekan harga beras di pasar dalam negeri, Indonesia mengimpor beras sebanyak 500.000 ton beras dari 1,3 juta ton yang akan diimpor pada tahun 2011.5
Krisis pangan memang selalu jadi momok di setiap epoh peradaban manusia, tak terkecuali pada milenium ketiga ini. Saat-saat krisis itulah ingatan kita biasanya gampang berbalik pada sosok soko guru pangan, petani, dan sektor pertanian yang selama berabad-abad diabaikan, dicampakkan, dan bahkan dijadikan tumbal di negeri ini.6 Menyimak pada persoalan krisis pangan yang gawat itu, boleh jadi benak publik pun menggugat. Pertama, apa yang menyebabkan sehingga krisis pangan selalu saja terjadi, bahkan menunjukkan tingkat perulangan yang eskalatif? Kedua, mengapa bangsa agraris yang gemah ripah loh jinawi ini gagal mewujudkan system kedaulatan pangannya? Ketiga, adakah yang salah dengan ideologi dan paradigma pembangunan di negeri ini?
Berbicara ideologi dan paradigma pembangunan, negeri ini memang tidak terlepas dari apa yang telah dikenal publik sebagai neoliberalisme. Setidaknya sejak satu dekade lalu diskursus mengenai itu telah berkembang di Indonesia. Terbangun opini sejumlah kalangan bahwa paham ekonomi neoliberalisme itu adalah momok yang harus dilawan. Opini semakin santer beredar saat proses pemilihan presiden dan wakil presiden 2009 lalu. Konon, sang Wapres adalah salah satu tokoh neoliberalisme yang syarat dengan pemikiran dan kebijakan-kebijakan yang pro pasar dalam mengelola pemerintahan.7
Bertitik tolak pada diskursus neoliberalisme atau “fundamentalisme pasar” itu, bagian pertama tulisan ini akan—meminjam ungkapan J. Nasikun (2006) di atas—membongkar apa yang sebenarnya berada di belakang neoliberalisme itu, seperti apa ideologi dan mekanisme kerjanya, serta siapa saja pelaku dan institusi-institusi pendukungnya. Bagian kedua tulisan akan mengkalkulasi berbagai ongkos yang harus dibayar bangsa ini atas penundukan dirinya pada neoliberalisme. Secara khusus tulisan ini akan berfokus pada kaum petani di negeri ini yang telah menjadi tumbal dari perbudakan modern berlabel neoliberalisme tersebut. Bagian ketiga tulisan akan memapar potret perlawanan globalisasi neoliberalisme di kalangan kaum petani di Indonesia.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
pemerintah terpojok ke dalam krisis (Die Zeit, 17 April 2008). Baca Sindhunata, Amarah Dari Perut, dalam Tanda-
Tanda Jaman Majalah Basis Edisi Majalah Basis Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008, hlm.3.
5 Andreas Maryoto, Op.Cit.
6 AB.Widyanta & G.S. Purwanto, Bermesra dengan Alam: Membangun Kembali Kearifan Petani dalam Majalah Basis
Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008, hlm.14 & 16.
7 Zia’ul Haq, Melunturnya Ideologi Kebijakan Pembangunan di Indonesia dalam Jurnal Transisi, Neoliberlisme dan Ilusi Kesejahteraan di Indonesia, Jurnal Volume 4 Nomor 1 Tahun 2010, hlm.3.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan akan berfokus pada sejumlah best practice kaum tani yang berupaya “merebut kembali negara” yang telah dibajak oleh para dedengkot neoliberalisme. Kendati masih parsial dan kecil-kecilan, namun perlawanan kaum tani itu adalah wujud inisiatif-inisiatif lokal yang secara khusus ingin menegakkan Hak-Hak Asasi Kaum Tani8 demi terwujudnya kedaulatan kaum tani berikut kedaulatan pangannya di satu sisi, serta kedaulatan bangsa di sisi lainya.
Secara tegas, tulisan ini memposisikan sebuah argumen betapa perbudakan oleh rejim atau mesin-mesin birokrasi neoliberalisme secara nyata telah menjadikan kaum tani di negeri ini sebagai tumbal dalam kancah peperangan ekonomi global. Paradigma profetis atas korban (victims) inilah yang senantiasa perlu dikedepankan sebagai, meminjam istilah Peter L.Berger (1982), calculus of pain guna menghindari menjulangnya piramida kurban manusia yang selalu muncul hamper di setiap babak sejarah peradaban manusia. Tek terpungkir lagi, janji pasar bebas akan mendatangkan dan memeratakan kemakmuran bagi seluruh warga miskin hanyalah mitos besar yang mesti dibongkar.9
Neoliberalisme: Ideologi yang Gagal
Membincang dampak-dampak globalisasi terhadap suatu pemerintahan negara, biasanya orang cenderung mengacu pada terminologi globalisasi ekonomi karena dianggap sebagai konsep yang lebih nyata ketimbang aspek/dimensi lainnya. Menurut Martin Khor (2002), kendati ada anggapan bahwa globalisasi didukung dan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi modern dan teknologi komunikasi, namun pada intinya proses globalisasi terjadi lantaran pilihan-pilihan kebijakan (nasional dan global) telah mengarah pada liberalisasi moneter, perdagangan dan investasi.10
Dengan kata lain, menurut Khor, globalisasi ekonomi terjadi karena terlebih dulu ada globalisasi globalisasi politik atau globalisasi perumusan kebijakan.11 Banyak kebijakan nasional (bidang ekonomi, sosial, budaya dan teknologi) yang tadinya di bawah jurisdiksi nasional suatu negara telah bergeser jauh berada di bawah pengaruh atau bahkan bahkan dibentuk bebadan internasional, korporasi, aktor ekonomi/keuangan internasional. Di sini, negara telah tergerogoti kedaulatan nasionalnya. Pemerintah nasional digiring untuk merumuskan kebijakan sesuai arahan pihak-pihak eksternal itu.12
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
8 Francis Wahono, Hak-Hak Asasi Petani, Proses dan Perumusannya; Yogyakarta: CPRC, 2001, hlm.11-22.
99 Tentang mitos perdagangan bebas baca Graham Hunkey, Free Trade: Myth, Reality and Alternative, London: Zed Books, 2004, hlm. 8-9
10 Martin Khor, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta: CPRC, 2002, hlm. hlm. 9-12
11 Op.Cit. hlm.13.
12 Ibid.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Senada dengan itu, Petras dan Veltmeyer juga memposisikan globalisasi dalam perpaduan solid antara dimensi ekonomi dan politik.13 Perpaduan keduanya sangatlah penting untuk membongkar kapitalisme neoliberal dan proyek imperialisme-nya, yang disebutnya sebagai bentuk imperialisme abad ke 21. Imperialisme mutakhir itu tentu memiliki tingkatan yang berbeda, baik dalam cakupan, kecepatan, kecanggihan ataupun tingkat hegemoninya, dengan imperialism terdahulu.
Memang, sebelum tahun 1980-an, muncul asumsi yang kuat dan luas dari para pembela neoliberalisme bahwa untuk perkembangan kapitalis dibutuhkan liberalisasi ekonomi bukan politik. Untuk memacu perkembangan kapitalisme, negara otoritarian dipandang sebagai model politik yang lebih ideal ketimbang negara demokrasi liberal. Namun sejak 1980-an terjadi perubahan strategi. Terjadi penekanan atas liberalisasi politik dan demokratisasi negara sebagai sebuah prasyarat vital bagi proses liberalisasi ekonomi.5
Berakar pada ekonomi-politik neoliberalisme itulah, globalisasi saat ini menjadi ideologi yang gagal. Asal muasalnya adalah apa yang disebut Anuradha Mittal sebagai Unholy Trinity, yaitu IMF dan Bank Dunia (Bretton Wood Kembar) dan WTO.6 Secara kelembagaan, merekalah porosporos globalisasi ekonomi saat ini. Bebadan internasional itu menganut paham yang disebut neoliberalisme atau sering dijuluki juga “fundametalisme pasar”. Paham ekonomi-politik neoliberalisme itu berargumen bahwa: “Pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu lintas barang, jasa dan modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu juga hanya akan terjadi bila barang, jasa, dan modal tersebut dimiliki/dikuasai oleh orang perorangan semata-mata demi tujuan akumulasi laba pribadi.”7
Dengan demikian, pada intinya fundamentalisme pasar memuat dua prinsip berikut:
pertama, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan perdagangan yang dicapai melalui deregulasi dan privatisasi secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan umat manusia seluruhnya, serta berandil besar pada masa depan yang lebih baik bagi seluruh bangsa di dunia.
Kedua, peningkatan investasi asing di Negara-Negara Sedang Berkembang (NSB) akan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
13 James Petras dan Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked: Imperialism in the 21st Century, London: Zed Books, 2001, hlm.61-71
5 Dalam konteks politik dan intelektual semacam inilah, menurut Petras dan Veltmeyer, pertalian panjang dan rumit
antara kapitalisme dan demokrasi dipertanyakan. Boleh jadi, pertanyaan itu tertuju pula pada teori ekonomi
kelembagaan ataupun teori negara yang berkembang saat ini. Op.Cit, hlm.9.
6 Anuradha Mittal, Growing Movement Against Economic Warfare dalam Kevin Danaher, 10 Reasons to Abolish the IMF & World Bank, Kanada: Open Media, 2001, hlm.10.
7 B. Herry priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, dalam I. Wibowo& Francis Wahono, Neoliberalisme, Yogyakarta:
CPRC, 2003, hlm.59.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
memperbesar kapasitas produksi dan pembangunan. Ini serta merta akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin.8
IMF dan Bank Dunia lahir dari Konsensus Washington yang digelar pada tahun 1944 di Bretton Wood. Kelahiran mereka adalah hasil nafsu besar Amerika Serikat untuk menentukan tata ekonomi dunia baru, khususnya sistem keungan internasional, paska Perang Dunia II. Tak lama sesudahnya, GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pun dibentuk guna menangani perdagangan dunia. Pada akhirnya nanti, lantaran berbagai kepentingan korporasi AS tidak terlayani oleh GATT, maka AS membutuhkan suatu badan yang kuat dan luas cakupannya, yakni WTO (1995).14
Pada era 1970-an, sejumlah bank dagang meluaskan pinjaman ke NSB yang baru saja merdeka dengan tingkat suku bunga pinjaman yang rendah. Akan tetapi, ketika suku bunga melambung pada awal tahun 1980-an, NSB tidak mampu membayarnya. Lantas, banyak Negara secara serentak berhutang kepada Bank Dunia. IMF dan Bank Dunia tak kalah cepat untuk memanfaatkan krisis hutang global itu untuk menertibkan dan mengebiri kemampuan pemerintah NSB.15 Celakanya, NSB tidak hanya berhadapan dengan tiga monster itu tetapi juga negara-negara Utara berikut korporasi global (TNC dan MNC) mereka.
Secara garis besar, IMF berperan dalam mengembangkan aliran-aliran kapital global yang dari waktu ke waktu jauh semakin bebas. Peran ini dijalankan dengan mengeluarkan kebijakan yang disebut Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program—SAPs) yang meliputi:
(1). Menggurangi secara drastis pengeluaran pemerintah pada bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (pelayanan publik); (2). Privatisasi dan deregulasi BUMN; (3). Deregulasi mata uang; (4). Liberalisasi impor dan menghilangkan segala hambatan (regulasi tentang tarif, control harga) bagi masuknya investasi asing; (5). Memotong atau menekan tingkat upah dan menghapuskan atau mengebiri segala bentuk mekanisme perlindungan hukum.16
Melalui SAPs itu, program liberalisasi pasar yang diberlakukan pada seluruh perekonomian Dunia Ketiga menjadi faktor utama yang memicu semakin tajamnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan global. Fakta menunjukkan, di seluruh dunia, masyarakat yang hidup kurang dari $1US per hari meningkat dari 1,1 juta pada tahun 1985 menjadi 1,3 juta pada
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
8 Jerry Mander, Debi Barker dan David Korten, Does Globalization Help The Poor?, Special Report IFG, Agustus 2001, hlm.v. Baca juga IFG, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: CPRC, 2003, hlm.16.
14 IFG, A Better World is Possible (Nirwana Dunia itu Niscaya) Alternatif –Alternatif atas Globalisasi Ekonomi, Yogyakarta: CPRC, 2003, hlm.16.
15 SAPRIN, Structural Adjustment, The Policy Roots of Economics Crisis, Poverty and Equality, New York: 2004, hlm.1-2
16 Op.Cit. hlm. 1-2
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
tahun 2000. Selama satu dekade lalu itulah jumlah kemiskinan meningkat pesat di berbagai Negara seperti: Eropa Timur, Asia Selatan, Amerika Latin dan Karibia, serta Sub Sahara Afrika.17
Sementara itu, Bank Dunia berperan mengawasi transformasi negara-negara berkembang secara terus menerus agar tetap berada di sepanjang rel pasar bebas dan mengelola integrasi mereka ke dalam ekonomi dunia. Peran ini dijalankan dengan mekanisme kebijakan pemberian hutang kepada NSB untuk menciptakan ketergantungan, sehingga mudah untuk mengatur, menguasai, hingga menghisapnya. Dalam praktek, banyak terjadi kegagalan dalam melaksanakan Kajian Tingkat Kemiskinan (Poverty Assessment) dan Audit Lingkungan (Environment Assessment) lantaran budaya korupsi di tubuh Bank Dunia sendiri.18
Sedangkan WTO berperan melindungi negara-nagara lemah dari tindakan sepihak yang dilakukan oleh penguasa-penguasa perdagangan. Tentu saja, itu hanyalah omong kosong. Dalam prakteknya, WTO diberlakukan dengan cara paksa atau teror, dengan mengatakan bahwa: “Bagi negara-negara yang tidak mau masuk WTO, mereka akan diisolir dari perdagangan dunia”. Segala bentuk persetujuan WTO pun ditentukan secara sepihak dan tidak transparan (pengambilan keputusan secara oligarkis dilakukan oleh empat serangkai: AS, Jepang, Uni Eropa dan Kanada).
Dalam hal ini kita bisa mencermati bagaimana berbagai peraturan seperti: TRIMs (Trade Related
Investment Measures), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), AoA (Agreement on Agriculture) telah mengabaikan usulan NSB, sehingga akhirnya menimbulkan berbagai persoalan seperti: ketenagakerjaan, ketahanan pangan, dan kerusakan lingkungan. Singkatnya, kebijakan WTO telah menghancurkan penghidupan rakyat dan lingkungan di NSB.19
Melihat peta peran kelembagaan global (Bank Dunia, IMF, WTO, negara-negara kaya, korporasi global TNC dan MNC) yang hegemonik seperti itu, lantas dimanakah letak logika pengentasan kemiskinan dan pengembangan kesejahteraan bagi NSB? Asas keadilan dan hak-hak asasi manusia jadi tumbal kepentingan dari para proponen fundametalisme pasar, yang senantiasa gandrung export dominated trade policies.20 Persoalan semakin ruwet, ketika peran PBB turut terkebiri. Organ-organ dan bebadan PBB jadi ompong. Misalnya UNCTAD (United Nation Conference of Trade and Development) lumat oleh WTO.
Kaum Tani: Budak-Tumbal Neoliberalisme
Dengan terbongkarnya kedok rejim neoliberalisme di atas, kita sudah bisa membaca gamblang bagaimana dampak-dampak globalisasi yang harus ditanggung oleh kaum tani maupun
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
17 IFG, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: CPRC, 2004, hlm. 25-32.
18 Graham Hancock, Lords of Poverty: The Power Prestige, and Corruption of the International Aid Bussiness, New York: The Antlantic Monthly Press, 1989, hlm 144-145.
19 Walden Bello, WTO: Menghamba Pada Negara Kaya dalam IFG, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan,
Yogyakarta: CPRC, 2004, hlm.95-203.
20 John Madeley, Hungry For Trade: How the Poor Pay for Free Trade, London: Zed Books, 2000, hlm. 53-56.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kaum miskin di negeri ini. Untuk konteks Indonesia, kita bisa meminjam penjelasan seorang aktivis perempuan pada LSM Bina Desa Jakarta, Dwi Astuti, berikut ini:21
Globalisasi itu lingkaran setan. Secara sistematis dari A sampai Z kita sudah diatur. Karena globalisasi itu dasarnya ada tiga: pertama adalah deregulasi. Artinya semua aturan yang tidak pro pasar bebas harus diganti dengan peraturan yang baru dan undang-undang yang baru. Maka muncullah seperti UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Pendidikan dan lain sebagainya, yang kesemuanya pro pasar. Kemudian yang kedua adalah privatisasi. Semua sektor-sektor strategis, BUMN harus dikelola oleh swasta... Nah apa yang terjadi misalnya BBM selalu naik dan sebagainya. Dan kemudian yang ketiga adalah liberalisasi. Liberalisasi adalah bahwa indonesia harus membuka pasar seluas-luasnya terhadap semua sektor, semua sumberdaya yang produktif.
Memburu berkah pertumbuhan ekonomi dari Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investemen), pemerintah Indonesia membuka pasar selebar-lebarnya. Pilar-pilar kedaulatan berupa regulasi-regulasi pro rakyat pun diruntuhkan dan diganti dengan regulasi-regulasi yang pro pasar.
Perekonomian rakyat tak lagi dilindungi, didukung, apalagi diurus oleh negara. Watak keranjingan berdagang pun kian mendorong pemerintah untuk menjuali berbagai macam kekayaan public atau sumber daya vital.
Keporakporandaan tatanan perekonomian nasional itu tentu akan mengorbankan warga masyarakat di lapis paling bawah seperti: kaum petani, nelayan, buruh, para pekerja sector informal. Rentetan persoalan itulah yang menjadi akar persoalan kemiskinan dan ketimpangan global saat ini. Bentuk penetrasi perekonomian global yang hegemonik itu tentu saja sangat berpotensi pada, meminjam istilah Michel Chossudovsky, “economic genocide”.22 Secara kasat mata, krisis ekonomi Asia yang terjadi beberapa tahun lalu masih tetap dirasakan rakyat hingga saat ini.
Secara mendasar, ada tiga aturan ketat Agreement on Agriculture (AoA) yang menjerat petani yaitu: (1) Dukungan dalam negeri; (2). Akses pasar; dan (3). Persaingan ekspor. Dari tiga aturan ketat itu maka kita bisa mengkalkulasi dampak-dampaknya bagi kaum tani. Pertama, terkait
dukungan dalam negeri, WTO menuntut agar negara maju dan NSB secara signifikan harus mengurangi subsidi untuk para petaninya. Dari aturan ini, penghasilan petani NSB lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor produksi dan perdagangan, bukan oleh dukungan pemerintah.
Dalam hal ini, kaum tani sangat rentan dan mudah terombang-ambing oleh pola perdagangan global dan fluktuasi harga komoditas pertanian di tingkat internasional. Kedua, terkait dengan akses pasar, WTO menuntut negara maju dan NSB yang telah menandatangani perjanjian harus mengubah pembatasan kuantitatif dan kebijakan non-tarif untuk impor pangan. Tak terbatasinya kuantitas impor pangan murah itu tentu akan merusak harga produk pertanian di domestik. Ketiga, terkait dengan persaingan impor, WTO menerapkan klausul ini sebagai alasan resmi bagi
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
21 Dikutip dari AB.Widyanta, Imagining Indonesia: New Social Movement –Another Indonesia (Documentary Film); Yogyakarta: Sinema Peninsula & DesPro, 2006
22 Michel Chossudovsky, The Globalization of Poverty, Penang: TWN, 1997, hlm. 37.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
AoA untuk menerapkan penghapusan subsidi ekspor. Klausul ini jelas akan memudahkan Negara maju untuk mengekspor surplus produk pertaniannya. Dalam praktiknya, ketiga klausul itu tidak ditepati oleh negara-negara maju dan tidak ada sanksi apapun dari WTO. Sebaliknya NSB ditekan untuk mematuhi klausul-klausul tersebut. 23
Keempat, selain ketiga aturan ketat itu, kaum tani juga dirugikan dengan diberlakukannya
Trade Related Intelllectual Property Rigts (TRIPs) dan berbagai keputusan lain yang menyangkut pertanian, juga telah mengubah tiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis sistem pertanian (tanah, air, dan keanekaragaman hayati). Bagaimanapun juga keputusan itu akan mendorong terciptanya konsentrasi kepemilikan sumberdaya alam. TRIPs ini juga telah mendorong terjadinya perompakan hayati (biopiracy) milik kaum petani NSB.24
Kelima, lantaran lebih berkiblat pada based market oriented dan bukannya people’s primary needs,25 maka pemerintah senantiasa terdorong untuk menggalakan pembangunan perkebunan besar (agribisnis). Kehadiran perkebunan itu bisa dipastikan akan mengubah sistem usaha tani, dari yang tadinya multikultur (beragam tanaman) menjadi monokultur (satu jenis tanaman).
Kondisi monokultur semacam itu tentu saja melemahkan ketahanan (mudah terserang hama) dan keanekaragaman hayati (berkurangnya sumber-sumber kebutuhan pangan) di lahan-lahan pertanian.26 Selain lahan rusak, sumber-sumber pangan berkurang, keuntungan pun dipetik oleh pelaku agribisnis.27 Justru negaralah yang memfasilitasi penyerahan penguasaan sumber-sumber alam, sistim produksi, serta sistim pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan agribisnis global atau multinational coporations. 28
Dari kelima poin di atas, bisa disimpulkan bahwa praktik globalisasi neoliberalisme telah menimbulkan berbagai dampak yang destruktif bagi kaum tani di Indonesia. Kaum tani tak ubahnya seperti budak yang ditumbalkan. Oleh elit penguasa yang ceroboh kaum tani negeri ini telah dibuang ke kancah perbudakan modern. Budaya tani telah dilunturkan elit-elit penguasa yang tinggal memiliki naluri: makan atau dimakan. Budaya pasar bebas, survival of the fittest, homo
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
23 IFG, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: CPRC, 2003, hlm.138-140.
24 RAFI, Enclosure of The Mind, Monopoli-Monopoli Intelektual atas Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Yogyakarta: CPRC, 2004, hlm. 41-44. Lihat Vandana Shiva, Biopiracy, The Plunder of Nature and Knowledge, New Delhi: Research Foundation for Science, Technology and Ecology, 1997, hlm.3-5. Lihat juga IFG, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: CPRC, 2004, hlm. 137.
25 Dikutip dari Dr.Suhardi dalam AB.Widyanta, Imagining Indonesia: New Social Movement – Another Indonesia (Documentary Film); Yogyakarta: Sinema Peninsula & DesPro, 2006
26 Francis Wahono, AB.Widyanta dan Titus O. Kusumajati, 2001. Pangan Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Yogyakarta: CPRC, hlm 184-185.
27 Francis Wahono, Runtuhnya Kedaulatan Pangan & Rapuhnya Ketahanan Bangsa, dalam Majalah Basis Nomor 05–
06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008, hlm.11
28 Subejo, Memahami dan Mengkritisi Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia, Makalah pada Temu Nasional Mahasiswa Pertanian, 15 Februari 2007, hlm 9
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
homini lopus, telah menggusur budaya kaum tani kita.29 Alih-alih mendapati kemakmuran dan kesejahteraan, petani justru terjajah dan terperah. Dalam konteks itu, Joseph Stiglitz melontarkan catatan pedasnya berikut ini:30
Banyak penguasa-penguasa negara, khususnya yang pernah dijajah, masih terperangkap dalam colonializes mind, menganggap bahwa resep-resep kesejahteraan, perbaikan ekonomi dan”pembangunan” dari negara-negara para tuan besar yang mendominasi lembaga-lembaga ekonomi internasional sebagai yang paling manjur. Sementara negara-negara dan lembaga-lembaga kreditor juga terperangkap dalam mentalitas penjajah sebagai apa yang disebut “white man burden” dan mengira bahwa mereka paling tahu apa yang terbaik bagi negara berkembang.
Bagaimanapun neoliberalisme gagal memenuhi janji kesejahteraannya. Dalam seluruh dimensi ketidakadilan itulah globalisasi mendapati musuh besarnya, yakni globalisasi perlawanan masyarakat sipil global. Salah satu himpunan masyarakat sipil globa terbesar adalah World Social
Forum (WSF) yang terkenal dengan spirit Another World is Possible.31 Dalam keberagaman aksi, para penentang globalisasi secara massif membongkar dan memblejeti kedok neoliberalisme. Kita tentu masih ingat berbagai pemberitaan di media massa perihal aksi-aksi demonstrasi melawan globalisasi yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat seperti aktivis buruh, lingkungan, aktivis hak asasi manusia pada berbagai event penting seperti pertemuam pimpinan IMF dan Bank Dunia, sidang WTO di Seattle, pertemuan G-8 di Genoa, acara World Economic Forum di Washington DC, Davos Swiss, Prague, Gothenberg, Vancouver, serta banyak tempat lainnya. Di mata gerakan perlawanan itu, neoliberalisme tak lebih adalah ideologi yang gagal.
Melawan Arus: Kisah Seed Breeder dan Organizer Pertanian Organik
Jauh dari kota-kota dunia itu, di berbagai wilayah lokal perdesaan di Indonesia pun telah berlangsung perlawanan terhadap perbudakan modern itu. Gerakan perlawanan ini tidak muncul dengan pekikan dan kepalan tangan laiknya demonstran. Tapi dilakukannya dalam praksis usaha tani organik. Kendati secara riil pertanian ini telah lama menjadi gerakan, namun masih banyak pihak yang meragukannya sebagai perlawanan menentang globalisasi. Menurut sejumlah padangan, pertanian organi justru ditengarai sebagai pengakomodiran trend pasar global yang tengah menginginkan pangan yang sehat bebas pestisida. Jika pun itu benar, namun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip-prinsip kedaulatan mereka masih relatif terjaga.32
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
29 Francis Wahono, Runtuhnya Kedaulatan Pangan & Rapuhnya Ketahanan Bangsa, dalam Majalah Basis Nomor
05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008, hlm.11.
30 Maria Hartiningsih, Menolak Ritual Kematian dalam Kompas, Senin 20 Januari 2003.
31 William F.Fisher & Thomas Ponniah, Another World is Possible, Popular Alternatives to Globalization at The World Social Forum, New York: Zed Books, hlm. 1-6.
32 Susetiawan, 2009. Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung, Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme, Working Paper, Yogyakarta: SPSK & PSPK – UGM, hlm 26-27
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Meski sekian lama dihujani cemooh dan skeptisisme namun ideologi dan praktik pertanian alami ini masih dihidupi sebagian kaum tani kita hingga kini. Kisah pergulatan hidup Gatot Surono (78) dan Setyas Tuti Orbaningsih (45) berikut menjadi bukti atas itu.33 Mereka bergerilya selama 20 tahun menghidupkan ideologi pertanian alami. Kini mereka berhasil menyemai ideologi itu ke berbagai simpul jejaring kaum tani di seluruh Nusantara, dari Aceh hingga Papua. Laiknya seorang mubaligh/oh, pendeta ataupun pastur, mereka bersyiar tentang keimanan pertanian alami kepada para petani dan masyarakat luas. Mereka pun telah “membai’at” para pengikut dan simpatisan pertanian alami yang dari hari ke hari kian meluas. Inilah potret kecil ikhtiar pembebasan kaum tani menuju “tanah terjanji”, kedaulatan petani.
Meski sudah memasuki usia senja, mbah Gatot, panggilan akrab Gatot Surono, tetap gesit menjalani kegiatan pertanian alami yang mulai digelutinya sejak tahun 1989. Rumah sederhananya di Desa Kembangan, Kecamatan Bukateja, Purbalingga menjadi jujugan banyak orang dari berbagai kalangan. Sebagian mereka datang untuk meminjam benih padi yang akan mereka kembalikan lagi pada panen berikutnya. Sebagian lain datang untuk mendalami spirit maupun teknik pertanian alami, mulai dari lumbung benih, pengolahan lahan, pembenihan, penyemaian, cara penanaman, pembuatan pupuk, pestisida, dan insektisida alami, hingga obrolan ringan mengatasi hama tikus.
Pada tahun 2000, suami Christina Swastuti ini ditunjuk menjadi salah satu delegasi petani
Indonesia yang diutus ke Thailand. Konon di negeri itu, warga asing dilarang membawa benih apapun keluar batas teritorialnya. Dalam sebuah kesempatan kunjungan di lahan pertanian, ia mendapati hamparan sawah yang ditanami salah satu jenis padi terbaik di Negeri Gajah Putih itu.
Padi itu dikenal dengan nama Jasmine. Rupanya, ia tak bisa menahan hatinya untuk mencoba menangkarkan salah satu jenis terbaik ini di tanah kelahirannya. Karena upaya membeli atau meminta benih dengan cara baik-baik tidak mungkin, “Satu-satunya jalan ya saya ngurut semalai, lalu saya masukkan saku,” kenang bapak tiga anak ini. Terpaksa ia “nyolong”.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia tersebut. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
33 Wawancara penulis dengan dua tokoh pertanian organik ini dilakukan pada April 2008. Uraian dalam tulisan ini
tulisan ulang dari artikel penulis sendiri yang berjudul Bermesra dengan Alam: Membangun Kembali Kearifan Petani
yang pernah muncul di Majalah Basis Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berkat ketekunan, kerja keras, dan kegigihannya melawan arus, mbah Gatot berhasil mengumpulkan dan membudidayakan 60 varietas padi lokal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Membramo (Papua); Maros (Sulawesi); Laka (NTT); Batang Hari, Batang Gadis, Laut Tawar (Sumatera); Rojolele, Pandan Wangi, Wirosableng, Selendang Biru, Mutiara, Code, Molok Merah (Jawa), dan berpuluh varietas lokal lainnya. Ia butuh waktu lima belas tahun untuk mengumpulkan varietas padi lokal sebanyak itu. Selang setahun sesudah pertemuannya dengan Romo Utomo—salah seorang pendiri SPTN HPS—pada tahun 1992 mbah Gatot mulai membangun lumbung benih (seed bank).
Di setiap tahunnya benih-benih itu selalu diremajakan kembali di lahan bagi hasil (maro) milik teman karibnya seluas 3.500 m2. Sekali musim tanam, 30 varietas di tanam secara bersamaan, dimana dua varietas di antaranya mendapat jatah lahan terluas (masing-masing seluas 1.500 m2) untuk kebutuhan konsumsi. Tak lupa, gejawan ditanamnya di sela-sela lahan untuk menghindari perkawinan silang antar varietas. Dalam dua kali musim tanam, keenampuluh varietas padi genap mendapatkan giliran peremajaan.
Saat berkomentar lebih jauh tentang kondisi pertanian di Indonesia, mbah Gatot menuturkan bahwa kondisi pertanian bangsa ini sangat terpuruk. Tanah rusak, tandus, lantaran penggunaan pupuk kimia yang jor-joran. Mental petani turut rusak. Hutang negara pun menumpuk. Tentang situasi itu ia kembali mengingatkan, “Pertanian konvensional (kimiawi) itu tidak murah. Itu akan bisa berjalan hanya jika pemerintah mensubsidi. Sekarang ini Indonesia benar-benar sudah rusak. Ibaratnya orang, ia adalah orang yang bercuk, cara Banyumase, apa-apa mau. Artinya, dikasih apapun mau, apa saja diemplok. Diwenehi sampah gelem, diwehi balung ya gelem.
Sebenarnya kita dibuat segoblog-goblognya supaya gampang dijajah. Artinya dijajah itu, dijajah segala-galanya. Ya sumber alamnya, juga manusianya, digawe kon manut ben bodho,” tegas petani yang pernah dibui tanpa pengadilan oleh Orde Baru ini geram.
Senada dengan pendapat Gatot, Setyas Tuti Orbaningsih menilai bahwa sejauh masyarakat hanya selalu jadi “obyek penjualan” maka ketahanan/ kedaulatan pangan akan lenyap. Nilai-nilai kerja keras, ketekunan, kesabaran, kesederhanaan akan luntur. Kearifan lokal dan budaya bertani pun akan hilang. Petani sebagai pahlawan pangan tak lagi bermartabat. Sejatinya petani adalah raja, namun kehidupan kaum tani terpuruk di lapis terbawah stratifikasi social masyarakat, menjadi sang sudra, hamba sahaja. Di tengah ketidakpedulian pemerintah, lantas siapakah yang akan membela nasib kaum tani?
Kenyataan inilah yang menjadi pangkal keresahan Tutik, nama panggilan Setyas Tuti Orbaningsih, seorang tani perempuan dari Desa Banjarmangu, Banjarnegara yang gigih berjuang mengangkat citra petani. Hatinya tersayat, ketika melihat petani di sekitarnya hanya dijadikan objek penjualan produk-produk pertanian. Ketika Republik agraris ini semakin berpihak pada para pengusaha besar, maka kehidupan petani tak akan pernah terentaskan dari kubangan kesudraannya.
Sejak diajak bergabung menjadi animator Bina Desa di tahun 2001, jejaring kelompok tani
Tutik kian meluas. Merasa banyak belajar dari komunitas, dengan ringan hati pula ia berbagi pengetahuan ke sesama petani. Tingginya semangat saling berbagi, belajar dan berdialog di antara para petani itulah yang selalu meneguhkan komitmennya. Sebagian besar waktunya “diwakafkan” untuk kegiatan 25 kelompok petani yang menggarap tanah lebih dari 400 hektar, tersebar di lima kecamatan di Banjarnegara. Setiap hari, setidaknya 12 jam dihabiskan Tutik untuk menjalankan tugasnya sebagai animator. Seusai menuntaskan urusan rumah tangga, pukul 10.00 ia mulai berkendara roda dua menuju pertemuan rutin beberapa kelompok tani. Kesulitan memutus dialog yang kian menghangat oleh antusiasme para petani ataupun jauhnya jarak tempuh antar kelompok tani, tak jarang Tutik baru tiba di rumah lagi pukul 24.00.
Upayanya mengangkat martabat kaum tani tidaklah sia-sia. Jerih payahnya tersulihi oleh rasa bangga menyaksikan 5 kelompok petani dampingannya (yang setiap kelompok beranggotakan 20 orang) bertumbuh dalam kemandirian. Kelompok Subur Alami di Desa Medayu, Tani Makmur di Desa Prendengan, Wanita Tani Ngudi Lestari di Desa Banjarmangu, Pemuda Tani Desa Pekauman, dan Ngudi Sari Bumi di Desa Sigaluh siap menjadi simpul percontohan dan pelatihan pertanian alami bagi kaum tani di sekitarnya.
Tutik bersama lembaganya, Bina Desa, juga telah merealisasikan pengembangan sawung organik atau stasiun pertanian alami di desanya, Banjarmangu. Kawasan seluas 3.500 m2 akan digunakan sebagai pusat keanekaragaman hayati dan pusat pelatihan pertanian alami. Lahan akan ditanami berbagai macam tanaman pangan seperti padi, jagung, ketela; tanaman sayuran untuk mendapatkan hasil mingguan seperti bayam cabut, sawi, kacang; juga tanaman hortikultura, pala kependhem, dan toga. Peternakan kambing, ayam dan kolam perikanan juga dibangun di sana.
Tutik senantiasa berupaya agar pertanian alami masuk ke birokrasi pemerintahan, DPRD II, maupun DPRD I. Misalnya seperti di Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Departemen Pertanian (Deptan), melalui pendekatan dan lobi intensif, Tituk dipercaya melatih para PPL (Petugas Penyuluh Lapangan). Berbekal pengalaman, ia merasa enjoy saja untuk memimpin pelatihan. Agenda terpenting dari setiap acara seperti itu menurut Tutik adalah membongkar motif dan pola pikir para peserta agar bernalar kritis. “Apa tujuan pelatihan ini, sekadar untuk pengetahuan, bisnis menjelang pensiun, ataukah untuk pemberdayaan masyarakat?”, tanya Tuti tanpa basa-basi. “Jika benar-benar ingin memberdayakan kaum petani, tolong paparkan perbedaan antara pertanian organik dengan pertanian konvensional yang ada di Indonesia!” tantang Tutik pada peserta. Jika terjadi kelangkaan pupuk konvensional dan petani tidak menguasai teknologi alternatifnya, apa yang bisa diperbuat petani?” cecar Tutik menukik.
Dipandu pertanyaan-gugatan Tutik, para peserta bisa dengan mudah membongkar pohon masalah kaum tani. Dan sampailah mereka pada akar dari seluruh persoalan petani di negeri ini, globalisasi neoliberalisme. Tingginya daya pembelajar dan luasnya pengalaman berjejaring membuat Tutik mahir menguliti persoalan globalisasi. Dengan contoh praktis, peserta pelatihan bisa dengan mudah memahami apa itu globalisasi, pasar bebas, aktor utama globalisasi berikut dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya. Secara berapi-api Tutik menegaskan: “Kita di negara berkembang ini hanya dijadikan ajang pasar bebas. Kita tidak akan pernah diuntungkan, tapi justru dirugikan. Kalau masyarakat kita tidak kritis, kita hanya akan dijadikan kelinci percobaan terus menerus. Itulah sebabnya mengapa kita sebagai pendamping justru harus mengawal masyarakat menciptakan teknologi sendiri, dengan menggunakan berbagai input yang ada di sekitar kita,” begitu Tutik menandaskan.
Menggandeng dan melibatkan pemerintah adalah kehandalan Tutik. Berbekal kemampuan dalam pertanian alami, ia merasa punya alat untuk menggerakkan kaum tani dan menghimpun kepedulian pemerintah. Menurutnya, pertanian alami adalah sebuah gerakan Poleksosbud. Artinya pertanian alami bisa dijadikan modal bagi gerakan perubahan politik, sosial, budaya, termasuk ekonomi. Di jajaran pemerintah sendiri gerakan seperti ini sangat diharapkan. Ia juga berharap pertanian alami ini benar-benar akan menjadi gerakan yang padu antara masyarakat dan pemerintah.
Keberserahan mbah Gatot dan Tutik pada Sang Penyelenggara Hidup rupanya menjadi dasar spirit dan praksis pertanian alami yang mereka geluti selama ini. Kerja keras, keugaharian, ketekunan, kesabaran, hingga nalar kritis senantiasa menjadi nilai-nilai keutamaan laku hidup mereka. Kesendirian dan keberanian untuk memulai adalah pilihan kuncinya. Gerakan diaspora menjadi metode dan strategi perjuangannya. Dan itulah keseluruhan potret kehidupan mbah Gatot sebagai seed breeder dan Tutik sebagai animator/organizer kelompok petani organik.
Epilog
Melihat pada fakta tentang tata ekonomi dunia yang compang camping ini, berbagai kalangan telah menginisiasi berbagai alternatifnya. Secara umum, argumen mereka hampir sama yakni: menolak keras berlangsungnya paradigma ekonomi-politik neoliberalisme yang menjadi ruh dari globalisasi saat ini. Mereka meneriakkan munculnya paradigma baru, yang kurang lebih bias mengkerangkai tata perekonomian yang lebih mengedepankan/ berorientasi pada manusia dan lingkungan hidup menuju pembangunan dunia yang berkelanjutan. Mungkin inilah yang dimaksudkan E.F Schumacher sebagai “Economic as if people mattered”.34
Dengan paradigma itu, sistem ekonomi akan mampu memberi kewenangan dan mendorong rakyat, masyarakat, dan negara-negara untuk mengelola ekonomi mereka sendiri. Sehingga, mereka akan semakin mandiri secara ekonomi, dan hidup berdasarkan pada aktivitas yang ramah lingkungan. Kesejahteraan masyarakat lokal bagaimanapun juga merupakan hal yang paling penting. Hanya dengan berorientasi pada manusia dan lingkungan itulah, tata perekonomian dunia bisa berkelanjutan. Dalam konteks ini, barangkali ungkapan Colin Hines35 boleh jadi benar: There’s so much that’s wrong with today’s global economic. But there’s so much that can be put right. To rephrase Margaret Teacher: there IS an Alternative. [abw-3012011]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
34 James Robertson, Transforming Economic Life: Millenial Challenge, Devon: Green Books, 1998, hlm.15.
35 Colin Hines, Globalization’s Cruel Smokescreen dalam The Ecologist Report, Globalising Poverty, September 2000, hlm.55.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi
Chossudovsky, Michel 1997.The Globalization of Poverty, Penang: TWN
Danaher, Kevin, 2001.10 Reasons to Abolish the IMF & World Bank, Kanada: Open Media
Fisher, William F.& Thomas Ponniah, 2003.Another World is Possible, Popular Alternatives to
Globalization at The World Social Forum, New York: Zed Books
Hunkey, Graham 2004. Free Trade: Myth, Reality and Alternative, London: Zed Books
Hines, Colin. 2000. Globalization’s Cruel Smokescreen dalam The Ecologist Report, Globalising
Poverty, September 2000.
Hartiningsih, Maria. Menolak Ritual Kematian dalam Kompas, Senin 20 Januari 2003.
IFG, 2003.Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: CPRC
IFG, 2003. A Better World is Possible (Nirwana Dunia itu Niscaya) Alternatif –Alternatif atas Globalisasi Ekonomi, Yogyakarta: CPRC
Madeley, John. 2000 Hungry For Trade: How the Poor Pay for Free Trade, London: Zed Books.
Mander, Jerry. Debi Barker & David Korten, Does Globalization Help The Poor?, Special Report IFG, Agustus 2001
Martin, Khor, 2002. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta: CPRC
Maryoto, Andreas. Krisis Pangan 2011 Akut, Kompas 16 januari 2011
Petras, James dan Henry Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked: Imperialism in the 21st Century, London: Zed Books
Robertson, James,1998. Transforming Economic Life: Millenial Challenge, Devon: Green Books
RAFI, 2004. Enclosure of The Mind, Monopoli-Monopoli Intelektual atas Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Yogyakarta: CPRC
SAPRIN, 2004.Structural Adjustment, The Policy Roots of Economics Crisis, Poverty and Equality, New York: Zed Books
Sindhunata, Amarah Dari Perut, dalam Tanda-Tanda Jaman Majalah Basis Edisi Majalah Basis
Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008
Shiva, Vandana 1997. Biopiracy, The Plunder of Nature and Knowledge, New Delhi: Research
Foundation for Science, Technology and Ecology
Shiva, Vandana 1991. The Violance of Green Revolution Third World Agriculture Ecology and
Politics, Penang: Third World Networks.
Subejo, Memahami dan Mengkritisi Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia, Makalah pada Temu Nasional Mahasiswa Pertanian, 15 Februari 2007
Susetiawan, 2009. Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung, Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme, Working Paper, Yogyakarta: SPSK & PSPK – UGM
Wahono,Francis, AB.Widyanta dan Titus Kusumajati, 2001. Pangan Kearifan Lokal dan
Keanekaragaman Hayati, Yogyakarta: CPRC
------------------, 2001. Hak-Hak Asasi Petani, Proses dan Perumusannya; Yogyakarta: CPRC
------------------,. Runtuhnya Kedaulatan Pangan & Rapuhnya Ketahanan Bangsa, dalam Majalah
Basis Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008
Wibowo, I. & Francis Wahono, Neoliberalisme, Yogyakarta: CPRC, 2003, hlm.59.
Widyanta, AB. 2006. Imagining Indonesia: New Social Movement –Another Indonesia (Documentary Film); Yogyakarta: Sinema Peninsula & DesPro
-------------------& G.S. Purwanto, Bermesra dengan Alam: Membangun Kembali Kearifan Petani
dalam Majalah Basis Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008
Zia’ul Haq, Melunturnya Ideologi Kebijakan Pembangunan di Indonesia dalam Jurnal Transisi,
Neoliberlisme dan Ilusi Kesejahteraan di Indonesia, Jurnal Volume 4 Nomor 1 Tahun 2010.