Widyanta, AB.
Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006/ AB.Widyanta–Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007.
xxix + 573 hlm; 14,5 x 21 cm
ISBN 978-979-3087-31-3
Catatan Penerbit
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai bencana alam menerpa Indonesia. Silih berganti, tsunami, gempa bumi, banjir, angin puting beliung, dan gunung meletus menerjang negeri ini secara acak. Belum tuntasnya penanganan bencana alam di suatu wilayah, bencana alam lain tak sabar mengkoyak belahan wilayah Indonesia lainnya. Perjalanan sejarah negeri ini pun kian dijejali dengan potret kelam penderitaan rakyat yang berlapis-lapis dan berkepanjangan.
Meski diamuk bencana berulangkali, nampaknya bangsa kita tetap tak bergeming untuk segera menata pola manajemen kebencanaannya. Kedodoran demi kedodoran penanganan bencana selalu berakhir dengan alasan pemakluman dan pembenaran. Lebih celaka lagi, kisah sukses dan prestasilah yang justru diumbar di mimbar-mimbar pidato para pejabat. Hal itu kian menegaskan bahwa bangsa ini memang bukanlah bangsa pembelajar, melainkan bangsa yang gemar melakukan kebohongan publik.
Tak ada catatan dan pelajaran yang berarti dari bencana. Segala sesuatunya menguap menjadi masa lalu yang tak pantas untuk dipetik hikmahnya. Lantaran momentum dibiarkan lenyap, wajar saja jika kesadaran dan akal sehat kembali tertidur lelap. Ancaman bencana dianggap enteng, bahkan diabaikan. Jujur harus diakui, sebagai bangsa kita memang sangat lemah dalam hal yang detail. Rupanya bangsa ini memang tak pernah belajar dan menjadi pemetik hikmah yang baik dari berbagai bencana yang terjadi. Bukankah kita bisa bertindak benar karena belajar dari kesalahan? Lantas mengapa kita tak mau jujur untuk mengakui kesalahan, sehingga kita bisa memetik hikmah dan pelajaran yang berharga darinya, agar bisa bertindak benar di kemudian hari?
Dua gugatan itulah yang mendorong sejumlah aktivis muda untuk menuliskan tiga buah buku yang mengulas tentang catatan penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Sejalan dengan gugatan di atas, ada dua alasan mengapa mereka tergerak untuk menulis ketiga buku tersebut: pertama, untuk mendokumentasikan berbagai petikan pengalaman dan pelajaran berharga yang mereka dapatkan dalam praksis penanganan bencana. Kedua, untuk menyusun berbagai langkah konkrit yang mungkin ditempuh untuk perbaikan dan pengembangan kualitas kerja-kerja bersama ke depan, demi menegakkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas. Kedua tujuan tersebut dituangkan ke dalam “Trilogi” buku gempa berikut ini: Setelah Gempa 30 Juta SKalla Richter; Kisah Kisruh Di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; dan Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa.
Buku pertama yang berjudul Setelah Gempa 30 Juta SKalla Richter, mengulas secara satir atas kronologi penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng oleh pemerintah. Diawali dengan paparan mengenai bencana alam gempa bumi berikut data korban dan kerusakan, buku ini lebih jauh membongkar buruknya manajemen bencana pemerintah. Kiprah berbagai aktor yang juga turut menyumbang keruwetan dalam penanganan bencana pun tak luput dibeberkan. Bencana buatan manusia (baca: kebijakan pemerintah) ternyata tak kalah dahsyat dibandingkan bencana gempa bumi. Demikianlah realitas yang terjadi. Realitas itulah yang akhirnya diangkat ke dalam judul yang terkesan ganjil dan berbau plesetan tersebut.
Senada dengan buku tersebut di atas, Kisah Kisruh Di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006, juga membongkar pola manajemen bencana yang amburadul. Kekisruhan terjadi di berbagai lapisan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kecamatan, hingga pemerintah desa. Tak jelasnya keberpihakan pemerintah terhadap warga korban bencana, sangat tercermin dalam kebijakan yang dibuatnya. Berbagai pelajaran dari bencana dipaparkan secara beragam oleh 26 penulis yang kebetulan terlibat penuh dalam penanganan bencana bersama warga. Berangkat dari kacamata dan concernnya masing-masing, mereka menyajikan tulisan dalam berbagai tema yang berbeda, namun dengan ruh keberpihakan yang sama, yaitu menyuarakan warga korban bencana terutama kaum perempuan, anak dan difable.
Sedikit berbeda dengan kedua buku di atas, buku dengan judul aneh, Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa, menampilkan dua sosok yang sudah cukup familiar bagi warga korban bencana, yaitu Kang Gempil dan Yu Nami. Dua sosok ini pernah menjadi ikon buletin Suara Korban Bencana, yang terbit dan diedarkan kepada warga korban bencana di setiap minggu selama 6 bulan pasca bencana. Di buku ini, berbagai kisah nyata di lapangan disajikan secara kronologis dan dipertajam dengan gambar karikatur yang syarat guyonan kritis dan cerdas ala rakyat. Dari sudut pandang wong cilik, buku ini ingin menyampaikan pesan bahwa menempatkan musibah sebagai bagian dari penyelenggaraan Illahi adalah kebijaksanaan yang paling unggul, mengakhiri pertentangan batin yang berkecamuk tentang penyebab bencana alam. Dalam situasi itulah Kang Gempil dan Yu Nami mengajari kepada kita tentang mupus kahanan, menghibur diri sendiri dan orang lain.
Terbitnya 3 buku tentang penanganan gempa bumi Yogya-Jateng ini pantas untuk kita maknai sebagai upaya mawas diri, melalui self mockery (harafiah: menertawakan diri sendiri), untuk belajar memetik hikmah dan menginisiasi perubahan yang lebih baik menuju keadaban publik. Terkait dengan substansi kebencanaan, semoga saja berbagai pengalaman dan buah pelajaran berharga yang tertuang di ketiga buku tersebut bisa menyumbang gagasan bagi ikhtiar semua kalangan masyarakat untuk menyemai kesadaran kritis tentang bencana. Sehingga kesiapsiagaan bencana bisa diiniasi sejak dini. Selamat membaca.
Yogyakarta, 27 Mei 2007
Penerbit CPRC
-abw-