Program Re(pro)duksi Kemiskinan Di Indonesia
Oleh: AB.Widyanta
(Aktivis pada Kaldera Institute dan mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM)
Dalam sepekan awal tahun 2011, dua pemberitaan yang kontradiktif tentang kemiskinan menyedot perhatian publik. Sorotan publik tertuju pada disparitas antara klaim kesuksesan program penanggulangan kemiskinan pemerintah dengan mencuatnya kasus bunuh diri warga lantaran didera kesulitan ekonomi.
Dalam evaluasi kerja 2010 dan rencana kerja 2011, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, menegaskan pemerintah telah berhasil mengentaskan 1,5 juta penduduk dari kemiskinan. Sehingga angka kemiskinan menurun dari 16,6 persen menjadi 13,5 persen, atau dari yang semula 32,53 juta menjadi 31,02 juta penduduk.
Berselang hari, sebuah surat kabar nasional (7/1/2011) melaporkan sejumlah kasus bunuh diri karena terlilit kemiskinan. Kasus bunuh diri menimpa pasangan suami istri buruh tebu, Maksum (35) dan Rohani (33), penduduk Desa Tanjunganom Pesaleman, Cirebon, Jawa Barat, lantaran beban ekonomi yang kian berat. Kematiannya meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Hal serupa menimpa Samsul Fatah (20), seorang pemuda dari desa Soka, Kecamatan Poncowarno, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Samsul terpaksa menenggak racun serangga lantaran tak sanggup lagi menanggung beban menghidupi keluarganya.
Kontroversi
Pemberitaan kontradiktif itu telah memancing respon publik setidaknya dalam dua kecenderungan berikut. Pertama, kabar perihal menurunnya trend kemiskinan itu tentu menggembirakan sekaligus membanggakan bagi sebagian khalayak. Penurunan angka itu adalah bukti riil atas keseriusan pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan. Turunnya angka kemiskinan adalah capaian pemerintah yang patut diapresiasi. Sejumlah kasus bunuh diri warga hanyalah perkara residual-kasuistis yang tak perlu dilebih-lebihkan, apalagi dipolitisir..
Kedua, menurunnya angka kemiskinan merupakan tanda tanya besar bagi sebagian lain khalayak. Relatifnya indikator kemiskinan yang dipakai tentu sangat menentukan besar kecilnya angka capaian. Angka bisa merepresentasikan “yang ada” sekaligus “yang tidak ada”. Pendek kata, angka adalah politik representasi atas kehadiran dan ketidak-hadiran sekaligus. Ia merepresentasikan kehadiran kuasa dan ketidak-hadiran fakta. Fakta kemiskinan absen dalam representasi kuasa. Karenanya kasus-kasus bunuh diri warga berpotensi sebagai penggugat balik yang signifikan bagi program penanggulangan kemiskinan pemerintah.
Kedua respon itu tentu memiliki basis argumennya masing-masing. Terlepas dari kontroversi, tulisan ini ingin menelisik landasan pijak dalam bentuk analogi yang digunakan pemerintah untuk menjelaskan tiga klaster program penanggulangan kemiskinannya. Sehingga kita bisa mencermati segenap implikasinya. Secara prinsip, tulisan ini meyakini, meminjam ungkapan Henry David Thoreau, bahwa all perception of truth is the detection of an analogy.
Sejak tahun 2007, pemerintah meluncurkan Program Penanggulangan Kemiskinan dan Perluasan Kesempatan Kerja melalui tiga klaster program penanggulangan kemiskinan berikut. Pertama, Bantuan dan Perlindungan Sosial yang dikoordinasi oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan, dan Bappenas. Klaster pertama ini meliputi program Raskin, BOS, Jamkesmas, KAT, PKH, PUG, PUA, dll. Kedua, Pemberdayaan Masyarakat yang dikoordinasi oleh Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat dan Bappenas. Klaster kedua ini sering dikenal sebagai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang mencakup program seperti PPK, P2KP, PEMP, P2DTK, PISEW, dll. Ketiga, Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil yang dikoordinasi oleh Menteri Perekonomian, Koperasi dan UKM, yang diantaranya Program Kredit UMKM dan KUR.
Analogi Tiga Klaster
Penjelasan pemerintah mengenai tiga klaster program penanggulangan kemiskinan itu sering dijelaskan melalui analogi berikut: klaster pertama bisa diibaratkan “memberi ikan” bagi rumah tangga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin yang memang membutuhkan bantuan perlindungan sosial. Sedangkan klaster kedua diibaratkan “memberi kail” bagi kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin agar masyarakat dapat mandiri. Sedangkan klaster ketiga diibaratkan “memberi pancing dan perahu” bagi kelompok masyarakat miskin yang sudah mandiri dan siap untuk mengembangkan usahanya, bahkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain (TKPK, 2008; 12).
Jika analogi itu ditelisik, kita akan mendapati beberapa persepsi atas “kebenaran” dalam beberapa poin berikut. Pertama, analogi itu melukiskan pemerintah sebagai sosok dermawan, sementara masyarakat miskin sebagai sosok penerima pasif. Pemerintah tersosokkan sebagai patron/donor yang budiman (benevolent government), sementara masyarakat miskin diposisikan sebagai klien/massa penerima manfaat yang patuh (obedient-massif beneficiaries). Kendati tak sesuai kebutuhan, masyarakat miskin harus menerima apapun wujud bantuan itu. Watak karitatif terbaca jelas dalam analogi ini.
Kedua, analogi itu memposisikan masyarakat miskin bukan sebagai warga negara yang terlekati hak-hak dasar sebagaimana ditegaskan di dalam konstitusi. Masyarakat miskin dianggap sebagai entitas liyanyang dipreteli hak-hak dasarnya atas berbagai resources mereka (ekonomi, sosial, budaya). Kedaulatan masyarakat miskin telah tercoplok dan berakhir pada entitas liyan yang tereksklusi. Pencoplokan semacam itu biasanya jadi modus “fundamentalisme pasar”. Berdasar pada analogi itu, program menyembunyikan wataknya yang anarkis.
Ketiga, analogi itu juga menempatkan entitas liyandi luar konstruksi komunalitasnya. Analogi itu memposisikan liyan tersempal dari kekayaan modal sosial yang ada di lingkup komunitasnya. Dari analogi itu pula, capaian program terbaca lebih mencirikan wataknya yang individualistik, ketimbang komunal. Konstruksi “komunalitas” dipakai sekadar untuk mengartikulasikan agregat massa, penerima manfaat. Terkandung logika dalam analogi itu, jika individu-individu itu terentaskan dari kemiskinan maka secara otomatis agregat komunalitas warga miskin akan terentaskan pula. Dari analogi terdeteksi bahwa program menebarkan aroma-khas libertarian yang menyengat.
Keempat, analogi itu sama sekali tidak menyebut asal muasal “ikan, pancing, dan perahu” yang diberikan oleh sang dermawan kepada kaum miskin. Bantuan itu murni milik si dermawan itu sendiri ataukah diperoleh dengan berhutang kepada pihak lain tidak tersertakan di sana. Andai saja analogi itu menyertakan perihal asal muasal donasinya, orang akan paham tentang implikasi cakupan yang lebih luas, misalnya apakah si dermawan itu sungguhan ataukah gadungan. Andai itu hasil hutangan, maka kedermawanan itu berarti palsu. Implikasinya, kaum miskin boleh jadi terentaskan, namun semu dan sesaat saja. Justru muncul pola ketergantungan yang jauh lebih besar. Bertolak dari analogi yang tak luas itu, terpersepsikan bahwa program menyembunyikan informasi keterlibatan pihak ketiga (donor) setidaknya pada kaum miskin yang dibantu.
Swa-Deteksi
Barangkali tidaklah memadai untuk menakar praksis dari perangkat analogi yang dipakai pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinannya. Analogi itu boleh jadi terlalu banal untuk mendeteksi kebenaran dari realitas sebesar dan sekompleks program penanggulangan kemiskinan itu.
Memang tak ada korelasi berbading lurus antara analogi dan realitas. Analogi hanyalah seperangkat dasar dari kemampuan olah bahasa dan olah pikir manusia. Kendati terbatas, namun analogi bisa menjadi alat swa-deteksi keajegan relasi antara olah bahasa, olah pikir, dan olah tindak dari aktor itu sendiri. Maka hanya mereka yang “terlibat”-lah yang mampu mendeteksi sejauh mana terdapat korelasi antara olah bahasa dan olah pikir maupun implikasi praksisnya.
Bagaimanapun juga, program penanggulangan kemiskinan bukanlah perkara gampang dan remeh. Butuh konsolidasi multi-pihak untuk mewujudkan capaian itu. Secara hakiki, program itu adalah ikthiar dan ijtihad sebuah bangsa untuk menegakkan martabat dari segenap warganya yang kesrakat. Dalam keseluruhan maknanya, mungkin ada faedahnya bagi kita melakukan swa-deteksi atas apa yang sesungguhnya terjadi. Terselip sebuah kekhawatiran: jangan-jangan kemiskinan itu memang telah ter-reproduksi sejak dari dalam pikiran kita sendiri. Dan seorang guru kehidupan yang bijak bestari pun pernah bersesanti: Duc in altum! Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam.